Hubungan Curah Hujan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Medan

80 Dengue DBD dibuktikan dengan jumlah kasus DBD yang relatif konstan dan cenderung meningkat. Untuk hasil pengamatan kasus DBD perbulan di Kota Medan selama 5 tahun diketahui bahwa jumlah kasus tertinggi pada bulan November dengan jumlah kasus 1319 kasus dan rata-ratanya 263,8 kasus. Hasil pengamatan selama 5 tahun diketahui bahwa kasus DBD di Kota Medan berdasarkan kecamatan tertinggi terjadi di Kecamatan Medan Johor dengan rata-rata 64,51 kasus dan terendah terjadi di Kecamatan Medan Maimun dengan rata-rata 31,98 kasus. Berdasarkan pengamatan yang diamati dari data 5 tahun ini, peningkatan jumlah kasus DBD tiap tahunnnya terjadi di Bulan November, Desember, dan Januari. Tetapi sebelum bulan November, kasus DBD dibulan Oktober juga cukup tinggi. Di tahun 2014 kasus DBD di Kota Medan, banyak terjadi di Bulan November yaitu sebanyak 349 kasus tertinggi terjadi di Kecamatan Medan Deli dengan total kasus terjadi 36 kasus. Sedangkan di Tahun 2013 kasus DBD tertinggi terjadi di bulan Desember yaitu 188 kasus, dengan kasus DBD tertinggi terjadi di Kecematan Medan Amplas 16 kasus dan terendah Kecematan Medan Polonia 2 kasus. Tetapi untuk di tahun 2012 dan 2011, kasus DBD terjadi di Medan Denai 31 kasus dengan jumlah 221 kasus sedangkan di tahun 2011 308 kasus kasus terendah terjadi di kecamatan Medan Labuhan dan Medan Timur tetapi untuk tahun 2010, jumlah kasus DBD 455 kasus dan tertinggi terjadi di Kecamatan Medan Kota, dan terendah terjadi di Kecamatan Medan Deli.

5.2 Hubungan Curah Hujan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Medan

Universitas Sumatera Utara Kejadian kasus DBD di Kota Medan tertinggi pada bulan November dan Desember, hal ini diikuti dengan intensitas curah hujan yang tinggi yaitu 335,74 mm. Hubungan curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Medan pada Tahun 2010-2014 apabila dilihat dari uji korelasi perbulan menunjukan tidak adanya korelasi, tetapi nilai korelasi rendah r= 0,225 dan berpola positif. Berdasarkan tingkat signifikansi menunjukan bahwa secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan antara curah hujan dengan kejadian diare p=0,482. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana terhadap variabel curah hujan perbulan di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,482 dengan koefisien 0,130. Maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan tidak ada hubungan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue DBD per bulan di kota Medan dari Januari 2010 sampai dengan Desember 2014. Hubungan curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Medan pada Tahun 2010- 2014 apabila dilihat dari data pertahun menunjukan korelasi yang tinggi r = 0,795 dan berpola positif artinya semakin tinggi curah hujan maka kejadian DBD akan semakin tinggi juga. Berdasarkan tingkat signifikansi menunjukan bahwa secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan antara curah hujan dengan kejadian diare p=0,108. Walaupun berdasarkan statistik curah hujan tidak berhubungan dengan kejadian DBD, tetapi jika dilihat dari uji univariat, curah hujan berhubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD di Kota Medan. Hal ini dikarenakan rata-rata curah hujan tertinggi terjadi dibulan November yaitu 335,74 mm, curah hujan tersebut adalah curah hujan yang optimum untuk tempat nyamuk meletakkan Universitas Sumatera Utara telurnya. Selain itu, sepanjang tahun curah hujan cukup tinggi dan menyebabkan genangan air selalu ada dan memungkinkan nyamuk berkembangbiak. Hal ini diperkuat juga dengan tingginya kasus DBD di bulan Oktober dan November ketika curah hujan juga tinggi hingga bulan Januari. Maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan berhubungan dengan kejadian DBD di Kota Medan, walaupun secara statistik nilai p0,05. Secara deskriptif, rata-rata total curah hujan setiap bulan diwilayah kota Medan adalah 198,74 mm. Curah hujan di Kota Medan mengalami penaikan dan penurunan yang signifikan disetiap bulannya. Curah hujan bulan April sebesar 143,40 mm dengan kejadian DBD sebesar 106,8 kasus, terjadi peningkatan curah hujan menjadi 257,32 mm sedangkan kasus DBD menurun menjadi 94,6 kasus. Di bulan berikutmya terjadi penurunan curah hujan menajdi 104,14 mm tetapi jumlah kasus DBD meningkat menjadi 111,2 kasus. Hal ini dapat menjelaskan walaupun curah hujan rendah, tetapi kasus DBD di Kota Medan tetap tinggi. Curah hujan mempunyai pengaruh langsung terhadap keberadaan vektor nyamuk Ae. aegypti. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan banjir sehingga dapat menghilangkan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang biasanya hidup di air bersih. Namun jika curah hujan kecil dan berlangsung lama akan menambah populasi nyamuk. Seperti penyakit berbasis vektor salah satunya DBD yang menularkan virus dari satu manusia ke manusia lain EHP, 2008. Menurut Majidah 2010 dalam Rohimat 2002 menyatakan bahwa curah hujan bulanan yang melampaui 300 mm akan meningkatkan kasus DBD sebesar 120. Universitas Sumatera Utara Merujuk pernyataan tersebut, curah hujan pada bulan September 2010 di Kota Medan tercatat 346 mm dan jumlah kasus DBD sebanyak 346 kasus. Tetapi jika dibandingkan dengan bulan Oktober 2010 curah hujan 272 mm dengan jumlah kasus DBD 340 kasus. Hal ini menunjukan curah hujan yang tinggi tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kasus DBD. Hubungan yang tidak signifikan antara curah hujan dengan angka kejadian DBD di Kota Medan dimungkinkan terjadi karena masyarakat sudah melakukan antisipasi dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN sebelum musim penghujan datang. Kemudian bila dikaitkan dengan tempat perindukan nyamuk, mungkin curah hujan yang cukup tinggi dengan hari hujan yang sedikit sehingga dapat diduga tempat perindukan nyamuk hilang terkena hujan. Hal tersebut dapat menurunkan vektor. Selain curah hujan, masih banyak faktor yang memengaruhinya kejadian DBD di Kota Medan seperti faktor lingkungan, perilaku masyarakat, pengetahuan, host manusia, dan virus dengue di Kota Medan. Karena selain air yang tergenang, penguapan, kelembaban dan suhu juga memengaruhi telur nyamuk untuk menetas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Iriani 2012 yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat, dimana korelasi mulai terjadi satu bulan sebelum puncak curah hujan meningkat saat puncak curah hujan dan menurun satu bulan sesudahnya. Menurut Achmadi 2007, perubahan iklim juga memengaruhi pola curah hujan dan menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Banjir merupakan penyebab tersebarnya agen penyakit dan wabah penyakit menular nyamuk Ae. Universitas Sumatera Utara aegyptiAe. albopictus tersebar luas di tanah air dan ada terus menerus sepanjang tahun dengan kepadatan yang turun naik sesuai dengan musim, pada musim hujan akan naik dan musim kemarau akan turun sedikit banyak dipengaruhi oleh klimatologi. Peningkatan curah hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan membuat tempat pemkembangbiakan nyamuk baru. Indeks curah hujan yang cukup tinggi akan menyediakan cukup banyak tempat penampungan yang terisi oleh air hujan dengan demikian akan menjadi tempat yang baik untuk tempat bertelurnya nyamuk Ae.aegypti. Hujan berpengaruh terhadap kelembaban nisbi udara dan tempat perindukan nyamuk juga bertambah banyak. Indeks Curah Hujan ICH tidak secara langsung mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadahmedia yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih misalnya cekungan dipagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, atap atau talang rumah. Tersedianya air dalam media menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10-12 hari akan berubah menjadi nyamuk Achmadi, 2010. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah hujan yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan populasi nyamuk Achmadi, 2008. 