Bentuk Perubahan Ekologis Perubahan Ekologis

dalam pasal 18 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Paradigma pembangunan yang bertumpu pada penguatan ekonomi melahirkan berbagai kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan yakni peningkatan kesejahteraan yang diukur melalui peningkatan pendapatan negara atau daerah. Dengan demikian nilai sumberdaya alam yang dimunculkan adalah nilai ekonomi semata. Padahal sumberdaya alam juga memiliki nilai sosial budaya.

6.1.3. Bentuk Perubahan Ekologis

Pada saat ini telah terdapat beberapa perubahan fisik yang mengindikasikan telah terjadinya kerusakan ekosistem di kawasan pesisir Pulau Panjang. Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut antara lain: 1 perubahan pada ekosistem mangrove dan 2 perubahan pada ekosistem terumbu karang. 1 Perubahan pada Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan ekosistem utama yang mendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove memiliki beberapa fungsi penting bagi ekosistem pesisir dan laut antara lain sebagai peredam gelombang, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaandaratan, penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan, daerah asuhan nursery ground, daerah penyedia nutrien feeding ground dan pemijahan spawning ground bermacam biota perairan, pencegah intruisi air laut, serta habitat satwa liar. Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis, yakni sebagai penyedia kayu, bahan bangunan, alat penangkap ikan, penyedia nipah Dahuri et al., 1996; Wahyono et al., 2001; Bengen, 2004; Purwoko, 2005; Anwar, 2006; Mulyadi, 2007; Satria, 2009b. Bagi masyarakat pesisir Pulau Panjang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya areal hutan mangrove yang masih subur akan mengundang jenis-jenis kepiting, udang dan kerang-kerangan untuk menenpati hutan mangrove tersebut. Akibatnya, nelayan akan mudah mendapatkan kepiting, udang dan kerang-kerangan lainnya di daerah tersebut. Akan tetapi, berdasarkan Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang mengalami kerusakan dan alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman, tambak dan penambatan kapal-kapal tongkang batubara. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove juga dikarenakan adanya aktivitas penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan, pasak bumi, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut, serta tempat memasang jaring ikan. Kerusakan ekologis mangrove terlihat dengan adanya abrasi di ujung utara Pulau Panjang. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Hantu dan Pulau Tampakan yang merupakan bagian dari Pulau Panjang belum terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang. Secara ekologi, indikator kerusakan terlihat dari adanya tumbuhan DrujonJeruju Acanthus ilicifolius L.. Drujon merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur sampai setinggi 2 meter. Tumbuhan ini dapat menjadi tumbuhan dominan di hutan mangrove yang rusak Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove ini sendiri juga diakui oleh para nelayan. Sebanyak tiga puluh orang responden yang diwawancarai, 16 orang diantaranya atau 53,3 persen responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, 7 orang atau 23,3 persen responden menyatakan sangat buruk, 5 orang atau 16,7 persen responden yang menyatakan baik, dan hanya 2 orang atau 6,7 persen responden yang menyatakan sangat baik. Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pulau Panjang. Sebanyak 16 orang atau 53,3 persen responden yang menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, dan 7 orang atau 23,3 persen responden yang menyatakan sangat buruk berpendapat bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh adanya pelabuhan khusus batubara 30, pembukaan lahan tambak 20, penebangan oleh masyarakat untuk bahan bangunan 13,3, dan karena penyebab lainnya berupa pencarian kayu bakar, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut 13,3. Gambar 7 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove Persepsi responden mengenai kondisi ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut didasari oleh dampak yang dirasakannya saat ini. Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan lokal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak USM 75 thn: “... kalau dulu kita bisa cari kepiting dan undang enak, kada tidak seperti sekarang, mangrove sudah tipis, habis ditebangi, semua sudah ditutup sama tambak. Belum lagi tugboat-tugboat itu suka ikat kapal di mangrove. Mereka suka seenaknya aja ikat- ikat itu...” Persepsi tentang kondisi ekosistem mangrove ini juga dilakukan oleh para responden di wilayah kerjanya sambil menunjukan bukti bahwa telah terjadi perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai kondisi lingkungan pun tidak jauh dari rutinitasnya. Perubahan warna, rasa, dan kebiasaan hidup satwa, jumlah, perubahan bentuk fisik alam menjadi indikator yang dipakai dalam menilai kondisi ekosisitem pesisir mangrove dan terumbu karang. 