Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan
PENGARUH DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN
DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP
EMPLOYEE ENGAGEMENT DI LONSUM KANTOR
CABANG MEDAN
(The Effect of Job Demands Dimensions and Job Resources Dimensions on
Employee Engagement at Lonsum Medan Branch Office)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Psikologi Profesi dalam Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
Ivi Vanessa
117029005
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI
PROFESI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama : Ivi Vanessa
NIM : 117029005
Kekhususan : Psikologi Industri dan Organisasi
Judul Tesis : Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara pada hari Rabu, 28 Agustus 2013.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I/ Penguji I :
Pembimbing II/ Penguji II :
Penguji III :
Medan, 30 Oktober 2013
Koordinator Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi USU
Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog NIP. 19650112200003 2 001
(Gustiarti Leila, M.Psi, psikolog) NIP. 196008172000032001
(Siti Zahreni, M.Psi, psikolog) NIP. 198201282005022001
(Prof. Dr. Irmawati, psikolog) NIP. 19530131 198003 2 001
Dekan
Fakultas Psikologi USU
Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 19530131 198003 2 001
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
saya yang berjudul “Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi
Job Resources Terhadap Employee Engagement Di Lonsum Kantor Cabang Medan”
merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan ke perguruan tinggi manapun, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas Sumatera Utara.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Medan, 30 Oktober 2013 Yang menyatakan,
Ivi Vanessa NIM. 117029005
(4)
Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources
Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement
tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi
job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
Kata kunci: employee engagement, job demands, job resources, beban kerja berlebih, beban emosional, beban kognitif, kejelasan peran, dukungan atasan, dukungan rekan kerja, kesempatan belajar.
(5)
The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni
ABSTRACT
Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.
Keywords: employee engagement, job demands, job resources, work overload, emotional load, cognitive load, role clarity, supervisory support, coworker support
(6)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………... i
Daftar Isi………..……… iv
Daftar Tabel………..………. vii
Daftar Gambar………..………. ix
Daftar Lampiran………..……….... x
Abstrak………. xi
BAB I. PENDAHULUAN……….….……….. 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH………….………...1
B. RUMUSAN MASALAH………... 16
C. TUJUAN PENELITIAN………. 16
D. MANFAAT PENELITIAN……….16
1. Manfaat Teoritis……..……….. 16
2. Manfaat Praktis………….……… 17
E. SISTEMATIKA PENULISAN.……….. 17
F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN………... 20
BAB II. LANDASAN TEORI……… 21
A. EMPLOYEE ENGAGEMENT………. 21
1. Definisi Employee Engagement………...……… 22
2. Gejala Employee Engagement………... 26
(7)
B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM
KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT………….. 29
C. JOB DEMANDS……….. 31
1. Definisi Job Demands……….. 31
2. Dimensi-Dimensi Job Demands………. 31
D. JOB RESOURCES……….. 34
1. Definisi Job Resources………. 34
2. Dimensi-Dimensi Job Resources.……… 34
E. DINAMIKA DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP EMPLOYEE NGAGEMENT………... 39
F. HIPOTESA PENELITIAN………. 41
G. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN……….. 42
BAB III. METODE PENELITIAN……… 43
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN……… 43
B. DEFINISI OPERASIONAL………43
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN……….. 47
D. TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN……….. 47
1. Tahapan Persiapan Penelitian………... 47
2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian………48
3. Tahapan Pengambilan Data……….. 48
(8)
BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN………. 63
A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN………... 63
B. GAMBARAN SKOR PENELITIAN……… 64
1. Gambaran Skor Employee Engagement……….. 64
2. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands………. 66
3. Gambaran Skor Dimensi-Dimensi Job Demands………..…. 69
4. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian………... 73
C. GAMBARAN PENGARUH VARIABEL INDEPENDEN TERHADAP VARIABEL DEPENDEN………. 76
1. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda…….. 76
2. Hasil Uji Regresi Linear Berganda………81
D. PEMBAHASAN………. 88
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 92
A. KESIMPULAN……….. 92
B. SARAN……….. 94
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Employee Engagement
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Employee Engagement Setelah Uji Coba Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Demands
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Job Demands Setelah Uji Coba
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Sebelum Uji Coba Skala Job Resources
Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Job Resources Setelah Uji Coba Tabel 7. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Employee Engagement Tabel 9. Norma Kategorisasi
Tabel 10. Rangkuman Kategorisasi Data Employee Engagement
Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Demands
Tabel 12. Rangkuman Kategorisasi Data Work Overload
Tabel 13. Rangkuman Kategorisasi Data Emotional Load
Tabel 14. Rangkuman Kategorisasi Data Cognitive Load
Tabel 15. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Dimensi-Dimensi Job Resources
Tabel 16. Rangkuman Kategorisasi Data Role Clarity
Tabel 17. Rangkuman Kategorisasi Data Supervisory Support
Tabel 18. Rangkuman Kategorisasi Data Coworker Support
Tabel 19. Rangkuman Kategorisasi Data Opportunities To Learn
Tabel 20. Rekapitulasi Gambaran Skor Penelitian
Tabel 21. Hasil Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Tabel 22. Hasil Uji Linearitas
Tabel 23. Hasil Uji Multikolineritas
Tabel 24. Matriks Korelasi Antar Variabel-Variabel Penelitian Tabel 25. Hasil Uji Regresi Linear Berganda
(10)
Tabel 25b. Hasil Uji Determinasi
Tabel 25c. Koefisien Regresi Dimensi-Dimensi Job Demands dan Dimensi-Dimensi
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram Hasil Survei Employee Engagement
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN
A. Hasil Uji Coba Skala Employee Engagement
B. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Demands
C. Hasil Uji Coba Skala Dimensi-Dimensi Job Resources
D. Hasil Uji Asumsi Terhadap Model Regresi Linear Berganda E. Hasil Uji Regresi
F. Skala Penelitian
Skor Skala Employee Engagement
Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Demands
Skor Skala Dimensi-Dimensi Job Resources
(13)
Pengaruh Dimensi-Dimensi Job Demands Dan Dimensi-Dimensi Job Resources
Terhadap Employee Engagement di Lonsum Kantor Cabang Medan Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki target perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan. Kinerja organisasi yang tidak disertai perkembangan sumber daya manusia tidak akan mampu bertahan lama. Agar perusahaan sukses mengimplementasikan perubahan, karyawan yang memiliki employee engagement
tinggi adalah kuncinya. Salah satu model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah model Job Demands-Resources (Demerouti, 2001). Adapun dimensi-dimensi job demands yang diteliti antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Sedangkan dimensi-dimensi job resources yang diteliti antara lain kejelasan peran (role clarity), dukungan atasan (supervisory support), dukungan rekan kerja (coworker support), dan kesempatan untuk belajar (opportunities to learn). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi
job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan. Penelitian dilakukan dengan pada 70 orang karyawan Lonsum level staff (grade 1-4) dan level MRP (grade A-G). Alat ukur yang digunakan adalah skala employee engagement, skala job demands, dan skala job resources. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan Lonsum kantor cabang Medan masih tergolong cukup engaged. Namun masih ada karyawan yang engagement-nya mudah goyah. Employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan tersebut dipengaruhi oleh beban kognitif, beban emosional, kejelasan peran, dan kesempatan belajar. Beban kognitif yang tinggi dan kesempatan belajar yang kurang memadai menjadi perhatian untuk rancangan intervensi agar bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
Kata kunci: employee engagement, job demands, job resources, beban kerja berlebih, beban emosional, beban kognitif, kejelasan peran, dukungan atasan, dukungan rekan kerja, kesempatan belajar.
(14)
The Effect of Job Demands Dimension and Job Resources Dimension On Employee Engagement At London Sumatra Medan Branch Office
Ivi Vanessa, Gustiarti Leila, and Siti Zahreni
ABSTRACT
Acquisition, as a type of planned change, is normally targeted at several levels, that is functional resources, technological capabilities, organizational capabilities and human resources. An organization performance which is not accompanied by development of its human resources will not last. In order to be successful at implementing change, employee engagement is the main key. One of the conceptual model that can explain about employee engagement is the Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). This study is focusing on three job demand dimensions, that are work overload, emotional load, and cognitive. Meanwhile the job resources dimensions are role clarity, supervisory support, coworker support, and opportunities to learn. The purpose of this study is to know the effect of job demand dimensions and job resources dimensions on employee engagement at Lonsum Medan Branch Office. The study involved 70 employees of Lonsum from staff level (grade 1-4) and MRP level (grade A-G). Moreover, the tools for measurement are the employee engagement scale, the job demand dimensions scale, the job resources scale. The result of this study shows that Lonsum Medan Branch Office employees are quite engaged. Unfortunately, there are some employees whose engagement are easily. The employee engagement is affected by cognitive load, emotional load, role clarity, and opportunities to learn. High cognitive load with average opportunities to learn become the focus of intervention to increase employee engagement at Lonsum Medan Branch Office.