5.3 Hubungan Kelembaban Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue DBD di Kota Medan Tahun 2010-2014. Universitas Sumatera Utara Kelembaban udara perbulan dengan kejadian DBD di Kota Medan pada tahun 2010-2014 menunjukkan korelasi yang tinggi r = 0,732 dengan berpola positif artinya semakin tinggi kelembaban udara maka kejadian DBD akan meningkat. Berdasarkan tingkat signifikansi menunjukkan bahwa secara statistik terdapat korelasi yang signifikan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD p = 0,007. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana terhadap variabel kelembaban perbulan di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,007 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kelembaban udara per bulan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Medan dari Januari 2010 sampai dengan Desember 2014, dengan koefisien sebesar 20,057. Artinya, jumlah kasus DBD diprediksikan akan bertambah sebesar 20,057 jika nilai kelembaban udara bertambah satu satuan. Dengan kata lain jika nilai kelembaban udara naik atau turun sebesar satu satuan, maka mengakibatkan perubahan jumlah kasus DBD naik atau turun sebesar 20,057. . Begitu juga dengan hasil analisis regresi linier sederhana terhadap terhadap variabel kelembaban pertahun di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,010, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kelembaban pertahun terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue DBD tahun 2010-2014. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelembaban perbulan di Kota Medan adalah sebesar 84,2 di Bulan Desember dan terendah sebesar 77,6 dibulan Juni. Sedangkan untuk kelembaban pertahun tertinggi sebesar 81,83 ditahun 2010. Maka dapat disimpulkan bahwa kelembaban udara selama 5 tahun Universitas Sumatera Utara di Kota Medan adalah kelembaban yang ideal untuk berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi dan menularkan virusnya kepada orang lain Promprou, 2005 dalam Adriyani, 2012. Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80. Menurut asumsi peneliti, kelembaban di Kota Medan cukup tinggi dan memengaruhi kejadian DBD karena hal ini dibuktikan dari kelembaban di Kota Medan Bulan Oktober kelembaban sebesar 82,6 dengan jumlah kasus DBD sebesar 181,4 kasus. Sedangkan dibulan berikutnya sebesar 82,8 dengan kejadian DBD 263,8 kasus. Tetapi di bulan Desember sebesar 84,2 kasus DBD menjadi 239,2 kasus. Dari hal ini menjelaskan seperti dibulan November, dengan kenaikan 0,2 kelembaban kasus DBD meningkat. Kelembaban di Bulan November sampai Desember tinggi karena merupakan musim penghujan. Kelembaban di Kota Medan dari Januari sampai Desember merupakan kelembaban optimum untuk berkembangbiaknya vektor nyamuk yaitu sekitar 60- 80. Kelembaban dipengaruhi oleh suhu, jika kelembaban tinggi dan suhu juga tinggi maka memudahkan penetasan telur nyamuk juga berpengaruh dan jumlah kasus DBD di Kota Medan akan meningkat. Walaupun demikian kelembaban di Indonesia adalah kelembaban optimum untuk nyamuk berkembangbiak dan tidak Universitas Sumatera Utara bisa dilihat secara spesifik pola kelembaban yang seperti apa bisa memengaruhi kejadian DBD di Kota Medan tahun 2010-2014. Penelitian ini di sejalan dengan hasil penelitian Harianto 2006 dalam Roose 2008 yang menyatakan bahwa nyamuk Ae.aegypti dengan kelembaban udara di bawah 60 umurnya akan menjadi lebih pendek tidak bisa menjadi vektor, tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Menurut Sukowati 2008, kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti terutama pada siklus telur. Bila kelembaban udara kurang, telur dapat menetas dalam waktu yang lama bisa mencapai tiga bulan. Pada kelembaban nisbi kurang dari 60 umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak dapat menjadi vektor, karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Oleh karena itu, kelembaban udara lebih dari 60 membuat umur nyamuk Ae. aegypti menjadi panjang serta potensial untuk perkembangbiakkan nyamuk Ae. aegypti. Kelembaban udara memengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban yang tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. 