B. Faktor Eksternal Intervensi Perancis ke Pantai Gading 1. Kebijakan Negara Lain
Kebangkitan ekonomi Tiongkok diikuti oleh peningkatan kebutuhan terhadap sumber daya alam mineral dan energi. Kebutuhan akan energi dan
mineral membuat Tiongkok memperluas jangkauan mitra dagang ke wilayah Afrika. Pada gambar IV.1 terlihat mulai tahun 2000, Tiongkok meningkatkan
perdagangan dengan negara-negara di Afrika untuk memenuhi kebutuhan akan material mentah yang banyak terdapat di Afrika
145
.
Gambar IV. 1 Tren ekspor-impor Tiongkok dan Afrika dalam persentase dari GDP
Sumber :
Mary-Françoise Renard, China’s Trade and FDI in Africa.
Filosofi politik luar negeri non-interference Tiongkok, sejak masa Hu Jintao yang tidak mempersoalkan dinamika politik dalam negeri mitra dagang
menjadikan Tiongkok lebih mudah menjalin kerja sama ketimbang negara –
145
Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, dalam Henning Melber, ed. ,China in Africa Nordiska Afrikainstitutet, 2007, 14
negara Barat yang tidak ingin berdagang dengan negara yang sedang terlibat masalah atau memiliki indikasi pelanggaran HAM. Hal ini mengingat banyak
negara di Afrika yang dianggap sebagai rouge state
146
oleh negara – negara Barat.
Kondisi ini menjadikan Tiongkok lebih leluasa untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara seperti Sudan dan Angola
147
. Selain itu, Tiongkok tidak memiliki sejarah kolonialisasi di Afrika, seperti yang dimiliki oleh negara-negara Eropa,
menjadikan tidak ada persepsi neo-kolonialisme terkait kehadiran Tiongkok di Afrika.
Peningkatan peran Tiongkok di kawasan Afrika secara tidak langsung mengurangi peran Perancis sebagai mitra tradisional dan bekas penjajah sebagian
wilayah Afrika. Kehadiran Tiongkok di Afrika mengurangi ketergantungan negara-negara di Afrika terhadap Perancis. Di Pantai Gading, Tiongkok sudah
menginvestasikan perusahan minyak Tiongkok, Sinopec, untuk mengekplorasi
minyak ladang minyak lepas pantai, serta menjadikan tujuan potensial untuk ekspor beras
148
. Politik luar negeri Tiongkok di Pantai Gading selama konflik yang
mengesampingkan persoalan HAM dan lebih mengutamakan kepentingan nasional, secara tidak langsung mendanai pihak yang terlibat konflik dan
menciptakan keberlanjutan konflik. Selama Pemerintahan Laurent Gbagbo,
146
Rouge State adalah negara yang dinilai melanggar hukum internasional dan mengancam keamanan negara lain. Diunduh dari
http:www.oxforddictionaries.comdefinitionenglishrogue-state
147
Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, 14
148
Mary-Françoise Renard, Ch ina’s Trade and FDI in Africa., China and Africa: An Emerging
Partnership for Development , N° 126 2011, 23
Tiongkok mengalami peningkatan kerja sama perdagangan dengan Pantai Gading. Pada tahun 2005, nilai perdagangan antara Tiongkok dan Pantai Gading bernilai
50 juta euro, meningkat menjadi 500 juta euro pada 2009
149
. Tiongkok juga diberikan izin untuk melakukan ekplorasi 27 persen blok minyak bumi di wilayah
lepas pantai yang dikuasai kelompok pro-Gbagbo
150
. Jika Perancis melakukan konfrontasi dengan Tiongkok terkait pengaruh di
Pantai Gading, akan membawa kerugian yang lebih besar ketimbang jika Perancis melakukan konfrontasi dengan Laurent Gbagbo. Alassane Ouattara yang
merupakan individu yang memiliki latar belakang pro negara Barat diharapkan akan menahan pengaruh Tiongkok di Pantai Gading dan regional Afrika Barat
serta menunjukkan keberpihakan ke Perancis.
2. Masalah Global yang Berasal dari Sektor Privat
Wilayah Afrika Barat merupakan salah satu wilayah dengan kondisi perekonomian yang tidak baik. Beberapa negara di kawasan ini dikatagorikan
sebagai less developing country dan beberapa negara juga dikategorikan sebagai failed state
151
. Kondisi ini menjadikan negara-negara di Afrika Barat tidak memiliki kendali pemerintahan atas keseluruhan wilayah negara seperti Mali dan
Nigeria. Daerah yang tidak dikuasasi oleh pemerintahan resmi di Mali dan Nigeria, dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstrimis seperti Pemberontak Tuareg
149
“Investiture of French-backed president in Ivory Coast” diunduh pada 16 November 2014 dari
https:www.wsws.orgenarticles201106inve-j06.html
150
Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, 39
151
“The Failed state Index 2011” diunduh pada 16 November 2014 dari http:www.foreignpolicy.comarticles201106172011_failed_states_index_interactive
_map_and_rankings
di Mali dan Kelompok Boko Haram di Nigeria. Tuareg dan Boko Haram dinilai oleh negara Barat sebagai kelompok ekstrimis radikal yang berafiliasi dengan
kelompok teroris Al-Qaeda
152
. Dugaan bahwa Al-Qaeda menggunakan berlian dari Afrika Barat meningkatkan ancaman keamanan di kawasan tersebut
153
. Keberadaan pemberontak Tuareg dan Boko Haram selain menjadi ancaman
keamanan domestik dan regional Afrika, juga menjadi ancaman keamanan internasional terkait jaringan teroris internasional.
Situasi keamanan Pantai Gading yang tidak kondusif akibat konflik sipil yang terjadi dan ketiadaan otoritas yang menguasai wilayah negara secara
keseluruhan, menjadikan negara ini rentan akan disusupi oleh kelompok- kelompok yang ingin mengambil keuntungan atas konflik yang berlangsung saat
itu. Konflik sipil Pantai Gading meski bukan konflik agama, namun konflik utara- selatan ini memiliki sentimen keagamaan. Masyarakat di wilayah utara yang
mendukung Ouattara mayoritas beragama Islam dan masyarakat di wilayah selatan yang mendukung Gbagbo mayoritas beragama Kristen
154
. Realita ini dapat disalahartikan oleh kelompok ekstrimis radikal seperti pemberontak Tuareg dan
Boko Haram dengan melihat konflik yang terjadi saat itu berlatar belakang agama, serta menjadikan Pantai Gading sebagai lahan jihad baru bagi mereka.
Ancaman akan berkembangnya kelompok ekstrimis radikal di Pantai Gading bila konflik dibiarkan berkepanjang selain menjadi ancaman bagi Pantai
152
J. Peter Pham, “Boko Haram Evolving Threat”, Africa Security Brief, no. 20 2012 , 3
153
United Nations on Drugs and Crime, Transnational Organized Crime in West African Region, , New York : UNODC, 2005. 34
154
Johannes Vüllers, Fighting for a Kingdom of God ? The Role of Religion in Ivorian Crisis Hamburg :German Institute for Global and Area Studies, 2011, 18