Landscape planning for community-based ecotourism at coastal areas of paloh distric, West Kalimantan

(1)

KALIMANTAN BARAT

SABAHAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Ecotourism) di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012 Sabahan


(3)

Areas of Paloh Distric, West Kalimantan. Under the guidance of Dr. Ir. SETIA HADI, MS and Dr. Ir. SITI NURISJAH, MSLA.

District Paloh has a variety of coastal resources that potentially to be developed as ecotourism area. This study aims to plan this coastal landscape for community-based coastal ecotourism area. The research method used was a qualitative descriptive method to assess the potential of the ecotourism object and attraction, coastal suitability and the carrying capacity of the area. Assessing the potential objects and attractions utilized the modified method of Mc Kinnon (1986) and Gunn (1994), while assessing the suitability of ecotourism area used Bakosurtanal criteria (1996) and its carrying capacity used Boullion (1985) and WTO standards (1992). The study also assessing community participation used Participatory Rural Appraisal method (2006). The results of ecotourism objects and tourist attractions the assessment indicate that the coastal districts Paloh has six ecotourism objects and attractions (60%) with considerable potential category and four ecotourism objects and attractions (40%) with less potential category. Suitability analysis for coastal tourism categories have three class is highly suitable, moderately suitable, and marginally suitable, whereas for marine tourism categories there are three different classes of the class is moderately suitable, marginally suitable, and non suitable area. The assessment of the area shows that the attraction of tourists to the capacity of coastal tourism in total 305 visitors per trip or 1770 visitors per day and marine tourism as many as 55 visitors per visit for diving activity (330 total per day) and 218 visitors per visit (1308 total per day) for snorkeling activities in tourism object area. The ecotourism activities planned are tours of ecosystem observation, camping, boating, swimming, diving, snorkeling, fishing, and hunting photos, and facilities are tourist information center, restaurant, hotel, homestay, tower view, rest rooms and toilets, tourist interpretation boards, and souvenir center. To protect the coastal as touristic areas, so the government shoud have conservation rule and policy of the area. Community participation should be encouraged to give economic opportunity to local people.


(4)

(Community-Based Ecotourism) di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SETIA HADI dan SITI NURISJAH

Kecamatan Paloh merupakan satu-satunya wilayah pesisir perbatasan yang ada di Kalimantan Barat. Dengan panjang garis pantai 63 km (32% dari total panjang pantai kabupaten Sambas) dan berbagai sumber daya pesisir yang dimiliki, maka kecamatan Paloh mempunyai peluang besar dalam pengembangan ekowisata pesisir. Walaupun memiliki potensi yang tinggi tetapi sektor ekowisata masih belum berkembang sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi, menzonasi, dan menganalisis potensi kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 2) menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 3) mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 4) mengintegrasikan potensi sumber daya untuk pengembangan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.

Data sumber daya ekowisata yang dikumpulkan meliputi potensi objek/atraksi, fisik kawasan, dan sosial budaya. Data ini selanjutnya dianalisis untuk menentukan objek/atraksi, jalur sirkulasi, aktivitas, dan fasilitas di kawasan yang akan dikembangkan.

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap objek/atraksi ekowisata, kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata, serta pemetaan partisipatif masyarakat. Informasi tentang sumber daya wisata dianalisis untuk menilai potensi wisata yang dimiliki yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan konsep dan arah pengembangan lanskap kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

Berdasarkan hasil penilaian yang telah dilakukan, bahwa kecamatan Paloh memiliki (60 %) objek/atraksi ekowisata dengan kategori cukup potensial (S2) dan (40 %) objek/atraksi ekowisata dengan kategori kurang potensial (S3). Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata diperoleh bahwa untuk kategori wisata pantai memiliki tiga kelas kesesuaian yaitu kategori kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai bersyarat (S3), sedangkan untuk kategori wisata bahari juga terdapat tiga kelas yang berbeda yaitu kelas kesesuaian dengan kategori sesuai (S2), sesuai bersyarat (S3), dan tidak sesuai (N). Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai dan wisata bahari menurut standar WTO ditentukan berdasarkan kelas sedang, nyaman dan mewah. Dengan demikian, operator ekowisata di kawasan ekowisata kecamatan Paloh dapat memilih standar daya tampung wisatawan yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tampung wisatawan untuk wisata bahari

Penelitian dilakukan selama 12 (dua belas) bulan, terhitung dari bulan Desember 2010 sampai dengan Desember 2011. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Sambas dengan fokus lokasi penelitian pada kawasan pesisir kecamatan Paloh propinsi Kalimantan Barat. Lokasi penelitian seluas 53.235 hektar yang terbagi dalam 4 (empat) zona ekowisata.


(5)

Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam kegiatan pariwisata karena mereka merupakan subjek utama yang mengendalikan keberadaan dan kemanfaatan sumber daya wisata yang ada di suatu kawasan wisata. Ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan masyarakat di lokasi penelitian saat ini, diantaranya kegiatan memandu wisatawan, penyewaan homestay, penari budaya melayu, usaha rumah makan, jasa ojek dan penyeberangan motor air. Diharapkan peran serta masyarakat ini akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya ekowisata di wilayah ini. Kegiatan lain yang berpotensi untuk dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah kegiatan seperti jasa foto dan video, jasa kesehatan, jasa keamanan laut, kerajinan dan cinderamata, penyewaan peralatan atau perlengkapan kegiatan wisata, pengelolaan usaha penginapan, dan lain sebagainya.

masyarakat di lokasi penelitian mempunyai komitmen untuk melakukan usaha pengembangan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh. Masyarakat yang tergabung dalam kelompok pemetaan partisipatif melakukan interpretasi dan digitasi peta yang di dalamnya memuat objek/atraksi wisata, aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar desa dan objek/atraksi wisata.

Konsep perencanaan pengembangan ekowisata di kecamatan Paloh adalah ekowisata pesisir berbasis masyarakat dimana pengembangan wisata didasarkan pada potensi lingkungan dan masyarakat untuk melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan serta dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat lokal. Konsep yang dikembangkan tersebut mengacu pada hasil analisis terhadap objek/atraksi wisata, kesesuaian dan daya dukung kawasan serta akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat di kecamatan Paloh. Konsep ini harus juga didukung dengan pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai penting lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia.

Konsep pengembangan aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi wisata didasari oleh keterhubungan ketiganya dalam pengembangan kawasan ekowisata sehingga ketiganya dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh. Penggalian potensi ekowisata yang dimiliki untuk dapat terus menampilkan objek/atraksi ekowisata yang menarik bagi wisatawan sangatlah perlu untuk dilakukan sehingga perencanaan dan pengembangan aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi wisata dapat memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat tanpa harus merusak lingkungan.

Kecamatan Paloh memiliki potensi ekowisata yang cukup tinggi sehingga perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk dapat menjadikan wilayah ini sebagai kawasan ekowisata pesisir dengan arahan pengembangan ekowisata yang lebih memperhatikan perlindungan alam dan pelestarian budaya, serta adanya pembinaan bagi masyarakat ke arah masyarakat wisata untuk dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan ekowisata yang sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(6)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut

tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KALIMANTAN BARAT

SABAHAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Kalimantan Barat Nama Mahasiswa : Sabahan

Nomor Pokok : A451090061

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Ecotourism) Di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan suatu syarat yang digunakan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada yang terhormat :

1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan dari awal penelitian hingga selesainya tesis ini.

2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku Anggota Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap atas arahan, saran dan masukan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung.

3. Dr. Ir. Afra Makalew, MSc selaku dosen penguji luar komisi atas kritik dan saran yang sangat membangun bagi penelitian ini.

4. Seluruh staf dosen Arsitektur Lanskap atas ilmu, bimbingan dan arahannya selama penulis menimba ilmu di IPB.

5. Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Sambas, beserta staf atas arahan, bantuan dan dukungan selama penelitian ini berlangsung.

