Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading

Abidjan 63 . Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan 2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64 . Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali, namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke negara- negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian 65 . Ketika konflik pascapemilu tahun 2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai, meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan perdamaian PBB. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB sebagai organisasi internasional dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional, menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai 63 UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” 2011, 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.undp.orgafrica 64 UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground”, 8 65 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 50 Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en Côte dIvoire MINUCI yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi Linas- Marcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada Opération des Nations Unies en Côte dIvoire ONUCI 66 . Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no. 1572 67 . Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 1721 68 . Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB 66 “UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari http:www.un.orgenpeacekeepingmissionsunocimandate.shtml 67 Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time of Globalisation” Ostrava:University of Ostrava, 2010, 4 diunduh dari http:conference.osu.euglobalizationpubl10-istok_koziak.pdf. 68 “UNOCI Mandate” memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang perdagangan berlian dari negara ini 69 . Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB dengan menambah pasukan perdamaian sebanyak 500 personel pada Desember 2010 dan menambah hingga 2.000 personel pada Januari 2011. Pada akhir Maret 2011, akibat dari kegagalan mediasi dan penolakan Laurent Gbagbo untuk turun dari jabatan dan menghentikan konflik, DK PBB mengeluarkan sanksi kepada Gbagbo berupa Resolusi No. 1975. Bentuk nyata dari resolusi ini adalah diserangnya pangkalan milisi pendukung Gbagbo di Abidjan pada 4 April 2011, kemudian penyerangan ke tempat tinggal yang diikuti dengan penangkapan Gbagbo pada 10 April 2011 70 . 69 Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” 70 Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”

