Walaupun secara statistik curah hujan tidak berhubungan dengan kejadian DD di Kota Medan tahun 2010-2014.
12. Ada hubungan yang signifikan dan hubungan sangat tinggi, berpola positif
antara variabel kecepatan angin dengan kejadian DBD pertahun di Kota Medan Tahun 2010-2014.
13. Ada hubungan yang signifikan dan hubungan sangat tinggi, berpola positif
antara variabel temperatur udara dengan kejadian DBD pertahun di Kota Medan Tahun 2010-2014.
14. Hubungan yang signifikan dan hubungan sangat tinggi, berpola positif antara
variabel kelembaban udara dengan kejadian DBD pertahun di Kota Medan Tahun 2010-2014.
6.2 Saran
1. Dinas Kesehatan seharusnya melakukan antisipasi dengan kejadian DBD di Kota Medan sebelum bulan November yaitu dibulan Oktober hingga Januari.
Karena pada saat kasus DBD tertinggi. Antisipasi dilakukan dengan kegiatan yang penyuluhan PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk, atau fooging yang dilakukan
sebelum musim penghujan yaitu bulan Oktober hingga akhir bulan Januari. Selain itu, PSN juga dilakukan sebelum bulan Februari karena dengan curah hujan yang
rendah tetapi jumlah kasus DBD tinggi. 2. Kegiatan PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk rutin dilakukan di Kecamatan-
kecamatan dengan jumlah kasus DBD yang tinggi seperti Kecamatan Johor, Sunggal, dan Helvetia.
Universitas Sumatera Utara
3. Dinas Kesehatan melakukan penyuluhan tentang, sanitasi lingkungan, cara mencegah penyakit DBD kepada masyarakat sebagai tindakan preventif DBD,
dan pemberitahuan kepada masyarakat untuk bersiaga dan melalukan gotong royong dibulan Oktober hingga Januari karena kasus DBD tinggi,
4. Bagi masyarakat diharapkan selalu menjaga kebersihan rumah dan lingkungan seperti menguras bak mandi seminggu sekali, mengubur barang bekas, tidak
menggantung pakaian, serta melakukan abatisasi jika terdapat jentik. Kegiatan tersebut diharapkan rutin dilakukan terkhusus awal musim penghujan.
5. Masyarakat membuat kegiatan gotong royong rutin untuk mencegah nyamuk berkembangbiak . jika perlu membentuk tim pemantau jentik yang berguna untuk
memantau jentik di bak mandi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue DBD 2.1.1 Definisi
Menurut WHO 2005, definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia, trombositopenia 100.000 sel per mm3 atau kurang.
Menurut Depkes 2005, Demam Berdarah Dengue DBD adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi
mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari manifestasi perdarahan peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis,
perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri termasuk uji tourniquet Rumple leede positif, trombositopeni
jumlah trombosit ≤ 100.000μl, hemokonsentrasi peningkatan hematokrit ≥ 20 disertai atau tanpa
pembesaran hati hepatomegali.
2.1.2 Sejarah Demam Berdarah
Menurut Rezeki 2004, pada tahun 1779, David Bylon pernah melaporkan terjadinya letusan demam dengue dengue fever DF di Batavia. Penyakit ini
disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871- 1873 di Zanzibar
kemudian di pantai Arab dan terus menyebar ke Samudera India. Quointos dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus demam berdarah dengue di
Philipina, kemudian disusul negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam
Universitas Sumatera Utara
10
. Pada dekade enam puluhan penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, antara lain: Singapura, Malaysia, Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade
ketujuh menyebar ke Polinesia hingga menyebar ke Kuba pada tahun 1981. Di indonesia, demam berdarah DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta 1972. Epidemi pertama DBD dilaporkan berasal dari luar pulau Jawa yaitu Sumatera Barat dan Lampung. Berdasarkan
kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand Hindra, 2004. Pada awal terjadinya wabah disuatu negara, distribusi umur memperlihatkan
jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun 86- 95. Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang
digolongkan dalam golongan usia dewasa muda meningkat. Di indonesia penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun Hindra, 2004
Tahun 1968- 1995 pengaruh musim di Indonesia terhadap kejadian DBD tidak begitu jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita
meningkat antara bulan September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari. Di daerah urban berpenduduk padat puncak penderita ialah
bulan Juni Juli bertepatan dengan awal musim kemarau Hindra, 2004.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Menurut Susanna 2011 , dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan virus genus flavivirus famili Flaviviridae dan vektornya adalah nyamuk Aedes dari
subgenus Stegomya spesies Ae. Aegypti. Flaviviridae adalah virus berselubung kecil 40-50 nm dengan untai tunggal, genom RNA+ sense, simetri kapsidnya
tidak dapat diidentifikasi. Spesies yang berperan sebagai vektor sekunder yakni Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis, dan Ae. finlaya neveus, yang dapat
menyebabkan Demam Dengue DD, Demam Berdarah Dengue DBD, dan Syndrome Shock Dengue SSD.
Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi biasanya antara garis lintang 35 Utara dan 35 Selatan kira-kira berhubungan
dengan musim dingin isoterm 10°C WHO, 1999. Ae. aegypti tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan terutama di daerah perkotaan. Di wilayah yang agak
kering misalnya India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada
negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mmtahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan,
pinggiran kota dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin
lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan WHO, 2004. Distribusi Ae. aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ketinggian merupakan faktor
yang terpenting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Ini biasanya ditemukan di atas ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang
Universitas Sumatera Utara
rendah kurang dari 500 meter memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan di atas 500 meter memiliki
populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae.
aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter WHO, 2004.
Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus arthropod-borne viruses karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat
manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks
Aedes scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing- masing namun mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Ae.
aegypti. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Ae. aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi pengawetan dengan
pengeringan, kadang selama lebih dari satu tahun WHO, 2005. Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah
perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang
kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hewan primata merupakan sumber infeksi Dengue di daerah hutan
Soedarto,2007. Ae. Aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara dan
terutama di sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Ae.aegypti di pedesaan
Universitas Sumatera Utara
akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi
Di wilayah yang agak kering, misalnya, India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan
kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 cm per tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil
dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan daerah pedesaan. Karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan
Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan. WHO, 2004
Urbanisasi cenderung menambah jumlah habitat yang sesaui untuk Ae. aegypti. Di beberapa kota yang banyak sekali tumbuhan, baik Ae. aegypti maupun Ae.
albopictus dapat ditemukan, tetapi Ae. aegypti umumnya merupakan spesies yang dominan, bergantung pada ketersediaan dan tipe habitat larva dan tingkat
urbanisasi yang ada. Di Singapura, misalnya, indeks taksiran tertinggi untuk Ae. aegypti ternyata berada di rumah yang kumuh, rumah toko ruko, dan di rumah
susun dengan banyak kamar. Ae. albopictus, di sisi lain, tampaknya tidak berkaitan dengan tipe perumahan, tetapi lebih banyak ditemukan di ruang terbuka
dan bertumbuhan. WHO, 2004 Menurut Rezeki 2004, Di Indonesia demam berdarah dengue DBD pertama
kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun
1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta
Universitas Sumatera Utara
1972. Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali 1973. Pada
tahun 1974, epidemi dilaporkan Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kasus Demam Berdarah Dengue DBD di Kota Medan yang ditularkan melalui Ae. aegypti di tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan merupakan kategori wilayah yang rendah, sedang dan tinggi kasus DBD secara berturut-turut
selama tiga periode Januari 2010 sampai Desember 2012. Kasus Demam
Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 1010.000 penduduk,
Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 1610.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range
IR 16 sampai 3710.000 penduduk.
2.2 Vektor Penularan DBD
Di Indonesia nyamuk penular vektor penyakit demam berdarah dengue DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Ae. albopictus dan Ae. scutellaris, tetapi saat
ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Ae. aegypti. Nyamuk Ae. aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger
morquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang
menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih
Universitas Sumatera Utara
keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari puggungnya yang berwarna dasar hitam lyne shaped marking.
Dalam siklus hidupnya, Ae. aegypti mengalami empat stadium yaitu telur, larva pupa, dan dewasa. Stadium telaur, larva, dan pupa hidup di dalam air tawar yang
jernih serta tenang. Genangan air yang disukai sebagai tempat perindukannya breeding place adalah genangan air yang terdapat di dalam suatu wadah atau
container, bukan genangan air di tanah. Tempat-tempat perindukan yang paling potensial adalah tempat penampungan air TPA yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari: drum, bak mandi, bak WC, gentong tempayan, ember, dan lain-lain. Tempat perindukan lainnya yang non-TPA adalah vas bunga, pot tanaman hias,
ban bekas, kaleng bekas, botol bekas, tempat minum burung, dan lain-lain, serta tempat penampungan air alamiah: lubang pohon, pelepah daun pisang, pelepah
daun keladi, lubang batu, dan lain-lain. Tempat perindukan yang paling disukai adalah yang berwarna gelap, terbuka lebar dan terlindung dari sinar matahari
langsung Soegijanto, 2006.
