Kritik Sastra Aktif & Kreatif Berbahasa Indonesia Bahasa Kelas 12 Yudi Irawan Adi Abdul Somad dan Aminudin 2008

244 Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa Pada pembahasan tersebut, terdapat bagian-bagian deskripsi karya, sinopsis, dan penilaian kritikus terhadap karya tersebut. Ulasan mengenai karya dan sinopsisnya terdapat pada paragraf 1 dan 2, sedangkan ulasan mengenai potret sosial yang ada dalam novel tersebut ada dalam paragraf 3 sampai paragraf 4. Penulis pun menampilkan keunikan-keunikan sekaligus kritik terhadap novel tersebut dalam paragraf 5 sampai paragraf 6.

2. Esai

Pernahkah Anda membaca esai? Menurut Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan, 1997 esai adalah bentuk pandangan mengenai topik dengan bentuk yang pendek dan cara penuturan yang efektif serta efisien. Dalam esai dibentangkan, diuraikan, dan dipantulkan pendapat dan perasaan tentang suatu hal dalam bidang kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, politik, dan filsafat. Dalam pembelajaran ini, Anda akan memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip penulisan esai seperti berikut ini. a. Esai menampilkan pikiran dan perasaan penulisnya dalam menghadapi suatu permasalahan. b. Esai menampilkan keterangan atau menunjukkan sebab-sebab yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang nyata. c. Esai menguraikan hal-hal berupa fakta yang dipadukan dengan gagasan atau ide serta pandangan penulisnya. d. Dalam esai terdapat pengutaraan pendapat. Pendapat tersebut harus disertai dengan alasan-alasan dan pertimbangan terhadap suatu masalah yang menjadi persoalan. Sekarang, bacalah contoh esai berikut ini dengan saksama. Komunitas Sastra: Kesendirian dan Kebersamaan Oleh: Toto S. T. Radik i Sastrawan juga manusia Dia mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Sekali waktu dia membutuhkan kesendirian, menik- mati dan menghikmati kesendirian dan kediriannya. Kali lain dia merindukan kebersamaan, menemui, bersilaturahmi, dan hadir bersama seseorang, bahkan banyak orang. Kadang begitu rela atau terpaksa mengubah dirinya menjadi orang lain, berlari atau melarikan diri ke tengah massa. Kadang begitu jumawa atau terpaksa mengubah orang lain dan atau lingkungannya untuk menjadi seperti dirinya atau sesuai keinginan dan kepentingannya. Demikianlah manusia hidup dalam paradoks, melakukan perjalanan bolak-balik, pergi-pulang, yang tak kunjung selesai antara kesendirian dan kebersamaan, individualitas, dan kolektivitas, beserta seluruh pernak-perniknya, juga resiko-resikonya. Lantas apakah kesendirian dan kebersamaan, individualitas dan kolektivitas, itu merupakan dua hal yang hitam-putih? Dua dunia yang bertentangan dan bersebrangan? Sesungguhnya dua hal itu sama sekali tidak perlu dipertentangkan secara mutlak dalam posisi yang dikotomis-kategoristis, tetapi yang penting ialah mengusahakan keseimbangan antara keduanya. Ketegangan dalam mengusahakan keseimbangan antara kedua hal itulah yang membuat hidup jadi menarik untuk dijalani, bukan? ii Kesusastraan modern Indonesia lahir dengan kehendak besar untuk menuju dan mengukuhkan literacy keberaksaraan yang kerap di perlawankan dengan orality kelisanan. Literacy adalah dunia buku atau dunia membaca mata, sedangkan orality adalah dunia membacakanmendengarkan mulut-kuping. Literacy konon menghendaki kesendirian yang teguh dan sepi, memisahkan atau mengasingkan diri, sedangkan orality konon menghendaki kebersamaan yang guyub dan ramai, menyatukan atau menggabungkan diri. Uniknya, kesusastraan modern Indonesia yang menghendaki state of mind keberaksaraan juga ditandai dengan lahirnya begitu banyak komunitas-komunitas sastra yang menghidupkan keguyuban, membangun silaturahmi dan kehangatan hubungan sosial antar 245 Menghayati Sastra anggota komunitas maupun antara satu komunitas dengan komunitas lain yang justru berlari ke state of mind kelisanan. Seperti ada dua arah yang bersimpangan di situ. Begitu ruahnya komunitas-komunitas sastra, terutama pada tahun 1990-an yang anggotanya bisa siapa saja semisal buruh, pedagang, kuli, sopir angkot, ibu rumah tangga, pelacur, santri, anak jalanan, pengamen dan berbagai kaum lain yang termarginalkan dan teralienasikan oleh pembangunan maupun oleh tra- disi kesusastraan modern Indonesia yang rigorous di berbagai daerah di seantero Nusantara dengan berbagai kegiatan penerbitan mandiri dan pembacaan terutama puisi, mengundang banyak kecemasan para sastrawan yang mencemooh sekaligus menghardik yang bukan sastrawan untuk tidak ambil bagian. Komunitas sastra dituding sebagai satu satuan massa yang cenderung menggelapkan individualisme dan menggantikannya dengan kolektivisme, cenderung melambagnkan segelintir orang di dalamnya, dan cenderung menjadi alat legitimasi atau pentasbihan kesastrawanan. Oleh karenanya, komunitas sastra harus dicurigai habis-habisan. Sikap kolektif yang mengikat diri harus ditolak dan diberangus karena kerja sastra