6,7 16,7 53 23,3 Kondisi Ekosistem Mangrove Sangat Baik Baik Buruk Sangat Buruk Jika persepsi nelayan ini dilihat lebih jauh berdasarkan pengalaman nelayan melaut, ditemukan bahwa semua nelayan yang pengalaman tinggi 23,3 mempersepsikan diri bahwa di kawasan ini kondisi ekosistem mangrove semakin buruk. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 8. Gambar 8 Sebaran Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove berdasarkan Pengalaman Melaut Berbeda dengan nelayan yang berpengalaman tinggi, nelayan dengan pengalaman rendah dan sedang justru memiliki sebaran persepsi yang beragam. Dari responden dengan pengalaman rendah, sebanyak 10 persen mempersepsikan kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 16,7 persen buruk, 10 persen baik, dan 3,3 persen sangat baik. Sedangkan dari responden dengan pengalaman sedang, sebanyak 13,3 persen berpendapat bahwa kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 13,3 persen buruk, 6,7 persen baik, dan 3,3 persen mengatakan kondisinya masih sangat baik. Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan ekologis di kawasan ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kehidupannya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak berubah atau baik-baik saja, akan tetapi nelayan sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang 10 13,3 16,7 13,3 23,3 10 6,7 3,3 3,3 5 10 15 20 25 Pengalaman Rendah Pengalaman Sedang Pengalaman Tinggi Persepsi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut Sangat Buruk Buruk Baik Sangat Baik kehidupannya akan berpendapat bahwa mangrove saat ini kondisinya sudah mengalami perubahan atau semakin buruk. 2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang berfungsi sebagai habitat beragam jenis ikan, penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung garis pantai dari gelombang laut, tempat mengasuh dan membesarkan biota perairan, serta pendukung pertumbuhan mangrove dan lamun. Terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomi sebagai penghasil berbagai produk perikanan dan kelautan, sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari dan merupakan habitat produktif bagi sumberdaya rumput laut. Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, memaparkan bahwa di sekitar pulau ditemukan pula adanya gugusan terumbu karang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan Gusung Payung, dan dibagian barat Pulau Hantu Tunurappu. Keberadaan terumbu karang tersebut diakui oleh para nelayan sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan karang-karang tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan untuk menentukan daerah penangkapan, khususnya oleh para nelayan dengan alat tangkap berupa pancing. Sebelum memancing, para nelayan tersebut mencari karang terlebih dahulu agar usahanya dalam mencari ikan tidak sia-sia. Akan tetapi, kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Panjang saat ini menurut pengakuan nelayan sudah jauh berbeda dengan beberapa tahun belakangan. Sebanyak 30 orang responden yang diwawancarai terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Pulau Panjang, 15 orang 50 diantaranya mengatakan saat ini kondisinya sudah sangat buruk, 13 orang nelayan 43,3 mengatakan buruk, dan hanya dua 6,7 yang mengatakan baik. Adapun persepsi nelayan tersebut dapat dilihat dalam gambar 9. Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kerusakan ekosistem terumbu karang menurut para responden yang menjawab buruk dan sangat buruk 93,3 disebabkan oleh jangkar kapal 70, dan perubahan iklimpemanasan global 23,3. Sejak maraknya pembangunan pelabuhan pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu sekitar tahun 2000, diakui oleh para nelayan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang nelayan Bapak YUD 29 tahun: “..memang sih kalau kita ngomong begini orang tidak percaya, tapi kan kita yang merasai..kapal-kapal itu kapal tongkang batubara, red. suka seenaknya berjangkar, akibatnya karang-karang disini pada rusak dan larut kebawa kapal tongkang itu...kalau sudah begini kita-kita nelayan, red. juga yang repot. Ikan sudah sulit dicari, kita mancing sudah tidak bisa lagi karena karangnya sudah habis..” Maraknya pembangunan pelabuhan khusus batubara tersebut secara otomatis juga mengundang kapal-kapal tongkang yang bermuatan besar. Kawasan pesisir Pulau Panjang yang berada ditengah-tengah Selat Laut menjadi salah satu kawasan yang paling sering dilalui kapal-kapal tongkang bermuatan besar tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi apabila kapal pengangkut batubara tidak mengindahkan alur dan pemetaan yang sudah ditetapkan oleh 6,7 43,3 50 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Baik Buruk Sangat Buruk instansi terkait, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.

6.2. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis