Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Berburu merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang telah berlangsung sejak zaman dahulu dan sampai saat sekarang ini masih tetap bertahan. Pada masa dahulu berburu merupakan mata pencaharian hidup yang khusus, yang biasanya mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang bisa di makan. Berburu juga dilakukan sebagai suatu cara tambahan untuk mencari pangan. Demikian dalam ilmu Antropologi ketiga sistem mata pencaharian itu sering juga di sebut dengan satu sebutan Ekonomi Pengumpulan Pangan, atau Food Gathering Economics. Koentjaraningrat, 1 9 8 5 : 1 1 - 1 6 . Berburu babi sebenarnya hampir terdapat pada semua masyarakat yang tinggal di pedesaan yang berbatasan langsung dengan daerah areal hutan. Seperti misalnya Suku Bena di pulau Flores. Kegiatan berburu babi yang mereka lakukan disebut dengan Gabo TV 7, jejak petualangan, Sabtu, 21 Februari, 12.00 WIB. Masyarakat suku Kubu yang masih hidup di Bukit Dua Belas propinsi Jambi juga melakukan hal yang sama, mereka memburu babi dengan cara menjerat atau memanah. Namun tujuan dan fungsi berburu babi bagi masyarakat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Berbeda dengan berburu babi yang dilakukan masyarakat di Minangkabau tujuan dan fungsinya adalah untuk membantu para petani memberantas babi hutan guna melindungi usaha-usaha para petani dikawasan areal pertanian Universitas Sumatera Utara mereka. Disamping itu berburu babi bagi sebagian kalangan adalah untuk menyalurkan hobi atau kesenangan saja. Hasil-hasil buruan yang didapat dalam setiap perburuan bukanlah untuk dikonsumsi, akan tetapi hanya diberikan kepada binatang pemburu mereka yaitu anjing. Berburu babi sebagai salah satu bentuk permainan rakyat Sumatera Barat, merupakan salah satu bentuk kebudayaan kolektif masyarakat Minangkabau yang masih hidup dan berkembang hingga saat ini. Dan merupakan salah satu bentuk folklor masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini Danandjaja 1984:2 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan folklor adalah sebagian budaya kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, secara tradisional dalam versi maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu mengingat Mnemonic folklor. Lebih jauh dikatakan bahwa sebagai bagian dari budaya, foklor itu dapat berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional peribahasa dan lain-lain, teka teki, cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng lelucon dan anekdot, nyanyian rakyat, permainan rakyat, kepercayaan keyakinan rakyat, seni rupa dan seni lukis rakyat, musik rakyat, gerak isyarat Gesture dan sebagainya. Bagi masyarakat Minangkabau berburu merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang telah membudaya, karena merupakan salah satu bentuk kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun dari generasi kegenerasi sampai saat sekarang ini. Permainan ini kebanyakan dilakukan oleh penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedesaan yang hidup dekat dengan kawasan hutan maupun bagi masyarakat yang telah bermukim diperkotaan khususnya di Universitas Sumatera Utara Kanagarian Kamang Mudiak, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam. Berburu diminati oleh kaum laki-laki baik generasi yang masih muda maupun yang sudah tua. Sasaran atau objek yang akan di buru adalah binatang-binatang yang hidup di hutan atau di rimba belantara yang meresahkan atau yang merugikan masyarakat terutama masyarakat yang hidup di sektor pertanian. Permainan rakyat adalah suatu hasil budaya masyarakat, yang berasal dari zaman yang sangat tua, yang telah tumbuh dan hidup hingga sekarang, dengan masyarakat pendukungnya tua, muda, laki-laki dan perempuan, kaya miskin, rakyat biasa maupun bangsawan Yunus, 1982:4. Berburu babi bagi masyarakat Minangkabau sudah dilakukan oleh nenek moyang orang Minangkabau, namun tidak ada literatur yang mencatat kapan persis kegiatan ini dimulai. Sekarang kegiatan ini sudah menjadi bagian tradisi masyarakatnya yang secara turun temurun telah menjadi suatu bentuk permainan rakyat. Hal ini terungkap dalam suatu pepatah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat dengan menyatakan bahwa Berburu babi suntiang niniak mamak pamenan dek nan mudo dalam nagari berburu babi merupakan kebanggaan dari ninik mamak, permainan bagi kaum muda. Makna yang dapat diambil dari pepatah tersebut dapat diartikan sebagai kebanggaan bagi ninik mamak tertua adat karena kata Suntiang dalam bahasa Minangkabau sama maknanya dengan kata mahkota dalam bahasa Indonesia yang berarti dan bermakna suatu kebanggaan. Sementara kata Pamenan de nan mudo berarti permainan bagi kaum muda, dalam Nagari menunjukkan tempat permainan berburu itu dilakukan. Nagari dalam bahasa Minangkabau merujuk kepada daerah, tempat, wilayah Universitas Sumatera Utara atau lebih tepatnya kepada kampung halaman yaitu Ranah Minang wilayah asal orang Minangkabau . Berburu babi tersusun dari dua buah rangkaian kata yaitu kata berburu dan kata babi. Pengertian berburu yang ditemui dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang berasal dari kata buru yang kemudian mendapat awalan ”be r” yang berarti mengejar atau mencari. Mengejar atau mencari itu dilakukan oleh manusia yang memakai alat dan sarana-sarana tertentu. Babi adalah sejenis binatang liar yang mempunyai kaki empat. Babi itu banyak pula macamnya, seperti babi hutan biasa, babi janggut, babi rusa dan babi peliharaan. Dari sekian banyak babi, yang diburu oleh masyarakat adalah babi hutan biasa. Didalam buku Mamalia Darat Indonesia, babi hutan biasa ini termasuk binatang yang berkuku genap atau disebut dengan istilah Artiodactyla. Babi hutan biasa dalam bahasa Latin disebut Sus scrofi. Ia terdapat diseluruh Kepulauan Indonesia. Diluar tanah air kita babi hutan biasa ini terdapat di Eropa, Afrika bagian Utara dan seluruh Asia. Babi hutan biasa sebenarnya adalah masih sejenis dengan segala macam babi peliharaan yang diternakkan diberbagai tempat. Binatang ini sangat pandai menyesuaikan diri dan makan segala macam makanan, cepat sekali berkembang biak, meskipun sering diburu oleh manusia ataupun dijadikan mangsa oleh binatang buas dirimba Carter, 1978:55. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa babi adalah salah satu jenis binatang liar yang cukup ganas dan sering mengganggu ketentraman masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sering terganggu mata pencaharian mereka oleh binatang ini. Binatang ini sering merusak tanaman Universitas Sumatera Utara masyarakat seperti padi dan umbi-umbian. Dengan demikian binatang tersebut perlu dikurangi populasinya guna menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat serta mengurangi perusakan-perusakan terhadap tanaman-tanaman, untuk itulah diambil kesepakatan untuk mengadakan perburuan terhadap binatang yang merugikan ini. Pada awalnya berburu babi dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan jerat dan tombak. Namun cara yang demikian nampaknya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan, karena banyak menyita waktu dan tenaga untuk mencari habitat babi tersebut. Untuk memudahkan menemukan tempat dimana babi tersebut berada, dipakailah tenaga anjing. Seperti kita ketahui anjing merupakan salah satu binatang yang mempunyai daya penciuman dan pendengaran yang tajam sekali bila dibandingkan dengan binatang-binatang yang sejenisnya. Berburu babi merupakan permainan anak-anak nagari yang mempunyai kode etik yang cukup kuat dalam arti mempunyai nilai-nilai luhur budaya Minangkabau di Sumatera Barat dengan segala aturan yang melingkupinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa permainan berburu babi merupakan bagian dari adat budaya masyarakat Minangkabau. Hal ini seperti dikemukakan NAVIS, 19781980:103, sebagai berikut adanya upacara adat, misalnya berupa tari-tarian tarian pasambahan untuk menghormati para peserta buru babi yang datang dari daerah tetangga yang harus dilakukan dalam setiap pelaksanaannya sebelum dilaksanakan perburuan. Sementara itu Peursen 1989:92 mengatakan, berbagai tahapan dalam perkembanggan kebudayaan mengambarkan bagaimana manusia mencari hubungan yang tepat terhadap daya- Universitas Sumatera Utara daya kekuatan disekitarnya. Dalam semua sikap itu tampaklah sebagai aspek pertama dalam strategi serupa