Bekantan Total economic valuation of mangrove forest at Mahakam Delta Region Kabupaten Kutai Kartanegara of East Kalimantan

11 Selain karena hal-hal tersebut diatas, kerusakan kawasan mangrove juga disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang sengaja dilakukan oleh manusia. Faktor- faktor fisik tersebut antara lain aliran sungai yang dibendung, perubahan drainase, konversi atau perubahan status peruntukan, dan pengambilan batu atau karang pantai, ataupun karena terjadi abrasi pantai serta kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan kawasan mangrove secara garis besar antara lain, sebagai berikut Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2008: 1. Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia, meliputi suhu air, nutrisi, salinitas, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun, dan erosi tanah. 2. Perubahan sifat-sifat biologi, meliputi terjadinya perubahan spesies dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan hewan. 3. Perubahan keseimbangan ekologi, baik pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan. Kondisi hutan mangrove di Indonesia sangat memerlukan pengelolaan. Hal ini mengingat penyusutan selama 11 tahun. Pada tahun 1981 luas hutan mangrove yaitu 2 496 158 ha atau sekitar 46.96 persen, sehingga pada tahun 1992 tercatat tinggal seluas 5 209 543 ha Nugroho dan Dahuri 2004. Pada mulanya Delta Mahakam adalah kawasan yang masih terjaga keasliannya dan merupakan habitat yang ditumbuhi vegetasi mangrove. Seiring perjalananwaktu, penduduk lokal mulai membuka hutan mangrove untuk dijadikan tambak, hal ini terjadi pada tahun 80-an. Tambak yang diusahakan masih sangat tradisional dengan luas bervariasi. Ketika pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya mulai meningkat dan hasil tambak yang ada memberikan harapan sebagai sumber penghasilan yang dapat diandalkan maka mulai makin banyak masyarakat yang membuka tambak di kawasan ini. Sebagai akibatnya, luasan hutan mangrove di kawasan ini makin menurun. Pembukaan hutan mangrove mulai meningkat pada tahun 1996 dan terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 1997 ketika terjadi resesi ekonomi di Indonesia yang berdampak pada harga udang yang tinggi akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pembukaan lahan mencapai puncaknya pada tahun 2001 dengan begitu luasnya hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak-tambak udang Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara 2010.

2.6 Nilai Ekonomi Hutan Mangrove

Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan individu atau kelompok terhadap suatu objek sesuai dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, harapan dan norma. Oleh karena itu, nilai hutan mangrove sangat beragam, tergantung dari persepsi masing-masing individu atau masyarakat. Menurut Muif, 1991 menyatakan nilai adalah suatu patokan harga yang dapat mengukur berapa besar nilai ekonomi sumberdaya alam tersebut berdasarkan fungsi, kegunaan, potensi, dan daya dukungnya terhadap pembangunan sesuai waktu dan daerah dimana sumberdaya tersebut berada, serta besarnya permintaan dan penawaran dalam mekanisme ekonomi pasar berjalan. 12 Pengukuran valuasi ekonomi dari hutan mangrove dapat menggunakan model pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya, dimana secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan objek Pearce dan Moran 1994; Turner et al 1994. Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai objek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan assigned value. Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam pentuan kebijakan pengelolaanya, sehingga alokasi dan alternative pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Model nilai total ekonomi total economic value dapat dilihat pada Gambar 2.1. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value TEV, secara garis besar dikelompokkan menjadi nilai guna use value dan nilai non- gunaintrinsic non-use value, Pearce dan Moran 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994. Nilai guna use value dibagi menjadi nilai guna langsung indirect use value, nilai guna tak langsung indirect use value dan nilai pilihan option value. Nilai non-guna dibagi menjadi nilai keberadaan existence value, nilai warisan bequest value dan nilai pilihan option value. Fungsi hutan mangrove secara ekonomi dapat dilihat dari berbagai manfaat yang didapat dari hutan mangrove itu sendiri. Manfaat tersebut diantaranya adalah manfaat langsung direct Use yang terdiri dari manfaat penerimaan kayu bangunan, buah, dan atap nipah. Manfaat tidak langsung indirect use terdiri dari penahan abrasi, feading, spawning, dan nursery ground. Manfaat pilihan option value terdiri dari nilai sewa rumah dan sewa tambak. Manfaat keberadaan existence value terdiri dari keberadaan nilai hutan mangrove masa sekarang dan nilai rekreasi. Manfaat pewarisan bequest value terdiri dari nilai bekantan Sumber: Pearce dan Moran 1994 Gambar 2.1 Model Nilai Ekonomi Total Total Economic Value Nilai Ekonomi Total Total Economic Value Nilai Guna Use Value Nilai Non-Guna Non-Use Value Nilai Pilihan Option Value Nilai Guna Langsung Direct Use value Nilai Guna Tak Langsung Indirect Use Value Nilai Keberadaan Existence Value Nilai Warisan Bequest Value