6. Bappeda, Dinas Pariwisata (Disporabudpar), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kimpraswil, Badan Pusat Statistik kabupaten Sambas, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di kecamatan Paloh atas bantuan data dan dukungannya.

7. Camat Paloh, Kepala Desa Kalimantan, Matang Danau, Tanah Hitam, Mentibar, Malek, Nibung, Sebubus, dan Kepala Desa Temajuk, beserta staf dan


(11)

8. Ketua Yayasan Supersemar, terima kasih banyak atas bantuan biaya penelitiannya.

9. Teman-teman anggota Asrama Mahasiswa Rahadi Oesman Kalbar di Bogor, terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.

10. Teman-teman ARL Angkatan 11/2009 (Bu Sulis, Bu Devy, Kak Lina, Bang Jonni, Nahda Kanara, dan Putri Jasari Dona), teman-teman ARL 2008 dan 2010, serta rekan-rekan lainnya yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta ilmu selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis haturkan kepada kedua orang tua, saudara, keluarga, sahabat-sahabat, rekan-rekan, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas saran dan dukungannya baik moril maupun materiil dari awal studi hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi masyarakat di kecamatan Paloh, di masa kini maupun masa yang akan datang. Bogor, Januari 2012 Sabahan


(12)

ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Mawazi H. Mamud (Alm.) dan Maniah H. Said. Penulis dibesarkan di desa Sekuduk kecamatan Sejangkung, Sambas dan menyelesaikan pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah) di desa tersebut.

Tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Terentang kabupaten Kubu Raya. Kemudian tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Siantan kabupaten Pontianak dan pada pertengahan tahun tersebut penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak pada Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2009 penulis memperoleh kesempatan meneruskan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Arsitektur Lanskap melalui beasiswa Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).

Pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007, penulis bekerja di perusahaan konsultan di kota Pontianak dan kemudian pada tahun 2008 penulis menjadi staf pengajar tetap di perguruan tinggi Politeknik Sambas (sampai dengan sekarang). Penulis juga aktif dalam penulisan opini yang telah dimuat di berbagai surat kabar daerah, diantaranya tulisan yang berjudul “Kota Pontianak dalam Persfektif Urban Design” (Borneo Tribune, 2010), “Sebuah Catatan Lanskap Jalan Kota Sambas” (Pontianak Post, 2010), “Global Warming dan Kerjasama Perdagangan Karbon” (Pontianak Post, 2010), “Pontensi Pariwisata Pesisir Perbatasan” (Pontianak Post, 2011), “Pentingnya RTH di Kota Pontianak” (Pontianak Post, 2011), “Tingkatkan PAD Dari Sektor Pariwisata” (Pontianak Post, 2011), “Estetika Lanskap Kota Sambas” (Pontianak Post, 2011), “Jadikan Temajuk Sebagai Desa Ekowisata” (Pontianak Post 2011). Penulis juga telah menulis dua buah buku dengan judul “Catatan Anak Rantau” (2011) dan “Pesona Ekowisata Temajuk” (2011).


(13)

Halaman DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ... .. DAFTAR LAMPIRAN ... .. I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... . 1.2. Perumusan Masalah ... . 1.3. Tujuan Penelitian ... . 1.4. Manfaat Penelitian ... . 1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... . II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Ekowisata ... . 2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir ... . 2.3. Sumber Daya Wisata ... . 2.4. Ekowisata Berbasis Masyarakat ... . 2.5. Perencanaan Pariwisata ... . 2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG) ... . 2.7. Metode PRA ... III. KEADAAN UMUM KECAMATAN PALOH

3.1. Sejarah Wilayah ... . 3.2. Letak Geografis dan Administrasi... . 3.3. Kondisi Fisik Kawasan... 3.3. 1. Topografi ... . 3.3. 2. Hidrologi ... . 3.3. 3. Iklim Mikro ... . 3.3. 4. Struktur Geologi dan Jenis Tanah . ... . 3.3. 5. Lanskap ... . 3.4. Tata Guna Lahan ... . 3.5. Aspek Sosial ... . 3.6. Pariwisata ... . 3.7. Perkembangan Kegiatan ... . 3.8. Sarana dan Prasarana ... . IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 4.2. Alat dan Data ………

4.2.1. Alat... 4.2.2. Data ……… 4.3. Metode Penelitian ... 4.3.1. Pendekatan Penelitian ...

4.3.2. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 1. Persiapan ...…...…...………..

xiii xv xvi 1 4 5 7 7 11 14 17 20 22 27 30 33 34 35 35 35 36 37 37 38 39 41 43 43 45 46 46 47 48 48 50 51


(14)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Potensi Ekowisata ………... . 5.1.1. Potensi Objek dan Daya Tarik Ekowisata ………… ……….

5.1.2. Potensi Wilayah ………

5.1.3. Potensi Sumber Daya Manusia ………

5.2. Analisis Kawasan Ekowisata …….………

5.2.1. Analisis Objek/Atraksi Ekowisata ……… 5.2.2. Kesesuaian Kawasan Ekowisata ……….. 5.2.3. Daya Dukung Kawasan Ekowisata ………. 5.2.4. Pemetaan Partisipatif ……… 5.3. Keterlibatan Masyarakat dan Stakeholder Lain dalam Ekowisata

5.3.1. Masyarakat ……….

5.3.2. Pemerintah Daerah ………...

5.3.3. Lembaga Swadaya Masyarakat ……….

5.3.4. Dunia Usaha ………..

5.4. Konsep Pengembangan Ekowisata ……….

5.4.1. Arah Pengembangan ……….

5.4.2. Pengembangan Ekowisata Pantai dan Bahari …………...

VI. SIMPULAN DAN SARAN ……….…..

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

67 67 80 87 88 88 90 95 100 103 103 106 108 109 111 112 114 125 127 133


(15)

1 Luas Wilayah Desa di Kecamatan Paloh ... 35

2 Rata-Rata Hari Hujan (HH) dan Curah Hujan (CH) di Kecamatan Paloh (Tahun 2000-2010)... 36

3 Penggunaan Lahan di Kecamatan Paloh ………...…... 39

4 Sarana Pendidikan dan Kesehatan di Kecamatan Paloh ……….. 40

5 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Paloh ……….. 40

6 Objek Wisata yang Ada di Kecamatan Paloh ……… 41

7 Sarana Rumah Makan/Cafe di Sekitar Lokasi Penelitian ………. 42

8 Sarana Penginapan/Perhotelan di Sekitar Lokasi Penelitian ………. 42

9 Perangkat Keras, Perangkat Lunak, dan Kegunaannya ... 46

10 Data Penelitian ………... 47

11 Pengumpulan dan Analisis Data pada Masing-Masing Tujuan Penelitian ... 50

12 Deskripsi Zona Ekowisata di Lokasi Penelitian ………. 55

13 Penilaian Terhadap Objek dan Atraksi Wisata ... 57

14 Matrik Kesesuaian Kawasan Ekowisata Pantai Di Kecamatan Paloh... 61

15 Matrik Kesesuaian Kawasan Ekowisata Bahari Di Kecamatan Paloh... 62

16 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanjung Datok ………... 69

17 Gambaran Objek Wisata Pantai Mauludin ………... 70

18 Gambaran Objek Wisata Pantai Camar Bulan ……….. ….. 72

19 Gambaran Objek Wisata Pantai Bayuan ……….. 73

20 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanjung Bendera ……….……... 74

21 Gambaran Objek Wisata Pantai Sungai Sungai Belacan ………. 75

22 Gambaran Objek Wisata Pantai Kemuning ……….……… 76

23 Gambaran Objek Wisata Pantai Selimpai ……… 78

24 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanah Hitam ………. 79

25 Penilaian Kelayakan Objek dan Atraksi Ekowisata di Kecamatan Paloh………. 89

26 Daya Tampung Wisatawan Untuk Wisata Pantai Berdasarkan Tingkat Kenyamanan ……… 96

27 Daya Tampung Wisatawan Untuk Wisata Bahari Berdasarkan Tingkat Kenyamanan ……….………... 97


(16)

29 Daya Tampung Wisatawan Untuk Wisata Bahari Berdasarkan Waktu Kunjungan ………..………... 99


(17)

1 Kerangka Pikir Penelitian ... 9 2 Peta Lokasi Penelitian ………. 45 3 Peta Zona Ekowisata Pesisir di Kecamatan Paloh ……….. 54 4 Peta Sebaran Objek dan Atraksi Ekowisata di Lokasi Penelitian …… 90 5 Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Kecamatan Paloh ………... 92 6 Peta Kesesuaian Wisata Bahari di Kecamatan Paloh ………... 95 7 Peta Hasil Pemetaan Partisipatif ……….. 102 8 Peta Pembagian Zona Ekowisata Pesisir Kecamatan Paloh ………… 122 9 Peta Rencana Pengembangan Kawasan Ekowisata di Kecamatan


(18)

1 Alat yang Digunakan dan Cara Pengukuran dalam Identifikasi Parameter Wisata Pantai dan Bahari ... 133 2 Identifikasi Parameter Kesesuaian Wisata Pantai di Kecamatan Paloh .... 134 3 Identifikasi Parameter Kesesuaian Wisata Bahari di Kecamatan Paloh .... 135 4 Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Pantai ... 136 5 Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Bahari ………. 137 6 Dokumentasi ……….………. 138


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berbagai organisasi internasional antara lain PBB, World Tourism Organization (WTO), dan The International Ecotourism Society (TIES) telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut lingkungan, kegiatan sosial dan ekonomi. Prospek pariwisata ke depanpun sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka perkiraan World Tourism Organization (WTO) Tourism Vision 2020, kedatangan wisatawan internasional (inbound tourism) dalam 15 tahun ke depan akan mencapai 1,56 milyar, dibandingkan dengan 703 juta di 2002 dan 565 juta pada tahun 1995. Selama periode 1995-2020, tingkat pertumbuhan rata-rata sektor ini diperkirakan sebesar 4,1% yang diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020 (WTO, 2005).

Berdasarkan angka perkiraan tersebut, maka para pelaku pariwisata Indonesia seyogyanya melakukan perencanaan yang tepat dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang ada. Pemanfaatan peluang harus dilakukan dengan memperhatikan keberadaan kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan kegiatan yang serupa dari negara-negara di sekitar Indonesia. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata, maka dewasa ini kegiatan pariwisata lebih digiatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Melihat kenyataan tersebut, maka untuk menciptakan suatu kawasan industri pariwisata yang dapat dijual kepada wisatawan baik lokal, domestik maupun mancanegara sangat ditentukan oleh adanya perencanaan yang baik


(20)

terutama dalam hal penyediaan ruang yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dan daya tariknya.

Menciptakan daya tarik ruang wisata pada dasarnya merupakan upaya untuk memunculkan objek/atraksi yang dimiliki sebagai andalan kegiatan wisata. Objek/atraksi wisata potensial berkembang dengan karakter wisata yang berbeda-beda. Pengemasan objek/atraksi wisata dalam kerangka pengembangan kegiatan wisata harus dilakukan sedemikan rupa secara selaras, seimbang dan memperhatikan aspek keberlanjutan.

Sejak berkembangnya perhatian pada masalah lingkungan hidup, maka terjadi juga perubahan pada industri pariwisata dengan mulai dikembangkannya kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan. TIES (2008) mencatat, sejak tahun 1990 wisata ekologis terutama ekowisata telah berkembang 20% - 24% per tahun. Tingginya minat wisatawan terhadap sektor pariwisata berwawasan lingkungan menyebabkan banyak negara yang mulai membatasi kegiatan yang merusak lingkungan, dan menambah kualitas fasilitas pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan. Keseimbangan yang baik antara kebutuhan akan industri pariwisata, lingkungan hidup yang harus dilestarikan serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan masalah yang harus segera diselesaikan.

Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya setempat serta kualitas lingkungan alamiahnya. Dalam beberapa pengembangan kegiatan ekonomi, kualitas lingkungan dapat ditukarkan dengan keuntungan (dalam nilai uang) yang diharapkan, tetapi dalam kasus pariwisata, sangat penting untuk tetap memelihara kualitas lingkungan alam. Lingkungan hidup merupakan sumber daya yang besar untuk industri pariwisata, hampir di semua tempat industri pariwisata menjual potensi pemandangan alam atau cara hidup masyarakat setempat. Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya ini secara bijaksana akan mempertinggi nilai lingkungan hidup dan nilai ekonominya.

Perkembangan sektor ekowisata belakangan ini haruslah didukung oleh perencanaan kawasan yang optimal di suatu daerah. Dalam usaha pengembangan sektor ekowisata tersebut sebaiknya memperhatikan tiga aspek utama, yaitu aspek ekologis, ekonomi, dan sosial budaya. Hal ini harus


(21)

dilakukan dalam suatu perencanaan jangka panjang, karena tujuan dari perencanaan ini adalah untuk menyeimbangkan ketiga aspek tersebut.

Dalam perencanaan kawasan ekowisata, daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan untuk mengantisipasi timbulnya dampak negatif terhadap alam (dan budaya) karena pengembangan ekowisata setempat. Aspek dari daya dukung akan sangat menentukan dalam kesesuaian ruang untuk kegiatan wisata. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Selain aspek daya dukung, keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penentuan zona-zona wisata, hal ini

mengingat masyarakat adalah salah satu stakeholder utama dan akan

mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan ekowisata di suatu daerah.

Pengembangan ekowisata yang baik didasarkan atas sistem pandang yang mencakup di dalamnya prinsip kesinambungan dan pengikutsertaan masyarakat setempat dalam proses pengembangan ekowisata tersebut. Pemberdayaan masyarakat ini berarti upaya memperkuat kelompok-kelompok masyarakat untuk mengontrol dan mengelola sumber daya ekowisata yang sangat bernilai dengan cara-cara yang tidak hanya dapat melestarikan sumber daya yang ada akan tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan kelompok tersebut secara sosial, budaya dan ekonomi (Lindberg et al,1993). Oleh sebab itu peran serta masyarakat dalam pengembangan ekowisata sangatlah penting untuk diperhatikan.

Ekowisata berbasis masyarakat (Community-Based Ecotourism)

merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Masyarakat dalam hal ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk wisatawan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh


(22)

akibat peningkatan kegiatan ekowisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2009).

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat menggunakan pendekatan para pihak yang terkait, terutama pada tahap awal. Pendampingan masyarakat dibutuhkan agar masyarakat terlibat dalam proses pengembangan yang dimulai dari tahap perencanaan. Pemilihan kawasan juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka keberlanjutan ekowisata di suatu wilayah.

Indonesia adalah negara bahari dan kepulauanterbesar di dunia, yang terdiri dari 17.500 pulau serta memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (DKP, 2001). Dengan garis pantai yang panjang ini, maka Indonesia merupakan negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Wilayah pesisir Indonesia (termasuk perairan dan daratan) yang mencakup daerah yang sangat luas memiliki beragam sumber daya di dalamnya sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkannya sektor ekowisata. Di antara kabupaten di Indonesia yang merupakan kawasan pesisir dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata adalah kabupaten Sambas.

Dengan panjang garis pantai 199,75 km (0,25% dari total panjang pantai Indonesia) dan berbagai sumber daya yang dimiliki, maka kabupaten Sambas mempunyai peluang besar dalam pengembangan ekowisata pesisir. Dari panjang total garis pantai tersebut, 63,25 km diantaranya merupakan garis pantai yang berada di kecamatan Paloh yang juga merupakan satu-satunya wilayah pesisir di Kalimantan Barat yang wilayah administrasinya berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia.

