Kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Teuku Muhammad Valdy Arief 109083000050

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Skripsi ini menganalisa kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tindakan intervensi tersebut, dengan mempertimbangkan faktor domestik dan eksternal. Kerangka pemikiran skripsi yang digunakan dalam ini adalah konsep politik luar negeri dan faktor-faktor determinasi politik luar negeri dalam frame work K.J. Holsti. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat sejarah konflik di Pantai Gading, dinamika hubungan Perancis dan Pantai Gading, dari masa kolonial hingga keterlibatan Perancis dalam konflik di Pantai Gading tahun 2011, serta menelaah kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading.

Penelitian ini menemukan bahwa faktor domestik dan eksternal menjadi faktor yang menentukan kebijakan Perancis dalam melakukan intervensi militer ke Pantai Gading. Faktor domestik tersebut adalah kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, atribut nasional, partai politik, opini publik, dan peran Nikolas Sarkozy sebagai stake holder mempengaruhi tindakan intervensi Perancis. Pandangan politik Sarkozy yang beraliran nasionalis-Gaulis serta hubungan personal Sarkozy dengan Ouattara dan Gbagbo menjadi faktor determinan dalam intervensi yang dilakukan Perancis. Sedangkan peningkatan peran Tiongkok di Afrika dan ancaman kelompok ektrimis serta kejahatan transnasional menjadi faktor eksternal dari intervensi militer Perancis ke Pantai Gading.


(6)

vi

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji penulis haturkan kepada kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, tuhan semesta alam, berkat segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul, “Kebijakan Intervensi Militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011”. Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bimbingan, bantuan, dan motivasi oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Debbie Affianty Lubis, M.si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Agus Nilmada Azmi, M.si selaku sekretaris jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Andar Nubowo, DEA. selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan ilmu dan motivasi dari awal penulisan hingga skripsi ini selesai.


(7)

vii

5. Bapak Dr. Harun Alisyah dan Bapak Kiky Rizky, M.Si atas konstribusinya membantu penulis dalam pengerjaan skripsi.

6. Orangtua penulis, Papa Almarhum Drs. Teuku Sofyan, M.Kes dan Mama tercinta Tjut Rachmawati Berabo atas semua kasih sayang yang diberikan. Terima kasih atas doa, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi.

7. Adik dan kakak tercinta Pocut Nayla Annisa, Teuku Muhammad Rachmanda, S.E, Cut Galuh Vanessa, S.E, drg. Cut Nadira Sabilla, Teuku Miersal Fajar Almursalin, M.A. dan keponakan terkasih Cut Shayma Amira dan Cut Shaza Altayra yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta, khususnya angkatan 2009. HMJ HI 2012-2013, terutama Departemen Advokasi Mahasiswa yang membantu penulis menjalankan tugas.

9. Teman-teman Komunitas Maritim UIN Jakarta dan IMAPA cabang Ciputat yang telah menjadi saudara di perantauan.

Jakarta, 4 Desember 2014


(8)

viii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D. Tinjauan Pustaka... 7

E. Kerangka Pemikiran... 10

1. Politik Luar Negeri... 10

2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri... 11

3. Intervensi... 13

F. Metode Penelitian... 18

G. Sistematika Penulisan... 19

BAB II KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING A. Sejarah Konflik di Pantai Gading... 21


(9)

ix

BAB III KEBIJAKAN PERANCIS UNTUK MENGINTERVENSI

KONFLIK DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011

A. Sejarah keterlibatan Perancis di Pantai Gading... 36

1. Periode Kolonial... 36

2. Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil ... 40

B. Sikap dan Kebijakan Perancis terhadap Konflik di Pantai Gading... 45

C. Dukungan Perancis atas Intervensi bersama PBB di Pantai Gading Tahun 2011... 48

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2010-2011 A. Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading ... 51

1. Kebutuhan Sosio-ekonomi dan Keamanan... 51

2. Atribut Nasional... 60

3. Opini Publik... 62

4. Birokrasi... 64


(10)

x

2. Masalah Global dari Sektor Privat... 70

BAB V PENUTUP

Kesimpulan... 74 DAFTAR PUSTAKA ... xv


(11)

xi


(12)

xii

Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika...xiv Gambar II.1 Afrika Paska Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia...35 Gambar IV. 1 Tren Ekspor Impor Tiongkok dan Afrika...62


(13)

xiii

AOF : Afrique Occidentale Française

CSIS : Centre for Strategic and International Studies DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ECOWAS : Economic Community Of West African States

FPI : Front Populaire Ivoirien

HAM : Hak Asasi Manusia

MINUCI : Mission des Nations Unies en Côte d’Ivoire MJP : Mouvement pour la Justice et la Paix

MPCI : Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire

MPIGO : Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest NATO : North Atlantic Treaty Organization

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PDCI : Parti Démocratique de Côte d’Ivoire PIGS : Portugal Ireland Greece Spain

PS :Parti Socialiste

RECAMP : Renforcements des Capacités Africaines de Maintien de la Paix RPR : Rassemblement pour la République

UA : Uni Afrika

UE : Uni Eropa

UMP : Union pour un Mouvement Populaire UNOCI : United Nations Operation in Côte d’Ivoire


(14)

xiv


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pantai Gading atau Republic of Côte d’Ivoire adalah negara yang terletak di bagian barat benua Afrika, tepatnya di teluk Guinea. Negara bekas koloni Perancis ini mendapat status daerah otonomi pada tahun 1958 dan pada 1960, Pantai Gading mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis. Setelah mendapatkan status independennya sampai tahun 1993, dalam pemerintahan Felix Houphouët-Boigny, Pantai Gading merupakan negara yang secara politik cenderung stabil1. Stabilnya situasi politik di Pantai Gading diikuti oleh situasi ekonomi yang membaik ditandai dengan dicapainya pertumbuhan ekonomi yang mencapai angka 7 persen setelah 20 tahun kemerdekaannya2

Selama dekade 1990-an Pantai Gading mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat baik karena liberalisasi reformasi pasar yang diterapkan pemerintahan Houphouët-Boigny sehingga Pantai Gading menguasai 40 persen produksi kakao dunia3. Situasi ini membawa banyak imigran berkerja pada sektor industri perkebunan terutama kopi, kelapa sawit, karet, dan kakao yang merupakan komoditi utama Pantai Gading4.

1 Tom Ogwag,

The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire (CIGI, 2011), 2. 2 Abdul Hadi Adnan,

Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika (Bandung: C.V. Angkasa,

2007), 66.

3Christian Purefoy, “What causing the conflict in Ivory Coast ?” Diunduh 23 Desember 2013 dari

(http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/04/03/ivory.coast.explainer)


(16)

Namun, setelah meninggalnya Presiden Houphouët-Boigny tahun 1993, Pantai Gading harus menghadapi gejolak ekonomi yang diikuti pergolakan politik akibat perang saudara dan perpecahan politik yang terjadi di negara ini. Keadaan ini menyebabkan Pantai Gading terbagi menjadi wilayah utara dan selatan5. Pemerintah yang dipimpin Laurent Gbagbo mengendalikan bagian selatan yang terpusat di Abidjan, dan basis kekuatan massa Kristen pendukung Gbagbo. Sedangkan wilayah utara dikuasai oleh kelompok oposan yang dipimpin oleh Alassane Ouattara terpusat di Yamoussoukro, didominasi oleh kaum imigran pedagang Muslim6.