merupakan kerja individual yang sangat keras dalam waktu yang tidak singkat. Lantas matikah komunitas-komunitas sastra itu? Ada komunitas yang mati beserta anggota- anggotanya pula. Ada yang anggotanya berguguran tetapi komunitasnya terus hidup dan memperoleh anggota-anggota baru. Ada yang komunitasnya yang mati, tetapi anggota-anggotanya membentuk komunitas-komunitas baru. iii Bermunculnya komunitas-komunitas sastra dari tahun ke tahun baik di kota maupun di kampung- kampung, sesungguhnya merupakan estafet panjang di dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sebutlah misalnya para sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, juga generasi Gelanggang, Kisah Sastra, Horison, dan Kalam yang pada dasarnya merupakan komunitas sastra yang dibentuk oleh lingkungan pergaulan sastra penerbitan majalah-majalah tersebut. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, nyaris semua sastrawan Indonesia pernah terlibat di dalam komunitas sastra. Komunitas sastra merupakan sesuatu yang interent dan niscaya di situ. Tentu saja, kerja sastra tetaplah kerja individual yang sangat keras, melelahkan, dan membutuhkan waktu panjang. Karena hanya melalui karya sastra yang baiklah yang lahir dari tradisi literacy yang sepi, dari pengerahan pemikiran dan permenungan bertahun-tahun, dari studi yang tak kunjung henti,dari semedi yang khusyuk yang mentasbihkan seseorang menjadi sastrawan. Komunitas sastra selaiknya tempat bertemu muka untuk melakukan perjumpaan dan membicarakan hasil pikiran dan renungan denganbersama orang lain. Sebuah lingkungan yang hangat dan kondusif untuk saling memerhatikan dan merawat kemungkinan-kemung- kinan kreatif. Dari proses semacam itulah, karya sastra pun lahir, berbagai-bagai dan mekar bersama. Untuk selanjutnya berjumpa dengan pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi pembaca. Mereka yang emoh menjalani proses itu, berada atau tidak berada dalam komunitas tentu bakal mati iseng sendiri. iv Sastrawan juga manusia Dia, kesusastraan, sebagaimana halnya manusia senantiasa hidup dalam dua dunia yang paradoksal: berjalan bolak-balik, pergi-pulang antara kesendirian dan kebersamaan, individualitas dan kolektivitas literacy dan orality. Ah, gitu aja kok repot Sumber: Ode Kampung, 2006 Bagaimana tanggapan Anda mengenai esai tersebut? Sudah sesuaikah esai tersebut dengan prinsip-prinsip penulisan esai yang telah Anda pelajari? Diskusikanlah dengan teman-teman Anda. Sekarang, kerjakanlah latihan berikut. 1. Carilah satu contoh kritik sastra dan esai dalam surat kabar. 2. Bacalah kritik sastra dan esai tersebut dengan saksama. 3. Tanggapilah kritik sastra dan esai tersebut sesuai dengan prinsip- prinsip penulisan yang telah Anda pelajari. Uji Materi 246 Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program Bahasa Kegiatan Lanjutan 1. Buatlah sebuah kritik atas karya sastra sesuai dengan pilihan Anda cerpen, puisi, atau novel. 2. Buatlah sebuah esai singkat yang mengulas tentang permasalahan cerita pendek. Misalnya, tentang perkembangan cerita pendek di surat kabar. 3. Kumpulkan karya Anda dan teman-teman Anda. Jilidlah agar rapi. Lalu, simpanlah sebagai arsip yang sewaktu-waktu dibutuhkan. Info Sastra Heboh Sastra 1968 adalah suatu peristiwa dalam perkem- bangan sastra Indonesia yang dipicu oleh pemuatan sastra Indonesia yang dipicu oleh pemuatan cerita pendek Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dalam majalah Sastra edisi bulan Agustus 1968. Cerita pendek tersebut dianggap menghina Tuhan dan agama Islam. Sebagai konsekuensinya, Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan menyita majalah Sastra pada 12 Oktober 1968. Di samping itu, kantor majalah Sastra di Jakarta didemontrasi oleh sekelompok orang. Atas penyitaan majalah Sastra itu, muncul reaksi dari pihak para pengarang Medan yang tidak mengerti tindakan Kejaksaan Tinggi. Dalam penerbitan stensilan yang berjudul Responsi para pengarang Medan mengkritik tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara dari sudut hukum dan sastra. Pengarang yang turut Sori Siregar, Z. Pangaduan Lubis, Rusli A. Malem, Zakaria M. Passe, dan Djohan A. Nasution. H.B. Jassin sebgai redaktur majalah Sastra pada waktu itu, meskipun Kipanjikusmin telah mencabut cerita pendeknya, tetap berurusan dengan pengadilan sebab Jassin tidak mau membuka identitas Kipanjikusmin yang sebenarnya. Pada 28 Oktober 1970, hakim menjatuhkan vonis kepada H.B. Jassin yang dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, 2003 1. Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya ke dalam puisi. 2. Setiap puisi yang ditulis penyair memilki ciri khas masing-masing. Ciri tersebut memiliki kaidah tersendiri yang berbeda dengan karya sastra lain. 3. Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra. Di dalamnya diulas mengenai penilaian, tanggapan, dan komentar terhadap suatu karya sastra. 4. Esai adalah bentuk pandangan mengenai topik dengan bentuk