Potensi yang dimiliki kecamatan Paloh didukung oleh sumber daya yang kaya untuk ekowisata terutama sumber daya alamnya. Di kalangan masyarakat kabupaten Sambas, kecamatan ini dikenal dengan istilah kawasan pantai putih serta terkenal juga dengan sebutan pulau penyu karena memang hampir sepanjang pantainya tersusun oleh struktur pasir berwarna putih yang sebagiannya juga menjadi habitat berbagai spesies penyu. Dengan berbagai potensi ekowisata yang dimiliki dan keberadaannya yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia menjadikan Paloh cukup dikenal oleh wisatawan. Namun, berbagai potensi yang dimiliki tersebut masih belum mampu


(23)

menjadikan sektor ekowisata berkembang sesuai dengan harapan masyarakat di wilayah ini. Permasalahan ini timbul salah satunya sebagai akibat kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan kawasan ekowisata di wilayah tersebut.

Pengembangan kawasan ekowisata memang tidak terlepas dari peran serta masyarakat, oleh sebab itu potensi yang dimiliki masyarakat hendaknya harus menjadi pertimbangan penting dalam proses pengembangan kawasan ekowisata terutama menyangkut proses perencanaan. Adanya dukungan masyarakat dengan terbentuknya beberapa kelompok sosial yang ada di kecamatan Paloh merupakan bukti kepedulian masyarakat terhadap potensi wilayahnya. Dengan upaya perencanaan kawasan ekowisata yang berbasiskan masyarakat, maka diharapkan kegiatan ekowisata bisa dijadikan pilihan yang tepat untuk pengembangan kegiatan kepariwisataan di kecamatan Paloh.

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat di kecamatan Paloh pada umumnya sangat menyadari akan potensi ekowisata di wilayah tersebut. Keberadaan pantai yang terbentang luas dan letak geografis kecamatan Paloh yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia sehingga menjadi perhatian khusus pemerintah pusat dan daerah, hal ini mengindikasikan akan besarnya potensi pengembangan sektor ekowisata di wilayah tersebut. Ekosistem pesisir pantai yang berbeda dari daerah lainnya dengan struktur pasir putih yang hampir terbentang sepanjang garis pantai, kondisi air lautnya yang bersih (jernih), keberadaan hutan mangrove, cemara laut dan habitat beragam jenis satwa penyu, ikan, dan kekayaan keanekaragaman hayati lainnya dapat menjadi daya tarik ekowisata tersendiri bagi kawasan ini.

Namun, di tengah berbagai potensi ekowisata yang dimiliki, sektor ekowisata masih belum berkembang sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.

1.

Oleh sebab itu penelitian ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan :

2.

Bagaimana sumber daya ekowisata pesisir yang ada di kecamatan Paloh?

Bagaimana kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?


(24)

3.

4.

Bagaimana peran serta masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?

Bagaimana mengintegrasikan potensi sumber daya untuk pengembangan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh kabupaten Sambas.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi, menzonasi, dan menganalisis potensi kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

2. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

4. Mengintegrasikan potensi sumber daya ekowisata untuk pengembangan

lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah untuk :

a. Pemerintah Kabupaten Sambas

1. Dapat dijadikan salah satu solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan wilayah pesisir perbatasan Kalimantan Barat.

2. Dapat menjadi pedoman pengembangan potensi pariwisata dalam usaha peningkatan perannya sebagai penyeimbang lingkungan.

3. Dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengelolaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.


(25)

b. Masyarakat

1. Sebagai usaha untuk menggali potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ekowisata di kecamatan Paloh.

2. Sebagai usaha untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

3. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasarkan oleh suatu pemikiran akan perlunya perencanaan lanskap kawasan ekowisata yang melibatkan peran serta masyarakat di suatu daerah yang merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam dan manusia dalam usaha pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat di suatu wilayah, maka juga akan terus mengalami pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana menuju kondisi wilayah yang lebih kompleks, sehingga aktivitas masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Hal tersebut tentulah akan menimbulkan perubahan pada kualitas lingkungan dan permasalahan sosial di wilayah tersebut, tidak terkecuali dengan wilayah di kecamatan Paloh.

Kecamatan yang merupakan wilayah pesisir di kabupaten Sambas ini adalah wilayah yang terus mengalami perubahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk dan pengaruh dari luar. Dengan kondisi yang demikian, maka diperluka n berbagai solusi alternatif dalam mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan pengembangan kawasan wisata yang berbasis ekologis atau yang sering disebut dengan istilah ekowisata. Selain berkontribusi besar dalam hal pelestarian lingkungan, sektor ekowisata diharapkan juga dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomi bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat di kecamatan Paloh. Pengembangan kawasan ekowisata tentunya tidak terlepas dari peran serta


(26)

masyarakat lokal sehingga diperlukan rencana pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

Untuk membuat sebuah perencanaan lanskap kawasan ekowisata harus diketahui terlebih dahulu potensi sumber daya alam, budaya masyarakat setempat, arah pengelolaan kawasan dan fasilitas pendukung yang ada. Data sumber daya ekowisata yang dikumpulkan meliputi potensi fisik, biologi dan potensi masyarakat. Data potensi masyarakat yang dikumpulkan berupa budaya, partisipasi dan keinginan masyarakat terhadap usaha pengembangan ekowisata.

Kecamatan Paloh sendiri memiliki berbagai pot ensi sumber daya ekowisata, selain merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, kecamatan Paloh juga masih mempunyai kawasan pengembangan pembangunan yang cukup luas yang diharapkan dapat mendukung aspek ekonomi, sosial maupun aspek lingkungan di kabupaten Sambas. Letak geografis yang strategis, kondisi biofisik dan sosial budaya masyarakat yang mendukung dapat dijadikan daya tarik ekowisata yang menjanjikan bagi kecamatan Paloh. Informasi tentang rencana pengembangan kawasan dianalisis dalam rangka menilai apakah objek/atraksi yang mungkin dikembangkan serta objek/atraksi ekowisata yang diinginkan oleh masyarakat dapat dipadukan dengan potensi kawasan melalui kajian yang dilakukan terutama menyangkut aktivitas yang akan dikembangkan.

Berdasarkan hasil analisis terhadap potensi kawasan yang dimiliki maka diperlukan perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat

(Community-Based Ecotourism) di kecamatan Paloh. Secara skematis, kerangka pemikiran perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh disajikan dalam Gambar 1.


(27)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Kecamatan Paloh

Identifikasi Kondisi Aktual Kawasan

Potensi Objek/Atraksi

Ekowisata

Potensi Kawasan Potensi Sumber

Daya Manusia

Zonasi Ruang Ekowisata

Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Pesisir Berbasis Masyarakat di Kecamatan Paloh Analisis Kawasan

Objek Ekowisata

Analisis Pemetaan Partisipatif Masyarakat Analisis Kesesuaian dan

Daya Dukung Ekowisata

Penentuan Sasaran, Tujuan, dan

Penyiapan Perangkat Penelitian.

T A H A P

I

T A H A P

II

T A H A P

III

Zonasi Kondisi Aktual

Sintesis


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Ekowisata

Organisasi pariwisata sedunia, World Tourism Organization (WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai "activities of person traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes".

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1 tentang Kepariwisataan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah (pusat), dan pemerintah daerah. Sedangkan wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Pariwisata (tourism) sering diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan seseorang atau kelompok orang (wisatawan/turis) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kerabat dan tujuan lainnya (Ramly, 2007).

Pariwisata juga didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang (Damanik dan Weber, 2006).

