BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk didirikan oleh Harrisons Crosfield Plc di tahun 1906. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama “Lonsum”, berkembang menjadi salah satu perusahaan perkebunan terkemuka di dunia, dengan lebih dari 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit,
karet, kakao dan teh di empat pulau terbesar di Indonesia. Di awal berdirinya, Perseroan melakukan diversifikasi melalui penanaman
karet, teh dan kakao. Di awal kemerdekaan Indonesia, Lonsum lebih memfokuskan usahanya pada tanaman karet, dan kemudian beralih ke kelapa sawit di era tahun
1980. Pada akhir dekade berikutnya, kelapa sawit telah menggantikan karet sebagai komoditas utama Perseroan.
Lonsum memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, yang memanfaatkan keunggulan Perseroan di
bidang penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-manajemen, serta tenaga kerja yang terampil dan profesional. Kini, Lonsum telah menjadi salah satu
penghasil minyak sawit lestari terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar 195.000 ton minyak sawit lestari setiap tahunnya.
Di tahun 1994, Harrisons Crosfield menjual seluruh kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT. Pan London Sumatra Plantations PPLS, yang
Universita Sumatera Utara
kemudian mencatatkan Lonsum sebagai perusahaan publik melalui pencatatan saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1996. Pada bulan Oktober
2007, Indofood Agri Resources Ltd IndoAgri, anak perusahaan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk di bidang agribisnis, menjadi pemegang saham mayoritas
Perseroan melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT. Salim Ivomas Pratama Tbk SIMP, sehingga Perseroan menjadi bagian dari Grup Indofood Grup. Di bulan
Desember 2010, IndoAgri melepaskan 8 kepemilikannya di Lonsum, dimana 3,1 dijual ke SIMP. Pelepasan kepemilikan ini telah meningkatkan porsi saham
bagi investor publik menjadi sebesar 40,5 dari 35,6 sumber: 2011 Annual Report PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk.
Beralihnya saham mayoritas Lonsum ke tangan PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk. membuat Lonsum mengalami proses yang disebut sebagai akuisisi.
Akuisisi merupakan proses pembelian properti atau sumber daya sebuah perusahaan oleh perusahaan pembeli yang memegang peran yang lebih dominan
dan kuat Muchinsky, 2003. Dalam hal ini, PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk. menjadi perusahaan pembeli dan Lonsum menjadi perusahaan yang dibeli.
Menurut Jones 2004, akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki beberapa target perubahan. Target perubahan itu mencakup perubahan
pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia. Target perubahan pertama yaitu perubahan pada sumber
daya fungsional, dapat dilakukan dengan mengubah hubungan antar fungsi-fungsi dalam struktur organisasi. Hal ini dilakukan oleh Lonsum melalui penciptaan
Universita Sumatera Utara
sistem management block, yaitu sistem pemantauan operasional kebun yang membagi area kebun menjadi blok-blok. Sistem ini diciptakan agar seluruh
kegiatan operasional kebun Lonsum dapat lebih mudah dipantau. Target perubahan yang kedua adalah pada kapabilitas teknologi sebuah
perusahaan. Kapabilitas teknologi perusahaan mencakup pengembangan produk, modifikasi produk, hingga pengembangan cara barang dan jasa diciptakan dan
ditampilkan Jones, 2004. Hal ini tampak pada investasi besar-besaran yang dihabiskan Lonsum untuk instalasi sistem informasi yang disebut Systems,
Applications, and Products SAP. Systems, Applications, Products SAP adalah sebuah perangkat lunak yang dikembangkan untuk mendukung suatu
