Teknik Pengumpulan Data METODOLOGI PENELITIAN 3.1.

memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus dari penelitian merupakan fenomena masa kini dalam konteks kehidupan nyata.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara mendalam indepth interview dengan responden dan informan kunci. Untuk melengkapi data, maka dilakukan FGD yang diikuti oleh responden, informan kunci. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelusuran terhadap arsip, dokumen mulai dari level desa penelitian, kecamatan Rawamerta dan Pasawahan, dinas tenaga kerja dan Transmigrasi, BPS KabupatenKarawang dan Purwakarta, serta perpustakaan IPB, UI, Nasional dan LIPI. Langkah pertama untuk menentukan informan, peneliti menggunakan teknik snowball sampling sebagaimana yang dirumuskan Babbie, 2004:184, yaitu dengan cara mendatangi kepala desa dan mengajak diskusi mengenai kondisi umum desa penelitian sebelum masuk kepada permasalahan migran perempuan pedesaan di kedua desa. Wawancara dengan informan kunci yaitu M. Kusnaedi sebagai Kepala Desa Panyingkiran, dan Rukmawijaya sebagai Kepala Desa Ciherang. Dari informasi awal diperoleh pemetaan mengenai: 1 beberapa informan kunci seperti; peloporgenerasi pertama migran perempuan dari kedua desa, 2 nama-nama elite agama, 3 elite pendidikan, 4 elite tradisional yaitu petani lapisan atas atau “orang kaya”. Setelah mendapatkan gambaran lengkap mengenai beberapa informan kunci, peneliti mulai memetakan permasalahan serta informan mana saja yang diprioritaskan untuk diwawancarai terlebih dahulu. Berdasarkan informasi awal, peneliti memetakan beberapa migran perempuan dan sponsor atau calo yang terdapat di kedua desa. Hal yang menarik, bahwa sponsor alias calo yang beroperasi di Panyingkiran dan Ciherang umumnya merupakan migran perempuan generasi pertama atau migran perintis. Mereka memilih menjadi sponsor atau calo setelah bertahun-tahun bekerja sebagai pembantu rumahtangga PRT di Arab Saudi, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup mengenai mekanisme dan lika-liku mengurus berbagai persyaratan yang diperlukan bekerja di luar negeri. Kesamaan etnik dan budaya antara peneliti dengan tineliti menjadi semacam simpul penyatu 21 yang cukup membantu kelancaran peneliti dalam beberapa hal, meskipun demikian terdapat hambatan yang seringkali didasarkan kepada prasangka-prasangka tertentu, kesulitan ini nampaknya menjadi sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi persoalan klasik antara etik-emik dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Sebagai ilustrasi, peneliti sangat dengan mudah diterima aparat desa pada awal kedatangan kedua desa. Peneliti menyampaikan rencana untuk membawa mahasiswa melakukan praktek lapang mata kuliah di desa tersebut, dan peneliti meminta kesediaan aparat desa untuk membantu berbagai keperluan akomodasi dan konsumsi. Kesulitan yang cukup berarti adalah ketika mulai melakukan wawancara dengan eks- migran dan migran yang sedang kembali atau cuti. Mereka membuat jarak ketika topik pertanyaan menyangkut hal yang bersifat sensitif, seperti kondisi keluarga ketika ditinggalkan bekerja ke Arab Saudi, perlakuan majikan di tempat bekerja, kondisi ini sangat bisa dimengerti mengingat peneliti sebagai laki-laki. Kesulitan mendekati responden migran perempuan bisa di atasi seiring dengan waktu semakin lamanya peneliti tinggal di kedua desa, sering keluar masuk ke perkampungan untuk menemui beberapa orang eks-migran yang menjadi informan kunci. Melalui cara seperti ini, terjalin keakraban antara peneliti dengan beberapa orang informan dan responden di kedua desa. Informasi semakin diperdalam melalui teknik focus grup discussion FGD, yang melibatkan eks-migran, migran yang sedang cutiistirahat. FGD yang dilakukan di Balai Desa rupanya menjadi daya tarik bagi eks-migran yang tadinya tidak menaruh minat untuk diwawancarai. Hal ini karena melalui informan perantara, mereka mendapat informasi bahwa akan ada pendataan dan pembagian uang untuk mereka yang pernah bekerja sebagai PRT di Arab Saudi. Salah satu kekurangan yang dihadapi dalam FGD antara lain jumlah peserta dan orang yang terlibat dalam diskusi. Beberapa responden eks migranternyata tidak sepenuhnya 21 Desa Panyingkiran Kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang dan Desa Ciherang Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta merupaka dua desa yang penduduknya bisa dikatakan keseluruhannya ber etnik Sunda sebagaimana peneliti. Meskipun peneliti berasal dari etnik Sunda-Banten, tetapi hampir tidak ada perbedaan dalam hal kebudayaan umum dan kosa kata bahasa Sunda antara Banten dengan Karawang dan Purwakarta, yang membedakan adalah dialek atau Bahasa Wewengkon. Misalnya dalam hal pengucapan kalimat, beberapa istilah kata akhiran, kata ganti untuk orang. Bahasa yang digunakan orang Sunda Karawang-Purwakarta lebih kental unsur Sunda Pesisir Pakaleran alias Pantai Utara Pantura Jawa Barat, sedangkan Sunda Banten dianggap sebagai bahasa Sunda pasisian pakulonan. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Bahasa Sunda Banten, khususnya yang dituturkan oleh orang Baduy di Pegunungan Kendeng-Kabupaten Lebak dianggap sebagai Bahasa Sunda Buhun yang masih asli dan hampir tidak mendapat akulturasi dari bahasa-bahasa lain. terbuka dan mengungkapkan pendapat, pandangan terhadap topik yang diajukan. Kondisi ini sekaligus menjadi kelemahan dari penelitian metode FGD yang dilakukan peneliti. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama studi literatur dan penelusuran arsip di tingkat desa, kecamatan, BPS dan Bapeda Kabupaten Karawang dan Purwakarta, serta BPS Pusat. Kesulitan yang dihadapi peneliti antara lain memilah data yang seringkali berbeda-beda antara yang dimiliki satu dinas dengan dinas lainnya. Bahkan pada level yang lebih rendah, seperti kecamatan, data mengenai jumlah penduduk yang bekerja di luar negeri sama sekali tidak tersedia. Kesulitan yang ditemui pada saat mengumpulkan data sekunder tidak selamanya mudah, selain urusan birokrasi berupa surat ijin penelitian yang harus dikeluarkan dari intansi kantor kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat Kesospolinmas Kabupaten Karawang dan Purwakarta yang memerlukan waktu lebih dari satu minggu. Setelah surat ijin keluar, bukan berarti urusan memperoleh data yang diperlukan bisa cepat, karena birokrasi di dinas tenaga kerja dan transmigrasi disnakertrans, Bappeda, di kedua Kabupaten yang harus memberi ijin tertulis dari pimpinan kedua instansi tersebut. Jumlah responden dan informan secara keseluruhan adalah 131 orang, yang terdiri dari; mantan migran dan migran yang sedang cuti, aparat desa, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh perempuan, tokoh adatsesepuh desa, sponsorcalo, LSM, dan pejabat Disnakertrans Kabupaten. Data lengkap bisa diperhatikan pada tabel dibawah ini. Tabel 3.1. Rincian dan Jumlah Responden dan Informan Latar Responden Jumlah Migran kembalimigran cuti Aparat Desa Tokoh agama atau “Ajengan” Tokoh Pendidikan Sesepuh Desa Tokoh Perempuan Sponsorcalo PJTKI LSM lokal Pejabat Disnakertrans Kabupaten 104 6 5 2 3 2 5 2 2 Total 131 Sumber: Data Lapangan, 2009-2011 Wawancara mendalam dilakukan dengan responden dan informan kunci. Wawancara mendalam diperlukanbukan sekedar untuk mendapatkan “faktor penyebab” atau “kualitas” dari suatu fenomena, melainkan alasan-alasan maknawi reasons dari perempuan dari Desa Panyingkiran dan Ciherang yang bekerja menjadi PRT di luar negeri.Wawancara mendalam diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lengkapmengenai;1 alasan yang mendorong mereka untuk melakukan migrasi ke luar negeri; 2kehidupan ekonomi keluarga sebelum dan sesudah melakukan migrasi; 3 pengalaman -suka dan duka - mereka selama bekerja di luar negeri; 4 penggunaan remitan hasil mereka bekerja di luar negeri, baik yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif, produktif, maupun sosial-keagamaan; dan 5 relasi gender yang terjadi pada aras keluarga, rumahtangga dan komunitas.Sebagai upaya untuk cross chek terhadap kebenaran dan keabsahan informasi yang disampaikan responden, peneliti melakukan wawancara dengan anggota keluarga khususnya orang tua, suami dari pelaku migrasi internasional, dan sebagai pembanding, wawancara dilakukan juga dengan keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga bekerja di luar negeri. Karakteristik responden utama yaitu migran kembali atau migran yang sedang cuti sebanyak 104 orang berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, kelompok umur, status perkawinan, negara tujuan bekrja, dan pengalamanlama bekrja digambarkan seperti berikut ini. Tabel 3.2. Responden Berdasarkan Pendidikan yang Ditamatkan Jenjang Pendidikan Frekuensi Persentase Tidak tamat SD Tamat SDSederajat Tamat SMPSederajat Tamat SMASederajat Jumlah 10 77 14 3 104 9,61 74,04 13,46 2,88 100 Sumber: Penelitian 2009-2011 Tabel 3.3. Responden Berdasarkan Kelompok Umur Usia Frekuensi Persentase 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 Lebih dari 55 11 10 19 24 21 8 10 1 10,57 9,62 18,27 23,07 20,20 7,70 9,61 0,96 Jumlah 104 100 Sumber: Penelitian 2009-2011 Tabel 3.4. Responden Berdasarkan Status Perkawinan Status Perkawinan Frekuensi Persentase Belum Kawin Kawin Janda 4 96 5 3,846 92,307 4,807 Jumlah 104 100 Sumber: Penelitian 2009-2011 Tabel 3.5. Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja Sumber: Penelitian 2009-2011 Wawancara kelompok berupa FGD dilakukan dengan beberapa responden untuk memperoleh informasi yang lengkap, saling berbagi informasi, pengalaman antar sesama migran. selama mereka bekerja di luar negeri, pengalaman dalam mengelola dan mengalokasikan remitanhasil bekerja mereka diluar negeri. FGD juga melibatkan beberapa tokoh masyarakat dengan criteria, bahwa mereka mengetahui informasi dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan migran internasional perempuan dari kedua desa. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tokoh atau elite desa yang diundang dalam FGD adalah: 1 sesepuh desa yang merupakan mantan kepala desa; 2 tokoh agama yaitu ajengan atau ustadz; 3 pendidik; 4 tokoh perempuan yaitu ustadzah di kedua desa penelitian. Pandangan para tokoh tersebut diharapkan mampu merepresentasikan pandangan, pendapat dan sikap elite desa terhadap migrasi perempuan dari kedua desa penelitian. Pengamatan berperan serta menunjuk kepada riset yang dicirikan adanya interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti di dalam sebuah miliu masyarakat yang diteliti. Peneliti mencoba masuk dalam kehidupan masyarakat, bergaul dan menggunakan bahasa mereka, bergurau dengan mereka, menyatu dengan mereka, dan sama-sama terlibat dalam pengalaman yang sama 22 . Salah satu hal yang cukup membantu peneliti adalah kesamaan etnis dan bahasa daerah antara tineliti dengan peneliti. Dengan menggunakan Bahasa Sunda, peneliti lebih mudah “masuk dan diterima” oleh informan dan warga komunitas Desa Panyingkiran dan Ciherang, meskipun demikian bukan berarti peneliti sangat mudah mengadakan pengamatan, terlebih apabila pengamatan dan wawancara menyangkut topik yang sensitif. 23 22 Lihat Robert Bogdan dan Steven J. Taylor. Kualitatif. Dasar-Dasar Penelitian terjemahan. Penerbit Usaha Nasional Surabaya-Indonesia 23 Pada awal turun ke lapang, tineliti dalam hal ini migran perempuan tidak pernah mau mengungkapkan bagaimana perlakuan yang diterima migran sejak masa perekrutan, di penampungan, di tempat majikan bekerja. Mereka cenderung menutupi hal-hal yang dianggap aib. Mereka menganggap perlakuan yang diterima yang kadang- kadang secara berangkai merupakan “resiko bekerja” dan “tos nasib abdi panginten” yang artinya “mungkin sudah nasib saya”. Pengalaman Bekerja Masa Bekerja Frekuensi Persentase 3-4 Tahun 5-6 Tahun 7-8 Tahun 9-10 Tahun Diatas 10 tahun Jumlah 8 32 32 23 9 104 7,69 30,77 30,77 22,12 8,65 100 Untuk menjaga objektifitas, selain mencoba masuk ke dalam “dunia” tineliti dan komunitas di kedua lokasi penelitian, peneliti selalu berusaha mencoba tidak larut dalam suasana yang menggiring pada opini, atau subjektivitas tineliti. Misalnya, ketika ada responden yang membicarakan penghasilannya yang pas-pasan padahal dia bekerja di Arab Saudi selama bertahun-tahun, dan responden tersebut membandingkan dengan tetangganya yang sama-sama menjadi PRT di Arab Saudi dengan masa kerja yang hampir sama, tetapi tetangganya tersebut bisa memilikimampu membeli berbagai macam barang, rumah bagus, membeli tanah. Pada awal penelitian, peneliti memiliki optimisme untuk memperoleh kemudahan, paling tidak karena kesamaan Etnik dan bahasa daerah Sunda, tetapi dalam kenyataannya harapan tersebut tidak menjadi jaminan, karena tineliti seringkali menunjukkan sikap yang kurang kooperatif dan mudah curiga dengan kehadiran peneliti yang dianggap akan menelisik permasalahan internal keluarga mereka. Melalui pendekatan tokoh agama, pendidik, sesepuh desa pada tahap selanjutnya suasana keberterimaan peneliti di kedua desa mulai longgar. Pengalaman peneliti, ketika pendekatan dilakukan secara formal, misalnya meminta bantuan aparat desa untuk mewawancarai mantan migran perempuan beserta keluarganya seringkali tidakkurang menguntungkan karena wawancara berlangsung dalam suasana kaku dan kurang rileks. Untuk itu, pendekatan formal hanya dilakukan pada tahap awal turun ke desa untuk memetakan apa, siapa, dan bagaimana permasalahan yang akan di teliti.

3.5. Unit Analisis dan Analisis Data