5.4 Hubungan Kecepatan Angin Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue DBD di Kota Medan Tahun 2010-2014. Hubungan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Medan pada Tahun 2010-2014 apabila dilihat perbulan menunjukan korelasi yang tinggi r = 0,843 Universitas Sumatera Utara dan berpola positif artinya semakin tinggi kecepatan angin maka kejadian DBD semakin tinggi. Berdasarkan tingkat signifikan antara kecepatan angin dengan kejadian DBD terdapat korelasi yang signifikan p = 0,001. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana memprediksi bahwa variabel kecepatan angin angin perbulan di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,001 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kecepatan angin per bulan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Medan dari Januari 2010 sampai dengan Desember 2014, dengan koefisien sebesar 106,541. Artinya, jumlah kasus DBD diprediksikan akan bertambah sebesar 106,541 jika nilai kecepatan angin bertambah satu satuan. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana terhadap variabel kecepatan angin pertahun di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,009, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kecepatan angin pertahun terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue DBD tahun 2010-2014, dengan koefisien 147,993. Artinya, jumlah kasus DBD diprediksi akan bertambah sebesar 147,993 jika nilai kecepatan angin bertambah satu satuan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi perbulan di Kota Medan adalah sebesar 2,6 knot di Bulan Oktober dan terendah sebesar 1,44 knot dibulan April. Sedangkan untuk kecepatan angin pertahun tertinggi sebesar 2,51 knot ditahun 2014. Maka dapat disimpulkan bahwa kecepatan angin selama 5 tahun di Kota Medan memengaruhi kejadian DBD di Kota Medan. Karena kecepatan angin dapat memengaruhi jarak terbang vektor nyamuk untuk menggigit host manusia. Universitas Sumatera Utara Menurut asumsi peneliti, kecepatan angin di Kota Medan bulan Oktober sebesar 2,60 knot dan jumlah kasus DBD sebesar 181,4 kasus. Dibulan November terjadi penurunan kecepatan angin menjadi 2,40 kasus DBD menjadi 263,8, tetapi dibulan Desember kecepatan angin 2,70 kasus DBD menjadi 239,2 kasus. Hal ini menjelaskan walaupun kecepatan angin di Kota Medan dari bulan Januari sampai Desember sekitar 1-2 knot, tetapi tidak menurunkan kasus DBD di Kota Medan. Tetapi seperti dibulan Desember terjadi penurunan kasus DBD dari 263,8 kasus menjadi 239,2 kasus. Hal itu berhubungan dengan kenaikan kecepatan angin dari 2,40 menjadi 2,70 knot. Hal ini menjelaskan kenaikan 0,30 knot kecepatan angin memengaruhi kasus DBD, hal ini terjadi karena mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan masa kawin nyamuk walaupun tidak signifikan. Menurut asumsi peneliti kecepatan angin di Kota Medan tahun 2010-2014 masih jauh dari batas kecepatan angin yang menghambat aktivitas terbang nyamuk yaitu 22-28 knot. Berdasarkan hasil penelitian Dini dkk, 2010 menyatakan bahwa fluktuasi rata- rata kecepatan angin di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 hanya 2,5 knot yang berarti jauh dari batas kecepatan angin yang menghambat aktivitas terbang nyamuk yaitu 22-28 knot. Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk dalam rumah sehingga pengaruh angin dalam penyebaran vektor ini sangat kecil. Penelitian Andriani 2001 menyatakan semakin tinggi kecepatan angin maka semakin sulit nyamuk untuk terbang karena tubuhnya yang kecil dan ringan sehingga mudah terbawa angin. Kecepatan angin akan mempengaruhi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Kecepatan angin akan mempengaruhi daya jangkau terbang nyamuk Ae. aegypti.Semakin luas daya jangkau nyamuk maka semakin banyak Universitas Sumatera Utara kesempatan untuk kontak dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi nyamuk akan semakin panjang WHO dalam Silaban, 2006. Menurut Nelson dan Pnat yang dikutip oleh Sitio 2008, menyatakan bahwa secara tidak langsung angin akan mempengaruhi evaporasi atau penguapan air dan suhu udara atau konveksi. Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk. Kecepatan angin kurang dari 8,05 kmjam tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk dan aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 kmjam 2,2 meterdetik atau lebih. Bila kecepatan angin 11-14 mdetik atau 22- 28 knot per jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Kecepatan angin akan memengaruhi daya jangkau terbang nyamuk Ae. Aegypti. Semakin luas daya jangkau nyamuk maka semakin banyak kesempatan untuk kontak dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi nyamuk akan semakin panjang. 5.5 Hubungan Temperatur Udara Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue DBD di Kota Medan Tahun 2010-2014. Hasil uji korelasi temperatur udara dengan kejadian DBD di Kota Medan pada Tahun 2010-2014 apabila dilihat perbulan menunjukan korelasi tinggi r = -0,897 dan berpola negatif artinya semakin tinggi suhu udara maka kejadian DBD akan semakin rendah atau sebaliknya. Berdasarkan tingkat signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD terdapat korelasi yang signifikan dengan p0,05 p = 0,0001 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan temperatur udara per bulan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Medan dari Januari 2010 sampai dengan Desember 2014. Universitas Sumatera Utara Hubungan suhu udara dengan kejadian DBD di Kota Medan pada Tahun 2010- 2014 apabila dilihat dari data pertahun menunjukan korelasi yang tinggi r = 0,935 dan berpola positif artinya semakin tinggi suhu udara maka kejadian DBD akan semakin rendah atau sebaliknya. Berdasarkan tingkat signifikansi menunjukan bahwa secara statistik terdapat korelasi yang signifikan antara suhu udara dengan kejadian DBD p=0,020. Berdasarkan hasil hasil analisis regresi linier sederhana terhadap variabel kecepatan angin pertahun di Kota Medan tahun 2010-2014 diketahui bahwa p0,05 p= 0,009, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kecepatan angin pertahun terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue DBD tahun 2010-2014. Menurut asumsi peneliti, suhu udara dibulan Mei sebesar 28,20 °C dengan jumlah kasus DBD sebesar 94,6 kasus. Sedangkan dibulan Juni suhu udara sebesar 28,28 °C dengan jumlah kasus 111,2. Tetapi dibulan Juli suhu menurun menjadi 27,68°C kasus DBD menjadi 129,6 kasus. Hal ini menjelaskan bahwa suhu memengaruhi penetasan dan umur nyamuk. Suhu udara dibulan Mei sampai Juli merupakan suhu dimusim kemarau. Pada bulan tersebut suhu meningkat dan hal ini memudahkan telur nyamuk untuk menetas. Walaupun pada suhu yang rendah adalah waktu nyamuk untuk bertelur, tetapi disaat suhu meningkat nyamuk akan menetaskan telurnya dan kemungkinan kejadian DBD akan meningkat. Hal ini didukung juga dengan kelembaban yang 60-80 merupakan kelembaban yang optimum untuk menetaskan telurnya. Selain suhu udara, faktor lain juga memengaruhi kejadian DBD seperti curah hujan yang rendah, faktor host, lingkungan, dan faktor kesehatan individunya. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian ini sependapat dengan hasil penelitian Zubaidah 2012 yang menyatakan bahwa curah hujan, kelembaban, temperatur udara dan angka bebas jentik memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap stadium vektor DBD dari mulai telur, larva dan pupa serta bentuk dewasanya sangat bergantung keadaan lingkungan seperti suhu Dini dkk, 2010. Menurut Shetty 2009, apabila terjadi peningkatan temperatur maka efeknya terhadap vektor yaitu penurunan kelangsungan hidup beberapa spesies nyamuk lebih cepat masa inkubasi dalam tubuh vektor dan luasnya penyebaran vektor. Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan temperatur rerata pun dapat memengaruhi perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk dewasa. Menurut Keman 2007, nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue DBD hanya berkembang biak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16°C dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok untuk berkembangbiaknya nyamuk Aedes, dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28°C. Peningkatan kelembaban juga meningkatkan agresivitas dan kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat. Universitas Sumatera Utara 93 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan