Karyawan yang memiliki engagement merasa bersemangat dan secara efektif terlibat dalam kegiatan kerjanya, dan karyawan melihat dirinya
mampu untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya Schaufeli dalam Babcock- Roberson Strickland, 2010. Karyawan yang memiliki engagement dengan
pekerjaannya selain produktif juga membuat perusahaan berfungsi dengan baik Babcock-Roberson Strickland, 2010.
B. PENERAPAN MODEL
JOB DEMANDS-RESOURCES
DALAM KAITANNYA DENGAN
EMPLOYEE ENGAGEMENT
Model Job Demands-Resources merupakan sebuah model konseptual yang diperkenalkan oleh Demerouti 2001. Model ini berasumsi bahwa setiap
jenis pekerjaan apapun terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan beban kerja job demands dan sumber daya kerja job resources. Job demands seperti tingkat
tekanan yang tinggi, harapan yang tidak tercapai, dan keperluan yang saling berkonflik, cenderung menyebabkan efek negatif seperti kelelahan. Dalam
konteks ini, job demands mengacu pada segala faset dari sebuah peran jabatan yang menuntut usaha terus menerus untuk mengatasi kesulitan. Usaha yang
diperlukan untuk mengatasi tuntutan akan mengurangi energi, dan berujung pada kelelahan. Bakker Demerouti, 2007; Schaufeli Bakker, 2004. Sebaliknya
job resources, termasuk di dalamnya otonomi, dukungan, dan umpan balik, dapat meningkatkan employee engagement serta mengurangi konsekuensi
Universita Sumatera Utara
negatif dari tuntutan kerja yang tidak tercapai Bakker Demerouti, 2007; Schaufeli Bakker, 2004.
Banyak penelitian yang berusaha mengembangkan model Job Demands- Resources. Beberapa diantaranya menemukan bahwa job demands dan job
resources berhubungan dengan employee engagement Bakker, et al., 2003; Schaufeli, et al., 2004; Xanthopolou, Bakker, Demerouti, Schaufeli, 2007.
Schaufeli dan Bakker 2004 menemukan bahwa employee engagement berhubungan dengan job resources misalnya dukungan dari rekan kerja tetapi
tidak berhubungan dengan job demands. Sebaliknya, penelitian oleh Hakanen dkk. 2008 menyatakan bahwa job demands memiliki korelasi negatif dengan
engagement, yang artinya semakin tinggi job demands maka semakin rendah employee engagement.
C. JOB DEMANDS
1. Definisi Job Demands
Job Demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasional dari sebuah pekerjaan yang menuntut usaha fisik, psikologis
kognitif maupun emosional yang terus menerus dari seorang karyawan sehingga dapat memberi efek fisiologis maupun psikologis Demerouti,
2001. Job demands tidak selalu merugikan, tetapi ketika usaha yang dituntut melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan habis dan
Universita Sumatera Utara
mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya Schaufeli dan Bakker 2004; Bakker et al., 2003; Hakanen et al., 2006; Llorens et al., 2006.
Beberapa contoh job demands antara lain: konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja shift, beban kerja secara fisik, dan desain kerja yang buruk.
2. Dimensi-Dimensi Job Demands
Adapun dimensi-dimensi job demands antara lain: a.
Work overload
Work overload beban kerja yang berlebihan terbagi menjadi dua, yaitu quantitative overload dan qualitative overload. Quantitative
overload terjadi ketika kerja fisik karyawan melebihi kemampuannya, yang disebut dengan “having too much to do”. Hal ini disebabkan karena
pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang
harus dilakukan oleh karyawan terlalu sulit dan kompleks, yang disebut “too difficult to do” Cary Cooper, dalam Rice, 1992; French Caplan,
dalam B. Arden, 2006. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work
overload adalah beban yang dialami karyawan diberikan kuantitas pekerjaan yang banyak dalam waktu yang singkat ataupun kualitas
pekerjaan yang kompleks melebihi kemampuannya. b.
