daerah sendiri terhadap APBD pada era desentralisasi fiskal relatif lebih rendah. Selang tertinggi antara rasio pendapatan daerah sendiri dan rasio dana transfer
terjadi pada tahun 2001. Hal ini terjadi karena dana transfer yang diperoleh Kota Bogor meningkat tajam akibat pelimpahan pegawai. Sejak tahun 2002 hingga
2007 selang antara kedua rasio tersebut semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total pendapatan daerah
meningkat sedangkan kontribusi dana transfer relatif menurun. Artinya pada masa desentralisasi fiskal, tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Bogor cenderung
meningkat.
5.2.3. Potensi Keuangan Daerah
Pelaksanaan desentralisasi
fiskal memberikan
kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dimanfaatkan untuk membuat kebijakan dalam rangka
meningkatkan pendapatan daerah, seperti kebijakan peningkatan PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Potensi keuangan yang dianalisis dalam model dugaan
terdiri dari pajak daerah, retrubusi daerah, laba usaha daerah, dana bagi hasil dan dana transfer.
5.2.3.1. Pajak Daerah
Pajak merupakan salah satu komponen PAD Kota Bogor. Kota Bogor melakukan pungutan terhadap enam jenis pajak, yang dari hasil pemungutan pajak
tersebut diharapkan dapat membiayai tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di Kota Bogor dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur. Pendapatan pajak daerah Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2007
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 5.7. Perkembangan Pajak Daerah Kota Bogor
Tahun Pajak Daerah Juta Rupiah
Pertumbuhan
1993 1.926,36
1994 2.759,52
43,25 1995
3.713,92 34,59
1996 4.906,46
32,11 1997
5.926,39 20,79
1998 5.691,48
-3,96 1999
7.398,62 29,99
2000 7.638,15
3,24 2001
12.668,42 65,86
2002 14.635,49
15,53 2003
17.881,73 22,18
2004 20.962,98
17,23 2005
27.289,32 30,18
2006 32.238,37
18,14 2007
37.504,97 16,34
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 diolah.
Komponen pajak merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan pada masa desentralisasi fiskal. Pada
masa sebelum desentralisasi fiskal, pajak daerah Kota Bogor berkisar antara 1.926,36 juta rupiah hingga 7.638,15 juta rupiah sedangkan pada masa
desentralisasi fiskal berkisar antara 12.668,42 juta rupiah hingga 37.504,97 juta rupiah. Pada tahun 2000, pajak daerah yang diperoleh Kota Bogor sebesar
7.638,15 juta rupiah dan meningkat hingga sebesar 12.668,42 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 65,86 persen pada tahun 2001.
Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi pajak daerah di Kota Bogor, maka dirumuskan model dugaan pajak daerah. Berbagai variabel yang
diduga mempengaruhi pajak daerah antara lain : PDRB per kapita, jumlah populasi, inflasi, jumlah hotel dan dummy desentralisasi. Hasil regresi model
dugaan pajak daerah terlihat pada Tabel 5.8 di bawah ini : Tabel 5.8. Model Dugaan Pajak Daerah Kota Bogor
Variabel Parameter Dugaan
T-hitung Peluang α
Intersep -15211,85
-3,818 0,004 PDRB per kapita
3819,073 4,616 0,001
Populasi 0,014829
4.628 0,001 Inflasi
-26,54479 -1,311 0,222
Jumlah Kamar Hotel 0,530458
0,290 0,778 Dummy desentralisasi
1024,239 0,969 0,358
R
2
=0,965 R
2
-adj=0,946 F-hitung=50,1730,000 DW=1,571
Hasil pengolahan model dugaan pajak daerah menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah di Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh PDRB
per kapita dan jumlah populasi pada taraf nyata 5 persen Tabel 5.8. Variabel PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap pajak daerah. Artinya, jika PDRB
per kapita meningkat satu juta rupiah, maka pajak daerah akan meningkat sebesar 3819,073 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara PDRB
per kapita dan pajak daerah yang secara nyata menunjukkan pola hubungan yang cenderung positif.
PDRBC
TA X
4.8 4.6
4.4 4.2
4.0 3.8
3.6 3.4
3.2 17500
15000 12500
10000 7500
5000
Scatterplot of TAX vs PDRBC
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 diolah. Gambar 5.15. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita PDRBC dan Pajak
Daerah TAX
Tidak hanya variabel PDRB per kapita saja yang berpengaruh positif, variabel populasi pun berpengaruh positif dan nyata terhadap pajak daerah dengan
nilai parameter dugaan sebesar 0,014829. Artinya, jika terjadi peningkatan populasi sebanyak satu orang, maka pajak daerah akan meningkat sebesar
0,014829 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara populasi dan pajak daerah yang menunjukkan hubungan yang cenderung positif Gambar
5.16.
POP
TA X
900000 800000
700000 600000
500000 400000
300000 200000
17500 15000
12500 10000
7500 5000
Scatterplot of TAX vs POP
Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 diolah. Gambar 5.16. Pola Hubungan antara Populasi POP dan Pajak Daerah TAX
Variabel inflasi, jumlah kamar hotel dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pajak daerah. Inflasi daerah tidak berpengaruh
nyata terhadap pajak daerah. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah. Oleh karena itu
walaupun tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah. Tidak
hanya itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh secara nyata terhadap pajak daerah. Peningkatan pajak daerah pada masa desentralisasi fiskal
lebih dipengaruhi oleh peningkatan PDRB per kapita dan populasi.
5.1.3.2. Retribusi Daerah