organisasi dalam menjalankan kegiatan operasionalnya secara lebih efisien dan efektif. Berikut penuturan yang memaparkan perubahan yang ditargetkan pada
sumber daya fungsional dan kapabilitas teknologi Lonsum: “Sekarang sih fokus ke tiga sistem, sistem budget, sistem management
block, sama SAP. Itu begitu luar biasanya sampai disebut big bang, gebrakan baru. Itu mahal sekali investasinya. Kan ini ada di setiap
wallpaper komputer Go Live SAP. Jadi supaya semua data-data terhubung. Misalnya saya pesan satu buah ban, kalo approvalnya udah
disetujui, itu langsung datanya masuk ke GS, habis diapprove langsung masuk ke supplier, dilihat oh begini specnya, langsung masuk
invoicenya, semua bisa diketahui orang indofood, sudah otomatis. Cuma yang belum pake itu HR sama GS, HS pun saya rasa belum, sisanya
semua u
da, fincount sampai ke kebun” W60213-W60225 Hlm. 14
Target perubahan ketiga terletak pada kapabilitas organisasi. Perubahan pada kapabilitas organisasi meliputi perubahan struktur dan budaya perusahaan
untuk meningkatkan nilai-nilai sumber daya yang dimiliki perusahaan agar dapat
Universita Sumatera Utara
merasakan keuntungan dari perubahan teknologi Jones, 2004. Perubahan pada kapabilitas organisasi Lonsum ditunjukkan dari perubahan struktur organisasi
dengan menutup
dan menggabungkan
beberapa departemen
hingga memberhentikan beberapa karyawan termasuk ekspatriat. Di samping itu, banyak
jabatan baru yang bermunculan. Sampai saat ini, struktur organisasi masih terus dibenahi. Berikut penuturannya:
“…mulai dari awalnya menutup departemen, sampek banyak yang dikeluarkan, yang nangis-nangis. Dulu kan ada departemen security,
sekarang uda digabung sama GS. HR juga sekarang lagi pilot project mulai dibagi per unit-unit. Kami pun dulu bukan Recruitment and
Training, tapi training aja.” W20012-W20017 Hlm. 3
“Gak tau tuh, sejak sama grup masih diubah terus setiap bulan struktur organisasinya.”
W20009 Hlm. 3
Target perubahan yang keempat terletak pada sumber daya manusia. Kompetensi karyawan berupa ketrampilan dan kemampuan merupakan modal
utama perusahaan untuk berkompetisi. Perusahaan harus mencari cara yang paling efektif dalam memotivasi dan mengatur sumber daya manusia dalam memperoleh
dan menggunakan ketrampilan mereka. Usaha perubahan dapat ditujukan pada investasi baru pada kegiatan pengembangan dan pelatihan karyawan, sosialisasi
struktur organisasi baru kepada karyawan, mengubah nilai perusahaan agar mendukung tenaga kerja multikultural, memeriksa sistem promosi dan reward, dan
mengubah komposisi otonomi manajemen puncak untuk mendukung pembelajaran organisasi dan pengambilan keputusan Jones, 2004.
Universita Sumatera Utara
Beberapa perubahan yang telah terjadi pada level sumber daya manusia di Lonsum antara lain dikuranginya anggaran untuk pengembangan dan pelatihan
karyawan dari Rp. 6 Miliar menjadi Rp. 2 Miliar per tahun. Selain itu, sistem reward karyawan Lonsum juga mengalami perubahan. Cuti panjang telah
dihapuskan dan perhitungan bonus diubah. Derajat otonomi karyawan ditunjukkan dari kegiatan operasional perusahaan yang memerlukan persetujuan hingga ke
jajaran direktur sehingga proses menjadi panjang dan lambat. Berikut penuturannya: “Pengurangan biaya itu contohnya budget training kita. Dulu 6 miliar,
sekarang jadi 2 miliar aja setahun. Iyah, dah itu promosi pun susah. Tapi promosi gak promosi pun sama aja, orang gajinya cuma beda sikit-
sikit gak terlalu berarti kalo yang tahunan.
” W20032-W20040 Hlm. 4
“Iyah bisa dibilang fokus ke SDM berkurang sih, dulu ada cuti panjang sekarang gak ada lagi. Bonus juga ada perubahan sedikit.
” W60197-W60199 Hlm. 14
“Nah kalo ini sekarang kan karena harus tanda tangan hingga ke BOD, jadi kadang prosesnya bisa jadi lambat, bukan karena prosesnya
panjang tapi karena belum tentu direktur-direktur itu ada di tempat, tapi harus sampai ke mereka. Hal yang kecil-kecil aja harus persetujuan
direktur. Ini kadang buat semua proses jadi lambat. Uda overlapping approvalnya, berlapis-
lapis.” W90014-W90023 Hlm. 23
Keempat target perubahan di atas memiliki hubungan interdependen yang artinya perubahan satu target tidak mungkin sukses tanpa perubahan target lainnya
ke arah yang lebih baik Jones, 2004. Ditinjau dari empat target perubahan di atas, Lonsum banyak memberi fokus pada tiga target yaitu sumber daya fungsional,
kapabilitas teknologi, dan kapabilitas organisasi. Sedangkan untuk kapabilitas sumber daya manusia, Lonsum justru mengurangi investasinya.
Universita Sumatera Utara
Sependapat dengan Jones 2004, Porras dan Robertson 1992 menyatakan bahwa kinerja sebuah organisasi memiliki hubungan saling ketergantungan dengan
perkembangan individu dalam organisasi. Perkembangan individu yang tidak disertai perkembangan organisasi tidak akan berjalan efektif. Begitu pula
sebaliknya, kinerja organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak diperhatikan.
Selain memperhatikan perkembangan karyawan, perusahaan juga harus memberikan informasi yang jelas kepada karyawan mengenai perubahan yang
terjadi. Worley, Hitchin, dan Ross 1996 mengemukakan bahwa ketika sebuah perusahaan mengubah strateginya agar dapat bersaing secara lebih kompetitif,
karyawan harus diinformasikan, dilibatkan, dan dimotivasi untuk membantu perubahan yang diinginkan. Moran dan Panasian 2005 menambahi bahwa jika
sebuah perubahan tidak diatur dengan baik, maka akan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpercayaan kepada manajemen baru, semangat kerja yang
menurun, ketidakpuasan kerja, perilaku kerja yang tidak produktif, intensi untuk meninggalkan perusahaan, dan turnover yang tinggi.
Nyatanya, banyak karyawan Lonsum yang tidak mendapatkan informasi sepenuhnya mengenai perubahan yang terjadi. Karyawan hanya menjalankan
sistem atas perintah manajemen. Hal ini menyebabkan karyawan merasakan ketidakjelasan, kekesalan, hingga menimbulkan intensi untuk meninggalkan
perusahaan. Beberapa karyawan merasa mereka tidak lagi dipandang sebagai “aset”
perusahaan melainkan “alat” untuk menjalankan perubahan. Beberapa karyawan
Universita Sumatera Utara
pun menunjukkan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Berikut penuturan karyawan yang mencerminkan hal tersebut:
“Sistem juga masih terus mengalami perubahan, yang ngeselin gak jelas kenapa harus diganti terus, kalo jelas yah gak apa-apa, ini tahu tahu
ganti lagi, eh besok ganti lagi.” W90068-W90071 Hlm. 24
“Sekarang ini kami udah gak dipandang sebagai aset lagi, tapi alat untuk
menjalankan sistem.” W50088-W50090 Hlm. 10
“Iyah memang karena lagi ada perubahan, banyak sekali yang dibenahi, ini juga saya banyak diminta tenaga kerja di sana sini, saya pun pusing
juga banyak yang resign soalnya. Kalo terus menerus didesak kayak gini
mungkin dua tiga tahun saya mau resign.” W50038-W50043 Hlm.9
Porras dan Robertson 1992 mengemukakan bahwa perubahan dalam komponen organisasi akan menyebabkan perubahan perilaku kerja anggota-
anggota organisasi baik menjadi positif maupun negatif. Perilaku kerja yang positif misalnya karyawan menjadi semakin semangat bekerja, tertantang, dan
mengembangkan inovasinya. Perilaku kerja yang negatif misalnya karyawan menjadi harus bekerja ekstra, tidak sempat memperhatikan detil, dan sebagainya.