Keywords: employee engagement, job demands, job resources, work overload, emotional load, cognitive load, role clarity, supervisory support, coworker support
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk didirikan oleh Harrisons & Crosfield Plc di tahun 1906. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama “Lonsum”, berkembang menjadi salah satu perusahaan perkebunan
terkemuka di dunia, dengan lebih dari 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit, karet, kakao dan teh di empat pulau terbesar di Indonesia.
Di awal berdirinya, Perseroan melakukan diversifikasi melalui penanaman karet, teh dan kakao. Di awal kemerdekaan Indonesia, Lonsum lebih memfokuskan usahanya pada tanaman karet, dan kemudian beralih ke kelapa sawit di era tahun 1980. Pada akhir dekade berikutnya, kelapa sawit telah menggantikan karet sebagai komoditas utama Perseroan.
Lonsum memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, yang memanfaatkan keunggulan Perseroan di bidang penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-manajemen, serta tenaga kerja yang terampil dan profesional. Kini, Lonsum telah menjadi salah satu penghasil minyak sawit lestari terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar 195.000 ton minyak sawit lestari setiap tahunnya.
Di tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual seluruh kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT. Pan London Sumatra Plantations (PPLS), yang
(16)
kemudian mencatatkan Lonsum sebagai perusahaan publik melalui pencatatan saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1996. Pada bulan Oktober 2007, Indofood Agri Resources Ltd (IndoAgri), anak perusahaan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk di bidang agribisnis, menjadi pemegang saham mayoritas Perseroan melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT. Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), sehingga Perseroan menjadi bagian dari Grup Indofood (Grup). Di bulan Desember 2010, IndoAgri melepaskan 8% kepemilikannya di Lonsum, dimana 3,1% dijual ke SIMP. Pelepasan kepemilikan ini telah meningkatkan porsi saham bagi investor publik menjadi sebesar 40,5% dari 35,6% (sumber: 2011 Annual Report PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk).
Beralihnya saham mayoritas Lonsum ke tangan PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk. membuat Lonsum mengalami proses yang disebut sebagai akuisisi. Akuisisi merupakan proses pembelian properti atau sumber daya sebuah perusahaan oleh perusahaan pembeli yang memegang peran yang lebih dominan dan kuat (Muchinsky, 2003). Dalam hal ini, PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk. menjadi perusahaan pembeli dan Lonsum menjadi perusahaan yang dibeli.
Menurut Jones (2004), akuisisi sebagai sebuah perubahan terencana memiliki beberapa target perubahan. Target perubahan itu mencakup perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia. Target perubahan pertama yaitu perubahan pada sumber daya fungsional, dapat dilakukan dengan mengubah hubungan antar fungsi-fungsi dalam struktur organisasi. Hal ini dilakukan oleh Lonsum melalui penciptaan
(17)
sistem management block, yaitu sistem pemantauan operasional kebun yang membagi area kebun menjadi blok-blok. Sistem ini diciptakan agar seluruh kegiatan operasional kebun Lonsum dapat lebih mudah dipantau.
Target perubahan yang kedua adalah pada kapabilitas teknologi sebuah perusahaan. Kapabilitas teknologi perusahaan mencakup pengembangan produk, modifikasi produk, hingga pengembangan cara barang dan jasa diciptakan dan ditampilkan (Jones, 2004). Hal ini tampak pada investasi besar-besaran yang dihabiskan Lonsum untuk instalasi sistem informasi yang disebut Systems, Applications, and Products (SAP). Systems, Applications, & Products (SAP) adalah sebuah perangkat lunak yang dikembangkan untuk mendukung suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan operasionalnya secara lebih efisien dan efektif. Berikut penuturan yang memaparkan perubahan yang ditargetkan pada sumber daya fungsional dan kapabilitas teknologi Lonsum:
“Sekarang sih fokus ke tiga sistem, sistem budget, sistem management
block, sama SAP. Itu begitu luar biasanya sampai disebut big bang, gebrakan baru. Itu mahal sekali investasinya. Kan ini ada di setiap wallpaper komputer Go Live SAP. Jadi supaya semua data-data terhubung. Misalnya saya pesan satu buah ban, kalo approvalnya udah disetujui, itu langsung datanya masuk ke GS, habis diapprove langsung masuk ke supplier, dilihat oh begini specnya, langsung masuk invoicenya, semua bisa diketahui orang indofood, sudah otomatis. Cuma yang belum pake itu HR sama GS, HS pun saya rasa belum, sisanya semua uda, fincount sampai ke kebun”
(W60213-W60225/ Hlm. 14)
Target perubahan ketiga terletak pada kapabilitas organisasi. Perubahan pada kapabilitas organisasi meliputi perubahan struktur dan budaya perusahaan untuk meningkatkan nilai-nilai sumber daya yang dimiliki perusahaan agar dapat
(18)
merasakan keuntungan dari perubahan teknologi (Jones, 2004). Perubahan pada kapabilitas organisasi Lonsum ditunjukkan dari perubahan struktur organisasi dengan menutup dan menggabungkan beberapa departemen hingga memberhentikan beberapa karyawan termasuk ekspatriat. Di samping itu, banyak jabatan baru yang bermunculan. Sampai saat ini, struktur organisasi masih terus dibenahi. Berikut penuturannya:
“…mulai dari awalnya menutup departemen, sampek banyak yang
dikeluarkan, yang nangis-nangis. Dulu kan ada departemen security, sekarang uda digabung sama GS. HR juga sekarang lagi pilot project mulai dibagi per unit-unit. Kami pun dulu bukan Recruitment and
Training, tapi training aja.”
(W20012-W20017/ Hlm. 3)
“Gak tau tuh, sejak sama grup masih diubah terus setiap bulan struktur organisasinya.”
(W20009/ Hlm. 3)
Target perubahan yang keempat terletak pada sumber daya manusia. Kompetensi karyawan berupa ketrampilan dan kemampuan merupakan modal utama perusahaan untuk berkompetisi. Perusahaan harus mencari cara yang paling efektif dalam memotivasi dan mengatur sumber daya manusia dalam memperoleh dan menggunakan ketrampilan mereka. Usaha perubahan dapat ditujukan pada investasi baru pada kegiatan pengembangan dan pelatihan karyawan, sosialisasi struktur organisasi baru kepada karyawan, mengubah nilai perusahaan agar mendukung tenaga kerja multikultural, memeriksa sistem promosi dan reward, dan mengubah komposisi otonomi manajemen puncak untuk mendukung pembelajaran organisasi dan pengambilan keputusan (Jones, 2004).
(19)
Beberapa perubahan yang telah terjadi pada level sumber daya manusia di Lonsum antara lain dikuranginya anggaran untuk pengembangan dan pelatihan karyawan dari Rp. 6 Miliar menjadi Rp. 2 Miliar per tahun. Selain itu, sistem
reward karyawan Lonsum juga mengalami perubahan. Cuti panjang telah dihapuskan dan perhitungan bonus diubah. Derajat otonomi karyawan ditunjukkan dari kegiatan operasional perusahaan yang memerlukan persetujuan hingga ke jajaran direktur sehingga proses menjadi panjang dan lambat. Berikut penuturannya:
“Pengurangan biaya itu contohnya budget training kita. Dulu 6 miliar, sekarang jadi 2 miliar aja setahun. Iyah, dah itu promosi pun susah. Tapi promosi gak promosi pun sama aja, orang gajinya cuma beda sikit-sikit gak terlalu berarti kalo yang tahunan.”
(W20032-W20040/ Hlm. 4)
“Iyah bisa dibilang fokus ke SDM berkurang sih, dulu ada cuti panjang sekarang gak ada lagi. Bonus juga ada perubahan sedikit.”
(W60197-W60199/ Hlm. 14)
“Nah kalo ini sekarang kan karena harus tanda tangan hingga ke BOD,
jadi kadang prosesnya bisa jadi lambat, bukan karena prosesnya panjang tapi karena belum tentu direktur-direktur itu ada di tempat, tapi harus sampai ke mereka. Hal yang kecil-kecil aja harus persetujuan direktur. Ini kadang buat semua proses jadi lambat. Uda overlapping approvalnya, berlapis-lapis.”
(W90014-W90023/ Hlm. 23)
Keempat target perubahan di atas memiliki hubungan interdependen yang artinya perubahan satu target tidak mungkin sukses tanpa perubahan target lainnya ke arah yang lebih baik (Jones, 2004). Ditinjau dari empat target perubahan di atas, Lonsum banyak memberi fokus pada tiga target yaitu sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, dan kapabilitas organisasi. Sedangkan untuk kapabilitas sumber daya manusia, Lonsum justru mengurangi investasinya.
(20)
Sependapat dengan Jones (2004), Porras dan Robertson (1992) menyatakan bahwa kinerja sebuah organisasi memiliki hubungan saling ketergantungan dengan perkembangan individu dalam organisasi. Perkembangan individu yang tidak disertai perkembangan organisasi tidak akan berjalan efektif. Begitu pula sebaliknya, kinerja organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak diperhatikan.