Emotional load
Universita Sumatera Utara
Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan reaksi- reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung
dan lain sebagainya Manuaba, 2000, dalam Prihatini, 2007. Beban emosional biasanya dipicu oleh konflik dengan orang lain. Oleh
karenanya, pekerjaan yang banyak berhubungan dengan orang lain membutuhkan beban emosional yang lebih besar Van Veldhoven,
2002. Ketika beban emosional emotional load di tempat kerja meningkat, disonansi kognitif akan muncul dan menyebabkan karyawan
mengalami distress Wharton, 1993. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa emotional load
adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang
negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung, dan sebagainya. c.
Cognitive load Cognitive load pertama kali dikemukakan oleh Sweller 1988,
merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja working memory dalam proses penyelesaian masalah problem solving, berpikir,
dan pendayagunaan pikiran lain termasuk persepsi, memori, bahasa, dan lain sebagainya. Beban pada memori kerja ini berupa tuntutan
konsentrasi, ketepatan presisi memori, atau atensi terus menerus. Menurut Adcock 2000, cognitive load adalah jumlah sumber daya
mental yang diperlukan untuk memproses informasi amount of mental
Universita Sumatera Utara
resources necessary for information processing. Barrouilet 2007 mengatakan bahwa kinerja individu akan menurun seiring peningkatan
beban memori konkuren, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek.
Berdasarkan uraian di atas, cognitive load adalah beban yang dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang
melibatkan konsentrasi, ketepatan presisi memori, atau atensi terus menerus.
D. JOB RESOURCES
1. Definisi Job Resources
Job resources merupakan aspek pekerjaan yang berfungsi membantu karyawan mengatasi job demands dan konsekuensi fisiologis maupun
psikologis yang terjadi, sekaligus menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan personal Demerouti, 2001. Job resources diperoleh
melalui hubungan interpersonal dan sosial, pengaturan kerja, dan kerja itu sendiri Bakker dan Demerouti, 2007. Contoh dari job resources meliputi:
upah, dukungan dari atasan, umpan balik feedback, kejelasan peran role clarity, otonomi pekerjaan job autonomy, ataupun pemberdayaan.
2. Dimensi-dimensi Job Resources
Beberapa dimensi-dimensi job resources antara lain:
Universita Sumatera Utara
a. Role Clarity Kejelasan Peran
Greenberg dan Baron 2008 berpendapat bahwa peran jabatan adalah peranan yang disandang individu sesuai dengan jabatan tertentu.
Lebih lanjut menurut Greenberg dan Baron bahwa peran dapat membingungkan jika terjadi ketidakjelasan antara yang diharapkan dan
dilakukan sebagai penanggungjawab peran. Kebingungan peran terjadi jika seseorang tidak yakin apa yang harus dilakukannya pada beberapa
situasi. Individu akan lebih puas dengan pekerjaannya ketika peran dan penampilan mereka didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas.
Sependapat dengan Greenberg dan Baron, Steers 1980 menyatakan bahwa kekaburan peran adalah suatu keadaan di mana para individu
tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai sifat tugas yang diserahkan pada mereka. Karyawan yang bekerja dengan peran yang
tidak jelas cenderung mengalami perasaan negatif seperti ketegangan dan ketidakpuasan Kahn et al., 1964; Kelly dan Hise, 1980.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa kejelasan peran adalah kondisi ketika karyawan mengetahui apa yang
diharapkan, menjadi tanggung jawab peran jabatannya, dan mampu membedakan perannya dengan peran jabatan lain.
b. Supervisory Support Dukungan Atasan
Dukungan atasan didefinisikan sebagai kepercayaan karyawan mengenai tingkat seberapa jauh atasan menghargai kontribusi dan
Universita Sumatera Utara
memperhatikan kesejahteraannya.
Ketika atasan
menunjukkan pertimbangan lebih kepada bawahan, bawahan akan merasakan
kehangatan dan perhatian dari atasannya. Karyawan yang menerima dukungan dari atasan seringkali merasa wajib untuk membalas budi
atasan dengan membantu atasan mencapai tujuan yang telah ditetapkan Eisenberger, et al., 2002.
Janssen 2003 menemukan bukti bahwa karyawan merespon dengan cara yang inovatif terhadap tuntutan kerja yang tinggi ketika
mereka mempersepsikan bahwa usaha mereka dihargai dengan adil oleh atasan. Dukungan dari atasan juga berkorelasi positif dengan kepuasan
kerja dan komitmen afektif, tetapi berkorelasi negatif dengan intensi turnover Ugur Emin, 2001.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan atasan adalah derajat bantuan, perhatian, dan penghargaan yang diberikan
atasan kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah. c.
Coworker Support Dukungan Rekan Kerja Dukungan rekan kerja mengacu pada bantuan yang diberikan
rekan kerja dalam tugas yang dijalankan ketika dibutuhkan dengan membagikan pengetahuan, keahlian, dan menyediakan semangat dan
inspirasi. Dukungan yang diterima dari rekan kerja dapat berbentuk
instrumental, emosional, dan informasional House, 1981. Dukungan
Universita Sumatera Utara
instrumental dapat membantu terselesainya pekerjaan tepat pada waktunya dan mengatasi efek tegang dari beban kerja yang tinggi.
Dukungan emosional dari rekan kerja dalam bentuk rasa hormat, berpartisipasi secara afektif, dan rasa suka juga akan mengurangi
perasaan tertekan dari tuntutan kerja. Dukungan informasional meliputi umpan balik, berbagi pengetahuan formal dan informal berguna untuk
membantu karyawan bekerja dengan efektif dan efisien Van der Doef Maes, 1999. Dukungan ini dapat berupa bantuan untuk beban kerja yang
berlebihan, membagikan sumber daya yang ada, dan menyediakan nasehat ketika rekan kerja berada dalam masalah.
Dukungan rekan kerja dapat mempengaruhi sikap kerja individu secara positif He at al., 2011; Xanthopoulou et al., 2008. Zhou dan
George 2011 menemukan bahwa dukungan rekan kerja dapat memotivasi karyawan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih,
melakukan lebih banyak perilaku prososial yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kolektif. Karyawan yang menerima dukungan rekan
kerja tinggi akan lebih mampu mengatasi tugas yang menekan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan
rekan kerja adalah derajat bantuan dan perhatian yang diberikan rekan kerja kepada karyawan ketika karyawan berada dalam masalah.
d. Opportunities To Learn
Universita Sumatera Utara
Menurut Lundberg dalam Dale, 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada
pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya”. Menurut Sandra Kerka 1995 yang paling konseptual dari
organisasi belajar adalah asumsi bahwa „belajar itu penting‟,
berkelanjutan, dan lebih efektif ketika dibagikan dan bahwa setiap pengalaman adalah suatu kesempatan untuk belajar.
Ketika karyawan diberikan kesempatan untuk pengembangan diri, kemungkinan distres mengecil. Bersamaan dengan hal tersebut,
harapan karyawan yang tidak tercapai kecil kemungkinannya untuk berubah menjadi kelelahan ataupun intensi turnover. Kesempatan belajar
cenderung meningkatkan efikasi diri dan membawa perhatian individu pada kemungkinan yang lebih luas. Efikasi diri dan perhatian pada
kesempatan yang lebih luas dapat mengurangi emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak tercapai Proost, van Ruysseveldt,
van Dijke, 2012. Oleh karenanya, karyawan yang diberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang terbukti lebih puas dalam bekerja dan
lebih engaged Luthans, 2006. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesempatan
belajar adalah kondisi ketika karyawan memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri, mempelajari ketrampilan baru, dan memperoleh
pengetahuan baru.