2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti
a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih, b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain,
c. Jarak terbang ± 100 meter, d. Nyamuk betina bersifat „multiple biters„ menggigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat,
Universitas Sumatera Utara
e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi Widoyono, 2008.
2.2.2 Taksonomi dan Morfologi 1. Taksomoni
Nyamuk Ae. aegypti L. Diptera: Culcidae disebut black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar
hitam. Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk- nyamuk rumah.
Menurut Richard dan Davis 1977 dalam Soegijanto 2006, kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera Suku : Culicidae
Marga : Aedes Jenis : Ae. aegypti L.
2. Morfologi
1. Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam,
ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat palmpung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding
bagian dlam tempat penampungan air TPA yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85 melekat
di dinding TPA, sedangkan 15 lainnya jatuh ke permukaan air.
Universitas Sumatera Utara
2. Larva Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu
sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit ecdysis, dan larva yang
terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri- duri spinae pada
dada thorax belum begitu jelas, dan corong pernafasan siphon belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum
jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala chepal,
dada thorax, dan perut abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-
duri, dan alat –alat mulut tipe pengunyah chewing. Bagian dada tampak paling
besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan
tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu tuft. Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat brush dibagian ventral dan gigi-
gigi sisir comb yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam satu baris. Gigi- gigi sisir dengan lekungan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya
langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksisnegatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
3. Pupa
Universitas Sumatera Utara
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala- dada cephalothorax lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda bac a” koma”. Pada bagian punggung dorsal dada
terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan
dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air. 4. Dewasa
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun atas tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang
berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk- pengisap piercing-sucking dan termasuk lebih menyukai manusia anthropophagus, sedangkan nyamuk jantan
bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan phytophagus. Nyamuk betina
mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan plumose. Dada nyamuk ini tersusun atas 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax.
Setiap ruas dada sepasang kaki yang terdiri dari paha femur, betis tibia, dan tampak tarsus. Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian
tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung ada gambaran garis-
garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih bentuk:
lyre pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya.
Universitas Sumatera Utara
Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti tubuhnya sejajar dengan bidang
permukaan yang dihinggapinya Soegijanto, 2006. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari Sutanto,2008.
2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk
Pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur nyamuk oleh nyamuk betina, kemudian fase selanjutnya setelah telur berkembang di dalam air
menjadi larva yang terus berkembang melalui empat tahap dengan bertambah ukuran sehingga larva berubah menjadi pupa nyamuk dewasa dan membentuk diri
sebagai betina atau jantan dan tahap munculnya berawal dari pecahan dibelakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina dewasa
menghasilkan telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi yang baru. Pertumbuhan nyamuk satu generasi dalam setahun mampu menghasilkan
beberapa generasi tergantung dari kondisi iklim yang memengaruhinya seperti suhu, curah hujan, kelembaban, dan lain-lain.
Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur-telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas
pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas selama beberapa bulan. Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi
air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.
Menurut Soegijanto 2006 telur nyamuk Aedes aegypti didalam air dengan suhu 20-40° C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari Anonim,1983.
Universitas Sumatera Utara
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air kandungan zat makanan yang ada di
dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3
hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari Anonim, 1990.
Suhu dapat mempengaruhi tingkat perkembangan dan ketahanan hidup parasit dan vector nyamuk Zhuo et al, 2003. Suhu optimum dalam perkembangbiakan
nyamuk berkisar 20-30° C. Pada suhu hangat periode larva sekitar 4-7 hari dan di daerah tropis periode kepompong pupa sekitar 1-3 hari Rozendal, 1997. Secara
umum suhu yang lebih panas dengan kelembaban yang tinggi merupakan stimulus perluasan secara geografis dan musim bagi vektor penyakit seperti insecta, tikus
dan siput Wawolumayo dan Irianto, 2004. Berikut gambar siklus hidup nyamuk Ae. aegypti :
Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti Soegijanto, 2006 2.2.4 Etiologi
Universitas Sumatera Utara
Virus dengue adalah RNA virus yang merupakan anggota famili flaviviridae dan genus flavivirus. Ada 68 anggota flalvivirus yang dibagi berdasarkan
perbedaanpersamaan serologis dan yang terakhir berdasarkan sekuensi genomnya Soegijanto, 2006.
Secara antigenik terdapat empat serotipe dari virus Dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. DEN-1 adalah strain yang paling sering terisolasi dari semua
isolat. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak
menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Setiap strain mempunyai perbedaan daya virulensinya. Oleh karena itu sulit dibedakan diantara strain hanya
berdasarkan pada gejala klinis dan patologis tetapi dapat dibedakan dengan tes netralisasi menggunakan antibodi monoklonal dan Polymerase Chain Reaction
PCR. Flavivirus berbentuk sferis dengan ukuran diameter 40-60 nm. Nukleokapsid
berbentuk sferis dengan diameter 30 nm dan dikelilingi oleh lipid bilayer. Komposisi virionnya terdiri atas 6 RNA, 66 protein, 9 karbohidrat, dan 17
lipid.
2.2.5 Manifestasi Klinis DBD
Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala dan
malaise. Demam yang terjadi berlangsung secara mendadak kemudian dalam waktu 2-7 hari menuju suhu normal. Bersamaan dengan berlangsungnya demam
Universitas Sumatera Utara
gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya Soedarto, 2003.
Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor yaitu demam tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi.
Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF WHO, 1999. Walaupun
umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari Sutanto, 2008.
Menurut Rezeki 2004 manifestasi klinis utama DBD yaitu: 1.
biasanya ditandai oleh 4 manifestasi klinis utama demam tinggi, fenomena pendarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi
2. trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi
adalah gejala laboratoris yang spesifik 3.
perbedaan utama dengan demam dengue adalah adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan Ht, efusi paru atau hipoproteinemia
4. DBD pada anak biasanya ditandai dengan kenaikan suhu mendadak, disertai
facial flush dan tanda lain yang menyerupai DD anoreksia, muntah, sakit kepala serta nyeri tulang otot. Nyeri epigastrium, ketegangan pada batas kosta
kanan dan nyeri abdomen menyeluruh juga sering ditemukan 5.
Suhu biasanya 39°C 6.
Fenomena pendarahan yang sering terjadi adalah uji tourniquest +, petekie, ekimosis, pada ekstremitas, muka dan palatum. Epiktasis dan pendarahan gusi
juga dapat terjadi.
Universitas Sumatera Utara
7. Hati biasanya teraba pada fase demam, lebih sering ditemukan pada kasus
DBD dengan syok.
2.2.6 Mekanisme Penularan
Penyakit demam berdarah dengue DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau
wabah.Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus dengue Rezeki, 2004.
Menurut riwayatnya nyamuk penular penyakit demam berdarah yang disebut Aedes aegypti itu, pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. nyamuk hidup subur dibelahan dunia dengan iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia,
dan Amerika. Nyamuk Aedes aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat- tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah
seperti : bak mandi,wc, minuman burung, air tandon, air tempayangentong, kaleng, ban bekas, dan lain-lain. Di indonesia nyamuk ini tersebar luas diseluruh
pelosok tanah baik di kota-kota maupun di desa-desa, kecuali di wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut Rezeki, 2004.
Nyamuk Aedes aegypti betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam viremik akut
penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari, kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika nyamuk yang terinfeksi
Universitas Sumatera Utara
menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka giggitan pada orang lain. Setelah pada masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari rata-rata 4-6 hari,
sering kali terjadi awitan mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala
nonspesifik lain termasuk mual, muntah, dan ruam kulit WHO, 2004. Viremia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum gejala dan akan berlangsung
selama rata-rata 5 hari setelah awitan penyakit. Ini merupakan masa yang sangat kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk Aedes
aegypti akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika penderita tidak dilindung dari gigitan nyamuk WHO, 2004.
Menurut Soegijanto 2006, virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel
darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau
melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva
dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva.
Di dalam tubuh manusia virus berkembang biak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC antigen presenting cells dimana
pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak
hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersikulasi dalam darah perifer di dalam sel monositmakrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Manifestasi klinis infeksi
virus dengue tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan
Universitas Sumatera Utara
tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala asimtomatis, demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue Soegijanto,
2006 .
2.2.7 Patogenesis dan Patofisiologi 1. Patogenesis
Infeksi virus dengue pada beberapa sel dapat terjadi karena adanya peletakan virus pada Fc dominan antibodi mediator imun seperti monosit mengekspresikan Fc
reseptor. Selain itu sulit dijelaskan infeksi primer pada penderita tanpa antibodi dengue atau infeksi virus pada sel tanpa Fc reseptor.