Selain memperhatikan perkembangan karyawan, perusahaan juga harus memberikan informasi yang jelas kepada karyawan mengenai perubahan yang terjadi. Worley, Hitchin, dan Ross (1996) mengemukakan bahwa ketika sebuah perusahaan mengubah strateginya agar dapat bersaing secara lebih kompetitif, karyawan harus diinformasikan, dilibatkan, dan dimotivasi untuk membantu perubahan yang diinginkan. Moran dan Panasian (2005) menambahi bahwa jika sebuah perubahan tidak diatur dengan baik, maka akan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpercayaan kepada manajemen baru, semangat kerja yang menurun, ketidakpuasan kerja, perilaku kerja yang tidak produktif, intensi untuk meninggalkan perusahaan, dan turnover yang tinggi.
Nyatanya, banyak karyawan Lonsum yang tidak mendapatkan informasi sepenuhnya mengenai perubahan yang terjadi. Karyawan hanya menjalankan sistem atas perintah manajemen. Hal ini menyebabkan karyawan merasakan ketidakjelasan, kekesalan, hingga menimbulkan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Beberapa karyawan merasa mereka tidak lagi dipandang sebagai “aset”
(21)
pun menunjukkan intensi untuk meninggalkan perusahaan. Berikut penuturan karyawan yang mencerminkan hal tersebut:
“Sistem juga masih terus mengalami perubahan, yang ngeselin gak jelas kenapa harus diganti terus, kalo jelas yah gak apa-apa, ini tahu tahu
ganti lagi, eh besok ganti lagi.”
(W90068-W90071/ Hlm. 24)
“Sekarang ini kami udah gak dipandang sebagai aset lagi, tapi alat
untuk menjalankan sistem.”
(W50088-W50090/ Hlm. 10)
“Iyah memang karena lagi ada perubahan, banyak sekali yang dibenahi,
ini juga saya banyak diminta tenaga kerja di sana sini, saya pun pusing juga banyak yang resign soalnya. Kalo terus menerus didesak kayak gini
mungkin dua tiga tahun saya mau resign.”
(W50038-W50043/ Hlm.9)
Porras dan Robertson (1992) mengemukakan bahwa perubahan dalam komponen organisasi akan menyebabkan perubahan perilaku kerja anggota-anggota organisasi baik menjadi positif maupun negatif. Perilaku kerja yang positif misalnya karyawan menjadi semakin semangat bekerja, tertantang, dan mengembangkan inovasinya. Perilaku kerja yang negatif misalnya karyawan menjadi harus bekerja ekstra, tidak sempat memperhatikan detil, dan sebagainya. Perubahan perilaku kerja karyawan Lonsum tampak pada saat kantor pusat meminta reviu anggaran dari setiap departemen dalam tenggat waktu yang sempit, sehingga beberapa karyawan sering lembur dan pulang malam. Begitu pula dengan rapat operasional yang sering dilaksanakan hingga larut malam. Ada pula rapat di kantor pusat Lonsum yang dijadwalkan dini hari. Berikut penuturannya:
(22)
“Sekarang itu meeting bisa sampe pagi di Jakarta. Asal review budget semua kerja sampe malam-malam. Sekarang ini makin banyak kerjaannya jadi gak bisa pulang-pulang. Pusat banyak minta database dulu, jadinya lembur terus.”
(W10048-W0052/ Hlm. 4)
“Ops meeting bisa sampai pagi hari, ada juga rapat yang dijadwalkan
memang dini hari dan harus hadir. Gilak kan… selenggarakan di hotel
makanya orang tuh seharian disana pelototin presentasi aja dah gak sanggup kemana-mana lagi.”
(W40049-W40053/ Hlm. 7)
Sebagai tambahan hasil wawancara di atas, hasil observasi di Lonsum kantor cabang Medan juga menunjukkan bahwa beberapa karyawan memang sering bekerja lembur dan terkadang di hari Sabtu (bukan hari kerja). Berikut penuturan salah seorang karyawan yang menunjukkan hal tersebut:
“Iyah mau tak mau lah datang Sabtu selesaiin karena masih banyak gak terkejar. Ini tiba-tiba diminta cepat, banyak kali loh, dari tahun 2010
diminta.”
Selain sering lembur dan rapat, perubahan perilaku kerja lainnya juga tampak terjadi. Beberapa karyawan menjadi kurang memperhatikan kualitas pekerjaan dan cenderung perhitungan terhadap perusahaan. Hal ini terlihat dari perilaku mengerjakan pekerjaan asal selesai dan sikap perhitungan yang ketat sekali dengan jam kerja. Berikut penuturan mereka:
“Ya lumayan lah, ada kerjaan apa dari atasan ya kerjakan ajah. Disuru begini ya begini, disuruh begitu ya begitu. Jalankan saja apa yang
disuruh bos.”
(23)
“Ngapain lama-lama disini, yang penting kerjaan apa yang dikasi, selesaikan, habis itu pulang aja. Sesuai jam kerja dong. Datang jam segini, pulang juga jam yang pas, gak mungkin ada yang marah.”
(W30003-W30006/ Hlm. 5)
“Apanya yang bekerja dengan hati, dengan beban sebesar ini gimana mau bekerja dengan hati. Bullshit itu. Uda syukur kalo selesai.”
(W40058-W40060/ Hlm. 7)
Hasil observasi di lingkungan kantor mendukung hasil wawancara di atas. Beberapa karyawan terlihat senang membicarakan kejelekan atasan pada jam makan siang. Salah seorang karyawan menyatakan agar jangan terlalu mendengarkan perkataan atasannya karena atasannya pintar pintar bodoh. Berikut kutipan obrolannya:
“Dia itu pinpinbo, pintar pintar bodoh, tapi dia banyakan bodohnya, makanya jangan didengar kali omongannya.”
Uraian perilaku kerja di atas, yaitu mengerjakan pekerjaan asal selesai, perhitungan, dan senang membicarakan hal negatif mengenai atasan, merupakan ciri-ciri perilaku karyawan yang kurang terikat (disengaged). Marciano (2010) dan Vazirani (2007) menyatakan bahwa karyawan yang disengaged biasanya tidak memiliki hubungan yang produktif dan cenderung berbicara negatif mengenai atasan dan rekan kerja. Mereka juga sangat perhitungan dengan tuntutan perusahaan dan kontribusi yang dikeluarkan.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa employee engagement
merupakan variabel utama yang dapat menentukan kesuksesan perusahaan dalam implementasi perubahan (Jackson, 2005). Ketika perusahaan mengalami perubahan
(24)
berskala besar, karyawan yang engaged merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi (Ott, 2007).
Marciano (2010) membagi tingkat employee engagement menjadi 5 level yaitu: actively disengaged, disengaged, opportunistic, engaged, actively engaged.
Karyawan yang actively disengaged adalah karyawan yang menyebabkan kekacauan. Karyawan disengaged adalah karyawan yang akan berjalan melewati kekacauan tanpa berpikir untuk membereskannya. Sedangkan karyawan
opportunistic akan membereskan kekacauan jika hal itu menguntungkan mereka. Karyawan engaged akan membereskan apa yang mereka lihat. Hanya karyawan yang actively engaged akan membereskan kekacauan sekaligus mencegah munculnya kekacauan tersebut di masa yang akan datang.
Peneliti melakukan survei pada 76 orang karyawan Lonsum kantor cabang Medan untuk memperkuat hasil wawancara dan observasi terkait dengan employee engagement, dengan hasil sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini:
4%
29%
42% 12%
13%
Gambar 1. Diagram Hasil Survei Employee Engagement
Actively Disengaged Disengaged Opportunist Engaged
(25)
Diagram tersebut menunjukkan persentase kategorisasi employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan dengan hasil sebagai berikut: sebesar 4% karyawan terkategori actively disengaged, 29% karyawan terkategori
disengaged, 32% mayoritas karyawan berada pada kategori opportunistic, 12% karyawan terkategori engaged, dan 13% karyawan terkategori actively engaged.