Pantai Gading menyelenggarakan pemilihan umum tahun 2010, setelah tertunda enam kali, untuk menyatukan kembali wilayah yang terpecah7. Pemilu yang diikuti oleh 14 kandidat pada putaran pertama, kemudian dilanjutkan oleh dua kandidat dengan suara terbanyak yaitu Presiden yang menjabat dari tahun 2000 Laurent Gbagbo dan mantan Perdana Menteri pada masa Houphouët-Boigny, Alassane Ouattara pada putaran kedua8.

Perselisihan dimulai ketika hasil dari pemilu putaran kedua diumumkan. Kedua kandidat sama-sama mengaku sebagai pemenang dari pemilihan umum yang telah berlangsung. Berdasarkan hasil dari Constitutional Council, Gbagbo dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan diambil sumpah kembali sebagai

5 Abdul Hadi Adnan,

Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika,68

6 Gary K. Busch, The French, The UN and Ivory Coast”, diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.ocnus.net/artman2/publish/editorial_101)

7Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” 2010 , 17 diunduh dari

(http://opus.bath.co.uk)

8Matthew Mitchell, “Insights from the Cocoa Regions in Côte d'Ivoire and Ghana: Rethinking the


(17)

Presiden Pantai Gading untuk masa jabatan selanjutnya9. Namun, Commission

Electorale Independente menyatakan bahwa Ouattara sebagai pemenang pemilu10.

Penolakan atas pengesahan hasil pemilu yang dikeluarkan Constitutional

Council dilakukan oleh masa pendukung Outtara sehingga menyebabkan bentrok

antara milisi pendukung Ouattara dan Gbagbo yang didukung oleh militer11. Konflik bersenjata antara dua kubu ini menyebabkan tewasnya 44 orang di Abidjan dan Yamoussoukro pada Desember 2010.

Melihat konflik yang berakibat pada timbulnya korban sipil, PBB, Uni Afrika dan ECOWAS memulai upaya mediasi dari kedua pihak yang bertikai. Pada 4 Desember 2010, Uni Afrika mengutus mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki untuk menemui Gbagbo guna mendiskusikan jalan damai dan penghentian kekerasan. Mediasi yang bertujuan meminta Gbagbo untuk bersedia turun dari jabatannya dan digantikan oleh Ouattara, ditanggapi dingin oleh Gbagbo dengan tidak mundur dari jabatan Presiden Pantai Gading12. ECOWAS juga mengimbau Gbagbo untuk mundur dari jabatannya guna menghindari

9“Ivory Coast poll overturned: Gbagbo declared winner” Diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11913832)

10 “Resultats de la second tour de L'ELECTION DU PRESIDENT DE LA REPUBLIQUE

diunduh 23 Desember 2013 dari

(www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_02122010.pdf)

11 (Torrent & Potokar, 2011) Lluis Torrent dan Iztok Potokar “Côte d’Ivoire: International response and origins of the conflic”, diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.unitedexplanations.org/2011/04/04/international-response-to-the-current-situation-in-cote-divoire-and-the-origins-of-the-conflict/)

12Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a Stand”. Foreign Affairs, volume 90, no 4(2011):133.


(18)

penggunaan kekerasan untuk mengakhiri konflik dan kemudian diikuti oleh sanksi ekonomi13.

Setelah gagalnya mediasi, konflik kembali menelan 33 korban jiwa akibat bentrok di Duékoué pada Januari 2011. Menjelang pertengahan Januari 2011, keadaan semakin parah di Abidjan, 11 penduduk sipil tewas setelah diserang oleh RPG dan senjata otomatis yang diduga dilakukan milisi pro-Ouattara14. Perang saudara ini mencapai klimaksnya saat kontak senjata yang terjadi pada 27 - 29 Maret 2011 menyebabkan sedikitnya 505 orang tewas di Duékoué, menurut laporan United Nations Operation in Côte d’Ivoire15, ketika terjadi kontak senjata antara pihak yang bertikai di wilayah tersebut.

Menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Pantai Gading, Perancis mensponsori Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi DK PBB No. 1975 yang meminta Gbagbo untuk mundur dari jabatan presiden Pantai Gading. Bentuk dari tindak lanjut resolusi DK PBB no. 1975. Pada 31 Maret 2011, Perancis mengirim pasukan dalam operasi Licorne bersama pasukan PBB menyerang basis militer pro-Gbagbo. Dalam serangan ini, Perancis mengerahkan tank Puma dan helikopter Gazzelle yang dibantu oleh dua helikopter MI24 milik

13Foluke Ipinyomi, “Is Côte d’Ivoire a Test Case for R2P? Democratization as Fulfilment of the

International Community’s Responsibility to Prevent”. Journal of African Law,

volume56, no 2. (2012): 159

14 Summary of UNOCI weekly press conference March 2011 15 Summary of UNOCI weekly press conference May 2011


(19)

PBB16. Serangan terhadap kelompok pro-Gbagbo menandai intervensi Perancis ke Pantai Gading di tahun 2011.

Pada 1 April 2011, militer Perancis mengirim sejumlah tentara dan 30 kendaraan tempur ke kediaman Presiden untuk menangkap Gbagbo17.Dalam serangan sepuluh hari ke kediaman Presiden yang diduduki oleh Gbagbo, pasukan Perancis dan PBB berhasil menghancurkan senjata berat yang melindungi kediaman tersebut dan menangkap Gbagbo18. Setelah tertangkap, Laurent Gbagbo dikirim ke Den Hague untuk diadili di International Criminal Court 19. Pascapertempuran sepuluh hari di Abidjan militer Perancis dan PBB menyuplai logistik dan mempersenjatai milisi pro-Ouattara20. Peran Perancis menurut Zounmenou dan Lamin melewati mandat PBB untuk melindungi penduduk sipil dikarenakan peran aktif dan agresif dalam menangkap Gbagbo21. Sedangkan menurut McGovern, Perancis dianggap menyalahi mandat DK-PBB 1975 poin 6 dan 722.

16Bruce Crumley “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”.

Diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html)

17Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’ and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”. African Journal on Conlifct Resolution, Volume 12, no. 2 (2012): 146

18Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a Stand”, 129

19Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’ and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”, 138

20David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis : Ouattara Rules but can he Govern ?”. Journal of African Elections, Volume 10, no. 2

(2011): 13

21David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis : Ouattara Rules but can he Govern ?”, 11

22 Mike McGovern, “The Ivorian Endgame” diunduh 23 Desember 2013 dari


(20)

Intervensi Perancis terhadap Pantai Gading pada 2011 terjadi saat situasi perekonomian Uni Eropa sedang labil. Ketika negara-negara UE sedang melakukan kebijakan pengetatan pengeluaran negara, termasuk pengeluaran militer, tindakan intervensi militer Perancis bertentangan dengan tren austerity

budget (penyederhanaan anggaran) yang sedang diterapkan oleh negara-negara

UE. Perancis pada tahun 2009 bersama negara-negara PIGS (Portugal, Irlandia, Yunani,dan Spanyol) mengalami defisit anggaran, melakukan intervensi militer ke Pantai Gading saat pertumbuhan ekonominya pada tahun 2011 hanya mencapai 1,5 persen23. Tindakan pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading ketika kondisi ekonomi negaranya sedang tidak stabil menyebabkan fenomena ini menarik untuk diteliti.