Awal virus melekat pada target sel adalah melalui critical determinant dari sel atau jaringan tropismus. Selain itu juga merupakan hasil dari interaksi antara
reseptor molekul ektodomain viral dan konseptor yang diekspresikan pada permukaan sel target. Virus dengue menyerang permukaan sel hospes melalui
reseptor sel yang dapat terinfeksi. Virus masuk ke dalam sel melalui fusi membran atau dengan invaginasi dan pembentukan vesikel endositik. Antigen virus dengue
telah terdeteksi di dalam sel monosit- makrofag dalam organ limfoid, paru-paru, dan liver. Secara in vitro virus dengue dapat menginfeksi sel endotel dan epitel
Soegijanto, 2006. Bila ikatan virus dengue pada reseptor permukaan sel maka terjadi endositosis. Di
dalam vesikel mempunyai pH yang rendah dan terjadi perubahan ireversibel bentuk protein envelope dari dimer menjadi trimer. Kemudian terjadi fusi
sehingga virus dengue dapat melepaskan nukleokapsidnya. Selanjutnya diikuti dengan proses translasi protein struktural dan nonstruktural. RNA virus membuat
Universitas Sumatera Utara
antisense RNA negatif sebagai cetakan. Virus baru yang terbentuk kemudian meninggalkan sel hospes dengan proses budding Soegijanto, 2006.
2. Patofisiologi
Menurut WHO 2004, Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :
a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik
karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat 24-48 jam.
b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.
2.2.8 Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
a. Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan
seperti petekie, perdarahan mukosa walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
b. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma
yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului
Universitas Sumatera Utara
oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik Sudjana, 2010.
2.2.9 Pengendalian Vektor Demam Berdarah DBD
Menurut Soegijanto 2006, untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini masih belum ada cara yang efektif, karena pada saat ini masih belum ditemukan obat
anti virus dengue yang efektif maupun vaksin yang dapat melindungi diri terhadap infeksi baru dengue. Oleh karena itu perlu dipirkan cara penanggulangan penyakit
DBD dengan melalui pegendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti. Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang.
Secara garis besar ada 4 cara pengendalian vektor yaitu dengan cara 1 kimiawi, 2biologis, 3radiasi, 4mekanik pengelolaan lingkungan.
1 Pengendalian cara kimiawi
Pada pengendalian ini menggunakan insektisida yang dapat ditujukan terhadap nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk
dewasa Aedes aegypti dari golongan organochlorine, organophosphor, carbamate, dan pyrethroid.
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan spray terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan
terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organophosphor Temesphos dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya
abatisasi. 2. Pengendalian cara radiasi
Nyamuk dewasa jantan diradiasi dengan bahan radioaktif dengan dosis tertentu sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah diradiasi ini
dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan nyamuk betina tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang fertil.
3. Pengendalian lingkungan Dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah, jendela, dan pintu. Sekarang yang lagi digalakkan yaitu gerakan 3M: 1 menguras
tempat-tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali, 2 menutup rapat tempat penampungan air
sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, 3 menanam menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dpaat
menampung air hujan. Ada cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap. Disini digunakan suatu tabung
silinder warna gelap dengan garis tengah ±10 cm, slaah satu ujung tertutup rapat dan ujung yang lain terbuka. Tabung ini diisi air tawar kemudian ditutup dengan
tutup kasa nylon. Nyamuk Aedes aegypti akan bertelur disini dan telur akan
Universitas Sumatera Utara
menetas menjadi larva dalam air tadi. Bila larva menjadi nyamuk dewasa, maka akan terperangkap di dalam tabung. Secara periodik air dalam tabung ditambah
untuk mengganti penguapan yang terjadi. Dari semua cara pengendalian tersebut diatas tidak ada satu pun yang paling
unggul. Untuk menghasilkan cara yang efektif maka dilakukan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Tetapi yang paling penting, semua cara tersebut adalah
menggugah dan meningkatkan keadaan masyarakat agar mau memperhatikan kebersihan lingkungan dan memahami tentang mekanisme terjadinya penularan
penyakit DBD, sehingga dapat berperan secara aktif menanggulangi penyakit DBD.