Jumlah karyawan yang engaged dan actively engaged sebanyak 25% serta jumlah karyawan yang disengaged dan actively disengaged sebanyak 33%. Hasil survei ini mengkonfirmasi bahwa employee engagement menjadi variabel yang harus diperhatikan di Lonsum, mengingat angka sebesar 33% karyawan disengaged dan 32% karyawan opportunistic merupakan hal yang rawan bagi perusahaan. Seperti dikutip dari Marciano bahwa karyawan yang disengaged merugikan seperti racun yang dapat merusak perusahaan dan karyawan opportunistic mudah goyah seperti lilin yang dapat mengeras dan meleleh lagi. Oleh karena itu, peneliti mengangap penting untuk mengetahui secara pasti gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
Selanjutnya, perlu dipelajari tentang hal-hal yang terkait dengan employee engagement. Salah satu model konseptual yang berusaha menjelaskan dinamika
employee engagement adalah Job Demands-Resources Model. Model ini diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini mengemukakan bahwa setiap jenis pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek, yaitu tuntutan/ beban kerja (job demands) dan sumber daya kerja (job resources). Job demands mengacu pada aspek pekerjaan yang menuntut usaha terus menerus sehingga dapat memberi efek psikologis
(26)
maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan konsekuensi fisiologis maupun psikologis yang terjadi, dan menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal (Demerouti, 2001). Hakkanen (2008) menemukan adanya korelasi negatif yang lemah antara job demands dengan employee engagement. Sedangkan Llorens (2006) menemukan hubungan positif antara job resources dengan employee engagement. Penelitian Hakkanen dan Llorens diperkuat oleh Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan bahwa ketika job demands yang tinggi diimbangi dengan job resources yang baik dari perusahaan, karyawan akan termotivasi, tertantang, dan meningkatkan
engagement-nya.
Job demands dapat terlihat dari konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja yang tidak beraturan, beban kerja fisik, maupun desain kerja yang buruk. Job demands tidak selalu merugikan, hanya saja ketika usaha yang dituntut pekerjaan melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan terkuras dan mengakibatkan
burnout serta masalah kesehatan lainnya seperti kelelahan (fatigue), iritabilitas, dan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. (Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006).
Selanjutnya peneliti menelusuri job demands di Lonsum dengan mewawancarai beberapa karyawan di Lonsum. Adapun eviden job demands di Lonsum antara lain: kuantitas pekerjaan yang banyak dalam tenggat waktu yang sempit. Hal ini terbukti juga dari penambahan jam kerja, dari yang awalnya jam
(27)
07.30-16.00 menjadi 08.00-17.00. Selain kuantitas dan tekanan waktu, pekerjaan juga menyebabkan beban emosional dan beban kognitif bagi karyawan. Hasil observasi di departemen HR menunjukkan salah seorang karyawan menjadi mudah marah dan membanting barang ketika didesak untuk mempercepat pekerjaan. Sedangkan untuk beban kognitif terlihat dari karyawan yang tidak lagi mampu menempatkan prioritas pekerjaan dan harus memikirkan banyak item pekerjaan sekaligus. Berikut penuturannya:
“Sekarang pun kerjanya udah gak benar, banyak kerjaan dan semuanya
urgent, jadi yang mana yang mau diutamakan. Yang benar itu kan ada
kerjaan gak semua urgent, jadi bisa menggali inovasi dan kreativitas.”
(W60067-W60071/ Hlm. 11)
“Liat lah sekarang aku disini jaga interview, tapi pikiranku kemana -mana, sana sini tanya aku ini rekrutmen udah sampe mana prosesnya, ini udah medical check-up belum, tolong ini segera, semua mau diutamakan, sedangkan pikiran aku harus fokus juga untuk interview, mau pecah kepalaku. Kalo dulu itu kerjaan ini dibagi dua, jadi E yang ngurusin seleksinya mulai dari aplikasi awal, saya yang ngurus proses
selanjutnya.”
(W40012-W40020/ Hlm. 6)
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, antara lain beban kerja berlebih (work overload), beban emosional (emotional load), dan beban kognitif (cognitive load). Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut gambaran dimensi-dimensi job demands tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai model Job Demands-Resources, aspek yang berfungsi mengatasi konsekuensi negatif dari job demands
(28)
adalah job resources. Job resources dapat meliputi upah, dukungan dari atasan, umpan balik (feedback), kejelasan peran (role clarity), otonomi pekerjaan (job autonomy), ataupun pemberdayaan dan lainnya (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Kemudian peneliti menelusuri job resources di Lonsum dengan mewawancarai beberapa karyawan. Berdasarkan hasil wawancara, terlihat beberapa eviden mengenai kurang baiknya job resources, antara lain ketidakjelasan pembagian tugas. Hal ini membuat karyawan saling menyalahkan ketika ada tugas yang tidak beres. Selain tugas yang tidak jelas, karyawan mengeluhkan rekan kerja yang tidak banyak membantu di saat beban kerja sedang tinggi. Disamping itu, karyawan juga mengeluhkan atasan yang dirasa kurang mendukung dan sebaliknya menuntut karyawan. Terlebih lagi kurangnya kesempatan belajar dari perusahaan karena anggaran pelatihan telah dikurangi. Berikut penuturannya yang menunjukkan
job resources tersebut:
“Itulah kemarin si F yang udah dikirim ke Jakarta. Dia seenak perutnya
saja pergi. Sekarang aku yang kena getahnya ditanya sana sini, aku yang disalahkan atas kerjaannya yang gak beres. Yang lain gak ada yang mau tahu, nutup sebelah mata.”
(W40026-W40027/ Hlm. 6)
“Udahlah terserah dia ajalah mau gimana, suka-suka dia. Sekarang mau pake SOP atau gak. Dia enak aja tinggal nuntut-nuntut. Semuanya
maunya dia.”
(W40039-W40042/ Hlm. 7)
“Dulu itu walau banyak kerjaan, masih ada refreshing course, kita ikut More To Precious Than Good, sekarang mana ada waktu. Mulai 2010
itu udah berkurang, 2012 malah sama sekali gak ada lagi.”
(29)
Perilaku kerja di atas menggambarkan dimensi-dimensi job demands yang dialami karyawan Lonsum kantor cabang Medan, yaitu ketidakjelasan peran, kurangnya dukungan dari atasan, kurangnya dukungan dari rekan kerja serta kurangnya kesempatan untuk belajar. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut gambaran dimensi-dimensi job resources
(role clarity, supervisory support, coworker support, dan opportunities to learn) tersebut di Lonsum kantor cabang Medan.
Employee engagement secara signifikan menentukan efektivitas perubahan organisasi (Matthews, 2008). Model konseptual yang dapat menjelaskan employee engagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001). Oleh karenanya, penting untuk mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?
2. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job demands di Lonsum kantor cabang Medan?
3. Bagaimana gambaran dimensi-dimensi job resources di Lonsum kantor cabang Medan?
(30)
4. Bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employeeengagement di Lonsum kantor cabang Medan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap
employeeengagement di Lonsum kantor cabang Medan.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti bagi disiplin ilmu psikologi industri dan organisasi khususnya di bidang Perilaku Organisasi yang berkaitan dengan employee engagement, dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi job resources.
b. Memberikan sumbangan untuk memperkaya sumber kepustakaan dan dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat menjadi penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Membantu perusahaan untuk memahami employee engagement serta peran dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadapnya.
(31)
b. Merancang intervensi yang sesuai dengan hasil penelitian di perusahaan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena dan hasil penelitian sebelumnya mengenai employee engagement, dimensi-dimensi job demands, dan dimensi-dimensi job resources.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang employee engagement, job demands, dan job resources. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan pengaruh dimensi-dimensi job demands dan dimensi-dimensi job resources terhadap employee engagement.
(32)
Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan tahapan pelaksanaan penelitian.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi, hasil penelitian tambahan yang didapat dan pembahasan mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang diperoleh dengan penelitian yang telah ada.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Rancangan Intervensi
Bagian ini berisi rancangan intervensi yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan perusahaan yang diungkap hasil penelitian
(33)
F. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN
Lonsum diakuisisi oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. pada bulan Oktober 2007
Empat target akuisisi sebagai perubahan meliputi perubahan pada sumber daya fungsional, kapabilitas teknologi, kapabilitas organisasi, dan sumber daya manusia (Jones, 2004)
1. Sumber daya fungsional
menciptakan fungsi management block untuk memudahkan pemantauan Lonsum oleh Indofood
2. Kapabilitas teknologi instalasi sistem informasi yaitu Systems, Applications, & Products yang menghabiskan banyak anggaran
3. Kapabilitas organisasi pembenahan struktur dengan menutup serta menggabungkan departemen dan memunculkan jabatan baru
Kinerja sebuah organisasi tidak akan bertahan jika perkembangan individu tidak diperhatikan
(Porras & Robertson, 1992)
Beberapa karyawan mulai menunjukkan indikator perilaku disengaged seperti mengerjakan pekerjaan asal selesai, perhitungan, dan senang
membicarakan hal negatif mengenai atasan
Bagaimana sebenarnya gambaran employee engagement di Lonsum kantor cabang Medan?
