Program desentralisasi selain yang saat ini diterapkan di Indonesia, telah pula dicoba dibeberapa negara dengan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan
oleh Robert Chambers dalam Rural Development Putting the Last First telah membuktikan hal ini, sebagaimana yang terjadi di Tanzania di bawah kepemimpinan
Julius Nyerere menyebabkan para pejabat pemerintahan ke luar ibukota, mengosongkan departemen-departemen, dan menyediakan anggaran yang
penggunaannya ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah sendiri.
143
Lebih lanjut Chambers menjelaskan bahwa disentralisasi yang dilaksanakan di Mesir dan Sudan
merupakan contoh lain dari kesediaan pemerintah pusat untuk melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah daerah, terutama dalam bidang keuangan.
144
Walau demikian, dengan kepemimpinan yang mantap ataupun karena tuntutan yang keras
dari daerah, ada kemungkinan, meskipun sulit, memberikan lebih banyak kewenangan ke daerah merupakan suatu jalan sebagai dimulainya proses
desentralisasi, termasuk di Indonesia.
2. Pelaksanaan Otonomi
Daerah
Esensi dasar penyelenggaraan pemerintah adalah untuk menegakkan ketertiban dan keamanan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat
maintain law and order for the creation of people welfare. Sementara itu, esensi otonomi daerah adalah mendistribusikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan
143
Robert Chambers; Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Diterjemahkan dari judul asli Rural Development; Putting The Last First oleh Pepep Sudrajat, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 219.
144
Ibid.
tersebut kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan pokok basic needs dan kebutuhan
pengembangan sektor unggulan core competence guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Daerah-daerah yang menginginkan otonomi, yang bebas mengatur rumah tangganya sendiri merupakan suatu gejala yang umum yang kini nampak pada hampir
semua negara di dunia. Hal ini juga yang kiranya menyebabkan banyak negara besar maupun kecil, memberikan hak untuk berotonomi ini kepada daerahnya masing-
masing dengan memberikan nama yang berbeda-beda, seperti negara bagian dalam bentuk negara federasi
145
atau Bondstaat atau Bundesstaat ataupun negara serikat.
146
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi
terpusat di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke tingkat daerah sebagaimana
mestinya, sehingga terwujud pergesaran kekuasaan dari pusat ke daerah. Atau hal ini dapat dikatakan bahwa dengan diterapkannya asas desentralisasi, maka terbentuklah
daerah otonom atau dengan kata lain daerah otonom merupakan pelaksanaan dari asas
145
Sistem federal adalah sistem pemerintahan dan hukum dimana pemerintah nasional yang terpusat berbagi kekuasaan dengan negara bagian, provinsi, atau wilayah yang dalam batas-batas
tertentu masing-masing berdaulat dengan hak-haknya sendiri. Beberapa contoh negara federal adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swiss dan lain-lain. Lihat, Lawrence M. Friedman; Hukum
Amerika Sebuah Pengantar, diterjemahkan dari judul asli American Law an Introduction oleh Wishnu Basuki, Jakarta: Penerbit PT. Tatanusa, 2001, hlm. 168. Negara Republik Indonesia pernah menjadi
negara bagian dari Republik Indonesia Serikat, sebagai hasil dari upaya pemerintahan kolonial Belanda untuk kembali menjajah negara Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945.
146
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara....., Op.Cit., hlm. 116.
desentralisasi.
147
Pendapat senada disampaikan pula oleh Bhenyamin Hoessein, bahwa perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau
disingkat otonomi,
148
sedangkan otonomi itu sendiri mengandung beberapa pengertian, yaitu
149
: 1.
Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk ”tidak dikontrol” oleh pihak lain ataupun kekuatan luar;
2. Otonomi adalah bentuk ” pemerintah sendiri” self goverment, yaitu hak
untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri the right of self government; self determination;
3. Pemerintah sendiri yang dihormati, diakui dan dijamin tidak ada kontrol
oleh pihak lain terhadap fungsi daeah local or internal affairs atau terhadap minoritas suatu bangsa;
4. Pemerintah otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan
nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara adil self determinantion, self sufficiency, self
reliance;
5. Pemerintah otonomi memiliki supremasidominasi kekuasaan supremacy
of authority atau hukum rule yang dilaksanakan sepenuahnya oleh pemegang kekuasaan di daerah.
Dengan bertumpu pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa daerah otonom, menurut Yosep Riwu Kaho
150
memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1.
Adanya urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat atas kepada daerah untuk diatur dan diurusnya dalam
batas-batas wilayahnya; 2.
Pengaturan dan pengurusan urusan-urusan tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri dan didasarkan pada kebijakan sendiri pula;
147
Misdayanti dan RG. Kartasaputra, Fungsi Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 20.