Perubahan perilaku kerja karyawan Lonsum tampak pada saat kantor pusat meminta reviu anggaran dari setiap departemen dalam tenggat waktu yang sempit,
sehingga beberapa karyawan sering lembur dan pulang malam. Begitu pula dengan rapat operasional yang sering dilaksanakan hingga larut malam. Ada pula rapat di
kantor pusat Lonsum yang dijadwalkan dini hari. Berikut penuturannya:
Universita Sumatera Utara
“Sekarang itu meeting bisa sampe pagi di Jakarta. Asal review budget semua kerja sampe malam-malam. Sekarang ini makin banyak kerjaannya
jadi gak bisa pulang-pulang. Pusat banyak minta database dulu, jadinya lembur terus.
” W10048-W0052 Hlm. 4
“Ops meeting bisa sampai pagi hari, ada juga rapat yang dijadwalkan memang dini hari dan harus hadir. Gilak kan… selenggarakan di hotel
makanya orang tuh seharian disana pelototin presentasi aja dah gak sanggup kemana-
mana lagi.” W40049-W40053 Hlm. 7
Sebagai tambahan hasil wawancara di atas, hasil observasi di Lonsum kantor cabang Medan juga menunjukkan bahwa beberapa karyawan memang sering
bekerja lembur dan terkadang di hari Sabtu bukan hari kerja. Berikut penuturan salah seorang karyawan yang menunjukkan hal tersebut:
“Iyah mau tak mau lah datang Sabtu selesaiin karena masih banyak gak terkejar. Ini tiba-tiba diminta cepat, banyak kali loh, dari tahun 2010
diminta.”
Selain sering lembur dan rapat, perubahan perilaku kerja lainnya juga tampak terjadi. Beberapa karyawan menjadi kurang memperhatikan kualitas
pekerjaan dan cenderung perhitungan terhadap perusahaan. Hal ini terlihat dari perilaku mengerjakan pekerjaan asal selesai dan sikap perhitungan yang ketat sekali
dengan jam kerja. Berikut penuturan mereka: “Ya lumayan lah, ada kerjaan apa dari atasan ya kerjakan ajah. Disuru
begini ya begini, disuruh begitu ya begitu. Jalankan saja apa yang disuruh bos.”
W100014-W100016 Hlm. 25
Universita Sumatera Utara
“Ngapain lama-lama disini, yang penting kerjaan apa yang dikasi, selesaikan, habis itu pulang aja. Sesuai jam kerja dong. Datang jam
segini, pulang juga jam yang pas, gak mungkin ada yang marah .”
W30003-W30006 Hlm. 5 “Apanya yang bekerja dengan hati, dengan beban sebesar ini gimana
mau bekerja dengan hati. Bullshit itu. Uda syukur kalo selesai. ”
W40058-W40060 Hlm. 7
Hasil observasi di lingkungan kantor mendukung hasil wawancara di atas. Beberapa karyawan terlihat senang membicarakan kejelekan atasan pada jam makan
siang. Salah seorang karyawan menyatakan agar jangan terlalu mendengarkan perkataan atasannya karena atasannya pintar pintar bodoh. Berikut kutipan
obrolannya: “Dia itu pinpinbo, pintar pintar bodoh, tapi dia banyakan bodohnya,
makanya jangan didengar kali omongannya.”
Uraian perilaku kerja di atas, yaitu mengerjakan pekerjaan asal selesai, perhitungan, dan senang membicarakan hal negatif mengenai atasan, merupakan
ciri-ciri perilaku karyawan yang kurang terikat disengaged. Marciano 2010 dan Vazirani 2007 menyatakan bahwa karyawan yang disengaged biasanya tidak
memiliki hubungan yang produktif dan cenderung berbicara negatif mengenai atasan dan rekan kerja. Mereka juga sangat perhitungan dengan tuntutan perusahaan
dan kontribusi yang dikeluarkan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa employee engagement
merupakan variabel utama yang dapat menentukan kesuksesan perusahaan dalam implementasi perubahan Jackson, 2005. Ketika perusahaan mengalami perubahan
Universita Sumatera Utara
berskala besar, karyawan yang engaged merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi Ott, 2007.
Marciano 2010 membagi tingkat employee engagement menjadi 5 level yaitu: actively disengaged, disengaged, opportunistic, engaged, actively engaged.
Karyawan yang actively disengaged adalah karyawan yang menyebabkan kekacauan. Karyawan disengaged adalah karyawan yang akan berjalan melewati
kekacauan tanpa berpikir untuk membereskannya. Sedangkan karyawan opportunistic akan membereskan kekacauan jika hal itu menguntungkan mereka.