Lebih lanjut Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu permintaan, penawaran, pasar dan kebutuhan, serta pelaku atau aktor wisata. Unsur penting dalam permintaan dan penawaran wisata yang harus dipertimbangkan adalah wisatawan, penduduk lokal, dan sumber daya (produk dan jasa) wisata. Sedangkan pelaku (aktor) wisata


(29)

meliputi wisatawan, industri wisata, jasa pendukung wisata, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal.

Sektor pariwisata juga mempunyai signifikansi dalam hal perbaikan lingkungan dan pelestarian budaya suatu negara. Secara konseptual sektor pariwisata mempunyai peran dalam perbaikan lingkungan dijabarkan dalam konsep ekowisata yang dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan lingkungan) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada

masyarakat setempat (Fandeli, 2000). Sementara ditinjau dari segi

pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Depdagri, 2000).

The International Ecotourism Society (2008) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang terfokus pada daerah yang masih alami dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pembangunan Daerah (2000) bahwa Ekowisata adalah suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Ekowisata merupakan kontrol pembangunan yang diperlukan berdasarkan daya dukung untuk menjamin sumber daya alam agar tidak dimanfaatkan berlebihan oleh pengunjung (Clark, 1996).

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) mendefinisikan ekowisata sebagai wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam terbuka yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan khusus untuk mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan dengan tumbuhan serta


(30)

satwa liarnya (termasuk potensi kawasan ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya) baik dari masa lampau maupun masa kini di tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk melestasikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Konsep ekowisata bertujuan untuk mencapai keberlanjutan wisata, yang dalam pelaksanaannya menggunakan pertimbangan dampak pada ekosistem,

sosial budaya dan ekonomi (Ecosystem, socio-cultural and Economic

Consideration), menggunakan pendekatan ekologik, termasuk keragaman hayati – (Ecological and Bio-diversity Approach), melibatkan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan pariwisata, bukan hanya pihak pemerintah dan swasta penyedia jasa pariwisata semata, melainkan juga masyarakat setempat dan wisatawan, atas alasan ini berbagai pihak menyebutnya sebagai “Responsible Tourism”, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan sosial budaya, seperti konflik yang acapkali terjadi serta memaksimalkan dampak positif bagi kelestarian lingkungan alam, sosial budaya dan ekonomi, lokal, daerah dan nasional sehingga menciptakan kehidupan pariwisata yang dapat bertahan dengan langgeng (http ://caretuorism.wordpress.com.).

Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :

1. Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum

tercemar.

2. Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada

masyarakat.

3. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan

pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki.

4. Berkelanjutan; ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi

keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.


(31)

5. Manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability

lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasi mendatang.

Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, serta memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Yulianda, 2007).

2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir

Menurut Forman dan Godron (1986), lanskap dapat didefinisikan sebagai area lahan heterogen yang tersusun dari suatu cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Dinyatakan lebih lanjut lanskap adalah suatu unit yang menonjol atau nyata, dapat diukur yang ditentukan oleh cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang dapat dikenali dan secara spasial berulang, secara geomorfologi dan sistem yang terganggu.

Berdasarkan Porteous (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang selanjutnya membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam bebas (wilderness), pedesaan (the middle landscape/rural). Taman-taman

(gardens), dan lanskap perkotaan (townscape).

Menurut Von Humboldt dalam Farina (1998) lanskap adalah karakter total suatu wilayah. Sedangkan (Naveh dalam Farina, 1998) mengemukakan bahwa lanskap selalu berhubungan dengan totalitas keseluruhan secara fisik, ekologis, dan geografi, pengintegrasian seluruh proses-proses dan pola-pola manusia dan alam.

Suatu area dikatakan memiliki karakter lanskap alami apabila area tersebut memiliki keharmonisan atau kesatuan diantara elemen-elemen alami seperti bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan kehidupan satwa. Lanskap alami memiliki karakter indah, unik, idealis, lembut, anggun, tenang, asli, megah, dan tegas. Karakter lanskap alami dikategorikan dalam bentukan laut, bukit pasir,


(32)

sungai, danau, hutan, jurang, dataran, gurun pasir, rawa, bukit, lembah, aliran air, padang rumput, dan gunung (Simon, 1983).

Kawasan pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diartikan sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.

Wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan darat, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.1994).

Penentuan batas wilayah pesisir ini masih tergantung kepada isu

pengelolaan. Dalam rapat kerja nasional proyek MREP (Marine Resources

Evaluation and Planning / Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Kelautan) di Manado Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala 1: 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), sedangkan batas ke arah darat adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri etal.,

2008).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat, batas ke arah darat; dari segi ekologis adalah merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti; pasang surut, intrusi air laut dan lain-lain, dari segi administratif adalah merupakan batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2 km, 20 km, dari garis pantai). Dan dari segi


(33)

perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan batas ke arah laut; dilihat dari segi ekologis adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat seperti; (aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dan lain-lain), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen dan lain-lain); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (Continental shef), dari segi

administratif adalah sejauh 4 mil, atau 12 mil, dari garis pantai ke arah laut, dan dari segi perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir (Dahuri et al, 2008). Struktur kawasan pesisir terdiri dari: (a) kawasan estauria, (b) kawasan padang lamun, (c) kawasan mangrove, (d) kawasan terumbu karang dan (e) kawasan laut (Bengen, 2000).

Dalam pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari, maka cakupan atau batasan pemberdayaan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut

Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumber daya dikelola secara baik, proporsional dan transparan, sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam, buatan dan sosial (Keraf, 2000).

Konsep ekowisata pesisir merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, pemikiran ini sangat didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia antara lain: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, (b) pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan, (c) peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan, (d) peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan sumber daya pesisir dan bahari yang terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang


(34)

kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).

2.3.

Sumber daya pariwisata (tourism resources) atau sering disebut juga modal dan potensi pariwisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata di suatu daerah atau tempat tertentu (Soekadijo, 2000). Lebih lanjut Soekadijo (2000) menyatakan bahwa sumber daya pariwisata yang menarik kedatangan wisatawan ada tiga, yaitu sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, dan sumber daya manusia.

Sumber Daya Wisata

Menurut Freeyer dalam Damanik dan Weber (2006), bahwa sumber daya pariwisata menyangkut produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut yang terangkum dalam aspek atraksi, transportasi, akomodasi, dan aspek hiburan. Umumnya wisatawan mempunyai kriteria yang berbeda terhadap penilaian produk dan jasa wisata, hal ini juga berkaitan dengan objek dan daya tarik wisata yang ditawarkan.

Menurut Nurisjah et al. (2003), bahwa objek wisatamerupakan perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Sedangkan atraksi wisata adalah semua perwujudan, sajian alam dan kebudayaan yang dapat dinikmati keberadaannya oleh wisatawan, yang alami atau buatan

(man made) melalui suatu bentuk pertunjukan/peragaan atau kebiasaan (pasif, aktif) yang khusus diselenggarakan untuk wisatawan di suatu kawasan. Dalam menentukan keterpakaian objek dan atraksi untuk diakomodasi dalam perencanaan kawasan wisata diperlukan penilaian potensi objek dan atraksi wisata yang dimiliki kawasan tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa ada beberapa potensi yang perlu diperhatikan dalam penilaian potensi objek dan atraksi wisata


(35)

yang meliputi aspek estetika, keunikan, fasilitas pendukung, transportasi dan aksessibilitas, serta dukungan masyarakat.

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1, bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir, dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kakayaan jenis-jenis tumbuhan, burung, dan hewan-hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila di dekatnya dibangun penginapan/hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir tersebut (Dahuri et al, 2008).

Lebih lanjut Dahuri et al ( 2008) menyatakan bahwa ekosistem pesisir yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata diantaranya adalah:

1. Hutan mangrove, merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di

sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah sebagai sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut. Sistem perakaran yang kokoh akan melindungi pantai dari erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.