itu bagaimana manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya atau menjadikan semuanya itu sesuatu yang dapat dialami. Dalam alam pikiran mistis, daya-daya kekuatan gaib itu dijadikan sesuatu yang dapat diraba-raba karena manusia dapat mengambil bagian dalam kekuatan tersebut partisipasi, misalnya tari-tarian dan sebagainya. Sementara ini Johan Huizinga t erj. 1990:5, menyatakan bahwa kita mau tidak mau juga mengakui adanya sesuatu yang rohani. Sebab apapun hakikatnya permainan bukan materi. Dari segi pandangan dunia yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan, semata-mata secara deterministis, suatu yang tidak diperlukan. Dengan masuknya roh yang meniadakan prinsip deterministis, kehadiran permainan menjadi mungkin dapat dipikirkan, dapat dipahami. Dengan demikian jelas bahwa dalam permainan buru babi tersebut dalam pelaksanaannya terdapat upacara adat yang harus dilakukan terlebih dahulu. Fenomena ini yang memberikan sinyal bahwa ada keterkaitan bentuk permainan berburu babi dengan adat dan budaya masyarakat pendukungnya serta penggunaan kekuatan mistis dalam upacara perburuan untuk menentukan posisi babi yang akan diburu melalui pawang-pawang yang memimpin upacara perburuan sebelum dilakukan. Sebagai bagian dari adat dan kebudayaan Minangkabau. Memang telah banyak literatur menulis tentang permainan tradisional masyarakat Minangkabau, Tetapi masih banyak juga yang belum tersampaikan atau belum tercatat. Tidak seperti dalam permainan rakyat yang lain yang tumbuh dan berkembang di Universitas Sumatera Utara tengah-tengah masyarakat Minangkabau, sebagai contoh permainan layang- layang dan adu kerbau. Dari bentuk dan fungsi permainan berburu babi yang dimainkan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, terlihat sebuah bentuk identitas budaya masyarakat yang terbentuk dari aktifitas permainan tersebut, dimana dalam permainan ini melibatkan lembaga-lembaga adat dan merupakan kebanggaan bagi ninik mamak di Minangkabau. Identitas inilah yang membedakan bentuk permainan ini dengan permainan serupa yang dilakukan masyarakat etnis lainnya. Tetapi rasanya masih ada yang tertinggal atau belum tersampaikan, salah satu yang belum tersampaikan ini adalah tradisi berburu babi di Kanagarian Kamang Mudiak, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, yang letaknya beberapa puluh kilometer sebelah Selatan kota Bukittinggi. Apabila dibandingkan dengan daerah lain di Minangkabau, pelaksanaan permainan berburu babi di Kanagarian Kamang Mudiak cukup unik dan mempunyai pola tersendiri didalam pelaksanaannya. Kegiatan berburu yang dilaksanakan dua kali seminggu sangat digemari oleh masyarakat pecandu permainan ini. Penggemar permainan ini begitu banyak, yang berasal dari berbagai lapisan sosial ekonomi yang ada di masyarakat baik pedagang, pegawai, pensiunan, petani, bahkan para pelajar juga terlibat dalam permainan ini. Untuk ikut serta dalam kegiatan berburu babi setiap minggu tentu memerlukan biaya yang cukup besar, terutama untuk ukuran petani pedesaan. Kadang-kadang arena perburuan jauh dari lokasi tempat tinggal dan untuk menuju ke lokasi perburuan diperlukan ongkos untuk menyewa mobil sewaan. Selain itu Universitas Sumatera Utara biaya untuk perawatan anjing setiap hari cukup besar, baik itu untuk membeli susu, telur dan obat-obatannya. Cara hidup seperti ini perlu dipertanyakan dalam keadaan zaman seperti sekarang ini. Kegiatan berburu babi sepertinya kegiatan yang membuang uang saja, yang sebenarnya bisa ditukar dengan permainan lain yang tidak memerlukan biaya. Bahkan tidak jarang banyak pameo terlontar ditengah masyarakat tentang para perburu tersebut. Salah satu pameo yang sering terdengar ditengah masyarakat adalah Orang berburu tersebut lebih sayang kepada anjing dari pada anaknya, anjing di mandikan pagi hari dan diberi minum susu sedangkan anaknya tidak. Akan tetapi pameo tersebut tidak ada artinya bagi masyarakat pecandu buru babi bahkan peminatnya semakin bertambah banyak pula. Berarti permainan berburu babi tersebut mempunyai fungsi didalam kehidupan masyarakat setempat. Dalam hal ini fungsi diartikan sebagai kegunaan suatu hal Suyono, 1985:127.

1.2. Perumusan Masalah