B. Pertanyaan penelitian

Perdasarkan penjelasan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan oleh penulis adalah : Mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading pada tahun 2011 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini lakukan untuk menjawab pertanyaan penelitan dengan teori-teori serta konsep-konsep yang ada dalam hubungan internasional.


(21)

1.3.1 Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk menjelaskan faktor-faktor intervensi militer Perancis ke Pantai Gading pada tahun 2011.

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan historis antar negara dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Sebagai media untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama belajar di program studi hubungan internasional.

2. Sebagai sumber bacaan untuk peminat masalah keamanan internasional sebagai salah satu kajian hubungan internasional.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait intervensi Perancis di Pantai Gading dan konflik di Pantai Gading sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Courtney P. Conroy (2010), dalam skripsinya di Universitas Salve Regina yang berjudul France as A Negative Influence on Côte d’Ivoire : The Consequences of Foreign Interference. Conroy menjelaskan mengapa Pantai Gading meneruskan hubungan dengan Perancis meski banyak konsekuensi negatif yang dihasilkan. Penelitian ini menelaah fenomena tersebut menggunakan kajian sejarah untuk melihat hubungan


(22)

kolonial Perancis dan Pantai Gading sehingga menemukan hubungan yang jelas antara kedua negara terkait masalah kontemporer yang dihadapi Pantai Gading24.

Conroy dalam penelitiannya menemukan bahwa konflik di Pantai Gading, tidak terlepas dari ketergantungan Pantai Gading dengan Perancis setelah masa kolonial. Selain itu, Conroy menjelaskan bahwa meski hubungan antara dua negara ini memberikan banyak konsekuensi negatif kepada Pantai Gading, ikatan historis yang kuat dan terjadinya transfer teknologi membuat hubungan terus diperkuat.

Konflik yang terjadi Pantai Gading, juga dibahas oleh Dita Herdiyanti (2013), dalam skripsinya di Universitas Hasanudin Makasar yang berjudul Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading. Skripsi ini membahas bagaimana peran UNOCI di Pantai Gading untuk menyelesaian konflik pascapemilu 2010 dengan menggunakan pendekatan liberal institusional yang terfokus pada peran organisasi internasional untuk menjaga perdamaian dan teori konflik Johan Galtung untuk menganalis konflik yang terjadi di Pantai Gading25.

Herdiyanti menjelaskan bahwa UNOCI memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik pascapemilu 2010 di Pantai Gading. Hal ini ditunjukan dengan berhasilnya UNOCI dalam menekan intensitas konflik. UNOCI menggunakan pendekatan koersif dalam menekan konflik dengan

24 Courtney Patricia Conroy,

France as a Negative Influence on Ivory Coast : The Consequences of Foreign Interference, (Salve Regina University, 2010)

25 Dita Herdiyanti,

Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading (Universitas Hasanuddin, 2010)


(23)

menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengamankan wilayah dan melindungi warga sipil di Pantai Gading.

Skripsi ini menemukan hambatan-hambatan yang dialami oleh UNOCI dalam menjalankan mandat, seperti serangan dan gangguan terhadap personilnya. Dalam upaya merespon hambatan ini UNOCI menerima dukungan dari personil UNMIL, pasukan Licorne Perancis, dan pasukan FRCI untuk menekan konflik dan melindungi warga sipil. Skripsi ini juga menyimpulkan bahwa UNOCI berhasil dalam menekan konflik hingga konflik terselesaikan, maka UNOCI telah memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik di Pantai Gading.

Terkait intervensi militer Perancis telah dibahas oleh Katariina Simonen pada artikel Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire dalam jurnal International Peacekeeping. Artikel ini menjelaskan bagaimana Perancis melakukan justifikasi atas intervensi militer yang dilakukan ke Pantai Gading26.

Simonen menganalisa pernyataan resmi Pemerintah Perancis dan menelaah bagaimana intervensi yang berakibat pada pergantian regim di Pantai Gading dapat dibenarkan, khususnya pada aspek legal. Pernyataan resmi mengacu pada pernyataan Presiden Perancis dan perwakilan pemerintah terkait pengunaan kekuatan militer melalui Operasi Licorne untuk membantu UNOCI dalam periode November 2010 sampai Ouattara menjabat Presiden pada 2011.

26Katariina Simonen, “Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire”, International Peacekeeping, 19:3(2013).


(24)

Penelitian ini menyatakan bahwa menurut Pemerintah Perancis intervensi ke Pantai Gading dapat dibenarkan karena sejalan dengan regim intervensi di bawah hukum internasional. Intervensi berada dibawah mandat DKPBB, Perancis memiliki tanggung jawab untuk mengevakuasi warga negara Perancis dan Eropa, serta intervensi dilakukan untuk kepentingan demokrasi Pantai Gading dan Afrika, menjadi justifikasi Perancis atas intervensi ke Pantai Gading. Meski, menurut Simonen, pendapat ini dipengaruhi oleh interpretasi regim yang memerintah di Perancis saat itu.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini meneliti faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading pada 2011. Penelitian ini mencoba menjawab mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading dengan menggunakan teori faktor eksternal dan internal dari kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh K.J. Holsti.

E. Kerangka Pemikiran

1. Politik Luar Negeri

Politik luar negeri adalah sebuah aktifitas dimana negara sebagai aktor melakukan aksi dan reaksi27. Politik luar negeri merupakan sintesis dari tujuan-tujuan (kepentingan nasional) dan instrumen negara (power dan kapabilitas). Jika dilihat dari pengertian dan unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri

27 Graham Evans dan Jeffrey Newnham,

The Penguin Dictionary of International Relations


(25)

dari dua elemen yaitu : kepentingan nasional yang akan dicapai dan instrumen untuk mencapainya. Dalam unsur-unsurnya itu terdapat politik luar negeri semua negara28.

Politik luar negeri sendiri bisa dibagi atas empat kategori, dibedakan menurut keputusan-keputusan yang kritis, penting, dan rutin. Politik luar negeri juga dapat dibedakan menurut kategori isu, seperti isu-isu militer, politik, ekonomi, lingkungan, sumber daya, teknik, kultural, dan humaniter (kemanusiaan)29.

2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri

Dalam prakteknya upaya mencapai kepentingan nasional melalui politik luar negeri dipengaruhi oleh banyak hal. Holsti berpendapat bahwa politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal30.

Faktor Eksternal adalah faktor-faktor non domestik suatu negara yang

memengaruhi negara dalam melakukan politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Struktur sistem internasional, kebijakan dari negara lain, masalah global dan regional sektor privat, hukum internasional dan opini publik global merupakan faktor ekternal yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri.

28 .Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,

Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power (Bandung: C.V Abardin 1990), 126

29 Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,

Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, 128

30 K. J. Holsti,


(26)

1.Struktur sistem internasional, yaitu tatanan internasional, unipolar, bipolar, atau multipolar. Situasi ini berpengaruh pada pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, terlebih bagi negara-negara yang berada pada pengaruh negara besar atau negara pusat polar.

2. Karateristik atau struktur ekonomi internasional. Faktor ini terdiri dari tiga hal yaitu struktur ekonomi global, masih dalam keadaan polaritas atau sudah mengalami globalisasi. Selanjutnya peran rejim ekonomi internasional seperti World Bank dan IMF. Terakhir keadaan ekonomi global saat itu

3. Kebijakan aktor atau negara lain, faktor ini adalah bentuk tanggapan atau respon dari negara lain di luar negara atau aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan luar negeri.