4. Sumber daya manusia
Mengurangi investasi pada kegiatan pengembangan kompetensi karyawan
Mengerahkan karyawan untuk mencapai misi perusahaan
Tidak menginformasikan dengan jelas mengenai perubahan yang terjadi
Model yang dapat menjelaskan dinamika
employeeengagement adalah Job Demands-Resources Model (Demerouti, 2001)
Job Resources
Ketidakjelasan peran, kurangnya dukungan atasan, kurangnya dukungan rekan kerja, dan kurangnya kesempatan untuk belajar
Job Demands
Beban kerja karyawan meningkat dari segi kuantitas, emosional, dan
kognitif
Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas karyawan (42%) berada pada kategori
(34)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. EMPLOYEE ENGAGEMENT
Collins (2004) menyatakan bahwa individu, karyawan, organisasi atau perusahaan tidak cukup untuk menjadi baik, akan tetapi harus menjadi hebat/ unggul agar dapat terus berkembang. Untuk menjadi unggulan, perusahaan membutuhkan para karyawan yang terikat, yaitu karyawan yang mendedikasikan diri, melekatkan diri dengan perusahaan dengan sepenuh pikiran, perasaan, dan tindakan. Selanjutnya Mills (dalam Walton, 2009) juga menyatakan bahwa dunia usaha harus melakukan adaptasi dan berubah untuk dapat bertahan dalam situasi kompetitif dan modern ini. Hal ini berarti bahwa hanya dunia usaha yang sangat baik dalam mengelola proses adaptasi serta proses perubahan yang strategik, yang akan mampu bertahan. Untuk mencapai kondisi ini tidak mungkin tanpa memiliki sumber daya manusia yang mau berkontribusi sepenuh hati untuk perusahaan.
Thomas (2009) mengungkapkan bahwa kini diperlukan jenis motivasi yang berbeda, yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan yaitu engagement. Dalam kajiannya terhadap motivasi intrinsik selama lebih dari dua puluh tahun, Thomas (2009) menyimpulkan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi itu secara aktif melakukan self manage. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap tujuan yang bermakna (meaningful purpose), menggunakan
(35)
kecerdasannya untuk memilih tindakan yang paling tepat mencapai tujuan tersebut, memonitor kegiatan untuk memastikan tetap dalam jalur serta memeriksa apakah terjadi kemajuan serta melakukan penyesuaian bila diperlukan. Manajemen diri secara aktif didukung oleh penghargaan intrinsik yaitu perasaan bermakna (sense of meaningfullness), perasaan memiliki pilihan (sense of choice), perasaan memiliki kemampuan (sense of competence) dan perasaan mengalami perkembangan (sense of progress). Motivasi intrinsik ini tidak hanya menggerakkan dan mempertahankan manajemen diri pada karyawan, akan tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap retensi karyawan, pengembangan, inovasi, serta hasil akhir lain yang sangat menentukan perusahaan.
1. Definisi EmployeeEngagement
Saks (dalam Walton, 2009) menyatakan bahwa walaupun definisi dan pengertian employee engagement dalam kepustakaan praktisi seringkali tumpang tindih dengan konstrak-konstrak lain, tetapi dalam kepustakaan akademik employee engagement telah didefinisikan sebagai satu konstrak yang unik dan jelas yang mengandung komponen kognitif, emosional, dan perilaku terkait dengan peran kinerja individu.
Kahn (1990) menyatakan bahwa engagement adalah “harnessing of
people’s selves to their work”, yang artinya mencurahkan seluruh pribadi dan jiwa raga seseorang terhadap pekerjaannya.
(36)
Finney (2008) menjelaskan bahwa employee engagement adalah tentang mendapatkan usaha terbaik yang sesungguhnya dari karyawan dengan membuat karyawan merasa baik akan pekerjaan yang dikerjakan.
“employee engagement is about getting the absolute best effort from your employees by making them feel good abput the work they do.”
(Finney, 2008).
DDI (dalam Wellins, dkk., 2005) mendefinisikan employee engagement sebagai tingkat seberapa seseorang menikmati dan percaya akan yang dikerjakan dan merasa berharga karena melakukannya. Albrecht (2010) menekankan kualitas utama dalam mendefinisikan konsep employee engagement sebagai kondisi psikologis yang positif sehubungan dengan pekerjaannya, yang ditunjukkan dengan keinginan tulus untuk berkontribusi terhadap kesuksesan perusahaan. Definisi ini didukung oleh Marciano (2010) menyebut employee engagement dengan istilah “Fully in the Game”
Marciano (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai ikatan emosional dan intelektual karyawan terhadap pekerjaan, organisasi, atasan, dan rekan kerja, yang mempengaruhinya untuk memberikan usaha lebih pada pekerjaannya.
“Employee engagement is a heightened emotional and intellectual connection that an employee has for his/ her job, organization, manager, or coworkers that, in turn, influences him/ her to apply additional
discretionary effort to his/ her work.” (Marciano, 2010).
Engagement mirip tetapi tidak sama dengan motivasi. Engagement
(37)
loyalitas yang cenderung tidak mudah berubah. Sedangkan motivasi sangat dipengaruhi oleh faktor luar, terutama harapan bahwa upaya tertentu atau prestasi akan menghasilkan reward yang bernilai, seperti bonus atas pencapaian target. Jadi tingkat engagement yang tinggi menahan dampak negatif faktor lingkungan terhadap motivasi. Karyawan yang memiliki
engagement yang tinggi akan tetap termotivasi meskipun keadaan kurang menguntungkan misalnya sumber-sumber terbatas, peralatan bermasalah, waktu terbatas, dan sebagainya. Karyawan yang tingkat engagement-nya rendah akan termotivasi hanya pada kondisi menguntungkan, atau ketika berusaha meraih sesuatu atau tujuan jangka pendek yang menghasilkan imbalan pribadi. Karyawan yang termotivasi tetapi tidak memiliki
engagement akan mencurahkan kemampuan terbaiknya ketika ada sesuatu untuknya. Karyawan yang memiliki engagement mencurahkan kemampuan terbaiknya untuk kepentingan perusahaan dan karena hal itu memberinya perasaan penuh (fulfillment). Motivasi dapat naik turun, sedangkan
engagement mempertahankan tingkat kinerja seseorang (Marciano, 2010). Schaufeli (2001, dalam Medlin & Green, 2008) mendefinisikan
employee engagement/ work engagement sebagai suatu kondisi pikiran yang positif berkaitan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication, dan absorption. Vigor mengacu pada energi dan resiliensi mental selama bekerja. Karyawan sungguh-sungguh berkemauan keras serta berusaha sekuat tenaga dalam mengerjakan tugas dan tetap bertahan pada saat
(38)
menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada sikap antusias, bangga, penuh inspirasi, merasakan bermakna, dan merasakan memiliki tantangan.
Absorption mengandung pengertian keadaan penuh konsentrasi dan benar-benar larut dalam pekerjaan, sehingga seseorang akan merasa bahwa waktu demikian cepat berlalu dan sulit meninggalkan pekerjaannya.
“Employee Engagement is a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption. Rather than a momentary and specific state, engagement refers to a more persistent and pervasive affective-cognitive state that is not focused on any particular object, event, individual, or behavior. Vigor is characterized by high levels of energy and mental resilience while
working, the willingness to invest effort in one’s work, and persistence
even in the face of difficulties. Dedication refers to being stronglu
involved in one’s work and experiencing a sense of significance, enthusiasm, inspiration, pride, and challenge. Absorption is
characterized by being fully concentrated and happily engrossed in one’s
work, whereby time passes quickly and one has difficulties with
detaching oneself from work.”(Schaufeli, 2001)
Schaufeli & Bakker (dalam Albrecht, 2010) menegaskan bahwa
employee engagement itu berkaitan dengan apa yang dilakukan orang. Perilaku yang paling nyata adalah usaha orang tersebut. Orang yang mengalami engagement akan bekerja keras, berusaha mati-matian, tetap bertahan, tetap datang pada waktunya, tetap fokus terhadap pekerjaannya dan bahkan berusaha untuk melebihi apa yang diharapkan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan definisi dari Schaufeli (2001) bahwa employee engagement adalah ikatan positif karyawan dengan pekerjaannya yang ditandai dengan vigor, dedication, dan
(39)
2. Gejala Employee Engagement
Marciano (2010) menjelaskan bahwa pengukuran yang valid dari suatu konstruk psikologis adalah dengan mengidentifikasi gejalanya bukan penyebabnya.
“The valid assessment of a psychological construct is based on identifying symptoms, not the causes.” (Marciano, 2010)
Gejala memberikan bukti dari fenomena, sementara penyebab memberi penjelasan kemungkinan alasan fenomena itu awalnya muncul (Marciano, 2010). Meskipun penting untuk mengidentifikasi penyebab utama karyawan memiliki engagement maupun disengagement namun hal itu tidak tepat untuk dimasukkan dalam alat ukur.
