Dukungan Perancis atas Intervensi PBB di Pantai Gading Tahun 2011

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS

DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011 Bab ini menjabarkan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading. Persoalan imigran, keamanan nasional, kondisi perekonomian regional, dan kaitan sejarah menjadi faktor domestik dalam melakukan intervensi. Sedangkan, pengaruh negara lain dan permasalahan global menjadi faktor determinasi eksternal Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011.

A. Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading

Keadaan domestik Perancis merupakan salah satu faktor yang mendorong Perancis untuk melakukan intervensi ke Pantai Gading. Kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, atribut nasional, opini publik, partai politik, dan kepemimpinan Nicolas Sarkozy merupakan faktor-faktor domestik yang mendorong Perancis untuk melakukan tindakan militer untuk mengintervensi konflik yang terjadi.

1. Kebutuhan Sosio-Ekonomi dan Keamanan

Sosial Perancis memiliki jumlah penduduk terbesar di antara negara Uni Eropa dan Eropa Barat. Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat akibat peningkatan kelahiran juga ditambah oleh peningkatan jumlah imigran yang datang. Fenomena imigran yang datang ke Perancis sudah terjadi sejak abad ke- 17. Industrialisasi yang terjadi Eropa membuat imigran datang ke Perancis untuk kepentingan tenaga kerja. PascaPerang Dunia I, Perancis mulai menjadi negara tujuan imigran untuk mencari pekerjaan. Faktor keterkaitan kolonial juga menjadikan Perancis sebagai destinasi imigran dari daerah koloni Magrib dan Sub-Sahara 105 . Imigran merupakan salah satu isu yang krusial dalam politik domestik Perancis. Pada tahun 2010, tercatat 8,6 persen penduduk merupakan imigran 106 . Angka pengangguran yang tinggi dan tindakan kriminal yang didominasi oleh kaum imigran menjadikan isu imigran menjadi permasalahan dalam negeri Perancis. Kaum imigran yang datang, kebanyakan berasal dari negara yang memiliki kaitan historis dengan Perancis dan memiliki situasi konfliktual di negara asalnya 107 . Persaingan antara penduduk asli dan imigran dalam lapangan kerja menimbulkan xenophobia terhadap kaum imigran di Perancis. Upah lebih rendah yang diterima oleh pekerja imigran menjadikan pengusaha lebih memilih mempekerjakan imigran ketimbang penduduk lokal, hal ini menciptakan 105 Marcus Engles, “Focus Migration : France”, diunduh pada 21 November 2014 dari http:focus-migration.hwwi.deFrance.1231.0.html?L=1 106 Institut National de la Statistique des Etudes Économiques, “Évolution de la part des populations étrangères et immigrées jusquen 2011 ” diunduh pada 20 November 2014 dari http:www.insee.frfrthemestableau.asp?reg_id=0ref_id=NATTEF02131 107 “Qui et combien ?, Histoire et origine et Vie familiale”, Les Immigrés en France, 2005 diunduh pada 22 November 2014 dari http:www.insee.frfrthemesdocument.asp?reg_id=0id=2442 44 kebencian antara penduduk lokal dan imigran akibat perebutan lapangan pekerjaan 108 . Pergeseran nilai-nilai Eropa di Perancis akibat peningkatan jumlah imigran termasuk salah satu masalah yang terkait dengan dinamika isu imigran. Proses integrasi imigran mengalami hambatan dikarenakan ada perbedaan budaya antara negara asal imigran dengan budaya Eropa. Keberadaan imigran dipandang sebagai entitas yang menggeser nilai-nilai judeo-kristian Eropa karena masih menerapkan nilai-nilai budaya dari negara asal 109 . Konflik yang terjadi di Pantai Gading memunculkan gelombang pengungsi yang ingin keluar dari daerah konflik. Gelombang pengungsi ini pada awal masa konflik bergerak dari Pantai Gading ke negara-negara tetangga yang lebih aman, seperti Burkina Faso dan Liberia, yang secara politik juga termasuk negara rawan konflik. Namun, situasi yang semakin kompleks dan memakan korban sipil lebih banyak akan mengakibatkan gelombang pengungsi yang makin besar sehingga membuat pengungsi mencari tempat pengungsian yang lebih aman untuk jangka waktu yang lebih lama. Kedekatan historis, budaya dan bahasa menjadikan Perancis pilihan rasional untuk tempat pengungsian. Pada tahun 2011, menurut data Eurostat, Perancis merupakan negara tujuan utama pencari suaka di Eropa dengan 14.300 pencari suaka. Peningkatan pencari suaka dari Pantai Gading terjadi secara signifikan diawal 2011, di mana 108 John e. Roemer a nd Karine van Der Straeten,” Xenophobia and The Size of The public Sector in France: a Politico- Economic Analysis”, Cowles Foundation Paper no. 1164, Yale University 2006, 100 109 Jocelyne Cesari “Islam in France: The Shaping of a Religious Minority,” dalam Yvonne Yazbek Haddad, ed., Muslims in the West, from Sojourners to CitizensOxford University Press, 2002, 41 Perancis menjadi negara tujuan utama pencari suaka dari Pantai Gading 110 . Data ini menjelaskan bahwa konflik di Pantai Gading berdampak pada gelombang pencari suaka di Perancis. Selain gelombang pencari suaka dari Pantai Gading, konflik ini juga dapat meningkatkan potensi Perancis sebagai negara tujuan imigran dari Afrika Barat. Hal ini disebabkan pada masa sebelum konflik, Pantai Gading sangat terbuka untuk imigran dari negara-negara Afrika Barat karena kebijakan pada masa Presiden Boigny untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan 111 . Selama konflik berkecamuk di Pantai Gading, imigran dari negara-negara Afrika Barat dipandang oleh kelompok pro-Gbagbo sebagai kelompok pendukung Ouattara. Posisi politik imigran dari Afrika Barat di Pantai Gading selama konflik menyebabkan berkurangnya arus imigrasi. Situasi keamanan kawasan Afrika Barat yang fluktuatif juga mendorong arus pencari suaka ke Eropa. Gelombang imigran pencari suaka dari Pantai Gading dan negara Afrika Barat ini akan menambah beban pemerintah Perancis yang sedang menghadapi krisis ekonomi di zona Euro. Hal ini yang menjadi salah satu faktor pendukung Pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading agar konflik tidak berkepanjangan yang dapat mengakibatkan terjadinya gelombang imigran. 110 Piotr Juchno dan Alexandros Bitoulas, Statistics in Focus, Eurostat,2011 , 9 111 Bonnie Campbell , “The Ivory Coast” , dalam John Dunn ed., West African States : Failure and Promise Cambridge University Press, 2008, 102