4. Masalah global dan regional sektor privat merupakan masalah yang dilakukan oleh aktor non-negara atau aktor privat. Masalah yang dimaksud adalah masalah kontemporer dalam hubungan internasional seperti pencemaran udara yang disebabkan oleh perusahaan swasta.

5. Hukum internasional dan opini publik, kebijakan suatu negara dipengaruhi oleh hukum internasional yang berlaku pada negara tersebut juga opini publik global terkait kebijakan yang akan dikeluarkan.

Faktor Internal adalah faktor domestik yang memengaruhi negara dalam

menyusun politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Kebutuhan sosioekonomi atau kebutuhan keamanan, karakteristik geografi dan topografi,


(27)

opini publik domestik, Struktur Pemerintahan dan filosofi, birokrasi, dan pertimbangan etik merupakan faktor internal atau domestik yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri.

1. Kebutuhan sosioekonomi atau keamanan adalah faktor yang memengaruhi keadaan sosio ekonomi atau keamanan domestik negara.

2. Karakteristik geografi dan topografi, kondisi geografi dan topografi sangat memengaruhi keadaan sosial domestik. Sebagai contoh negara kepulauan mempunyai kebijakan luar negeri yang berbeda dengan negara landlock 3. Atribut Nasional adalah karakteristik atau ciri umum suatu negara, seperti

atribut sebagai negara Islam. keikutsertaan suatu negara terhadap suatu forum atau organisasi juga sebagai atribut suatu negara. Karakteristik umum ini akan memengaruhi bentuk kebijakan luar negari suatu negara. 4. Struktur Pemerintahan dan filosofi. Struktur pemerintahan dan falsafah

yang dianut oleh sebuah negara secara langsung akan memengaruhi cara pengambilan kebijakan dan kebijakan yang dihasilkan.

5. Opini Publik, yang dimaksud adalah pendapat masyarakat yang memiliki kebebasan dalam berpendapat. Holsti menjelaskan untuk mengetahui sejauh mana pendapat masyarakat berpengaruh harus di lihat dari siapa yang berpendapat, pada isu apa, dan bagaimana pendapatnya.


(28)

6. Birokrasi, hal ini tertuju bagaimana proses perumusan kebijakan luar negeri dirumuskan dan bagaimana kerjasama antar elemen dalam pemerintahan dalam merumuskan kebijakan.

7. Pertimbangan etik adalah pertimbangan yang dilakukan oleh negara agar tujuan kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri yang keluarkan tercapai.


(29)

Faktor Eksternal/ Sistemik

1. Sistem struktur (latitude of choice) 2. Karakteristik/struktur ekonomi dunia 3. Tujuan dan aksi dari negara lain 4. Masalah global dan regional

5. Hukum internasional dan opini dunia

Pengaruh Pengaruh

Aksi

Umpan balik Faktor Domestik

1. Ekonomi sosial/kebutuhan kemananan 2. Karakteristik Geografi dan Topografi 3. Atribut Nasional

4. Struktur pemerintahan dan Filosofi 5. Opini publik

6. Birokrasi

7. Pertimbangan Etik

Umpan Balik (sumber : K. J. Holsti 1992: 272)

Kepentingan dan tujuan

negara Proses

pembuatan kebijakan


(30)

Selain faktor eksternal dan faktor domestik, terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. Persepsi dan posisi terhadap pengaruh dari perumusan kebijakan merupakan faktor lain selain faktor eksternal dan domestik dalam perumusan kebijakan luar negeri yang terkait pada elemen-elemen pembuat kebijakan luar negeri31.

Persepsi dari pembuat kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh pandangan

(image) terhadap situasi lingkungan yang berupa persepsi, evaluasi serta

pemaknaan atas situasi yang terjadi pada lingkungan; sikap (attitudes) atau dapat diartikan sebagai tindakan yang muncul tentang objek, fakta atau kondisi, terkait kebijakan luar negeri ini dapat dimaknai bagaimana pembuat kebijakan menginterpretasi national interest atas situasi dan respon atas situasi yang terjadi; nilai-nilai (values) yang menentukan ke mana tindakan negara akan diarahkan, keyakinan (beliefs) yaitu pandangan pembuat kebijakan yang berasal dari dasar-dasar negara; doktrin dan ideologi (doctrine and ideologies) yang menghasilkan kerangka pemikiran melalui observasi pembuat kebijakan, membentuk pandangan dunia terhadap negaranya, justifikasi untuk pilihan kebijakan luar negeri, mengarahkan negara pada tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam dasar-dasar negara yang mereka tetapkan; analogi (analogies) yaitu pembelajaran terhadap masalah saat ini berdasarkan pengalaman suatu isu di peristiwa-peristiwa masa lalu.

Selain itu, Holsti juga menyatakan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh faktor-faktor personal seperti, pertama, keahlian pembuatan kebijakan, kedua,

31 K. J. Holsti,


(31)

pembawaan karakter setiap pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi orang lain untuk berpikiran sama dengannya, ketika bertindak dalam suatu situasi, dan

ketiga, pathological traits,yaitu karakter yang menunjukkan kelemahan pembuat

kebijakan ini.

3. Intervensi Militer

Intervensi mengacu pada tindakan aktor eksternal yang memenagruhi keadaan domestik suatu negara berdaulat32. Intervensi merupakan bentuk hard

diplomacy untuk menyelesaikan konflik, terutama bagi negara yang dinilai tidak

memiliki kapabilitas untuk menghentikan konflik.

Intervensi sebagai instrumen resolusi konflik memiliki beberapa prinsip yaitu : impartiality atau imparsialitas adalah sikap dari intervener yang tidak melibatkan kepentingannya dalam tindakan intervensi, prinspi ini dapat juga diartikan bahwa intervener harus bersikap netral; mutuality adalah prinsip mendasar dalam tindakan intervensi, antara intervener dan negara yang harus saling membantu dalam upaya penghentian konflik; sustainability atau berkelanjutan diartikan bahwa tindakan intervensi memberikan dampak berkelanjutan serta menuju pada penghentian kekerasan dan rekonstruksi pascakonflik; complementarity atau saling melengkapi, prinsip ini bertujuan saat intervensi dilakukan oleh pasukan multinasional untuk saling membantu demi kepentingan yang lebih besar; reflexivity adalah prinsip yang membuat intervener agar mengingat tujuan intervensi dan batasan-batasan yang dimiliki; consistency

32 Joseph Nye,


(32)

merupakan prinsip yang menegaskan sikap konsisten dalam tindakan intervensi agar tidak terjadi standar ganda; accountability, prinsip ini mengatur hubungan antara intervener dan atas nama siapa mereka bertindak, sehingga jelas atas otoritas siapa intervensi dilakukan; dan universality atau universalitas mengingatkan bahwa intervensi merupakan tindakan lintas batas negara dan berdampak secara universal33.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologi penelitian sosial

kualitatif. Menurut Salkind, metode kualitatif adalah “social or behavioral science research that explores the prosses that underline human behavior using such exploratory techniques as interviews, surveys, case studies, and other relatively

personal techniques.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

metode kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan teknik-teknik personal seperti wawancara dan studi kasus34. Metode kualitatif didasarkan pada data-data primer dan sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal, artikel, wawancara serta sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian dengan materi penelitian .

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisa kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading dilakukan dengan menggabungkan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah

33Oliver Ramsbotham, dkk,

Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press, 2006),h.

277-283.

34 Neil J. Salkind,


(33)

dari wawancara dengan staf-staf perwakilan pemerintahan Perancis dan para pakar isu terkait. Laporan resmi pemerintah juga dimasukan dalam data-data primer.

Sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal, surat kabar, dan artikel yang terkait dengan subjek yang diteliti, baik melalui studi kepustakaan dan akses internet. Sumber sekunder berupa studi kepustakaan didapat melalui kunjungan ke Perpustakaan FISIP UIN Jakarta, Perpustakaan CSIS, Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, Perpustakaan Kedutaan Perancis, Perputakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Perpustakan Kementerian Pertahanan

Penelitian ini juga merupakan analisa data kualitatif berupa penggambaran, penguraian, dan analisa fakta atau keadaan terkait kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading. Penelitian analisa kualitatif ini difokuskan pada faktor eksternal dan internal yang memengaruhi kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari penelitian. Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, serta sistematika penulisan dalam penelitian.

BAB II KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING

Bab ini menjelaskan sejarah dan dinamika konflik yang terjadi di Pantai Gading, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan pengaruh konflik yang terjadi di Pantai Gading kepada negara lain.


(34)

BAB III KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA

KONFLIK DI PANTAI GADING TAHUN 2011

Bab ini menjelaskan peran dan keterlibatan Perancis di Pantai Gading, sejak masa kolonial hingga saat terjadi konflik paska pemilu tahun 2011. Dalam Bab ini juga dijelaskan sikap dan kebijakan Perancis terkait dinamika politik di Pantai Gading.

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN

PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI

GADING TAHUN 2010-2011

Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan Perancis terkait intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. Dalam bab ini dijelaskan faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi Intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011.

BAB V PENUTUP

Bab ini merangkum hasil penelitian mengenai intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011.


(35)

BAB II

KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING

Dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Pada kasus Pantai Gading, awalnya konflik hanya terjadi di dalam batas negara kemudian meluas sehingga menjadi konflik yang ter-internasionalisasi. Instabilitas ekonomi,

xenophobia35, dan kurangnya legitimasi institusi negara merupakan beberapa

penyebab konflik.

A. Sejarah Konflik di Pantai Gading

Konflik yang terjadi di Pantai Gading yang terjadi pascapemilihan umum tahun 2010 bukan konflik pertama di negara Afrika Barat tersebut. Ketegangan politik sudah terjadi sejak tahun 1990 yang menjadi awal ketidakstabilan keamanan di Pantai Gading hingga terjadi konflik pascapemilu tahun 2011.

Pantai Gading sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen pada dekade 1980-an berkat komoditas utamanya kakao. Namun, memasuki dekade 90-an, harga kakao mengalami kemerosotan dan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi Pantai Gading yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi secara tidak langsung mengubah sistem pemilihan umum Pantai Gading36. Boigny yang telah menjadi presiden sejak tahun 1960, untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum multipartai. Padahal, sebelumnya pemilihan umum di Pantai Gading hanya

35

Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian kepada orang dan sesuatu yang asing. Diunduh dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/xenophobia)

36Abdul Hadi Adnan,


(36)

diikuti oleh Parti Démocratique de Côte d’Ivoire (PDCI) sebagai satu-satunya partai yang berkuasa.

Pada tahun 1990, pemilu diselenggarakan akibat rangkaian protes yang menentang pemerintahan Boigny. Protes tersebut terjadi akibat pemerintah saat itu mencabut subsidi sektor pertanian serta melakukan penyederhanaan anggaran37. Menanggapi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mahasiswa dan serikat tani Pantai Gading saat itu melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintahan yang lebih demokratis, demonstrasi berakibat bentrokan dengan polisi38. Melihat demonstrasi yang semakin mengkhawatirkan, Presiden Boigny menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh partai selain PDCI.

Selain diikuti oleh PDCI sebagai partai pemerintah, Pemilu Pantai Gading juga diikuti Front Populaire Ivoirien (FPI) yang mengusung Laurent Gbagbo sebagai calon presiden. Meski kembali dimenangi oleh Boigny, peristiwa ini menandai kemunculan Gbagbo sebagai tokoh oposisi di Pantai Gading. Kemenangan Boigny membuatnya meneruskan masa jabatan yang telah diduduki sejak 1960.

Namun, hanya tiga tahun setelah memenangi pemilu multipartai pertamanya, Felix Houphouët Boigny meninggal dunia. Pascameninggalnya Boigny, jabatan Presiden Pantai Gading dijabat oleh Henri Konan Bedié yang

37Jennifer A. Widner, “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”,

Journal of Option, Vol. 20 no. 1

(1991), 31.

38Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 1989 -1990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari

(http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/ivorians-demand-switch-multipartydemocracy-1989-1990)


(37)

sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Legislatif Pantai Gading39. Selama memerintah, Bedié memperkenalkan konsep Ivoirité yang melarang orang yang bukan asli Pantai Gading untuk menempati posisi tinggi dalam pemerintahan Pantai Gading. Konsep Ivoirité diduga digunakan oleh Bedié untuk menjegal niat dari Alassane Ouattara, mantan perdana menteri Boigny, yang ingin maju menjadi presiden pada pemilu 1995, namun Ouattara merupakan keturunan Burkina Faso40.

Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1995, Bedié yang menjadi pengganti Boigny mengikuti pemilu pertama kali. Dalam pemilihan presiden kali ini Bedié bersama Francis Wodié bersaing untuk menjadi presiden. Hasil pemilu memenangkan Bedié. Pemilu ini tidak diikuti oleh Laurent Gbagbo yang merupakan tokoh oposisi pemerintah. Tindakan ini diambil Gbagbo untuk mendukung Alassane Ouattara yang tidak dapat mengikuti pemilu akibat diskriminasi Ivoirité41.

Dalam pemerintahan Bedié setelah pemilu 1995, Pantai Gading mengalami stagnansi ekonomi dan diskriminasi etnis akibat Ivoirité. Kondisi ini menyebabkan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Gueï melakukan kudeta atas pemerintahan Bedié dan menghapuskan Ivoirité, meski demikian Ouattara masih dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum selanjutnya karena dianggap sebagai entitas asing. Tindakan Gueï yang melarang

39Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition in the 1990 and 1995 Elections”, African Affairs, vol. 96 no. 383 (1997): 220

40 Cyril K. Dadieh, “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of Succession and Democratic Transition”, African Issues. Vol. 29 no. ½ (2001):17 41Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition


(38)

keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading42.

Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan junta militer. Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale43.

Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo44. Dalam pemerintahan ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara yang dipandang sebagai entitas imigran tidak diikutsertakan dalam pemerintahan45.

Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari

42 Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” (Uppsala: Nordiska

Afrikainstitutet, 2004), 21

43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” (Norway: Landinfo, 2006),16 44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” (Bath : Centre for Development

Studies University of Bath, 2010), 10


(39)

kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo pada tahun 200146. Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari.

Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya, Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi. Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara47. Meski telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer48.

Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan

46Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari

(http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cote-divoire.php?pag)

47“Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml)

48 Tom Ogwag,


(40)

berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi49.

Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi Afrika Barat atau Economic West Africa Society (ECOWAS) memprakasai Accra

Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan

pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak50.

Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan Pimpinan MPCI (Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire), kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo, di Bouaké untuk membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading. Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam

49Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 (2003), 641

50 Prosper Addo,

Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, (Accra: KAIPTC 2005) ,


(41)

Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité51. Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI. Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading.

Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15 Januari 2003, Pemerintah Perancis, ECOWAS, Uni-Afrika, dan PBB mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis, Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National

Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading

dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait perjanjian yang mereka sepakati52.

Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCI(United Nations Operation in

51 Prosper Addo,

Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 51 52 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict.19


(42)

Côte d’Ivoire)53. Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi yang akan terjadi54. Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan. Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari Pantai Gading55. Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali.

Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada Uni-Afrika dan ECOWAS56. Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian

53Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against Global Governace”, African Affairs (2011), 8

54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace (Bonn:BICC,

2010), 12

55French foreign minister's visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari

(http://www.france24.com/en/20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivory-coast-france)


(43)

PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai57.

Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan pemilihan umum selanjutnya. Pada Oktober 2010, Pantai Gading menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan Alassane Ouattara pada putaran akhir.

Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya.

57 Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace (Bath : Centre for Development Studies


(44)

B. Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading

Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini.

Pihak pertama, FPI (Front Populaire Ivoirien) adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes

Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes

Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo

sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading58.

Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading.

Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI). MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan

58“Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari


(45)

sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai Gading 59

Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO). Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï60.

Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP). Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces61.

59“Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm)

60“ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm)

61“Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari


(46)

Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62.

C. Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading

Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002, akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga. Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi, semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam penyelesaian pertikaian.

Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk. UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk, beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan

62“Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari


(47)

Abidjan63. Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan 2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64.

Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali, namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke negara-negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian65. Ketika konflik pascapemilu tahun 2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai, meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan perdamaian PBB.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional, menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai

63UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” (2011), 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa)

64UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground”, 8

65 Prosper Addo,


(48)

Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en

Côte d'Ivoire (MINUCI) yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan

ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi

Linas-Marcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali

mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada

Opération des Nations Unies en Côte d'Ivoire (ONUCI)66.

Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no. 157267. Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 172168.

Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB

66

“UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml)

67Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), 4 diunduh dari

(http://conference.osu.eu/globalization/publ/10-istok_koziak.pdf.)


(49)

memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang perdagangan berlian dari negara ini69.

Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB dengan menambah pasukan perdamaian sebanyak 500 personel pada Desember 2010 dan menambah hingga 2.000 personel pada Januari 2011. Pada akhir Maret 2011, akibat dari kegagalan mediasi dan penolakan Laurent Gbagbo untuk turun dari jabatan dan menghentikan konflik, DK PBB mengeluarkan sanksi kepada Gbagbo berupa Resolusi No. 1975. Bentuk nyata dari resolusi ini adalah diserangnya pangkalan milisi pendukung Gbagbo di Abidjan pada 4 April 2011, kemudian penyerangan ke tempat tinggal yang diikuti dengan penangkapan Gbagbo pada 10 April 2011 70.

69Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” 70Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”


(50)

BAB III

KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI

PANTAI GADING TAHUN 2011

A. Sejarah Keterlibatan Perancis di Pantai Gading

1. Periode Kolonial

Persaingan antar bangsa di Eropa dan Perang Salib yang terjadi di Timur Tengah menyebabkan bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke bagian dunia baru. Perancis sebagai salah satu negara besar di Eropa juga melakukan penjelajahan dengan tujuan ekspansi teritorial, ekploitasi sumber daya, dan misionaris. Afrika yang secara geografis berdekatan dengan Eropa menjadi daerah pertama yang menjadi tujuan kolonialisasi.

Perancis datang pertama kali ke kawasan Afrika Barat tercatat pada 1483. Kedatangan bangsa Perancis ke Afrika Barat bertujuan untuk mengekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perbudakan71. Kontak antara Pantai Gading dan Perancis pertama kali terjadi pada 1637, saat Perancis mengirim misionaris ke Assinie yang kemudian menjadi pos pertama Perancis di Pantai Gading72.

Keberadaan Perancis di Teluk Guinea dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Pantai Gading modern. Pada 1843-1844, Kerajaan Kong yang menguasai wilayah Pantai Gading modern melalui Raja Grand Bassam dan Assinie melakukan perjanjian yang menempatkan wilayah kedua kerajaan tersebut

71 Robert E. Handloff, ed.,

Ivory Coast, (Washington D.C : Library of Congress, 1988) diunduh

pada 19 April 2014 dari (http://countrystudies.us/ivory-coast/5.htm )

72 Francis McNamara,


(51)

di bawah protektorat Perancis untuk berlindung dari serangan suku Agni dan Boule73. Pedagang, misionaris, dan tentara dari Perancis mulai berdatangan setelah wilayah tersebut berada dalam protektorat yang dimanfaatkan oleh Perancis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika sebagai respon untuk mengimbangi kekuatan Inggris, Jerman dan Portugal.

Pada 1885, Inggris, Jerman, dan Perancis mengadakan pertemuan di Berlin untuk mengatur kekuasaan wilayah-wilayah di Afrika guna menghindari ketegangan antar negara-negara kolonial. Pascapertemuan di Berlin, Pantai Gading secara resmi menjadi koloni Perancis di Afrika Barat pada tahun 1893. Kolonialisasi Perancis di Pantai Gading mendapat perlawanan dari suku setempat akibat dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan penduduk setempat dan menyalahi perjanjian protektorat yang disepakati terdahulu74.

Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia

Sumber : French in Black Africa, h. 30

73 Francis McNamara,

French in Black Africa, 23 74 Robert Pakenham,


(52)

Selama berjalannya kolonialisme di Pantai Gading, Perancis menerapkan kebijakan asimilasi dan asosiasi. Dalam kebijakan asimilasi, Perancis menerapkan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, menanamkan nilai-nilai kebudayaan Perancis di wilayah koloni, dan membentuk institusi hukum Perancis. Untuk mencegah adanya perlawanan penduduk lokal Perancis menerapkan kebijakan asosiasi yang mengizinkan hukum adat setempat selama tidak bertentangan dengan kepentingan Perancis dan memberlakukan pembedaan hukum untuk orang Perancis yang berkoloni dengan penduduk lokal75.

Pada 1904, Pemerintah Republik ketiga Perancis76 berupaya melakukan sentralisasi terhadap koloni dengan membentuk Afrique Occidentale Française (AOF) atau Afrika Barat Perancis yang menjadi bagian dari Federasi Koloni Perancis. Pembentukan AOF juga dilatar belakangi oleh abolisi perbudakan yang diberlakukan. Berdirinya AOF memberikan kesamaan hak kepada penduduk yang tinggal di wilayah koloni untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis77.

Saat terjadi Perang Dunia II, perubahan situasi politik di Eropa turut memengaruhi situasi politik Pantai Gading yang tergabung dalam AOF. Ketika Nazi Jerman menginvasi wilayah Perancis dan mendirikan Perancis yang beribukota di Vichy. AOF kemudian berada dalam situasi memilih bergabung dengan Perancis Vichy Nazi atau Perancis yang bebas dari Nazi pimpinan

75K.E. Robinson, “The Public Law of Overseas France since the War”

Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 3/4. (1950), 37

76 Perancis beberapa kali menganti sistem pemerintahan setelah masa Louis XVI, Perancis saat ini

merupakan Republik ke lima

77“Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari


(53)

Jenderal Charles De Gaulle, AOF kemudian memilih bergabung dengan Perancis Jenderal Charles De Gaulle. Pasca-Perang Dunia II, Republik Keempat Perancis di bawah kepemimpin Charles De Gaulle memberikan hak politik kepada penduduk koloni di Afrika karena dinilai loyal. Pemberian hak politik ini diikuti dengan pemberian tempat perwakilan dari wilayah koloni Afrika dalam parlemen Perancis78.