Berikut 10 perilaku yang paling sering ditemui dalam penelitian Marciano (2010) pada seorang karyawan yang engaged:
1. Mengutarakan ide-ide baru dalam bekerja.
2. Menunjukkan sikap bergairah dan antusias tentang pekerjaannya. 3. Mengambil inisiatif.
4. Selalu mencari cara untuk memperbaiki dan mengembangkan diri, orang lain maupun perusahaan.
5. Secara konsisten bertindak melampaui tujuan yang ditentukan serta harapan-harapan terhadap dirinya.
(40)
6. Memiliki sifat ingin mendalami segala sesuatu, tertarik dan selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
7. Mendukung serta membesarkan hati anggota kelompok. 8. Bersikap optimis dan positif, senyum.
9. Mengatasi hambatan dan tetap fokus terhadap tugas dan persisten. 10.Komit terhadap organisasi.
Selanjutnya, Marciano (2010) juga menggambarkan bahwa pada dasarnya karyawan akan bertindak dengan pemahaman dialah pemilik perusahaan. Karyawan akan melakukan apa saja yang perlu dilakukan tanpa mempedulikan nama jabatannya. Karyawan datang lebih cepat dari jadual, pulang melebihi waktu yang ditentukan, membawa pekerjaan rumah bila diperlukan, ia meninggalkan catatan/ email setelah jam kerja. Karyawan memperhatikan hal-hal yang tampaknya sepele, ia mengambil sampah yang terserak di lantai, bukan karena ada orang yang memperhatikannya, akan tetapi ia bangga terhadap lingkungan kerjanya. Bila terjadi masalah ia akan mengatasinya, bukan melupakan atau menghindarinya.
Albrecht (2010) merangkum beberapa gejala employee engagement
pada seorang karyawan antara lain:
1. Karyawan akan mengerahkan dan menunjukkan semua usaha baik secara fisik, pemikiran, maupun perasaan dalam melakukan pekerjaannya (Kahn, 1990).
(41)
2. Karyawan mengerahkan seluruh tenaga, antusiasme, dan menunjukkan semangat, dedikasi, dan dirinya larut dalam pekerjaan, muncul perasaan mengasyikkan pada saat melaksanakan tugasnya (Schaufeli, 2006). 3. Karyawan menginternalisasi semua tujuan dan aspirasi perusahaan
sebagai tujuan dan aspirasi miliknya sendiri. Karyawan merasa memiliki ikatan emosi antara dirinya dan perusahaan.
3. Dampak Positif Dari Karyawan Yang Engaged
Marciano (2010) menemukan beberapa faktor yang diasosiasikan dengan level engagement yang tinggi, antara lain:
a. Produktivitas yang meningkat b. Profit yang meningkat
c. Kualitas kerja yang lebih tinggi d. Efektivitas yang tinggi
e. Turnover yang rendah
f. Berkurangnya ketidakhadiran
g. Berkurangnya pencurian dan penipuan
h. Tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi i. Tingkat kepuasan kerja karyawan yang lebih tinggi j. Menurunnya tingkat kecelakaan kerja
(42)
Karyawan yang memiliki engagement merasa bersemangat dan secara efektif terlibat dalam kegiatan kerjanya, dan karyawan melihat dirinya mampu untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya (Schaufeli dalam Babcock-Roberson & Strickland, 2010). Karyawan yang memiliki engagement dengan pekerjaannya selain produktif juga membuat perusahaan berfungsi dengan baik (Babcock-Roberson & Strickland, 2010).
B. PENERAPAN MODEL JOB DEMANDS-RESOURCES DALAM KAITANNYA DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT
Model Job Demands-Resources merupakan sebuah model konseptual yang diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini berasumsi bahwa setiap jenis pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan/ beban kerja (job demands) dan sumber daya kerja (job resources). Job demands seperti tingkat tekanan yang tinggi, harapan yang tidak tercapai, dan keperluan yang saling berkonflik, cenderung menyebabkan efek negatif seperti kelelahan. Dalam konteks ini, job demands mengacu pada segala faset dari sebuah peran jabatan yang menuntut usaha terus menerus untuk mengatasi kesulitan. Usaha yang diperlukan untuk mengatasi tuntutan akan mengurangi energi, dan berujung pada kelelahan. (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004). Sebaliknya
job resources, termasuk di dalamnya otonomi, dukungan, dan umpan balik, dapat meningkatkan employee engagement serta mengurangi konsekuensi
(43)
negatif dari tuntutan kerja yang tidak tercapai (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004).
Banyak penelitian yang berusaha mengembangkan model Job Demands-Resources. Beberapa diantaranya menemukan bahwa job demands dan job resources berhubungan dengan employee engagement (Bakker, et al., 2003; Schaufeli, et al., 2004; Xanthopolou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Schaufeli dan Bakker (2004) menemukan bahwa employee engagement
berhubungan dengan job resources (misalnya dukungan dari rekan kerja) tetapi tidak berhubungan dengan job demands. Sebaliknya, penelitian oleh Hakanen dkk. (2008) menyatakan bahwa job demands memiliki korelasi negatif dengan
engagement, yang artinya semakin tinggi job demands maka semakin rendah
employee engagement.
C. JOB DEMANDS
1. Definisi Job Demands
Job Demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasional dari sebuah pekerjaan yang menuntut usaha fisik, psikologis (kognitif maupun emosional) yang terus menerus dari seorang karyawan sehingga dapat memberi efek fisiologis maupun psikologis (Demerouti, 2001). Job demands tidak selalu merugikan, tetapi ketika usaha yang dituntut melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan habis dan
(44)
mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya (Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006). Beberapa contoh job demands antara lain: konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja shift, beban kerja secara fisik, dan desain kerja yang buruk.
2. Dimensi-Dimensi Job Demands
Adapun dimensi-dimensi job demands antara lain: a. Work overload
Work overload (beban kerja yang berlebihan) terbagi menjadi dua, yaitu quantitative overload dan qualitative overload. Quantitative overload terjadi ketika kerja fisik karyawan melebihi kemampuannya,
yang disebut dengan “having too much to do”. Hal ini disebabkan karena
pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang harus dilakukan oleh karyawan terlalu sulit dan kompleks, yang disebut
“too difficult to do” (Cary Cooper, dalam Rice, 1992; French & Caplan,
dalam B. Arden, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work overload adalah beban yang dialami karyawan diberikan kuantitas pekerjaan yang banyak dalam waktu yang singkat ataupun kualitas pekerjaan yang kompleks melebihi kemampuannya.
(45)
Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan reaksi-reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung dan lain sebagainya (Manuaba, 2000, dalam Prihatini, 2007). Beban emosional biasanya dipicu oleh konflik dengan orang lain. Oleh karenanya, pekerjaan yang banyak berhubungan dengan orang lain membutuhkan beban emosional yang lebih besar (Van Veldhoven, 2002). Ketika beban emosional (emotional load) di tempat kerja meningkat, disonansi kognitif akan muncul dan menyebabkan karyawan mengalami distress (Wharton, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa emotional load
adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung, dan sebagainya. c. Cognitive load
Cognitive load pertama kali dikemukakan oleh Sweller (1988), merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja (working memory) dalam proses penyelesaian masalah (problem solving), berpikir, dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi, memori, bahasa, dan lain sebagainya). Beban pada memori kerja ini berupa tuntutan konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus menerus. Menurut Adcock (2000), cognitive load adalah jumlah sumber daya mental yang diperlukan untuk memproses informasi (amount of mental
(46)
resources necessary for information processing). Barrouilet (2007) mengatakan bahwa kinerja individu akan menurun seiring peningkatan beban memori konkuren, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek.
Berdasarkan uraian di atas, cognitive load adalah beban yang dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang melibatkan konsentrasi, ketepatan/ presisi memori, atau atensi terus menerus.
D. JOB RESOURCES 1. Definisi Job Resources
Job resources merupakan aspek pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan konsekuensi fisiologis maupun psikologis yang terjadi, sekaligus menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal (Demerouti, 2001). Job resources diperoleh melalui hubungan interpersonal dan sosial, pengaturan kerja, dan kerja itu sendiri (Bakker dan Demerouti, 2007). Contoh dari job resources meliputi: upah, dukungan dari atasan, umpan balik (feedback), kejelasan peran (role clarity), otonomi pekerjaan (job autonomy), ataupun pemberdayaan.
2. Dimensi-dimensi Job Resources
(47)
a. Role Clarity (Kejelasan Peran)
Greenberg dan Baron (2008) berpendapat bahwa peran jabatan adalah peranan yang disandang individu sesuai dengan jabatan tertentu. Lebih lanjut menurut Greenberg dan Baron bahwa peran dapat membingungkan jika terjadi ketidakjelasan antara yang diharapkan dan dilakukan sebagai penanggungjawab peran. Kebingungan peran terjadi jika seseorang tidak yakin apa yang harus dilakukannya pada beberapa situasi. Individu akan lebih puas dengan pekerjaannya ketika peran dan penampilan mereka didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas. Sependapat dengan Greenberg dan Baron, Steers (1980) menyatakan bahwa kekaburan peran adalah suatu keadaan di mana para individu tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai sifat tugas yang diserahkan pada mereka. Karyawan yang bekerja dengan peran yang tidak jelas cenderung mengalami perasaan negatif seperti ketegangan dan ketidakpuasan (Kahn et al., 1964; Kelly dan Hise, 1980).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa kejelasan peran adalah kondisi ketika karyawan mengetahui apa yang diharapkan, menjadi tanggung jawab peran jabatannya, dan mampu membedakan perannya dengan peran jabatan lain.
b. Supervisory Support (Dukungan Atasan)
(48)
memperhatikan kesejahteraannya. Ketika atasan menunjukkan pertimbangan lebih kepada bawahan, bawahan akan merasakan kehangatan dan perhatian dari atasannya. Karyawan yang menerima dukungan dari atasan seringkali merasa wajib untuk membalas budi atasan dengan membantu atasan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Eisenberger, et al., 2002).