148
Bhenyamin Hossein, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Strategi Resolusi
Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dalam Kerangka Good Governance, dilaksanakan oleh Pusat Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara LAN, Jakarta, 30 Oktober 2001.
149
Syahda Guruh LS; Menimbang Otonomi Vs Federal; Penerbit Raja Rosda, Bandung, 2000, hal. 73-74
150
Yosef Riwu Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia...., Op.Cit., hlm. 20.
3. Adanya alat-alat perlengkapan atau organ-organ atau aparatur sendiri
untuk mengatur urusan-urusan tersebut maka daerah perlu memiliki sumber-sumber pendapatkeuangan sendiri.
Pada bagian lain, Bhenyamin Hoessein mengemukakan ciri-ciri yang
terkandung dalam hakekat desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu
151
: Pertama, hakekat desentralisasi adalah mengotonomikan suatu masyarakat
yang berada dalam teritorial tertentu. Pengotonomian dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai daerah otonom. Di samping itu,
desentralisasi juga berarti penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang dapat dilakukan bersamaan dengan pembentukan daerah otonom
atau sebagai penambah urusan pemerintahan yang teah dimiliki sebelumnya. Kedua, baik dalam definisi otonomi daerah dan otonomi daerah mengandung
elemen wewenang mengatur dan mengurus yang lazim disebut sebagai urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit merupakan distribusi wewenang antara pemerintah dan
daerah otonom. Ketiga, konsep urusan pemerintahan menunjukkan dua indikator penting,
yaitu fungsi dan asal urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribuskan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari
Lembaga Tinggi Negara lainnya. Keempat, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya yaitu dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan
kelangsungan hidup berbanga dan bernegara lazim diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang mengandung dan
menyangkut kepentingan masyarakat setempat lokalitas diselenggarakan secara desentralisasi.
Kelima, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom dilakukan oleh pemerintah daerah yang terdiri dari atas DPRD
dan Kepala Daerah. Dalam hal ini, wewenang pengaturannya melibatkan kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusan dilakukan oleh
Kepala Daerah dengan instrumenya birokrasi setempat yang disebut perangkat daerah.
152
151
Bhenyamin Hossein, Op.Cit.
152
Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Daerah, perangkat daerah ini bersama Gubernur, Bupati dan Walikota adalah sama-sama sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam angka 4 ditambahkan lagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Keenam, penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah daerah ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian
layanan. Dari pandangan-pandangan diatas, dapat diketahui bahwa pemberian otonomi
bagi masyarakat di daerah bertujuan untuk membuka ruang politik bagi masyarakat untuk mengelola kepentingannya secara mandiri tanpa intervensi dari pemerintah
yang lebih tinggi. Sementara model otonomi Indonesia yang diinginkan adalah otonomi yang dapat mengembangkan secara maksimal segala potensi daerah, baik itu
sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
153
Tentang bagaimana otonomi diberikan dan bagaimana batas cakupannya, Moh. Mahfud MD
154
dengan mengutip pendapat dari beberapa sarjana yang mengidentifikasikannya ke dalam tiga ajaran yaitu, formal, material, dan nyata riil.
Di kalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap identifikasi itu ternyata tidak sama. Bagir Manan menyebut dengan istilah ”sistem rumah tangga daerah”.
Josep Riwu Kaho memberi istilah ”sistem” yang menekankan pada teknik yang dipergunakan untuk menetapkan bidang-bidang yang diserahkan menjadi urusan
rumah tangga daerah. Pada waktu yang sama digunakan oleh Josep Riwu Kaho istilah prinsip seperti yang digunakan oleh Sujamto dengan merujuk pada TAP MPR No.
IVMPR1973.
153
Syahda Guruh LS, Otonomi Yang Luas Dan Mandiri Menuju Indonesia Baru, Bandung: Tarsito, 1999, hlm. 78.
154
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT. Rieneke Cipta, 2000, hlm. 95.
Selanjutnya, masih menurut kutipan dari Moh. Mafud MD, Koentjoro Poerbopranoto
155
memakai istilah sistem yang kadangkala diganti dengan istilah asas. Terlepas dari perbedaan istilah, ternyata mereka berpijak pada pengertian yang sama
bahwa ajaran-ajaran formal, material, dan rill menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Pendapat ini memperoleh pembenarannya, apabila kita dapat mengatakan
bahwa negara Indonesia adalah suatu organisasi pemerintahan yang sangat besar, dan sebagai suatu organisasi maka harus tunduk pada falsafah dan mekanisme organisasi.
Konsekwensi logis dari hal ini adalah negara Indonesia haruslah dibagi dalam tingkatan-tingkatan, dan struktur organisasinyapun mengenal adanya pembagian
kekuasaan. Para perumus Undang-undang Dasar 1945 sejak awal berdirinya negara
Indonesia telah membagi negara Indonesia dalam daerah besar dan kecil, sebagaimana tercermin dalam rumusan pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi
156
: ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem permusyawaratan negara dan hak-
hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
155
Ibid.