2. Padang lamun, merupakan tumbuhan yang hidup terbenam di perairan

dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer, sumber makanan penting bagi organisme, dengan sistem perakaran yang rapat menstabilkan dasar perairan yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi beberapa spesies, sebagai peredam arus gelombang dan


(36)

sebagai tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur air laut, salinitas, substrat dan kecepatan arus.

3. Terumbu karang (coral reef), merupakan ekosistem khas di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium carbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan sedimentasi.

4. Estuaria,adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan air tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif sedikit.

5. Pantai pasir, terdiri dari kwarsa dan feldspar, yang merupakan sisa-sisa pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota untuk tumbuh dan berkembang. Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan angin yang mengangkut pasir ke arah darat.

6. Pantai Berbatu (Rocky Beach), merupakan pantai dengan batu-batu

memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini menciptakan zonasi kehidupan organisme yang menempel di batu karena


(37)

pengaruh pasang. Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.

7. Pulau-Pulau Kecil (Small Island), merupakan pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dengan pulau induknya. Pulau kecil ini akan memiliki karakteristik ekologi yang bersifat insular karena terisolasi dengan pulau induknya.

Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir juga dapat merupakan bagian dari objek dan daya tarik wisata pesisir (Nurisjah et al. 2003).

2.4. Ekowisata Berbasis Masyarakat

Masyarakat lokal terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumber daya periwisata yang tidak dimiliki oleh pelaku pariwisata lainnya (Damanik dan Weber, 2006).

Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009) bahwa adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:

1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan

ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)


(38)

2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasarana ekowisata, kawasan ekowisata, dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat) 3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata

(nilai ekonomi dan edukasi)

4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)

5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata menjadi tanggung jawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

Menurut Warta KEHATI (1998), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata berbasiskan masyarakat diantaranya adalah :

1. Partisipasi; selayaknya ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan wisata. Namun, seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, gender dan terkadang pendidikan; 2. Gender; kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan oleh pengelola

proyek-proyek ekowisata yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya sulit dicapai sepenuhnya;

3. Transparansi; adanya usaha ekowisata di suatu daerah mutlak menerapkan transparansi khususnya di bidang keuangan, mengingat hal itu dapat memicu perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan menciptakan kecemburuan serta kesenjangan sosial;

4. Pengambilan keputusan; walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus sebagai panitia pengelola dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata;

5. Proses perencanaan; membangun sebuah ekowisata di sebuah kawasan tak

bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi keuntungan. Karena itu, sejak masa perencanaan, para pengelola sudah menentukan siapa “masyarakat” yang dimaksud, siapa yang berpartisipasi, siapa yang akan mengambil keputusan, bagaimana keuntungan akan diperoleh, seberapa besar investasi uang yang diperlukan, dan dari mana dana akan diperoleh.


(39)

6. Promosi; hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pengelola dalam mempromosikan ekowisata yang dikelola kepada masyarakat luas. Diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya setempat sekaligus dapat menjadi suatu momentum untuk pemberitaan keunikan alam suatu wilayah ekowisata.

Pengelolaan kawasan pesisir berbasis masyarakat hendaknya menjadi satu kesatuan perencanaan pembangunan daerah yang sejalan dengan konsep pengelolaan secara terpadu (integrated) dimana semua stakeholder di kawasan pesisir, tidak hanya berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan pesisir, namun juga turut aktif (bernegosiasi) dalam perumusan kebijakan dan konsep pengelolaan kawasan tersebut, sesuai dengan kondisi lokal di masing-masing kawasan (Dahuri et al., 2008).

2.5. Perencanaan Pariwisata

Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Perencanaan memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Perencanaan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan (Nurisjah, 2001).

Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan tidak terlepas dari adanya pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata yang mengikutsertakan masyarakat lokal. Namun kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian sumber daya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna


(40)

lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al., 2008).

Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008), perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat. Verseci dalam A.Yoeti (2008) perencanaan strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :

1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang

2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan

memperhatikan keempat faktor lainnya : future generation, equity,

partnership, dan carrying capacity.

3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.

4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.

5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.

Lebih lanjut Yoeti (2008) menyatakan bahwa perencanaan kawasan pariwisata pada dasarnya merupakan kegiatan membangun dan menggali potensi pariwisata itu sendiri, untuk dapat digunakan sebagai kegiatan ekonomi yang mengarah pada pengupayaan pemanfaatan objek dan atraksi wisata sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat di sekitar lokasi objek wisata tersebut. Perencanaan kawasan pariwisata berarti menyangkut pula pada kegiatan melestarikan, menata dan memelihara objek dan atraksi wisata yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Melalui perencanaan kawasan pariwisata diharapkan dapat dihindari terjadinya


(41)

pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan wisata yang memiliki tingkat perkembangan yang cepat.

Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumber daya dan jasa wisata yang dimiliki

(supply) dan permintaan atau minat wisatawan (demand). Komponen supply

terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk kegiatan wisata), transportasi, pelayanan, informasi dan promosi. Sedangkan Komponen

demand terdiri dari pasar wisata (keinginan atau tujuan wisatawan) dan karakteristik wisatawan. Perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar

Secara garis besar perencanaan wisata digambarkan dengan pendekatan pengembangan. Perencanaan ini bersifat spasial karena berbasis pada lahan dan semua elemen pembentuknya.

Lebih lanjut Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata harus dilakukan pada tiga skala. Pertama adalah skala tapak (site scale), yang telah banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, hotel, taman dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination : scale), dimana atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah wilayah, atau bahkan suatu negara (regional scale), dimana pengembangan lebih terarah pada kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumber daya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.

Pendekatan perencanaan diperlukan untuk menilai dampak lingkungan dan sosial budaya akibat pembangunan sektor pariwisata sampai pada tahap pemantauan dampak setelah pembangunan sektor pariwisata tersebut. Hal ini dilakukan guna memastikan agar setiap dampak negatif yang mungkin terjadi dapat diminimalkan dengan tindakan perbaikan dan yang positif dapat diperkuat

Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral, menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai


(42)

keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meliputi tahapan riset, analisis, sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dan survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak, meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan. Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metode. Kegiatan pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan.

Perencanaan dengan pendekatan unit lanskap yang dikemukakan Lyle (1985) merupakan salah satu bentuk untuk pengembangan lanskap alami yang dimulai dengan klasifikasi karakteristik fisik. Setelah dilakukan klasifikasi unit lanskap, kemudian dilakukan analisis yang bertujuan untuk menentukan batasan dan potensi, yang selanjutnya diperoleh kesesuaian bagi perencanaan dan pengembangan sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumber daya dan kebutuhan manusia adalah dengan menetapkan jenis dan besaran aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya (Bengen, 2005). Hal ini mempunyai makna bahwa setiap aktivitas pembangunan di suatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.

Dalam pengembangan pariwisata, istilah kebijakan (policy) dan perencanaan (planning) berkaitan erat. Perencanaan berkenaan dengan strategi sebagai implementasi dari kebijakan. Perencanaan merupakan prediksi dan oleh karenanya memerlukan beberapa perkiraan persepsi akan masa depan. Walau prediksi dapat diturunkan dari obeservasi dan penelitian, namun demikian juga sangat tergantung pada nilai. Perencanaan seharusnya mengandung informasi yang cukup untuk pengambilan keputusan. Perencanaan merupakan bagian dari keseluruhan proses perencanaan pengambilan keputusan (Pitana et al, 2009). Menurut Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumber daya yang paling sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya hasil dari proses penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisasi yang membantu terwujudnya kerjasama dan integrasi antara badan-badan yang


(43)

bergerak di dalam penentuannya yaitu masyarakat dan pihak swasta.