BAB III KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI

PANTAI GADING TAHUN 2011 A. Sejarah Keterlibatan Perancis di Pantai Gading 1. Periode Kolonial Persaingan antar bangsa di Eropa dan Perang Salib yang terjadi di Timur Tengah menyebabkan bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke bagian dunia baru. Perancis sebagai salah satu negara besar di Eropa juga melakukan penjelajahan dengan tujuan ekspansi teritorial, ekploitasi sumber daya, dan misionaris. Afrika yang secara geografis berdekatan dengan Eropa menjadi daerah pertama yang menjadi tujuan kolonialisasi. Perancis datang pertama kali ke kawasan Afrika Barat tercatat pada 1483. Kedatangan bangsa Perancis ke Afrika Barat bertujuan untuk mengekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perbudakan 71 . Kontak antara Pantai Gading dan Perancis pertama kali terjadi pada 1637, saat Perancis mengirim misionaris ke Assinie yang kemudian menjadi pos pertama Perancis di Pantai Gading 72 . Keberadaan Perancis di Teluk Guinea dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Pantai Gading modern. Pada 1843-1844, Kerajaan Kong yang menguasai wilayah Pantai Gading modern melalui Raja Grand Bassam dan Assinie melakukan perjanjian yang menempatkan wilayah kedua kerajaan tersebut 71 Robert E. Handloff, ed., Ivory Coast, Washington D.C : Library of Congress, 1988 diunduh pada 19 April 2014 dari http:countrystudies.usivory-coast5.htm 72 Francis McNamara, French in Black Africa, Washington D.C: NDU Press, 1989, 4 di bawah protektorat Perancis untuk berlindung dari serangan suku Agni dan Boule 73 . Pedagang, misionaris, dan tentara dari Perancis mulai berdatangan setelah wilayah tersebut berada dalam protektorat yang dimanfaatkan oleh Perancis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika sebagai respon untuk mengimbangi kekuatan Inggris, Jerman dan Portugal. Pada 1885, Inggris, Jerman, dan Perancis mengadakan pertemuan di Berlin untuk mengatur kekuasaan wilayah-wilayah di Afrika guna menghindari ketegangan antar negara-negara kolonial. Pascapertemuan di Berlin, Pantai Gading secara resmi menjadi koloni Perancis di Afrika Barat pada tahun 1893. Kolonialisasi Perancis di Pantai Gading mendapat perlawanan dari suku setempat akibat dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan penduduk setempat dan menyalahi perjanjian protektorat yang disepakati terdahulu 74 . Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia Sumber : French in Black Africa, h. 30 73 Francis McNamara, French in Black Africa, 23 74 Robert Pakenham, The Scramble of Africa London: Abacus, 1990 , 776 Selama berjalannya kolonialisme di Pantai Gading, Perancis menerapkan kebijakan asimilasi dan asosiasi. Dalam kebijakan asimilasi, Perancis menerapkan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, menanamkan nilai-nilai kebudayaan Perancis di wilayah koloni, dan membentuk institusi hukum Perancis. Untuk mencegah adanya perlawanan penduduk lokal Perancis menerapkan kebijakan asosiasi yang mengizinkan hukum adat setempat selama tidak bertentangan dengan kepentingan Perancis dan memberlakukan pembedaan hukum untuk orang Perancis yang berkoloni dengan penduduk lokal 75 . Pada 1904, Pemerintah Republik ketiga Perancis 76 berupaya melakukan sentralisasi terhadap koloni dengan membentuk Afrique Occidentale Française AOF atau Afrika Barat Perancis yang menjadi bagian dari Federasi Koloni Perancis. Pembentukan AOF juga dilatar belakangi oleh abolisi perbudakan yang diberlakukan. Berdirinya AOF memberikan kesamaan hak kepada penduduk yang tinggal di wilayah koloni untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis 77 . Saat terjadi Perang Dunia II, perubahan situasi politik di Eropa turut memengaruhi situasi politik Pantai Gading yang tergabung dalam AOF. Ketika Nazi Jerman menginvasi wilayah Perancis dan mendirikan Perancis yang beribukota di Vichy. AOF kemudian berada dalam situasi memilih bergabung dengan Perancis Vichy Nazi atau Perancis yang bebas dari Nazi pimpinan 75 K.E. Robinson, “The Public Law of Overseas France since the War” Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 34. 1950, 37 76 Perancis beberapa kali menganti sistem pemerintahan setelah masa Louis XVI, Perancis saat ini merupakan Republik ke lima 77 “Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari http:www.country-data.comcgi-binqueryr-6899.html Jenderal Charles De Gaulle, AOF kemudian memilih bergabung dengan Perancis Jenderal Charles De Gaulle. Pasca-Perang Dunia II, Republik Keempat Perancis di bawah kepemimpin Charles De Gaulle memberikan hak politik kepada penduduk koloni di Afrika karena dinilai loyal. Pemberian hak politik ini diikuti dengan pemberian tempat perwakilan dari wilayah koloni Afrika dalam parlemen Perancis 78 . Pemberian perwakilan di parlemen Perancis bagi wilayah koloni di Afrika disahkan dalam konstitusi baru yang disusun Republik Keempat Perancis pada pertemuan Brazzavile pada 1944. Pertemuan antara tokoh-tokoh Afrika dan Perancis di Brazzavile terjadi karena munculnya kebangkitan nasionalisme di kawasan Afrika Barat pasca-Perang Dunia kedua 79 . Pada 1956 Pemerintah Perancis di Paris mengesahkan Loi Cadre atau Overseas Reform Act yang memberikan hak daerah koloni untuk dipimpin oleh orang Afrika 80 . Sebelum regulasi ini disahkan, kawasan Afrika Barat Perancis dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di Paris. Setelah pengesahan Loi Cadre geliat nasionalisme dan upaya dekolonialisasi semakin gencar dan puncaknya terjadi pada 1960 ketika kawasan Federasi Afrika Barat Perancis berpisah dengan mendeklarasikan negara yang terpisah dari AOF, termasuk Pantai Gading. 78 Tomás Profant. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”, Perspectives Vol. 18 no.1. 2010 48 79 C. A. Julien, “From the French Empire to the French Union”, International Affairs Vol. 26, No. 4 Oct., 1950 488 80 Virginia Thompson dan Richard Adloff, French West Africa, Standford University Press. 1958 42