Pemberian perwakilan di parlemen Perancis bagi wilayah koloni di Afrika disahkan dalam konstitusi baru yang disusun Republik Keempat Perancis pada pertemuan Brazzavile pada 1944. Pertemuan antara tokoh-tokoh Afrika dan Perancis di Brazzavile terjadi karena munculnya kebangkitan nasionalisme di kawasan Afrika Barat pasca-Perang Dunia kedua79.

Pada 1956 Pemerintah Perancis di Paris mengesahkan Loi Cadre atau

Overseas Reform Act yang memberikan hak daerah koloni untuk dipimpin oleh

orang Afrika80. Sebelum regulasi ini disahkan, kawasan Afrika Barat Perancis dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di Paris. Setelah pengesahan Loi Cadre geliat nasionalisme dan upaya dekolonialisasi semakin gencar dan puncaknya terjadi pada 1960 ketika kawasan Federasi Afrika Barat Perancis berpisah dengan mendeklarasikan negara yang terpisah dari AOF, termasuk Pantai Gading.

78Tomás Profant. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”,

Perspectives

Vol. 18 no.1. (2010) 48

79 C. A. Julien, “From the French Empire to the French Union”,

International Affairs Vol. 26, No.

4 (Oct., 1950) 488

80 Virginia Thompson dan Richard Adloff,

French West Africa, (Standford University Press. 1958)


(54)

2. Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil

Kemerdekaan koloni-koloni Perancis di Afrika Barat, termasuk Pantai Gading, mengubah kebijakan kolonialisasi menjadi kerjasama (kooperasi) yang diterapkan Perancis. Meski Pantai Gading sudah merdeka, masih menggunakan sistem peninggalan Perancis, baik sistem hukum, ekonomi dan sosial. Warisan masa kolonial ini membuat Pantai Gading tetap akan terkait dengan Perancis.

Keterlibatan Perancis di Pantai Gading setelah memperoleh kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dengan peran Presiden Felix Houphouët-Boigny. Saat Pantai Gading masih tergabung dengan OAF (Afrique Occidentale Française) pada masa Perancis dipimpin oleh Jenderal De Gaulle, Boigny sempat menduduki posisi penting seperti anggota Parlemen Perancis dan menjadi menteri dalam Pemerintahan Republik keempat Perancis.

Boigny yang terdidik dalam budaya pendidikan Perancis, berpandangan Perancis sebagai bekas master koloni Pantai Gading merupakan mitra kerja sama yang strategis. Kesamaan bahasa dan hubungan sejarah peninggalan masa kolonial, menurut Boigny, menciptakan kedekatan emosional antara Perancis dan Pantai Gading81. Pandangan Boigny tersebut terwujud selama masa menjabatan Presiden dalam kerja sama antar kedua negara dan kemudahan regulasi yang disediakan untuk investor dari Perancis seperti tax holiday selama 5 tahun serta 10 tahun pembebasan bea masuk82. Saat menjadi Presiden Pantai Gading Boigny juga mendorong kerja sama regional dengan Perancis yakni Françafrique yang

81 Felix Houphouët-Boigny, “Black Africa and The French Union”,

Foreign Affairs, (Juli 1957),

594

82 Abdul Hadi Adnan,


(1)

xxii

Sarkozy's micro-

managed intervention in Ivory Coast could win votes” diunduh

pada 20 November 2014 dari

(http://www.theguardian.com/world/2011/apr/11/sarkozy-ivory-coast-vote-winner)

“Qui et combien ?, Histoire et origine et Vie familiale”,

Les Immigrés en France,

(2005) diunduh pada 22 November 2014 dari

(http://www.insee.fr/fr/themes/document.asp?reg_id=0&id=2442 44)

“The Fabric of Reform, Background”, diunduh pada 2 Juli 2014 dari

(https://www.imf.org/external/pubs/ft/fabric/backgrnd.htm

“The Failed state Index 2011” diunduh pada 16 November 2014 dari

(http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/06/17/2011_failed_states_ind

ex_interactive_map_and_rankings)

“U.N., French

attack Gbagbo heavy weapons in Ivory Coast” diunduh pada 30

Agustus 2014dari

(http://www.reuters.com/article/2011/04/10/us-ivorycoast-idUSTRE73014Z20110410 )

“Union Pour Un Mouvement Populaire: La charte des valeurs” diunduh pada 21

November 2014 dari (http://www.u-m-p.org/notre-parti/nos-valeurs)

Skripsi

Claire, Julie M. 2011. Secular and Indivisible ?: Laïcité, Islam and French State.

Washington D.C.: American University.

Conroy, Courtney Patricia. 2010. France as a Negative Influence on Ivory Coast :

The Consequences of Foreign Interference. Salve Regina University

Herdiyanti, Dita. 2013. Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Paska Pemilu

2010 di Pantai Gading. Universitas Hasanuddin

Laporan Resmi

“Resultats

de la Second Tour de l'Election du President de la Republique

diunduh 23 Desember 2013 dari

(www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_

02122010.pdf)

Security Council United Nations. 2011. Resolution no. 1975.

UNOCI. 2011.Summary of UNOCI weekly press conference May 2011. Abidjan.

UNOCI. 2011.Summary of UNOCI weekly press conference March 2011.


(2)

xxiii

LAMPIRAN

United Nations S/RES/1975 (2011)

Security Council Distr.: General 30 March 2011 11-28476 (E)

*1128476* Resolution 1975 (2011)

Adopted by the Security Council at its 6508th meeting, on 30 March 2011

The Security Council,

Recalling its previous resolutions, in particular resolutions 1572 (2004), 1893 (2009), 1911 (2010), 1924 (2010), 1933 (2010), 1942 (2010), 1946 (2010), 1951 (2010), 1962 (2010), 1967 (2011), 1968 (2011) and the statements of its President relating to the situation in Côte d’Ivoire, and resolution 1938 (2010) on the situation in Liberia,

Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial integrity and unity of Côte d’Ivoire, and recalling the importance of the principles of good-neighbourliness, non-interference and regional cooperation,

Reiterating its strong desire that the post-electoral crisis in Côte d’Ivoire be resolved peacefully and require an overall political solution that preserves democracy and peace and promotes lasting reconciliation among Ivorians,

Commending the constructive efforts of the African Union High-level Panel for the resolution of the crisis in Côte d’Ivoire and reiterating its support to the African Union and the Economic Community of West African States (ECOWAS) for their commitment to resolve the crisis in Côte d’Ivoire,

Welcoming the decision of the Peace and Security Council of the African Union adopted at its 265th meeting at the level of Heads of State and Government, held on 10 March 2011 in Addis Ababa, which reaffirms all its previous decisions on the rapidly deteriorating post-electoral crisis facing Côte d’Ivoire since the second round of the


(3)

xxiv

presidential election, on 28 November 2010, which recognize the election of Mr Alassane Dramane Ouattara as the President of the Republic of Côte d’Ivoire,

Welcoming the political initiatives and noting the communiqué and the resolution on Côte d’Ivoire adopted by the Authority of Heads of State and Government of ECOWAS on 24 March 2011,

Expressing grave concern about the recent escalation of violence in Côte d’Ivoire and the risk of relapse into civil war and urging all parties to show utmost restraint to prevent such outcome and to resolve their differences peacefully,