Khususnya di wilayah pesisir, kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang khusus mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang pesat (Dahuri et al, 2008). Secara strategik, pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan dapat dikembangkan dan diwaspadai dampaknya dengan memasukan rencana manajemen lingkungan dan pemantauannya ke dalam satu rencana terpadu (integrated) dan pelaksanaannya yang kemudian dimasukkan dalam tahap perancangan pariwisata itu (Soeriaatmadja, 1997).

Budaya dan aspek fisik merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi yang saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata pesisir dan bahari. Gunn (1994) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1) mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan unity

pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Agar pengelolaan wisata pesisir berhasil maka harus memenuhi komponen yang terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisjah, 2001).

Pada sistem pengelolaan ekowisata pesisir, perlu dicermati pembatasan tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

(sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-dimensi:

1. Environmental Sustainability: perlindungan untuk generasi mendatang 2. Economic Sustainability: setiap pengembangan variabel secara ekonomi

3. Socio-Cultural Sustainability: setiap inovasi harus harmoni antara pengetahuan lokal sosial-budaya, praktek, pengetahuan, dan teknologi tepat guna


(44)

4. Political Sustainability: link birokrasi (pemerintah) dan masyarakat. Para pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor tertentu dalam masyarakat lokal.

2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG merupakan komputer yang berbasis pada sistem informasi yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan geografi bumi (Prahasta, 2005). Dengan melihat kata-kata penyusun nama SIG, maka Prahasta (2005) menjabarkan nama SIG sebagai berikut :

1. Sistem

Istilah ini digunakan untuk mewakili pendekatan sistem yang digunakan dalam SIG, dengan lingkungan yang kompleks dan komponen yang terpisah-pisah, sistem digunakan untuk mempermudah pemahaman dan penanganan yang terintegrasi. Teknologi komputer sangat dibutuhkan untuk pendekatan ini jadi hampir semua sistem informasinya berdasarkan pada komputer.

2. Informasi

Informasi berasal dari pengolahan sejumlah data. Dalam SIG, informasi memiliki volume terbesar. Setiap objek geografi memiliki setting data tersendiri karena tidak sepenuhnya data yang ada dapat terwakili dalam peta. Jadi, semua data harus diasosiasikan dengan objek spasial yang dapat membuat peta menjadi intelligent. Ketika data tersebut diasosiasikan dengan permukaan geografi yang representatif, data tersebut mampu memberikan informasi dengan hanya mengklik mouse pada objek.

3. Geografis

Istilah ini digunakan karena SIG dibangun secara berdasarkan pada geografi atau spasial. Objek ini mengarah pada spesifikasi lokasi dalam suatu space.

Objek bisa berupa fisik, budaya atau ekonomi alamiah. Penampakan tersebut ditampilkan pada suatu peta untuk memberikan gambaran yang representatif dari spasial suatu objek sesuai dengan kenyataannya di bumi. Simbol, warna dan gaya garis digunakan untuk mewakili setiap spasial yang berbeda pada peta dua dimensional. Saat ini, teknologi komputer telah mampu membantu proses


(45)

pemetaan melalui pengembangan dari automated cartography (pembuatan peta) dan Computer Aided Design (CAD).

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan perkembangan terbaru

dalam teknologi gap analysis yang menggunakan komputer untuk

menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies. Pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipe-tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam lanskap, serta dapat membantu

perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan dan

keanekaragaman hayati. Foto-foto udara dan citra satelit merupakan data tambahan bagi SIG (Primack et al., 1998).

Aronoff (1991) mengutarakan bahwa definisi SIG adalah sisitem informasi berbasis kemputer yang digunakan untuk memasukkan dan memanipulasi informasi geografis.

Menurut Maiczewski (1999) definisi SIG berfokus pada dua aspek sistem yaitu teknologi dan pemecahan masalah.

Empat komponen dasar SIG: 1) masukan data (data input),

komponen pengubah data yang ada (existing) menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; 2) manajemen data

(data management); 3) manipulasi dan analisis (manipulation and analysis); dan 4) keluaran (output), bentuk hasil dari SIG sangat beragam kualitas, kecepatan, dan kemudahannya, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy. Sistem informasi geografis adalah alat yang mampu menangani data spasial, pada SIG data berformat digital, dalam jumlah besar data dapat dikelola dan diubah dengan cepat dan biaya rendah per unitnya.

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. SIG terdiri dari perangkat keras dan

Sedangkan menurut Tkach dan Simonovic (1997) GIS merupakan teknologi yang berkembang dengan cepat dalam hal keefisienan penyimpanan

perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan dan menginterpretasi peta (Farina, 1998).


(46)

data, analisis dan manajemen informasi spasial. Hampir semua proses manajemen pengambilan keputusan memerlukan analisis informasi spasial. Dengan menggunakan teknologi SIG maka banyak informasi berguna yang dapat dihasilkan dari data dasar. Ketelitian serta pengaturan kembali aliran informasi dalam pelaksanaannya dapat semakin efektif dan secara nyata memperbaiki kualitas kerja (Lin, 2000).

Bird, Peccol, Taylor, Brewer, dan Keech (1994) mengutarakan SIG adalah mengganti pemakaian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file komputer yang dapat ditampilkan di layar komputer. Peranan SIG adalah memfasilitasi kompilasi data dan analisis bagi pekerjaan interprestasi. Pada penggunaan SIG hal penting yang harus dipahami adalah dari mana data dikumpulkan, bagaimana pendefinisian bentukan lanskap dan tipe data yang sesuai untuk dimasukkan dalam kumpulan data. Hal tersebut berkaitan dengan hasil dari proses SIG karena

Inventarisasi dan pemetaan terhadap potensi sumber daya alam dapat dilakukan dengan teknologi penginderaan jauh (inderajaya/remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (GIS). Informasi kelautan yang dapat dikumpulkan dengan teknologi penginderaan jauh antara lain: sedimen tersuspensi dalam kolam air, topografi, batimetri, kondisi laut, warna air, identifikasi klorofil-a, suhu permukaan perairan, sumber daya perikanan, tumpahan minyak, vegetasi seperti mangrove dan padang lamun. Setelah data tersebut terkumpul, maka untuk mengelolanya (memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan) menjadi informasi yang berguna bagi proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan sumber daya alam (termasuk kelautan) digunakan SIG. Pengembangan basis data SIG seperti yang dimaksud perlu ditunjang dengan data geografi baik fisik maupun non fisik secara terperinci (Dahuri et.al, 2008).

apabila ada ketidaksesuaian penggunaan data atau teknik analisis maka hasil akhir akan terlihat meyakinkan padahal hasil tersebut salah.

Gunn (1994) telah menggunakan teknologi SIG dalam perencanaan wisata berkelanjutan yang dilakukannya di Upcountry South Carolina. Proses perencanaan pada kawasan tersebut meliputi empat tahapan yaitu tahap penentuan sasaran dan tujuan, riset faktor-faktor dasar, sintesis dari hasil riset, dan tahapan terakhir adalah identifikasi peluang baru pada daerah tujuan yang paling baik


(47)

untuk dikembangkan. Pada tahapan riset, selain informasi juga dibuat peta tematik digital yang berdasarkan faktor-faktor dasar yang terdiri dari sumber daya alam dan sumber daya budaya. Pemetaan dilakukan dengan perangkat lunak SIG (Arc View). Selanjutnya peta yang telah didigitasi tersebut diberi peringkat dan bobot kemudian di-overlay untuk melihat zona yang memiliki peluang terbaik untuk dikembangkan.

2.7. Metode PRA

Untuk menciptakan ekowisata yang berbasis masyarakat (Community-Based Ecotourism) perlu stimulasi agar peran masyarakat meningkat dalam ekowisata ini, hal ini dapat dilakukan dengan metode pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang merupakan metode pendekatan partisipatif dengan menekankan pada upaya-upaya peningkatan partisipatif masyarakat lokal dalam mengkaji lingkungan sekitarnya untuk melakukan perencanaan lanskap kawasan ekowisata di suatu daerah. Sehingga dengan metode tersebut diharapkan hasil dari penelitian dilakukan nantinya berperan dalam pelaksanaan pembangunan ekowisata di suatu wilayah.

Berdasarkan buku Panduan Pengambilan Data dengan Metode RRA/PRA (2006),

Teknik penerapan metode PRA dapat dilakukan dengan metode kelompok yang terdiri atas FGD dan Brainstorming; matrik terdiri atas ranking masalah, ranking sosial ekonomi, analisis SWOT, visualisasi dan diagram hubungan yaitu dengan pohon masalah dan diagram venn, metode tempo terdiri atas; kalender musim, lintasan sejarah, aktivitas harian, transek dan trend, metode spasial/ ruang seperti pemetaan partisipatif, teknik manta taw, transek plot, dan beberapa teknik Perubahan sosial merupakan tujuan yang sangat mendasar dalam penerapan metode PRA ini. Secara harfiah metode ini dapat diartikan sebagai pengkajian pedesaan dan atau pesisir secara partisipatif. Menurut Robert Chambers (yang mengembangkan metode ini) mengartikan sebagai sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan dan atau pesisir untuk turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai hidup dan keadaan mereka sendiri agar meraka dapat menyusun rencana dan tindakan pelaksanaannya.


(48)

lainnya. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metode spasial/ruang dengan pemetaan partispatif untuk menilai kondisi kawasan ekowisata secara partisipatif.

Metode pemetaan partisipatif bertujuan untuk memplot informasi yang ada pada suatu daerah dalam suatu peta. Pemetaan ini dilakukan berdasarkan partisipasi masyarakat. Dimana masyarakat yang mengetahui keberadaan informasi tersebut memplot sendiri informasi yang ada pada peta dasar atau langsung membuat peta sendiri dengan panduan peneliti. Peta yang dibuat ada dua macam yaitu peta sket dan peta berdasarkan peta dasar. Informasi yang ada dalam peta tersebut pada akhir pemetaan harus dicek kebenarannya langsung di lapangan. Jadi, pemetaan partisipatif berupa metode untuk mengumpulkan dan memetakan informasi yang ada serta yang terjadi dalam masyarakat serta kondisi sekitar. Informasi tersebut dikumpulkan, dipetakan dan dianalisis untuk membantu pengelola memahami kondisi yang lalu, kondisi saat ini serta memperkirakan potensi atau kondisi akan datang bagi pengelolaan kawasan pesisir. Juga untuk mengidentifikasi keterbatasan serta kesempatan pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan kawasan ekowisata pesisir yang berbasis masyarakat (Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, 2006).


(49)

BAB III

KEADAAN UMUM KECAMATAN PALOH

3.1. Sejarah Wilayah

Kecamatan Paloh awalnya merupakan wilayah yang secara administratif termasuk dalam kecamatan Teluk Keramat. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan efektifitas penyelengaraan pemerintahan, serta pembangunan maka kecamatan Teluk Keramat dikembangkan dengan membentuk kecamatan Paloh pada tahun 1963 yang meliputi 10 desa yaitu: desa Sebubus, Nibung, Mentibar, Tanah Hitam, Peradah, Matang Danau, Matang Putus, Kalimantan dan Sungai Bening. Tetapi desa Sungai Bening sekarang telah masuk dalam wilayah baru yaitu kecamatan Sajingan Besar.

Sebelum dibentuk kecamatan Paloh, wilayah ini termasuk daerah terbelakang, jalur transportasi utama hanya mengandalkan sungai dan laut, sehingga sering terjadi kerawanan pangan, terutama disaat bulan Oktober sampai Pebruari, sebab pada bulan tersebut sering terjadi pasang tinggi dan gelombang laut sangat kuat sehingga hasil usaha masyarakat seperti hasil pertanian dan perikanan sulit untuk diangkut dan dipasarkan. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konfrontasi dengan Malaysia serta PGRS tahun 1965 sampai 1967. Setelah kerusuhan karena PGRS/PARAKU berakhir, pembangunan di kecamatan Paloh mulai berjalan. Pada tahun 1980 pemerintah membangun arus transportasi darat dari Teluk Kalong (kecamatan Teluk Keramat) hingga ke Liku dan Setingga dan Merbau (kecamatan Paloh).

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 353 Tahun 1987 tentang Regruping desa (penyatuan/merger desa yang penduduknya sedikit) maka kecamatan Paloh yang semula terdiri dari 10 desa menjadi 7 desa yaitu: desa Sebubus, desa Nibung, Malek (regrouping desa Malek dan desa Mentibar), Tanah Hitam (regruping desa Tanah Hitam dengan desa Danau Peradah), Matang Danau (regruping desa Matang Danau dan Matang Putus), Kalimantan, dan desa Sungai Bening.

Kemudian kecamatan Paloh menjadi 6 desa, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kecamatan di


(1)

Identifikasi Parameter Kesesuaian Wisata Bahari di Kecamatan Paloh

Lampiran 3

Zona Kecerahan Perairan (m)

Tutupan Karang Hidup (%)

Kecepatan Arus (cm/det)

Kedalaman Dasar Perairan (m)

I 2 - 4 15 - 19 0,105 – 0,110 - 1 – 5

II 4 - 6 21 - 24 0,100 – 0,105 - 2 – 7

III 6 - 7 35 - 40 0,098 – 0,102 - 7 – 12


(2)

Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Pantai

Lampiran 4

Zona

Parameter

Total

Nilai Kategori Kedalaman Dasar Perairan Material Dasar Perairan Kecepatan Arus Kecerahan

Perairan Tipe Pantai

Penutupan Lahan Pantai

Ketersediaan Air Tawar

S B N S B N S B N S B N S B N S B N S B N

I 4 10 40 1 15 15 2 10 20 4 15 60 1 20 20 1 20 20 4 10 40 215 S3

II 4 10 40 4 15 60 3 10 30 4 15 60 4 20 80 4 20 80 4 10 40 390 S1

III 3 10 30 3 15 45 3 10 30 3 15 45 3 20 60 4 20 80 4 10 40 330 S2

IV 3 10 30 3 15 45 4 10 40 3 15 45 3 20 60 4 20 40 4 10 40 300 S2

Sumber : Hasil Analisis Data (2011) Keterangan :

S : Skor B : Bobot N : Nilai

S1 : Sangat Sesuai S2 : Cukup Sesuai S3 : Sesuai Bersyarat


(3)

Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Bahari

Lampiran 5

Zona

Parameter

Total

Nilai Kategori Kecerahan Perairan Tutupan Karang

Hidup

Kecepatan Arus Kedalaman Dasar Perairan

S B N S B N S B N S B N

I 1 20 20 1 50 50 2 20 40 1 10 10 110 N

II 1 20 20 2 50 100 3 20 60 1 10 10 190 S3

III 2 20 40 3 50 150 3 20 60 2 10 20 270 S2

IV 2 20 40 3 50 150 4 20 80 2 10 20 290 S2

Sumber : Hasil Analisis Data (2011) Keterangan :

S : Skor B : Bobot N : Nilai

S2 : Cukup Sesuai S3 : Sesuai Bersyarat N : Tidak Sesuai


(4)

DOKUMENTASI

Lampiran 6

Objek Wisata Pantai Tanjung Datok

Objek Wisata Pantai Mauludin

Objek Wisata Pantai Tanah Hitam

Objek Wisata Pantai Selimpai

138


(5)

Objek Wisata Hutan Mangrove

Objek Wisata Pantai Kemuning

Objek Wisata Pantai Camar Bulan


(6)

Objek Wisata Pantai Sungai Belacan

Objek Wisata Pantai Bayuan