Kerangka Teori Kerangka Teori dan Konsepsi

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah Pemerintah Daerah dan legislatif daerah DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah executive daerah maupun DPRD legislative daerah dalam hal kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam hal pembuatan Peraturan Daerah yang baik.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas kedudukan hukum hubungan eksekutif dan legislatif daerah tentang pembuatan Peraturan Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” Rechtsstaat sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya. Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum rule of law merupakan pemikiran yang dihadapkan contrast dengan konsep rule of man. 20 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum the rule of law atau rechtstaat 21 ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. 22 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental. 23 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut. 24 Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara law-giver, the executor of the law, and the judge dalam satu tangan. 25 Karena itu, sejarah 20 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004, hlm. 9. 21 Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshuizen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta. 22 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006, hlm. 11. 23 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007, hlm. 57. 24 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 73. 25 Ibid., hlm. 74. pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki raja absolut. 26 Berhubung dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal. 27 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif. 28 Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government”. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif legislative power, kekuasaan eksekutif executive power, dan kekuasaan federatif federative power. Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. 29 Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois The 26 Mohd. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Bandung: Rieneke Cipta, 2001, hlm. 72. 27 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989, hlm. 138. 28 Ibid. 29 John Locke, Two Treaties of Civil Government, London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960, hlm. 190-192. Spirit of the Laws. Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang legislatif, kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri eksekutif dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undnag-undang yudikatif. Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas fungsi maupun mengenai alat perlengkapan lembaga yang menyelenggarakannya. 30 Konsepsi yang diajarkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica. Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke 1632-1704 dan Montesquieu 1689-1785, perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri. 31 Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon. 32 Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktek ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord. Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan 30 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….., Op.Cit., hlm. 152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, Ilmu Negara, Jakarta: Viva Studi, 1967, hlm. 53. 31 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Elsam, 1997, hlm. 49. 32 Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm. 223-231. politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori “Catur Praja”. 33 Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara. Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada tiga cabang kekuasaan di suatu negara eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern. 34 Perkembangan hukum tata negara modern modern constitutional theory membuktikan, cabang- cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated. 35 Kajian teoretis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke, Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antarcabang kekuasaan tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah 33 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 15. 34 Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 6. 35 Bruce Akerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review, Vol. 113. antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau diantaranya masih punya hubungan untuk saling bekerja sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan separation of power, pembagian kekuasaan distribution of power atau division of power, dan check and balances. Secara umum ”pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai separation of power 36 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang menyatakan, ”when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the some body of magistrate, there can be liberty”. 37 Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang 36 Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan separation of power dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 th edition, London: The English Language Book Society, 1976, hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan separation of powers, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan division of powers. Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950, hlm. 364. 37 Ibid., hlm. 16. mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni 38 atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta, 39 tidak realistis dan jauh dari kenyataan. 40 Karena itu Jimly Asshiddiqie menyatakan 41 : “Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”. Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak menyatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan negara yang lain. 38 Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998, hlm. 30. 39 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971, hlm. 287. 40 Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 41 Ibid., hlm. 36. Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias Politica dijelaskan dengan teori ”pembagian kekuasaan” distribution of power atau division of power. Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangna John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”. 42 Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali. Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahawa istilah-istilah separation of power, distribution of powerdivision of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan- kawan yang menyatakan, the question whetherthe separation of power i.e. the distribution of power of the various power of government among different organs. 43 Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata 42 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum......., Op.Cit., hlm. 19. 43 Ibid. tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya. 44 Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan check and balances. 45 Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powrs and Fourth Branch” Strauss menjelaskan : “Unlike the separation of powers, the check and balances idea doesn’t suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”. 46 Berdasarkan pendapat Peter L. Strauss tersebut check and balances dalam upaya menciptakan relasi konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan 47 diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi tiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, check and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antarcabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme check and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. 44 Ibid. 45 Ibid., hlm. 296. 46 Ibid. 47 Bivitri Susanti, Hakim atau Legislator?, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006, hlm. 3. Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the law- Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar grundnorm. 48 Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum- hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. 49 Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 48 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, New York: Russel and Russel, 1961, hlm. 112-113. 49 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 41-42. 2. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Desa. Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas 50 : 1. Norma Dasar Fundamental NormsGrundnormBasic Norm 2. Norma Umum General Norms 3. Norma Konkret Concrete Norms Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan vonnis serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara. 51 Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti 50 Hans Kelsen, Op.Cit. 51 Ibid. pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar Grundnorm yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. 52 Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar Grundnorm dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. 53 Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban- dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah 54 : 1 Staatsfundamentalnorm: Pancasila Pembukaan UUD 1945. 52 Ibid. 53 Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, EinsiedelnZurichKoln: Benziger, 1948, hlm. 31. 54 Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287. 2 Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3 Formell gesetz: Undang-Undang. 4 Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. 55 Pancasila dilihat sebagai cita hukum rechtsidee merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. 56 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu 57 : 1. Undang-undang tidak berlaku surut 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 55 Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara, 1988, hlm. 27. 56 Attamimi, Op Cit., hlm. 309. 57 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008, hlm. 73. 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu Lex posteriori derogat lex priori 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian asas welvaarstaat 7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya Lex superiore derogat lex infiriore Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu 58 : 1. Asas tingkatan hirarkis 2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis 4. Undang-undang tidak berlaku surut 5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama Lex posteriori derogat lex priori 58 Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998, hlm. 43.

2. Konsepsi