Pengeluaran pemerintah adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan operasionalnya dan dalam hal mana pemerintah
menerima balas jasa langsung darinya seperti membayar gaji PNS dan ABRI. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang
diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai, dan pertimbangan politik dan keamanan Putong, 2003.
2.3. Potensi Keuangan Daerah
Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Pengertian keuangan daerah dalam
PP Nomor 105 Tahun 2000 adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
pasal 78 ayat 1 menegaskan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hal ini berarti bahwa dana APBD diperuntukkan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan daerah, termasuk tugas dan wewenang penyelenggaraan
pemerintahan yang sudah dilimpahkan atau didesentralisasikan pusat ke daerah. Menurut Saragih 2003, keuangan daerah merupakan bagian penting
dalam pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi, khususnya dalam kaitannya
dengan kebijakan
desentralisasi fiskal.
Ada tiga
bentuk pertanggungjawaban pengelolaan manajemen keuangan daerah jika dilihat dari
aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemda dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. 2. Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan.
3. Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekonsentrasi.
2.4. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan
sendiri yang digali dari potensi daerah. Selama ini, sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, baik propinsi,
kabupaten dan kota berdasarkan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah PAD,
dana transfer, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.4.1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Bratakusumah, 2004. Pedapatan asli daerah merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, Potensi PAD adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan
PAD. Penerimaan PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari BUMN, dan lain-lain PAD yang sah.
2.4.1.1. Pajak Daerah
Pengertian pajak daerah yang dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Berdasarkan pemaparan tersebut ditegaskan bahwa pajak daerah merupakan iuran
wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang wajib pajak tanpa kecuali dan diperuntukan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Jenis pajak daerah dibagi atas dua wilayah, yaitu pajak daerah propinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah propinsi terdiri atas pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri
atas 6 enam jenis, yaitu : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian
golongan C dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
2.4.1.2. Retribusi Daerah
Pengertian retribusi daerah dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU tersebut, retribusi
daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut Saragih 2003, perbedaan antara pajak daerah dan retribusi
daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan
tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di
daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU
Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.
2.4.1.3. Bagian Laba Bersih Perusahaan Daerah
Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah
diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik
daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD. Pembinaan dan pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah
daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah
selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari
kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah
yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termasuk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah
dan dilakukan secara professional sebagaimana perusahaan swasta lainnya Saragih, 2003.
2.4.2. Dana Transfer
Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri
dari dana otsus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
2.4.2.1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana bagi hasil merupakan bagian dari dana
perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah
pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri
atas : Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan Sumber Daya Alam. Selain itu, dana bagi hasil yang
berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor PKB atau bea balik nama kendaraan bermotor BBNKB, pajak bahan bakar kendaraan bermotor
PBBKB serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan.
2.4.2.2. Dana Alokasi Umum
Alokasi dana pusat ke daerah dalam bentuk dana alokasi umum ini merupakan transfer yang bersifat block grants. Di samping itu, kebijakan DAU
merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah karena tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama. Oleh karena itu, dana
alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah
Saragih, 2003. Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi Bratakusumah dan Solihin, 2004.
2.4.2.3. Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan
bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Pengalokasian
dana alokasi khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran dana alokasi khusus tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. Dana
alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan danatau peningkatan danatau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis
yang panjang. Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi
perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku Bratakusumah dan Solihin, 2004.
2.4.3. Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dicatat dan dikelola dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk
membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan
untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan mufakat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan
tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah Bratakusumah dan Solihin, 2004.
Besarnya pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Derah tahun-
tahun berikutnya yang cukup besar sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah. Jenis pinjaman daerah ini
dapat bersumber dari pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan bukan bank, masyarakat dan sumber lainnya sedangkan pinjaman daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral.
2.5. Hasil Penelitian Terdahulu
Hermani 2007 meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal dari aspek kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan. Di samping itu, penelitian tersebut
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan, serta dampaknya terhadap kinerja fiskal,
kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan model simultan dengan metode analisis 2-SLS
Two Stages Least Square. Secara umum penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal meningkatnya kinerja fiskal dan kinerja perekonomian
daerah serta menurunnya tingkat kemiskinan daerah. Hasugian 2006 menganalisis mengenai kinerja keuangan daerah dan
kemiskinan di Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah
desentralisasi fiskal. Metode analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi dengan menggunakan metode panel data. Kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian ini adalah kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan daerah menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah yang semakin rendah
sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Keuangan daerah dari sisi pengeluaran daerah menunjukkan bahwa pengeluaran rutin selama desentralisasi fiskal
meningkat. Laju dan profil kemiskinan di Kabupaten atau Kota di Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal menunjukkan kenaikan dan
penurunan jumlah penduduk miskin. Hakki 2008 menganalisis mengenai penerimaan pajak dan retribusi
daerah sebelum dan pada masa otonomi daerah di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui perkembangan
penerimaan dan komponen PAD Kota Bogor selama tahun 2001-2005 dan metode analisis komponen utama untuk mengetahui faktor-faktor utama yang
mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah penerimaan Kota Bogor lebih didominasi oleh
bagian dana perimbangan sepanjang tahun 2001-2005. Selain itu, hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah
menunjukkan bahwa pajak daerah dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Retribusi daerah dipengaruhi oleh variabel tingkat inflasi, uji kendaraan bermotor, dan
jumlah pengunjung objek wisata. Yuliati 2002 menganalisis mengenai potensi keuangan daerah, derajat
desentralisasi fiskal dan dampaknya terhadap kinerja ekonomi daerah di
Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi hubungan kinerja ekonomi dan
potensi keuangan pemerintah daerah, dampak derajat desentralisasi fiskal, dan perilaku pemerintah kabupatenkota dalam rangka implementasi otonomi daerah
sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis 2-SLS Two Stages Least Square.
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tersebut antara lain kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi dibanding
investasi; potensi keuangan pemerintah daerah berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah; kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan
mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah; dampak derajat desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pembangunan infrastruktur
publik tidak dapat netral dari pengaruh faktor lain; dan dalam proses penyusunan APBD terdapat indikasi adanya bias kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat
yang dapat mengarah kepada terjadinya inefisiensi dan inefektifitas alokasi anggaran akibat kurang optimalnya penerapan disiplin dan prioritas anggaran.
2.6. Kerangka Pemikiran