instansi terkait, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.
6.2. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis
Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, tentu akan
mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem
pesisir dan laut. Pengaruh perubahan ekologis tersebut semakin besar karena nelayan Pulau Panjang merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan
tradisional yang melakukan kegiatan pencarian ikan dengan alat tangkap seadanya.
Tabel 9 Matriks Perubahan Ekologis akibat Kegiatan Manusia
Kegiatan Perubahan
Ekologis Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi
Penebangan Mangrove
Kerusakan ekosistem
mangrove Hilangnya tempat mencari makan feeding
ground dan daerah pengasuhan nursery ground ikan, kepiting dan udang. Sehingga mengganggu
ketersediaan stok ikan, udang, dan kepiting. Pembukaan lahan
tambak Kerusakan
ekosistem mangrove
Berkurangnya keragaman tangkapan nelayan. Kepiting, udang, dan karang-karang sulit ditemui.
Berkurangnya jumlah tangkapan nelayan, akibat akses nelayan untuk memasuki wilayah hutan
mangrove tersebut telah ditutup oleh para petambak.
Pengerukan dan pengurugan yang
berkaitan dengan pembangunan
pelabuhan khusus batubara, industri
lainnya Kerusakan
ekosistem mangrove
Pendangkalan pantai
karena pengendapan
sendimen yang sebelum
hutan mangrove
dikonversi mengendap di hutan mangrove Erosi garis pantai
Mengganggu regenerasi stok-stok ikan Mengganggu pertumbuhan rumput laut dan
ketersediaan kepiting Penggundulan
hutan di lahan atas
Kerusakan ekosistem
mangrove dan
terumbu karang
Sendimen hasil erosi berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara
sungai pengangkut sendimen sehingga akan meningkatkan
kadar kekeruhan
air yang
selanjutnya akan menghambat pertumbuhan terumbu karang
Jangkar kapal Kerusakan
terumbu karang
Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal
Hilangnya daerah penangkapan ikan dan peralihan pola migrasi ikan
Keterangan :
berdasarkan persepsi responden
Berbagai tekanan pembangunan ekonomi yang sistematis dan terus menerus serta dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan
terjadinya degradasi dan kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir. Terganggu atau rusaknya kedua ekosistem tersebut jelas akan
mempengaruhi kegiatan melaut nelayan yang bermuara pada jumlah dan variasi hasil tangkapannya. Beberapa kegiatan yang menimbulkan perubahan ekologis di
kawasan pesisir Pulau Panjang disajikan dalam tabel 9. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut tidak
hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial nelayan. Adapun dampak sosial-ekonomi yang
ditimbulkan dari perubahan ekologis dibagi kedalam dua kluster penyebab, yaitu 1 dampak perubahan pada ekosistem mangrove; dan 2 dampak perubahan pada
ekosistem terumbu karang.
1 Dampak Perubahan Ekosistem Mangrove
a Penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan Kerusakan atau degradasi ekosistem mangrove menyebabkan hilangnya
substrat yang menjadi sumber pakan ikan, rusaknya habitat terbiak, hilangnya tempat mengasuh dan membesarkan ikan, serta rusaknya tempat
perlindungan bagi biota laut di kawasan pesisir Purwoko, 2005. Hal ini berakibat pada berkurangnya stok ikan yang kemudian mempengaruhi
kehidupan ekonomi nelayan. Jenis ikan atau biota laut yang menjadi incaran para nelayan Pulau Panjang
adalah kakap merah, kakap putih, kerapu, kepiting dan udang. Kakap merah merupakan salah satu jenis ikan karang yang hidup di daerah mangrove dan
muara sungai yang kadar garamnya mendekati air tawar. Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak juga pada persediaan ikan
kakap merah tersebut. Selain kakap merah, yang dirasakan sudah mulai hilang adalah kepiting bakau. Menurut para nelayan keberadaan kepiting
saat ini jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum mangrove di daerah Pulau Panjang tersebut rusak.
Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD 35 tahun: “..sekarang tuh lain sudah waktunya, perkembangan ikan
kayak kakap merah, kerapu, undang itu pang sudah buruk perkembangannya.. kita sebelum ada batubara pelsus-red enak
aja kita cari ikan. Tapi sekarang mana bisa kita cari, sulit sudah...”