Janssen (2003) menemukan bukti bahwa karyawan merespon dengan cara yang inovatif terhadap tuntutan kerja yang tinggi ketika mereka mempersepsikan bahwa usaha mereka dihargai dengan adil oleh atasan. Dukungan dari atasan juga berkorelasi positif dengan kepuasan kerja dan komitmen afektif, tetapi berkorelasi negatif dengan intensi
turnover (Ugur & Emin, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan atasan adalah derajat bantuan, perhatian, dan penghargaan yang diberikan atasan kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah.
c. Coworker Support (Dukungan Rekan Kerja)
Dukungan rekan kerja mengacu pada bantuan yang diberikan rekan kerja dalam tugas yang dijalankan ketika dibutuhkan dengan membagikan pengetahuan, keahlian, dan menyediakan semangat dan inspirasi.
Dukungan yang diterima dari rekan kerja dapat berbentuk instrumental, emosional, dan informasional (House, 1981). Dukungan
(49)
instrumental dapat membantu terselesainya pekerjaan tepat pada waktunya dan mengatasi efek tegang dari beban kerja yang tinggi. Dukungan emosional dari rekan kerja dalam bentuk rasa hormat, berpartisipasi secara afektif, dan rasa suka juga akan mengurangi perasaan tertekan dari tuntutan kerja. Dukungan informasional meliputi umpan balik, berbagi pengetahuan formal dan informal berguna untuk membantu karyawan bekerja dengan efektif dan efisien (Van der Doef & Maes, 1999). Dukungan ini dapat berupa bantuan untuk beban kerja yang berlebihan, membagikan sumber daya yang ada, dan menyediakan nasehat ketika rekan kerja berada dalam masalah.
Dukungan rekan kerja dapat mempengaruhi sikap kerja individu secara positif (He at al., 2011; Xanthopoulou et al., 2008). Zhou dan George (2011) menemukan bahwa dukungan rekan kerja dapat memotivasi karyawan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih, melakukan lebih banyak perilaku prososial yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kolektif. Karyawan yang menerima dukungan rekan kerja tinggi akan lebih mampu mengatasi tugas yang menekan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan rekan kerja adalah derajat bantuan dan perhatian yang diberikan rekan kerja kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah.
(50)
Menurut Lundberg (dalam Dale, 2003) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada
pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta
aplikasinya”. Menurut Sandra Kerka (1995) yang paling konseptual dari
organisasi belajar adalah asumsi bahwa „belajar itu penting‟, berkelanjutan, dan lebih efektif ketika dibagikan dan bahwa setiap pengalaman adalah suatu kesempatan untuk belajar.
Ketika karyawan diberikan kesempatan untuk pengembangan diri, kemungkinan distres mengecil. Bersamaan dengan hal tersebut, harapan karyawan yang tidak tercapai kecil kemungkinannya untuk berubah menjadi kelelahan ataupun intensi turnover. Kesempatan belajar cenderung meningkatkan efikasi diri dan membawa perhatian individu pada kemungkinan yang lebih luas. Efikasi diri dan perhatian pada kesempatan yang lebih luas dapat mengurangi emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak tercapai (Proost, van Ruysseveldt, & van Dijke, 2012). Oleh karenanya, karyawan yang diberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang terbukti lebih puas dalam bekerja dan lebih engaged (Luthans, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesempatan belajar adalah kondisi ketika karyawan memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri, mempelajari ketrampilan baru, dan memperoleh pengetahuan baru.
(51)
E. DINAMIKA DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN DIMENSI-DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT
Mills (dalam Walton, 2009) menyatakan bahwa dalam proses perubahan sebuah organisasi, diperlukan sumber daya manusia yang mau berkontribusi dengan sepenuh hati untuk perusahaan. Ott (2007) menyatakan bahwa karyawan yang engaged adalah kunci keberhasilan perubahan organisasi.
Menurut Albrecht (2010), karyawan yang engaged menginternalisasi semua tujuan dan aspirasi perusahaan sebagai tujuan dan aspirasi miliknya sendiri. Schaufeli (dalam Albrecht, 2010) menambahkan bahwa karyawan yang
engaged berusaha sekuat tenaga dan mampu bertahan di saat mengalami kesulitan, antusias, dan mudah larut dalam pekerjaannya.
Pentingnya mempelajari employee engagement tampak pada banyaknya penelitian yang berusaha membuat model konseptual untuk menjelaskan variabel tersebut. Salah satunya adalah model Job Demands-Resources yang diperkenalkan oleh Demerouti (2001). Model ini menyatakan bahwa setiap jenis pekerjaan terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan/ beban kerja (job demands) dan sumber daya kerja (job resources). Job demands mengacu pada aspek pekerjaan yang menuntut usaha terus menerus sehingga dapat memberi efek psikologis maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek pekerjaan yang membantu karyawan mengatasi efek job demands.
(52)
Model job demands-resources mengemukakan bahwa job demands yang tinggi akan menyebabkan karyawan kehabisan sumber daya yang dimilikinya sehingga berujung pada energi yang terkuras dan masalah-masalah kesehatan. Di sisi lain, model ini juga mengemukakan bahwa job resources dapat memotivasi karyawan, mendukung pertumbuhan dan pengembangan personal, membantu karyawan mencapai prestasi, yang semuanya dapat meningkatkan employee engagement dan kinerja (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004).
Berikut beberapa penelitian memaparkan keterkaitan antara dimensi-dimensi job demands dengan employee engagement. Caponetti (2012) menemukan bahwa beban kerja yang berlebih baik dari segi beban kuantitatif dan kualitatif mempunyai korelasi dengan engagement meskipun korelasinya lemah. Selain itu, terkait beban emosional dan kognitif, Wharton (1993) mengemukakan bahwa beban emosional di tempat kerja akan memicu terjadinya disonansi kognitif sehingga menyebabkan distres pada karyawan.
Selanjutnya dipaparkan penelitian mengenai dimensi-dimensi job resources dengan employee engagement. Salkind (dalam Caponetti, 2012) menemukan korelasi yang lemah dari konflik peran dan ambiguitas peran dengan engagement. Terkait dengan dukungan atasan, beberapa penelitian telah menemukan bukti dampak positif dukungan atasan terhadap sikap dan perilaku karyawan. Bakker, et al. (2007) menemukan bahwa dukungan atasan berhubungan secara positif dengan engagement.
(1)
Collins, J. (2004). Good To Great. (Baik Menjadi Hebat). Alih Bahasa oleh Alexander Sindoro. Batam: Kharisma Publishing Groups.
Dale Carnegie. (2013). How To Engage Employees by Fostering Positive Emotions. http://www.dalecarnegie.com/employee-engagement/how-to-engage-employees-by-fostering-positive-emotions-infographic/. Diakses pada bulan Oktober 2013 Dale, M. (2003). Developing Management Skill (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia.
Demerouti, E, Nachreiner, F., Bakker, Arnold B., &Schaufeli, Wilmar B. (2001). The job demands-resources model of burnout. Journal Of Applied Psychology, 86, 3, 499-512.
Eisenberger, R.; Stinglhamber, F; Vandenberghe, C.; Sucharski, I.L.; dan Rhoades, L. (2002). Perceived Suppervisor Support: Contributions to Perceived Organizational Support and Employee Retention. Journal Of Applied Psychology, 87 (3): 565-571
Finney, Martha I. (2008). The Truth About Getting The Best From People. New Jersey: Pearson Education.
Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Greenberg, Jerald dan Baron, Robert A. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta : Prentice Hall.
Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Hakanen, J. J., Bakker, A. B., & Schaufeli,W. B. (2006). Burnout and work engagement among teachers. Journal Of School Psychology, 43, 495–513.
Hakanen, J. J., Perhoniemi, R., & Toppinen-Tanner, S. (2008). Positive gain spirals at work: From job resources to work engagement, personal initiative and work-unit innovativeness. Journal Of Vocational Behavior, 73(1), 78-91.
Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Hayes, T. L. (2002). Business‐unitlevel relationship between employee satisfaction, employee engagement, and business outcomes: a meta‐analysis. Journal Of Applied Psychology, 87: 268-79
He, Y., K. K. Lai & Y. Lu, (2011). Linking organizational support to employee commitment: evidence from hotel industry of china. Int J. Human Resources Management, 22: 197-217.
(2)
House, J.S. (1981). Work Stress and Social Support. Reading, Mass: Addison-Wesley. Jackson, L & Schmidt, G. (2005). Managing paradoxes in change: Six steps for building
a balanced culture. The Conference Board-Executive Action Series, No. 162.