Karyawan engaged akan membereskan apa yang mereka lihat. Hanya karyawan yang actively engaged akan membereskan kekacauan sekaligus mencegah
munculnya kekacauan tersebut di masa yang akan datang. Peneliti melakukan survei pada 76 orang karyawan Lonsum kantor cabang
Medan untuk memperkuat hasil wawancara dan observasi terkait dengan employee engagement, dengan hasil sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini:
4
29
42 12
13
Gambar 1. Diagram Hasil Survei Employee Engagement
Actively Disengaged Disengaged
Opportunist Engaged
Actively Engaged
Universita Sumatera Utara
Diagram tersebut
menunjukkan persentase
kategorisasi employee
engagement di Lonsum kantor cabang Medan dengan hasil sebagai berikut: sebesar 4 karyawan terkategori actively disengaged, 29 karyawan terkategori
disengaged, 32 mayoritas karyawan berada pada kategori opportunistic, 12 karyawan terkategori engaged, dan 13 karyawan terkategori actively engaged.
Jumlah karyawan yang engaged dan actively engaged sebanyak 25 serta jumlah karyawan yang disengaged dan actively disengaged sebanyak 33. Hasil survei ini
mengkonfirmasi bahwa employee engagement menjadi variabel yang harus diperhatikan di Lonsum, mengingat angka sebesar 33 karyawan disengaged dan
32 karyawan opportunistic merupakan hal yang rawan bagi perusahaan. Seperti dikutip dari Marciano bahwa karyawan yang disengaged merugikan seperti racun
yang dapat merusak perusahaan dan karyawan opportunistic mudah goyah seperti lilin yang dapat mengeras dan meleleh lagi. Oleh karena itu, peneliti mengangap
penting untuk mengetahui secara pasti gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
Selanjutnya, perlu dipelajari tentang hal-hal yang terkait dengan employee engagement. Salah satu model konseptual yang berusaha menjelaskan dinamika
employee engagement adalah Job Demands-Resources Model. Model ini diperkenalkan oleh Demerouti 2001. Model ini mengemukakan bahwa setiap jenis
pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek, yaitu tuntutan beban kerja job demands dan sumber daya kerja job resources. Job demands mengacu pada aspek pekerjaan
yang menuntut usaha terus menerus sehingga dapat memberi efek psikologis
Universita Sumatera Utara
maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan
konsekuensi fisiologis maupun psikologis yang terjadi, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal Demerouti, 2001.
Hakkanen 2008 menemukan adanya korelasi negatif yang lemah antara job demands dengan employee engagement. Sedangkan Llorens 2006 menemukan
hubungan positif antara job resources dengan employee engagement. Penelitian Hakkanen dan Llorens diperkuat oleh Schaufeli dan Bakker 2004 menemukan
bahwa ketika job demands yang tinggi diimbangi dengan job resources yang baik dari perusahaan, karyawan akan termotivasi, tertantang, dan meningkatkan
engagement-nya. Job demands dapat terlihat dari konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja
yang tidak beraturan, beban kerja fisik, maupun desain kerja yang buruk. Job demands tidak selalu merugikan, hanya saja ketika usaha yang dituntut pekerjaan
melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan terkuras dan mengakibatkan burnout serta masalah kesehatan lainnya seperti kelelahan fatigue, iritabilitas, dan
meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006.
Selanjutnya peneliti menelusuri job demands di Lonsum dengan mewawancarai beberapa karyawan di Lonsum. Adapun eviden job demands di
Lonsum antara lain: kuantitas pekerjaan yang banyak dalam tenggat waktu yang sempit. Hal ini terbukti juga dari penambahan jam kerja, dari yang awalnya jam
Universita Sumatera Utara
07.30-16.00 menjadi 08.00-17.00. Selain kuantitas dan tekanan waktu, pekerjaan juga menyebabkan beban emosional dan beban kognitif bagi karyawan. Hasil
observasi di departemen HR menunjukkan salah seorang karyawan menjadi mudah marah dan membanting barang ketika didesak untuk mempercepat pekerjaan.
Sedangkan untuk beban kognitif terlihat dari karyawan yang tidak lagi mampu menempatkan prioritas pekerjaan dan harus memikirkan banyak item pekerjaan
sekaligus. Berikut penuturannya: “Sekarang pun kerjanya udah gak benar, banyak kerjaan dan semuanya
urgent, jadi yang mana yang mau diutamakan. Yang benar itu kan ada kerjaan gak semua urgent, jadi bisa menggali inovasi dan kreativitas.”
W60067-W60071 Hlm. 11
“Liat lah sekarang aku disini jaga interview, tapi pikiranku kemana- mana, sana sini tanya aku ini rekrutmen udah sampe mana prosesnya,
ini udah medical check-up belum, tolong ini segera, semua mau diutamakan, sedangkan pikiran aku harus fokus juga untuk interview,
mau pecah kepalaku. Kalo dulu itu kerjaan ini dibagi dua, jadi E yang ngurusin seleksinya mulai dari aplikasi awal, saya yang ngurus proses
selanjutnya.” W40012-W40020 Hlm. 6
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, antara lain beban kerja berlebih
work overload, beban emosional emotional load, dan beban kognitif cognitive load. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut
gambaran dimensi-dimensi job demands tersebut di Lonsum kantor cabang Medan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai model Job Demands-
Resources, aspek yang berfungsi mengatasi konsekuensi negatif dari job demands
Universita Sumatera Utara
adalah job resources. Job resources dapat meliputi upah, dukungan dari atasan, umpan balik feedback, kejelasan peran role clarity, otonomi pekerjaan job
autonomy, ataupun pemberdayaan dan lainnya Schaufeli dan Bakker, 2004. Kemudian peneliti menelusuri job resources di Lonsum dengan
mewawancarai beberapa karyawan. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat beberapa eviden mengenai kurang baiknya job resources, antara lain ketidakjelasan
pembagian tugas. Hal ini membuat karyawan saling menyalahkan ketika ada tugas yang tidak beres. Selain tugas yang tidak jelas, karyawan mengeluhkan rekan kerja
yang tidak banyak membantu di saat beban kerja sedang tinggi. Disamping itu, karyawan juga mengeluhkan atasan yang dirasa kurang mendukung dan sebaliknya
menuntut karyawan. Terlebih lagi kurangnya kesempatan belajar dari perusahaan karena anggaran pelatihan telah dikurangi. Berikut penuturannya yang menunjukkan
job resources tersebut: “Itulah kemarin si F yang udah dikirim ke Jakarta. Dia seenak perutnya
saja pergi. Sekarang aku yang kena getahnya ditanya sana sini, aku yang disalahkan atas kerjaannya yang gak beres. Yang lain gak ada
yang mau tah
u, nutup sebelah mata.” W40026-W40027 Hlm. 6
“Udahlah terserah dia ajalah mau gimana, suka-suka dia. Sekarang mau pake SOP atau gak. Dia enak aja tinggal nuntut-nuntut. Semuanya
maunya dia.” W40039-W40042 Hlm. 7
“Dulu itu walau banyak kerjaan, masih ada refreshing course, kita ikut More To Precious Than Good, sekarang mana ada waktu. Mulai 2010
itu udah berkurang, 2012 malah sama sekali gak ada lagi.” W60071-W60074 Hlm. 11
Universita Sumatera Utara
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, yaitu ketidakjelasan peran,
kurangnya dukungan dari atasan, kurangnya dukungan dari rekan kerja serta kurangnya kesempatan untuk belajar. Berdasarkan hasil wawancara tersebut,
peneliti ingin mengetahui lebih lanjut gambaran dimensi-dimensi job resources role clarity, supervisory support, coworker support, dan opportunities to learn
tersebut di Lonsum kantor cabang Medan. Employee engagement secara signifikan menentukan efektivitas perubahan
organisasi Matthews, 2008. Model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah Job Demands-Resources Model Demerouti, 2001. Oleh
karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di
Lonsum kantor cabang Medan.
B. RUMUSAN MASALAH