melakukan tindak pidana secara langsung, bukan kepada pelaku tidak langsung. Kaidah ini diterapkan oleh imam Abu Hanifah secara teliti.
Para Fukaha yang lain mengecualikan kaidah tersebut pada tindak pidana yang lain, yaitu tindak pidana pembunuhan dan pelukaan. Mereka
beralasan bahwa tindak pidana tersebut sesuai dengan tabiatnya dapat dilakukan dengan langsung dan tidak langsung. Jika kaidah tersebut hanya
diterapkan atas pelaku langsung, hukuman yang telah ditentukan itu tidak bisa dijatuhkan kepada pelaku langsung, padahal ia juga turut melakukan unsur
material tindak pidana, seperti pelaku langsung. Akan tetapi, para fukaha membatasi pengecualian ini hanya pada para pelaku langsung. Adapun para
pelaku langsung tunduk kepada kaidah tersebut. Jadi berdasarkan kaidah umum tersebut, pelaku tidak langsung,
penghasut misalnya, apabila turut melakukan tindak pidana yang diancamkan hukuman tertentu, ia tidak dikenai hukuman tersebut sebab hukuman tersebut
hanya diancamkan kepada pelaku langsung. Artinya, keturutsertaan tidak langsung termasuk tindak pidana takzir, baik pidananya itu hudud, kisas,
maupun takzir.
6
1. Turut berbuat langsung
Menurut Abdul Qadir Audah, turut berbuat langsung adalah, اََجْلا ددَعَت َلاَح ْيف دَجْ ي كاَ تْشإْلا َ م عْ لا اَ َ َأ ّْصَأْلا : َ ْي شَ ْلا َكَ َتْشإ
ْك َ ْ شَي َ ْي لا داَ ْلا َ ْي َجْلا
6
Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, hlm. 35-36.
Artinya: “Turut berbuat langsung pada dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau
berbilangnya jumlah pelaku“.
7
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seorang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah
yang sudah cukup disifati sebagai maksiat dan yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang yaitu apabila ia telah
melakukan percobaan, baik jarimah yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya
sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jarimah yang diperbuatnya itu selesai,
sedang jarimah itu berupa jarimah had, maka pembuat dijatuhi hukuman had, dan kalau tidak selesai maka hanya dijatuhi hukuman takzir.
8
Di dalam turut berbuat langsung ini terdapat istilah yang dikenal dengan tawafuq dan tamallu
‘. Mayoritas fukaha membedakan antara tanggung jawab pelaku langsung pada kasus kebetulan atau spontanitas
tawafuq dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya tamalu. Pada kasus kebetulan, setiap pelaku langsung hanya bertanggung jawab atas
akibat perbuatannya dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.
7
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al- Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz
II, hlm. 360.
8
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 157