4. Pengendalian genetik Pengendalian genetik telah banyak dilakukan dalam percobaan tetapi belum
pernah ditetapkan dilapangan. Salah satu cara pengendalian genetik adalah dengan teknik jantan mandul, yaitu melepas sejumlah besar nyamuk-nyamuk jantan yang
sudah dimandulkan. Nyamuk-nyamuk betina hanya kangen satu kali, seumur hidup, sehingga jika nyamuk betina dikawinkan dengan nyamuk jantan mandul
tadi, maka tidak akan menghasilkan keturunan. 5. Pengendalian hayati
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme,
hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Sebagai pengendalian hayati, dapat berperan sebagai patogen, parasit, atau pemasangan. Beberapa jenis ikan, seperti
ikan kepala timah Punchaxpanchax, ikan gabus Gambusia affinis adalah
Universitas Sumatera Utara
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing Nematoda, seperti Romanomarmis iyengari dan R. Culiforax merupakan parasit
pada larva nyamuk. Sebagai patogen, seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendalian hayati larva nyamuk di
tempat perindukannya. Dari cara-cara pendendalian vektor DBD tersebut ternyata tidak satu pun cara
yang 100 memuaskan. Karena itu konsep pengendalian terpadu melibatkan semua cara dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi biologis, bionomis,
ekologis vektornya, serta mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya baik dari segi biaya dan terhadap kualitas lingkungan hidup Soegijanto, 2006.
2.3 Ekologi Vektor
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan habitat lingkungannya. Penyakit DBD melibatkan tiga organisme yaitu
virus dengue, nyamuk Ae. aegypti dan host manusia. Untuk memahami penyakit yang ditularkan vektor dan untuk pengendalian penyakit sebagai ekosistem alam
dimana subsistem yang terkait dalam ekosistem ini adalah virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi Depkes, 2007.
a. Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.
b. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang menularkan virus dengue melalui gigitan nyamuk dari orang sakit ke orang sehat.
Universitas Sumatera Utara
c. Manusia merupakan sebaran inang organisme dimana parasit hidup dan mendapatkan makanan untuk penyakit DBD.
d. Lingkungan fisik meliputi : 1 Tempat Penampungan Air TPA baik di dalam maupun di luar rumah sebagai
tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti. 2 Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Ae. aegypti. 3 Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan
kelembaban udara terutama untuk daerah pantai. 4 Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor
dengan cara fogging. 5 Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk
Depkes, 2007.
2.3.1 Faktor Host Pejamu
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan resevoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian
yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan pejamu reservoir walaupun
signifikansi epidemiologik dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan serangga dan sel mamalia
setelah diadaptasikan WHO, 2005.
2.3.2 Faktor Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan
dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik curah hujan, kecepatan angin, kelembaban dan temperatursuhu udara. Kualitas dan kuantitas berbagai
komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host Soemirat, 2005.
Nyamuk Aedes aegypti bersifat urban hidup di perkotaan dan lebih sering hidup di dalam dan sekitar rumah domestik dan snagat erat hubungannya dengan
manusia. Jangkauan terbang flight range rata-rata nyamuk Ae. aegypti adalah sekitar 100 m tetapi pada keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai
beberapa kilometer dalam usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk meletakkan telurnya Soegijanto, 2006.
2.4 Bionomik Vektor
Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme dengan lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva, pupa dan
dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan bertelur, perilaku perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam menentukan bionomik
nyamuk Achmadi, 2008. 1
Perilaku Makan Aedes aegypti sangat antrofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah
panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktifitas menggigit, pertama dipagi hari selama beberapa jam setelah matahari
terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktifitas
Universitas Sumatera Utara
menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. Jika masa makannya terganggu, Ae. aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang.
Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemi. Dengan demikian, bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama
mengalami awitan penyakit yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama.
Kebiasaan menggigit Ae. aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada
di luar rumah. Ae. aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang WHO, 2004.
2 Perilaku Istirahat
Aedes aegypti suka beristirahat ditempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di dalam kamar tidur, kamar mandi, kamar
kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau ditempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan
istirahat yang mereka sukai adalah dibawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan gorden, serta di dinding WHO, 2004.
3 Jarak terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas
sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat menyebar sampai lebih dari
Universitas Sumatera Utara
400 meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampung WHO, 2004
4 Lama Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang resiko penyebaran
virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami Ae. aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan WHO,
2004.
5 Kepadatan Musiman
Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan
kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat Achmadi 2011. Nyamuk merupakan hewan berdarah dingin,
proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu lingkungan. Suhu rerata optimum untuk perkembangannya adalah 25-30°C dengan kelembaban
rerata 60-80. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti bila suhu kurang dari 10°C dan lebih dari 40°C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk
umumnya di atas 5-6°C batas dimana spesies secara normal dapat beradaptasi Depkes,2005. Tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang
tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang
Universitas Sumatera Utara
berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat Achmadi, 2011.
2.5 Nyamuk Sebagai Vektor