48 besar para juragan di Desa ini masih ikut dalam kegiatan menangkap ikan
miyang , sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan para bidaknya. Karena
dianggap memiliki tingkat ekonomi yang lebih, juragan seringkali menjadi sandaran bagi anak buahnya bidak bila mengalami kesulitan ekonomi.
Lapisan masyarakat yang dianggap paling bawah adalah bidak, penyebutan istilah bidak adalah mengacu pada nelayan yang tidak bermodal,
hanya modal tenaga dan kemauan saja. Kelompok ini adalah lapisan yang paling bawah, baik secara sosial mapun secara ekonomi. Lapisan ini banyak bergantung
pada hasil tangkapan, bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang bidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan bila hasil tangkapan ikan
sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus menghutang terlebih dahulu kepada juragan, kerabat, teman atau tetangganya.
5.1.2. Hubungan Antar Tipe Nelayan
Hubungan antar bakul secara sepintas terlihat sangat individualis dan terkesan memiliki persaingan untuk memperoleh ikatan penjualan dari para
juragan . Kerjasama diantara bakul terlihat pada penetapan harga ikan hasil
tangkapan nelayan, sehingga harga penjualan ikan yang berlaku pada setiap bakul sama. Hal ini akan memperkuat posisi para bakul dalam penetapan harga ikan
pada saat melakukan transaksi jual beli dengan para juragan. Pola kerjasama antara bakul dan juragan terimplementasi dalam ikatan
jual beli. Pada saat seorang juragan membutuhkan modal untuk membeli atau memperbaiki alat-alat produksi perahu, mesin, dan peralatan tangkap lainnya,
mereka meminjam uang kepada bakul dengan konsekuensi juragan harus
49 menjual hasil tangkapannya kepada bakul tersebut dengan harga yang jauh lebih
rendah dibandingkan harga di pasaran. Kerjasama ini dilakukan oleh juragan karena tidak membutuhkan persyaratan yang berbelit-belit, semuanya cukup
dilakukan secara lisan. Sekalipun uang pinjaman tersebut tidak memiliki bunga, namun konsekuensi berupa ikatan penjualan dirasa oleh para juragan sangat
memberatkan karena harga penjualan ikan yang diperoleh jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pasar, sehingga pola kerjasama yang terjadi dianggap
oleh para juragan secara tidak langsung bersifat eksploitatif, karena para bakul hanya memetik keuntungan tanpa harus bekerja keras di laut.
Hubungan antar juragan terlihat pada kerjasama antar juragan dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap jenis alat tangkap, sehingga
sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama. Selain itu juga kerjasama antar juragan terlihat ketika sedang menangkap ikan di tengah laut.
Kerjasama ini terjadi pada saat seorang juragan mendapatkan musibah, misalnya terjadi kerusakan mesin sehingga perahu tidak dapat berjalan, maka juragan yang
lain akan membantu dengan menggandeng perahu tersebut sampai ke tempat pendaratan perahu. Hal ini biasanya dilakukan tanpa adanya imbalan apapun atau
secara sukarela. Pola hubungan kerjasama antara juragan dengan bidak adalah hubungan
kerja sama antara juragan sebagai ”patron” dengan bidak selaku ”klien”. Hubungan kerjasama ini merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama tradisional
dikalangan masyarakat nelayan khususnya nelayan di Desa Limbangan. Juragan sebagai pemilik sarana penangkapan ikan alat-alat produksi membutuhkan
tenaga kerja, sedangkan bidak menyediakan tenaga kerja dengan menerima upah
50 berupa uang dari hasil penangkapan ikan di laut. Untuk bekerja menjadi bidak,
seseorang harus memiliki kriteria antara lain: memiliki fisik yang kuat, mau bekerja keras, jujur, ulet, tidak mabuk laut serta tidak mudah putus asa dalam
bekerja. Akan tetapi hal terpenting adalah tidak mabuk laut agar tidak menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Pola hubungan seperti ini sudah berlangsung sangat lama dan bertahan secara turun-temurun. Hubungan kerjasama ini biasanya diikat oleh pinjaman
uang sejenis uang kontrak kerja yang besarnya sekitar Rp 100.000,00 – Rp 500.000,00. Besarnya uang pinjaman yang diberikan oleh juragan didasarkan atas
pengalaman dan kemampuan bidak dalam memperoleh hasil tangkapan. Ikatan kerja ini hanya berdasarkan kesepakatan informal yang dilandasai atas dasar rasa
saling percaya dan kejujuran. Pinjaman uang tersebut tidak perlu dibayar selama bidak
masih bekerja kepada juragan yang bersangkutan dan dianggap lunas atau hanya membayar sebagian uang pinjaman jika bidak tersebut meninggal dunia.
Sepanjang bidak tersebut masih memiliki ikatan kerja dengan juragan, maka bidak
tidak diperkenankan bekerja pada perahu milik juragan yang lainnya. Jika bidak
ingin berpindah bekerja pada juragan lain, bidak harus mengembalikan uang pinjaman tersebut pada juragan yang lama sebesar uang pinjaman yang
pernah diterimanya. Menurut para nelayan bidak, berpindahnya bidak pada juragan lain
terutama karena juragan tersebut dianggap pelit dalam artian tidak mau meminjamkan uang pada saat bidak sangat membutuhkan uang tersebut. Seperti
pada saat anggota keluarga sakit, lebaran atau untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain itu alasan lain mengenai berpindahnya bidak pada
51 juragan
lain adalah adanya keinginan untuk memperoleh pinjaman uang ikatan kerja yang lebih besar dari yang pernah diterima sebelumnya. Bagi para juragan
yang tidak mau bidaknya berpindah bekerja kepada juragan lain, maka juragan tersebut sangat menghargai pekerjaan bidaknya dan tidak segan-segan untuk
memberikan pinjaman uang kepada bidaknya. Bagi para bidak, menjalin ikatan dengan juragan merupakan suatu hal
penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Pola hubungan patron-klien ini merupakan tata hubungan yang saling menguntungkan, dimana bidak selaku
nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi diberikan keuntungan oleh juragan selaku pemilik alat-alat produksi untuk bekerja sebagai bidak pada juragan yang
bersangkutan dan akan memproleh imbalan yang setimpal dengan hasil usahanya.
5.1.3. Sistem Bagi Hasil