Condemning unequivocally all provocative action and statements that constitute incitement to discrimination, hostility, hatred and violence made by any party,

Condemning the serious abuses and violations of international law in Côte d’Ivoire, including humanitarian, human rights and refugee law, reaffirming the primary responsibility of each State to protect civilians and reiterating that parties to armed conflicts bear the primary responsibility to take all feasible steps to ensure the protection of civilians and facilitate the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance and the safety of humanitarian personnel, recalling its resolutions 1325 (2000), 1820 (2008), 1888 (2009) and 1889 (2009) on women, peace and security, its resolution 1612 (2005) and 1882 (2009) on children and armed conflict and its resolution 1674 (2006) and 1894 (2009) on the protection of civilians in armed conflicts,

Welcoming the Human Rights Council resolution A/HRC/16/25 of 25 March 2011, including the decision to dispatch an independent international commission of inquiry to investigate the facts and circumstances surrounding the allegations of serious abuses and violations of human rights committed in Côte d’Ivoire following the presidential elections of 28 November 2010,

Stressing that those responsible for such serious abuses and violations, including by forces under their control, must be held accountable,

Reaffirming that it is the responsibility of Côte d’Ivoire to promote and protect all human rights and fundamental freedoms, to investigate alleged violations of human rights and international law and to bring to justice those responsible for such acts,

Considering that the attacks currently taking place in Côte d’Ivoire against the civilian population could amount to crimes against humanity and that perpetrators of such crimes must be held accountable under international law and noting that the International Criminal Court may decide on its jurisdiction over the situation in Côte d’Ivoire on the basis of article 12, paragraph 3 of the Rome Statute,

Determining that the situation in Côte d’Ivoire continues to constitute a threat to international peace and security,

Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations,

1. Urges all the Ivorian parties and other stakeholders to respect the will of the people and the election of Alassane Dramane Ouattara as President of Côte d’Ivoire, as recognized by ECOWAS, the African Union and the rest of the international community, expresses


(4)

xxv

its concern at the recent escalation of violence and demands an immediate end to the violence against civilians, including women, children and Internally displaced persons; 2. Calls upon all parties to pursue the overall political solution of the African Union and, in this regard, welcomes the decision of the African Union Peace and Security Council Summit of 10 March to appoint a High Representative for the implementation of the overall political solution and calls upon all parties to fully cooperate with him;

3. Condemns the decision of Mr. Laurent Gbagbo not to accept the overall political solution proposed by the High-Level panel put in place by the African Union, and urges him to immediately step aside;

4. Urges all Ivorian State institutions, including the Defence and Security Forces of Côte d’Ivoire (FDSCI), to yield to the authority vested by the Ivorian people in President Alassane Dramane Ouattara, condemns the attacks, threats, acts of obstructions and violence perpetrated by FDSCI, militias and mercenaries against United Nations personnel, obstructing them from protecting civilians, monitoring and helping investigate human rights violations and abuses, stresses that those responsible for such crimes under international law must be held accountable and calls upon all parties, in particular Mr. Laurent Gbagbo’s supporters and forces, to fully cooperate with the United Nations Operation in Côte d’Ivoire (UNOCI) and cease interfering with UNOCI’s activities in implementation of its mandate;

5. Reiterates its firm condemnation of all violence committed against civilians, including women, children, internally displaced persons and foreign nationals, and other violations and abuses of human rights, in particular enforced disappearances, extrajudicial killings, killing and maiming of children and rapes and other forms of sexual violence;

6. Recalls its authorization and stresses its full support given to the UNOCI, while impartially implementing its mandate, to use all necessary means to carry out its mandate to protect civilians under imminent threat of physical violence, within its capabilities and its areas of deployment, including to prevent the use of heavy weapons against the civilian population and requests the Secretary-General to keep it urgently informed of measures taken and efforts made in this regard;

7. Calls upon all parties to cooperate fully in the operation of UNOCI and French forces which support it, in particular by guaranteeing their safety, security and freedom of movement with unhindered and immediate access throughout the territory of Côte d’Ivoire, to enable them to fully carry out their mandate;

8. Calls upon all parties to fully cooperate with the independent international commission of inquiry put in place by the Human Rights Council on 25 March 2011 to investigate the facts and circumstances surrounding the allegations of serious abuses and violations of human rights committed in Côte d’Ivoire following the presidential elections of 28 November 2010, and requests the Secretary-General to transmit this report to the Security Council and other relevant

international bodies;

9. Condemns the use of Radiodiffusion Télévision Ivoirienne (RTI) and other media to incite discrimination, hostility, hatred and violence, including against UNOCI, as well as


(5)

xxvi

acts of intimidation and violence against journalists, and calls for the lifting of all restrictions placed on the exercise of the right of freedom of expression in Côte d’Ivoire; 10. Expresses deep concern about the increasing number of internally displaced persons and Ivorian refugees, especially in Liberia, caused by the crisis in Côte d’Ivoire, and calls on all Ivorian parties to cooperate fully with United Nations agencies and other actors working to enhance access to humanitarian aid to refugees and internally displaced persons;

11. Reiterates its longstanding demand that Mr. Laurent Gbagbo lift the siege of Golf Hotel without delay;

12. Decides to adopt targeted sanctions against those individuals who meet the criteria set out in resolution 1572 (2004) and subsequent resolutions, including those individuals who obstruct peace and reconciliation in Côte d’Ivoire, obstruct the work of UNOCI and other international actors in Côte d’Ivoire and commit serious violations of human rights and international humanitarian law, and therefore decides that the individuals listed in Annex I of this resolution shall be subject to the

financial and travel measures imposed by paragraphs 9 to 11 of resolution 1572 (2004), and reaffirms its intention to consider further measures, as appropriate, including targeted sanctions against media actors who meet the relevant sanctions criteria, including by inciting publicly hatred and violence;

13. Decides to remain actively seized of the matter.

Annex I

Targeted sanctions 1. Laurent Gbagbo

Date of birth: 31 May 1945

Place of birth: Gagnoa, Côte d’Ivoire

Former President of Côte d’Ivoire: obstruction of the peace and reconciliation process, rejection of the results of the presidential election.

2. Simone Gbagbo

Date of birth: 20 June 1949

Place of birth: Moossou, Grand-Bassam, Côte d’Ivoire

Chairperson of the Parliamentary Group of the Ivorian Popular Front (FPI):

obstruction of the peace and reconciliation process, public incitement to hatred and violence.

3. Désiré Tagro

Passport number: PD – AE 065FH08 Date of birth: 27 January 1959 Place of birth: Issia, Côte d’Ivoire

Secretary-General in the so-called “presidency” of Mr. Gbagbo: participation in the illegitimate government of Mr. Gbagbo, obstruction of the peace and reconciliation process, rejection of the results of the presidential election, participation in violent repressions of popular movements.


(6)

xxvii 4. Pascal Affi N’Guessan

Passport number: PD-AE 09DD00013. Date of birth: 1 January 1953

Place of birth: Bouadriko, Côte d’Ivoire

Chairman of the Ivorian Popular Front (FPI): obstruction of the peace and reconciliation process, incitement to hatred and violence.

5. Alcide Djédjé

Date of birth: 20 October 1956 Place of birth: Abidjan, Côte d’Ivoire

Close advisor to Mr. Gbagbo: participation in the illegitimate government of Mr. Gbagbo, obstruction of the peace and reconciliation process, public incitement to hatred and violence.