Sulitnya nelayan menangkap ikan pasca rusaknya ekosistem pesisir akibat aktivitas industri skala besar diperburuk oleh persoalan perubahan iklim.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat rentan terhadap persoalan perubahan
iklim. Kementeriaan
Kelautan dan Perikanan KKP
menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008, hingga menyisakan kurang dari 2,8 juta
nelayan. Jika dilakukan perhitungan dalam rentang waktu tersebut, maka ditemukan fakta bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan sebanyak 31 ribu
nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya. b Hilangnyaberkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan
bahan baku obat-obatan Perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem mangrove menurut Anwar
dan Gunawan 2006 akan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, bahan bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. Kerusakan mangrove
yang terjadi di Pulau Panjang, dimana salah satunya disebabkan oleh pembukaan tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sendiri ternyata
berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pulau Panjang. Sebagian masyarakat Pulau Panjang menggunakan kayu mangrove untuk
bahan bangunan pembuatan rumah dan kayu bakar. Letak pulau yang relatif sulit dijangkau oleh para penjual material bahan bangunan, menyebabkan
masyarakat lebih memilih untuk menabang pohon mangrove untuk membangun rumah. Hal ini mengakibatkan mangrove yang ada di Pulau
Panjang mengalami degradasi yang cukup parah. Penebangan-penebangan mangrove tersebut tidak diimbangi oleh upaya-
upaya rehabilitasi yang sistematis untuk mengatasi kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini mengakibatkan kelangkaan ekosistem mangrove yang
kemudian menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan.
2 Dampak Perubahan Ekosistem Terumbu Karang
a Sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan Nelayan di kawasan Pulau Panjang telah memiliki wilayah penangkapan
tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan ekologis menyebabkan perubahan pola migrasi ikan di perairan
Selat Laut. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional
yang masih
mengandalkan pengetahuan
lokal dan
pengalamannya dalam mencari ikan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD 35 tahun:
“..biasanya kita mancing dibatu-batu karang, ikan kan banyak disitu, sebelum ada batubara ikan enak aja kita cari, mancing aja
semalam bisa dapat dua ratus ribu, tapi sekarang ini paling-paling cuma dapat duapuluh ribu semalam, itupun sudah untung kalau
dapat...itulah kita jadi sulit cari ikan...batu-batu karang-red sudah
hancur terbawa tongkang..” Maraknya pendirian pelabuhan khusus batubara di kawasan ini mengundang
kapal-kapal bermuatan besar untuk berlalu-lalang di perairan Pulau Panjang Selat Laut. Ada enam pelabuhan khusus batubara yang berada di kawasan
pesisir Pulau Panjang. Keenam pelabuhan khusus tersebut sebenarnya sudah memiliki alur dan pemetaan yang telah ditetapkan oleh instansi terkait
Dinas ESDM dan Dinas Kelautan Perikanan, akan tetapi dari keenam pelabuhan tersebut lima diantaranya tidak mematuhi alur yang sudah
ditetapkan. Hal ini kemudian menimbulkan kerusakan dan kamatian karang sehingga nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan
ikan. b Menurunnya kesempatan berusaha
Selain sulit untuk menentukan daerah penangkapan ikan, kerusakan terumbu karang juga berdampak pada menurunnya kesempatan berusaha para
nelayan. Pasalnya, selain aktivitasnya sebagai pencari ikan di laut, hampir semua nelayan di Pulau Panjang merupakan pembudidaya rumput laut
sebagai mata pencaharian tambahan. Bengen 2004 mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan habitat yang produktif bagi rumput laut. Dengan
demikian kerusakan terumbu karang juga akan berpengaruh terhadap produktivitas rumput laut yang dibudidayakan oleh para nelayan.
Hal ini diakui oleh Bapak MAD 60 tahun: “...sejak hancurnya batu-batu karang disini, sulit sudah
mengandalkan rumput laut, perkembangannya sudah buruk, banyak tahi air lumut-red, kita pang sudah serba sulit disini..
iwak ikan-red sulit didapat, kebun sudah tercemar debu-debu, itu pang di pulau, ya keadaannya
seperti ini ...” Saat ini ada 40 rumah tangga nelayan yang mengikuti kegiatan budidaya
rumput laut, dan saat ini usaha pembudidayaan rumput laut tersebut merupakan salah satu mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Dengan
demikian kerusakan terumbu karang tersebut sangat jelas berdampak pada mata pencaharian alternatif nelayan.
53,3
33,3
16,7 50
33,3 20
10 20
30 40
50 60
Sumber Pendapatan
Alat Tangkap Daerah
Penangkapan Jaringan
Sosial Mobilisasi
Anggota Keluarga
Lainnya
BAB VII STRATEGI ADAPTASI NELAYAN
TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nelayan di Desa Pulau Panjang mempersepsikan diri bahwa di kawasan pesisir Pulau Panjang telah
terjadi perubahan ekologis. Hal tersebut juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang menandakan bahwa
di kawasan tersebut telah terjadi perubahan-perubahan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang. Berbagai macam bentuk perubahan ekologis
yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang telah menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kegiatan nelayan. Hal ini mengharuskan nelayan untuk
beradaptasi agar dapat bertahan hidup di kawasan tersebut. Strategi adaptasi yang dimaksud dalam bahasan ini adalah bagaimana nelayan di Pulau Panjang
melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang ada di wilayahnya.
Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, diketahui bahwa sebanyak 53,3 persen responden memilih untuk menganekaragamkan sumber
Gambar 10 Sebaran Responden berdasarkan Strategi Adaptasi