Universita Sumatera Utara
E. DINAMIKA DIMENSI-DIMENSI JOB DEMANDS DAN DIMENSI-
DIMENSI JOB RESOURCES TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT
Mills dalam Walton, 2009 menyatakan bahwa dalam proses perubahan sebuah organisasi, diperlukan sumber daya manusia yang mau berkontribusi
dengan sepenuh hati untuk perusahaan. Ott 2007 menyatakan bahwa karyawan yang engaged adalah kunci keberhasilan perubahan organisasi.
Menurut Albrecht 2010, karyawan yang engaged menginternalisasi semua tujuan dan aspirasi perusahaan sebagai tujuan dan aspirasi miliknya
sendiri. Schaufeli dalam Albrecht, 2010 menambahkan bahwa karyawan yang engaged berusaha sekuat tenaga dan mampu bertahan di saat mengalami
kesulitan, antusias, dan mudah larut dalam pekerjaannya. Pentingnya mempelajari employee engagement tampak pada banyaknya
penelitian yang berusaha membuat model konseptual untuk menjelaskan variabel tersebut. Salah satunya adalah model Job Demands-Resources yang
diperkenalkan oleh Demerouti 2001. Model ini menyatakan bahwa setiap jenis pekerjaan terdiri dari dua aspek yaitu tuntutan beban kerja job demands dan
sumber daya kerja job resources. Job demands mengacu pada aspek pekerjaan yang menuntut usaha terus menerus sehingga dapat memberi efek psikologis
maupun fisiologis bagi karyawan. Sedangkan job resources mengacu pada aspek pekerjaan yang membantu karyawan mengatasi efek job demands.
Universita Sumatera Utara
Model job demands-resources mengemukakan bahwa job demands yang tinggi akan menyebabkan karyawan kehabisan sumber daya yang dimilikinya
sehingga berujung pada energi yang terkuras dan masalah-masalah kesehatan. Di sisi lain, model ini juga mengemukakan bahwa job resources dapat memotivasi
karyawan, mendukung pertumbuhan dan pengembangan personal, membantu karyawan mencapai prestasi, yang semuanya dapat meningkatkan employee
engagement dan kinerja Bakker Demerouti, 2007; Schaufeli Bakker, 2004.
Berikut beberapa penelitian memaparkan keterkaitan antara dimensi- dimensi job demands dengan employee engagement. Caponetti 2012
menemukan bahwa beban kerja yang berlebih baik dari segi beban kuantitatif dan kualitatif mempunyai korelasi dengan engagement meskipun korelasinya
lemah. Selain itu, terkait beban emosional dan kognitif, Wharton 1993 mengemukakan bahwa beban emosional di tempat kerja akan memicu terjadinya
disonansi kognitif sehingga menyebabkan distres pada karyawan. Selanjutnya dipaparkan penelitian mengenai dimensi-dimensi job
resources dengan employee engagement. Salkind dalam Caponetti, 2012 menemukan korelasi yang lemah dari konflik peran dan ambiguitas peran
dengan engagement. Terkait dengan dukungan atasan, beberapa penelitian telah menemukan bukti dampak positif dukungan atasan terhadap sikap dan perilaku
karyawan. Bakker, et al. 2007 menemukan bahwa dukungan atasan berhubungan secara positif dengan engagement.
Universita Sumatera Utara
Demerouti 2001 mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri, menerima coaching yang membantu
dari atasan, umpan balik yang cukup, dan dukungan emosional dari rekan kerjanya akan meningkatkan motivasi karyawan untuk mencapai tujuan
organisasi. Sejalan dengan Demerouti, Swanberg et al. 2006 mengatakan bahwa karyawan yang menerima sumber daya dan pelatihan yang cukup untuk
menyelesaikan pekerjaannya akan lebih engaged dalam bekerja. James et al. 2006 menambahkan bahwa karyawan akan lebih mau berkontribusi ketika
mereka percaya bahwa pekerjaan mereka diakui dan mereka memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan.
F. HIPOTESA PENELITIAN