Sejarah Konflik di Pantai Gading

keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading 42 . Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan junta militer . Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale 43 . Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo 44 . Dalam pemerintahan ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara yang dipandang sebagai entitas imigran tidak diikutsertakan dalam pemerintahan 45 . Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari 42 Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” Uppsala: Nordiska Afrikainstitutet, 2004, 21 43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” Norway: Landinfo, 2006,16 44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010, 10 45 Tom Ogwag, The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire, 5 kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo pada tahun 2001 46 . Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari. Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya, Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi. Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara 47 . Meski telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer 48 . Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan 46 Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” 2014 diunduh dari http:www.securitycouncilreport.orgchronologycote-divoire.php?pag 47 “Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.un.orgenpeacekeepingmissionsunocielections.shtml 48 Tom Ogwag, The Root Causes of The Con flict in Côte d’Ivoire, 6 berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi 49 . Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi Afrika Barat atau Economic West Africa Society ECOWAS memprakasai Accra Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak 50 . Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan Pimpinan MPCI Mouvement Patriotique po ur la Côte d’Ivoire, kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo, di Bouaké untuk membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading. Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam 49 Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 2003, 641 50 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, Accra: KAIPTC 2005 , 49 Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité 51 . Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI. Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading. Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15 Januari 2003, Pemerintah Perancis, ECOWAS, Uni-Afrika, dan PBB mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis, Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait perjanjian yang mereka sepakati 52 . Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCIUnited Nations Operation in 51 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 51 52 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict.19 Côte d’Ivoire 53 . Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi yang akan terjadi 54 . Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan. Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari Pantai Gading 55 . Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali. Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada Uni- Afrika dan ECOWAS 56 . Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian 53 Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against Global Governace”, African Affairs 2011, 8 54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace Bonn:BICC, 2010, 12 55 “French foreign ministers visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari http:www.france24.comen20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivory- coast-france 56 Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai 57 . Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan pemilihan umum selanjutnya. Pada Oktober 2010, Pantai Gading menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan Alassane Ouattara pada putaran akhir. Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya. 57 Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010, 18

B. Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading

Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini. Pihak pertama, FPI Front Populaire Ivoirien adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading 58 . Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading. Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire MPCI. MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan 58 “Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari http:www.flashpoints.infoCB-Ivory20Coast.html sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai Gading 59 Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest MPIGO. Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï 60 . Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix MJP. Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces 61 . 59 “Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire MPCI” diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.globalsecurity.orgmilitaryworldparampci.htm 60 “ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest MPIGO” diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.globalsecurity.orgmilitaryworldparampigo.htm 61 “Mouvement pour la Justice et la Paix MJP”diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.globalsecurity.orgmilitaryworldparamjp.htm Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62 . C. Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002, akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga. Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi, semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam penyelesaian pertikaian. Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk. UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk, beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan 62 “Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari http:www.theguardian.comworld2011apr11gbagbo-attack-ground-assault Abidjan 63 . Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan 2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64 . Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali, namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke negara- negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian 65 . Ketika konflik pascapemilu tahun 2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai, meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan perdamaian PBB. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB sebagai organisasi internasional dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional, menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai 63 UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” 2011, 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.undp.orgafrica 64 UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground”, 8 65 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 50