James A. Russo, Lea E. Waters, (2006) "Workaholic worker type differences in work-family conflict: The moderating role of supervisor support and flexible work scheduling", Career Development International, Vol. 11 Iss: 5, pp.418 – 439.
Janssen, Onne. (2003). Joint Impact of Interdependence and Group Diversity on Innovation. Journal Of Management, 29, 729.
John M. Ivancevich & James H. Donnelly, Jr. (1974). A Study of role clarity and need for clarity for three occupational groups. The Academy of Management Journal, 17(1) 28-36.
Jones, G. R. (2004). Organizational Theory, Design, And Change: Text And Cases Fourth Edition. United States of America: Pearson Education, Inc.
Kahn, W. A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and disengagement at work. Academy Of Management Journal, 33(4) 692-724
Kahn, R.L., Wolfe, D.M., Quinn, R.P., & Snoek, J.D. (1964). Organizational Stress: Studies In Role Conflict And Ambiguity. New York: Wiley.
Karatepe, O. M., Sokmen, A., Yavas, U., & Babakus, E. 2010. Work-family conflict and burnout in frontline service jobs: Direct, mediating and moderating effects. Ekonomika A. Management, 4, 61-73.
Kelly J.P. & R.T. Hise. (1980). Role conflict, role clarity, job tension, and job satisfaction in the brand manager position. Journal Of The Academy Of Marketing Science, 81 (Spring), 120-137.
Kerlinger, Fred N. (2003). Asas-Asas Penelitian Behavioural. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Kerka, Sandra. (1995). The learning organization. In Myths And Realities. http://ericacve.org/docs/mr00004.htm. Diakses bulan Oktober 2013.
Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners, (2nd.ed), Singapore: Pearson Education.
(3)
Robustness of the job demands-resources model. International Journal Of Stress Management, 13, 378-391.
Lonsum 2011 Annual Report
Luthans. (2006). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Marciano, Paul L. (2010). Carrots And Sticks Don’t Work. Build A Culture Of Employee Engagement With The Principles Of RESPECT. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Matthews, Douglas J. (2008). Ready, Get Set...Change!: The Impact of Change on Workforce Productivity and Engagement. Right Management.
Medlin, Bobby & Green, Kenneth W. (2008). Enhancing Performance Through Goal Setting, Engagement, And Optimism. Emerald Group Publishing Limited
Mizuno, K, Tanaka, M., Yamaguti, K. Kajimoto, O., Kuratsume, H. & Watanabe, Y. (2011). Mental fatigue caused by prolonged cognitive load associated with sympathetic hyperactivity. Behavior Brain Functioning, 7: 17.
Morán, Pablo & Panasian, Christine Panasian. 2005. The Human Side Of Mergers And Acquisitions: A Look At The Evidence. Chile: Universidad de Talca
Muchinsky, Paul M. (2003). Psychology Applied To Work Seventh Edition. Belmont: Wadsworth/ Thomson Learning.
Ott, B. (2007). Investors Take Note: Engagement Boosts Earnings. The Gallup
Management Journal.
http://businessjournal.gallup.com/content/27799/investors-take-note-engagementboosts-earnings.aspx?version=print. Diakses Juli 2013.
Porras, J.I., & Robertson, P. J. (1992). Organization development: Theory, practice, and research. In M. D. Dunnette & L. M. Hough (Eds.), Handbook of industrial and organizational psychology (2nd ed., Vol. 3, pp. 719-822). Palo Alto, CA: Consulting Psychology Press.
Prihatini, Lilis Dian. (2007). Analisis Hubungan Beban Kerja Dengan Stress Kerja Perawat Di Tiap Ruang Rawat Inap RSUD Sidikalang. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Proost, K., Van Ruysseveldt, J., Van Dijke, M. (2012). Coping with unmet expectations: Learning opportunities as a buffer against emotional exhaustion and turnover intentions. European Journal Of Work And Organizational Psychology, 21(1): 7-27.
(4)
Rhenen, Van W., Schaufeli W.B., & van Dijk FJH. (2003). Do Job Demands, Job Resources, And Personality Predict Burnout And Work Engagement? A Two-Sample Study. Amsterdam: University of Amsterdam.
Rice, R. E. (1992). The convergence of information science and communication: a bibliometric analysis. Journal Of The Amsterican Society For Information Science, 43(6), 397-411.
Rice, Julie Catherine. (2009). The Role Of Tenure As A Moderator To Work Engagement And Job Satisfaction. Master‟s Theses. San Jose State University: SJSU ScholarWorks.
Saks, A.M. (2006). Antecedents and consequences of employee engagement. Journal Of Managerial Psychology, 21(7)
Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B. (2003). The Utrecht Work Engagement Scale (UWES). Test Manual. Utrecht, The Netherlands: Department of Social & Organizational Psychology.
____________________________. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal Of Organizational Behavior, 25, 293.
Schaufeli,W. B., Bakker, A. B. & Salanova, M. (2006). The measurement of work engagement with a short questionnaire: A cross-national study. Educational And Psychological Measurement, 66 (4), 701-716.
Sleap, Michael. 2012. Position descriptions essential for role clarity and engagement.http://www.hrdaily.com.au/nl06_news_selected.php?selkey=2264. Diakses pada bulan September 2013.
Steers, Richard, M. (1980). Efektivitas Organisasi. Erlangga: Jakarta
Sweller, John. (1994). Cognitive Load Theory, Learning Difficulty, And Instructional Design. Great Britain: Elsevier Science Ltd.
Taris, T., Kompier, M., & Wielenga-Meijer, E. (2006). Leren op het werk: Een handelingstheoretisch perspectief [Learning at work: An action theoretical perspective].Gedrag & Organisatie, 19, 69-90.
(5)
Thomas, K. (2009). Intrinsic Motivation at Work. San Fransisco: Berrett Koehler Publisher.
Thomas, Maura N. (2012). Personal Productivity Secrets. Indianapolis: John Wiley And Sons, Inc.
Tornross, M., Hintsanen, M., Hintsa T., Jokela M., Pulkki-Raback L., Hutri-Kahonen, N., & Keltikangas-Jarvinen, L. (2013). Associations between five factor model traits and perceived job strain: A population-based study. Journal Of Occupational Health Psychology, 18(4): 492-500.
Yavas, Ugur, Osman O. Karatepe, and Emin Babakus (2013), “Correlates of Non-Work and Work Satisfaction among Hotel Employees: Implications for Managers,” Journal of Hospitality Marketing and Management, 22 (4), 375-406. Van der Doef, M. & Maes, S. (1999). The job demand-control (-support) model and psychological well-being: A review of 20 years of empirical research. Work & Stress, 13, 87-114.
Van Veldhoven, M., & Meijman, T. F. (1994). Het Meten Van Psychosociale Arbeidsbelasting Met Een Vragenlijst: De Vragenlijst Beleving En Beoordeling Van De Arbeid [The Measurement Of Psychosocial Strain At Work: The Questionnaire Experience And Evaluation Of Work]. Amsterdam: NIA.
Veldhoven, M.J.P.M. Van, Meijman, T., & Broersen, S. (2002). Handleiding VBBA : Onderzoek Naar De Beleving Van Psychosociale Arbeidsbelasting En Werkstress Met Behulp Van De Vragenlijst Beleving En Beoordeling Van De Arbeid. Amsterdam: Stichting Kwaliteitsbevordering Bedrijfsgezondheidszorg. Van Veldhoven, M., De Jonge, J., Broersen, S., Kompier, M., & Meijman, T. F. (2002).
Specific relations between psychosocial job conditions and job-related stress: a three-level analytic approach. Work & Stress, 16, 207–228.
Vazirani, Nitin. (2007). Employee Engagement. Nerul: SIES College of Management Studies .
Verhofstadt, E., Omey, E., De Witte, H. (2007). Testing Karasek‟s learning and strain hypotheses on Young workers in their First job. Work & Stress, 21, 131-141.
Walton, A. (2009). An Examination Of The Relationship Between Employee Engagement And Organization Profitability Within European Manufacturing Units. Ann Arbor: Capella University.
(6)
Wellins, Richard S. (2005). Employee Engagement: The Key To Realizing Competitive Advantage. DDI. Competitive Advantage Realized.
Wharton, A. S. (1993). The affective consequences of service work: managing emotions on the job. Work And Occupations, 20(2), 205–232.
Wheatley MJ. 1992. Leadership and the New Science. San Francisco: Berrett-Koehler
Worley, C. G., Hithcin, D. E., & Ross, W. L. (1996). Integrated Strategic Change: How OD Builds Competitive Advantage. Reading, MA: Addison-Wesley.
Zhou, J., & George, J. M. (2002). Understanding when bad moods foster creativity and good ones don‟t: the role of context and clarity of feelings. Journal Of Applied Psychology, 87(4), 687-697.