4.2.2.7. Uji Laju Respirasi O
2
dan CO
2
Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan mengukur perubahan konsentrasi gas O
2
dan CO
2
pada suhu 10 C berdasarkan selang waktu tertentu jam . Dari hasil
pengamatan diperoleh bahwa konsentrasi O
2
dan CO
2
pada suhu 10 C untuk ikan
salmon yang dilapisi film pelapis lebih lambat dibandingkan dengan ikan salmon yang tidak dilapisi.
Pada percobaan pengukuran laju respirasi ini, udara di dalam stoples dikembalikan ke keadaan normal setiap kali diadakan pengukuran, yaitu dengan cara
membuang kelebihan CO
2
pada stoples dengan menggunakan aerator akuarium, sehingga diperoleh laju perubahan konsentrasi O
2
dan CO
2
untuk tiap jam dan grafik laju konsumsi O
2
dan laju produksi CO
2
seperti terlihat pada Lampiran 7. Dari tabel dalam lampiran 7 diperoleh bahwa konsentrasi O
2
semakin menurun dan konsentrasi CO
2
semakin meningkat baik untuk ikan salmon yang dilapisi dengan film pelapis maupun tidak. Dalam hal ini film pelapis kitosan – tepung biji aren dapat
mengurangi laju konsumsi O
2
dan meningkatkan produksi CO
2
sehingga dapat mempertahankan masa simpan dari makanan.
Dengan pengukuran laju produksi CO
2
dan laju konsumsi O
2
, dimungkinkan untuk mengevaluasi sifat proses respirasi. Perbandingan laju produksi CO
2
terhadap laju konsumsi O
2
disebut Respiratory Quotient RQ. RQ berguna untuk mendeduksi sifat substrat yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana reaksi telah berlangsung,
dan sejauh mana proses tersebut bersifat aerobik atau anaerobik.
Universitas Sumatera Utara
Rata – rata laju respirasi ikan salmon yang dilapisi dan tidak dilapisi dengan film pelapis dapat dilihat pada Tabel 4.4. Seperti yang terlihat pada tabel, maka RQ
ikan salmon baik yang dilapisi maupun tidak dilapisi dengan film pelapis nilainya lebih kecil dari 1, hal ini menunjukkan bahwa substrat yang digunakan dalam respirasi
tersebut adalah protein Pantastico, 1993 .
4.2.3. Pengujian Sifat Antimikroba, Biodegradasi dan Aplikasi Film Pelapis 4.2.3.1. Uji Aktivitas Antimikroba dari Film Pelapis
Dari uji kemampuan antimikroba dengan menggunakan metode Kirby – Bauwer dengan kertas cakram, ternyata hasil kemampuan antimikroba berbeda dengan
aplikasi langsung pada sampel dimana antimikroba dijadikan sebagai pelapis. Hal ini mungkin disebabkan karena daya kelarutan yang rendah dan kemampuan yang
bervariasi dalam menembus media perlakuan MHA. Di samping itu mungkin juga disebabkan oleh jenis kemampuan masing masing antimikroba baik bersifat
bakterisidal, bakteristatik, antimikrobial tersebut memiliki kisaran spektrum yang luas atau kisaran yang sempit.
Menurut Lay 1994 , luasnya wilayah jernih merupakan petunjuk kepekaan mikroorganisme terhadap antimikroba. Selain itu, luasnya wilayah juga berkaitan
dengan kecepaan berdifusi antimikroba dalam medium. Kecepatan berdifusi ini harus diperhitungkan dalam penentuan keampuhan antimikroba.
Menurut Lay 1994 , bahan kimia yang digunakan dalam pengobatan kemoterapik menjadi pilihan bila dapat mematikan bukan hanya menghambat
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan mikroorganisme. Bahan kimia yang mematikan bakteri disebut
bakterisidal , sedangkan bahan kimia yang menghambat pertumbuhan disebut
bakteristatik . Bahan antimikrobial dapat bersifat bakteristatik pada konsentrasi rendah,
namun bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi. Menurut Lay 1994 , bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau
mematikan mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran luas broad spectrum antimicrobial . Sebaliknya bahan antimikrobial yang dapat menghambat
atau mematikan beberapa mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran sempit narrow spectrum antimikrobial .
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri Gram positif memiliki indeks antimikrobial yang lebih tinggi dari
bakteri bakteri Gram negatif lainnya.
4.2.3.2. Pengujian Aplikasi Film Pelapis sebagai Anti Mikroba