156
Rumusan ini adalah rumusan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen.
Dan untuk menghilangkan penafsiran yang berbeda atas rumusan Pasal 18 UUD 1945 di atas, maka rumusan tersebut kemudian dipertegas lagi dalam
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebagai berikut
157
: “Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenhidsstaat, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, daerah-daerah itu bersifat otonom streek dan locale rechtsgemeenschappen atau bersifat adm belaka,
semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah- daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh
karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”.
Mengenai penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ini, Hanif Nurcholis berpendapat
bahwa
158
: “Telah terdapat ketidakselarasan pengertian pemerintah daerah menurut Pasal
18 yang ada pemerintah daeah otonom, dengan bunyi penjelasan UUD 1945. Dalam penjelasan disebutkan bahwa daeah-daerah yang dibentuk sebagai
pemerintah daeah ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratip belaka. Jadi, menurut bunyi penjelasan UUD 1945, pemerintah
daerah yang besar maupun yang kecil bisa berbentuk otonom dan juga bisa berbentuk administratip belaka. Padahal dalam Pasal 18 jelas disebutkan
bahwa pemerintah daerah hanya terdiri atas pemerintah daerah yang bersifat otonom”.
Selanjutnya, mengenai ketidakselarasan pengertian pemerintah daerah dalam
Penjelasan UUD 1945, Bhenjamin Hoessein dengan mengkritik Soepomo
159
157
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Sebagaimana diketahui, bahwa rumusan Penjelasan UUD 1945 dirumuskan oleh Soepomo.
158
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 50-52.
159
Sebagaimana diketahui, bahwa Soepomo yang merumuskan penjelasan UUD 1945, di mana penjelasan UUD 1945 ini telah diakui sebagai fakta yuridis. Hal ini telah diperbuat dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada diktum kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya adalah Penjelasan.
sebagaimana yang dikutip oleh Hanif Nurcholis berpendapat bahwa
160
: ”Ketidaksesuaian bentuk pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18
dengan penjelasannya tersebut akibat salah tafsir Soepomo. Soepomo keliru menafsirkan Pasal 18 karena tidak mengacu pada wacana yang berkembang dalam
rapat-rapat BUPKI yang membahas tentang pemerintah daerah”. Sementara dalam buku Risalah Sidang BPUBKI disebutkan bahwa
161
: Pemerintah daerah yang terdiri atas daerah besar dan kecil harus dengan
memandang dan mengingati ”dasar permusyawaratan”, artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas
permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan dewan perwakilan daerah.
Ini artinya dalam gagasan founding fathers bentuk pemerintahan daerah yang akan disusun adalah pemerintah daerah yang berbentuk otonom, bukan wilayah
administratif. Berkaitan dengan penerapan Pasal 18 UUD 1945, bentuk dan susunan daerah
dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
162
160
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan....., Ibid.
161
Ibid.
162
Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Ps. 1 Angka 6.
Apabila kita telusuri secara mendalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945
163
sebelum diamandemen beserta penjelasannya, ternyata sejak awal berdirinya negara Indonesia telah digariskan secara tegas tentang pembagian daerah Indonesia
menjadi propinsi dan dalam propinsi itu dibagi lagi menjadi daerah yang lebih kecil, yang dalam perkembangannya, pembagian daerah yang lebih kecil ini adalah
kabupaten dan kota,
164
serta bagaimana pengaturan saling hubungan antara daerah- daerah tersebut dalam sistem pemerintahan Indonesia secara utuh.
Sebelum adanya perubahan amandemen Undang-undang Dasar 1945, khususnya perubahan terhadap Pasal 18 sebagai sumber legitimasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, klausul Pasal 18 Ayat 7 menggariskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk diatur dalam Undang-undang. Atas
dasar ini, telah ditetapkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah yang pernah berlaku antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah;
163
Pada saat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 hanya bernama “OENDANG-OENDANG DASAR”. Demikian pula ketika diundangkan dalam Berita Republik
Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih Oendang- Oendang Dasar tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959 memakai Undang-
Undang Dasar sebagaimana yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 Baca: H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Hj. Ni’matul Huda; dalam Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta:
Penerbit PT. Raja Grafinda, 1999, hlm. 70.
164
Bandingkan hal ini dengan rumusan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa wilayah negara kesatuan republik Indonesia dibagi dalam daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Kiranya, ketentuan ini tidak taat asas, karena telah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah;
4. Penetapan Presiden nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah; 6.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah tersebut, khususnya yang mengatur tentang rumusan dan
komposisi pemerintahan daerah yaitu antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD pun ikut turut bergeser sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan rumusan serta penafsiran konstitusi dan undang- undang itu sendiri.
165
165
B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hlm. 8.
D. Pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia