Metode Pengolahan dan Analisis Data

menentukan bobot setiap faktor digunakan skala 1,2, dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian bobot adalah sebagai berikut : 1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = Jika horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal Penilaian bobot dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian bobot faktor strategi internal eksternal perusahaan Faktor Strategi EksternalInternal A B C D ... n Total Bobot A A A tot B B B tot C C C tot D D D tot ⁞ ⁞ ⁞ N n n tot Total tot 1.00 Sumber : Kinnear dan Taylor dalam Mulyawati 2012 Total bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0. Pembobotan ini kemudian ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE dan EFE. Data internal yang diperoleh diklasifikasikan secara kualitatif untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan IFE, serta mengetahui peluang dan ancaman yang berasal dari lingkungan eksternal perusahaan, maka dilakukan analisis lingkungan eksternal EFE dan dilakukan pembobotan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Matriks faktor strategi internal Faktor-faktor Strategi Internal Bobot a Rating b Skor a x b Kekuatan 1 2 Kelemahan 1 2 Total 1,00 Sumber : David 2009 Tabel 5. Matriks faktor strategi eksternal Faktor-faktor Strategi Eksternal Bobot a Rating b Skor a x b Peluang 1 2 Ancaman 1 2 Total 1,00 Sumber : David 2009 Tahap-tahap dalam mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai berikut : a. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman pada kolom 1. b. Memindahkan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 0,0 tidak penting sampai dengan 1,0 sangat penting. Semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00. c. Menghitung rating dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor. Berikan peringkat 1 sampai 4 berdasarkan pengaruh tersebut terhadap kondisi perusahaan. Pemberian rating faktor internal IFE untuk variabel yang masuk kategori kekuatan diberi nilai mulai dari 1 sampai 4 sangat baik, sedangkan variabel yang masuk kategori kelemahan, kebalikannya. Pemberian rating faktor eksternal EFE untuk variabel yang masuk kategori peluang mulai dari 1 peluang kecil sampai dengan 4 peluang besar, sedang variabel yang masuk kategori ancaman, kebalikannya. d. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 outstanding sampai dengan 1,0 poor. e. Menjumlah skor pembobotan pada kolom 4, untuk memperoleh total skor pembobotan. Nilai total pembobotan menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternalnya. Total skor pembobotan berkisar antara 1 sampai dengan 4, dengan rata-rata 2,5. Pada matriks IFE, jika total skor nilainya dibawah 2,5 menandakan bahwa secara internal perusahaan adalah lemah, sedangkan nilai yang berada di atas 2,5 menunjukkan posisi internal kuat. Pada matriks EFE berapa pun jumlah peluang dan ancaman utama yang dimasukkan dalam matriks EFE, total nilai yang dibobot tertinggi untuk suatu organisasi adalah 4,0. 3. Dengan acuan matriks IFE dan EFE, strategi diformulasikan dengan matriks SWOT. 4. Menentukan prioritas strategi pada masing-masing elemen yang dapat diterapkan oleh perusahaan dengan menggunakan Metode AHP. Pengolahan data dengan AHP dalam penelitian ini dibantu oleh program komputer Expert Choice Version 11. 5. Langkah-langkah dalam pengolahan pengujian AHP menurut Saaty 1991 adalah sebagai berikut a. Mendefinisikan masalah dan menetapkan tujuan. Bila AHP digunakan untuk memilih alternatif atau penyusunan prioritas alternatif, maka pada tahap ini dilakukan pengembangan alternatif. b. Menyusun masalah dalam struktur hirarki. Setiap permasalahan yang kompleks dapat ditinjau dari sisi yang detail dan terstruktur. Gambar 2. Struktur Hirarki AHP Fewidarto dalam Febrianto, 2009 c. Menyusun prioritas untuk tiap elemen masalah pada tingkat hirarki. Proses ini menghasilkan bobot elemen terhadap pencapaian tujuan, sehingga elemen dengan bobot tertinggi memiliki prioritas penanganan. Langkah pertama pada tahap ini adalah menyusun perbandingan berpasangan yang ditransformasikan dalam bentuk matriks, sehingga matriks ini disebut matriks perbandingan berpasangan seperti ditunjukan pada Tabel 6. Tabel 6. Matriks perbandingan berpasangan Sumber : Saaty 1991 Nilai a11, a22,… amn adalah nilai perbandingan elemen baris Al terhadap kolom Al yang menyatakan hubungan: Seberapa jauh tingkat kepentingan baris A terhadap kriteria C dibandingkan dengan kolom A l Seberapa jauh dominasi baris Ai terhadap kolom A1 atau Seberapa banyak sifat criteria C terdapat pada baris A 1 dibandingkan dengan kolom A 1 Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Skala penilaian perbandingan berpasangan Intensitas Kepentingan Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya terhadap tujuan 3 elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen dibanding elemen yang lainnya 5 elemen yang satu sangat lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya terlihat dalam praktik 7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya terlihat dalam praktik 9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya Bukti yang menyokong elemen yang satu dibanding yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua pertimbangan yang berdekatan Kompromi diperlukan di antara dua pertimbangan. Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka dibandingka suatu aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan aktifitas i. Sumber : Saaty 1991 d. Melakukan pengujian konsistensi terhadap perbandingan antar elemen yang didapatkan pada tiap tingkat hirarki. Konsistensi perbandingan ditinjau dari per matriks perbandingan dan keseluruhan hirarki untuk memastikan bahwa urutan prioritas yang dihasilkan didapatkan dari suatu rangkaian perbandingan yang masih berada dalam batas-batas preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot elemen, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian konsistensi matriks. Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index RI yang nilainya untuk setiap ordo matriks dapat dilihat berikut ini: Tabel 8. Nilai RI matriks berordo 1-10 Urutan matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 Sumber: Saaty, 1991 Dengan tetap menggunakan matriks diatas, pendekatan yang digunakan dalam pengujian konsistensi matriks perbandingan adalah:  Melakukan perkalian antara bobot elemen dengan nilai awal matriks membagi jumlah perkalian bobot elemen nilai awal matriks dengan bobot untuk mendapatkan nilai eigen.  Mencari nilai matriks Nilai matriks merupakan nilai rata-rata dari nilai eigen yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya. ………………………1  Mencari nilai Consistency Index CI ……………………………...2  Mencari nilai Consistency Ratio CR …………………………………....3 Nilai Rasio Inkonsistensi CR yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini karena CR merupakan tolak ukur bagi konsistens atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat Saaty, 1991. e. Melakukan pengujian konsistensi hirarki. Pengujian ini bertujuan untuk menguji kekonsistensian perbandingan antara kriteria yang dilakukan untuk seluruh hirarki. Total CI dari suatu hirarki diperoleh dengan jalan melakukan pembobotan tiap CI dengan prioritas elemen yang berkaitan dengan faktor-faktor yang diperbandingkan, dan kemudian menjumlahkan seluruh hasilnya. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1 Sejarah Perusahaan Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Penjajahan Belanda VOC mendirikan BANK VAN LEENING yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Kemudian VOC bangkrut karena praktik korupsi, dan pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Belanda. Pada masa ini pemerintah Belanda semakin mengakui dan mempertegas keberadaan BANK VAN LEENING. Namun ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816, BANK VAN LEENING milik pemerintah dibubarkan, sebagai gantinya pemerintah kolonial Inggris memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendirikan usaha pegadaian asalkan telah mendapatkan lisensi dari Pemerintah Daerah setempat Liecientie Stelsel. Namun pada prakteknya metode tersebut berdampak buruk, pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah Inggris. Oleh karena itu, metode Liecientie Stelsel diganti menjadi Patch Stelsel yaitu pendirian Pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi kepada pemerintah. Pada saat Belanda berkuasa kembali, pola atau metode pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama dimana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan ‘cultuur stelsel’ dimana dalam kajian tentang pegadaian, saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad Stbl No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi Jawa Barat, selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian. Pada masa pendudukan Jepang, gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 dijadikan tempat tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut ‘Sitji Eigeikyuku’, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari. Pada tahun 1960 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 191960 yaitu menetapkan bahwa semua perusahaan yang modalnya berasal dari pemerintah dijadikan sebagai Perusahaan Negara PN. Tujuannya untuk menyederhanakan perusahaan-perusahaan negara yang bentuknya beraneka ragam hanya menjadi satu bentuk saja. Situasi kemanan dan politik yang belum stabil di Indonesia mengakibatkan terjadinya inflasi yang berimbas kepada permodalan Pegadaian. Kemudian pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan Inpres No. 121967 yang memerintahkan semua Perusahaan Negara untuk mempersiapkan penyederhanaan suntikan modal kerja perusahaan yaitu diarahkan ke tiga bentuk yaitu : Perusahaan Jawatan, Peusahaan Umum, dan Perusahaan Persero. Dengan ketentuan tersebut berdasarkan PP No. 71969 berubah menjadi Perusahaan Jawatan PERJAN. Dengan statusnya sebagai Perusahaan Jawatan Pegadaian menimbulkan persepsi yang negatif dari masyarakat dan dinilai lemah badan hukum, selanjutnya berdasarkan PP No. 101990 yang diperbaharui PP No.