Hipotesis Tujuan Manfaat Tempat dan Waktu Penelitian Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1 Sudut kemiringan dinding pintu masuk perangkap berpengaruh terhadap hasil tangkapan; 2 Celah pelolosan yang dibentuk berdasarkan ukuran minimum lebar karapas kepiting layak tangkap hanya dapat meloloskan kepiting-kepiting yang berukuran kecil.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menentukan sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang efektif untuk menangkap kepiting ; 2 Menganalisis efektifitas penggunaan celah pelolosan untuk memaksimalkan hasil tangkapan kepiting layak konsumsi dan meminimalkan hasil tangkapan kepiting yang belum dewasa.

1.5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai rekomendasi bagi nelayan untuk menggunakan perangkap lipat kepiting yang dapat memberikan hasil tangkapan yang banyak dan mempersingkat waktu penyortiran hasil tangkapan yang tidak diinginkan oleh nelayan; dan 2. Sumbangan bagi kemajuan dunia perikanan tangkap dalam mendesain alat tangkap produktif dengan mengedepankan konsep konservasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yaitu kelompok kepiting perenang swimming crabs, karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan Portunus, Charybdis Thalamita dan kepiting bakau Scylla spp. Dinamakan kepiting bakau Scylla spp karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakaumangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam. Masyarakat lokal di Sumatra mengenalnya dengan ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau, sedangkan di Timika-Papua dikenal dengan nama karaka. Beberapa negara menamainya berbeda-beda, misalnya ketam batu Malaysia, kepiting lumpur Astralia, kepiting samoan Hawaii, alimago Filipina, tsai jim Taiwan, dan nokogiri gozami Jepang Soim, 1994. Klasifikasi kepiting, menurut Motoh 1977 diacu oleh Siahainenia 2008, adalah sebagai berikut. filum : Arthropoda sub filum : Mandibulata kelas : Crustacea ordo : Decapoda sub ordo : Reptantia famili : Portunidae sub famili : Portuninae genus : Scylla spesies : Scylla spp Selanjutnya Estampador 1949a membagi genus Scylla atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu Scylla serrata Forskal, Scylla oceanica Dana, Scylla tranguebarica Fabricius dan Scylla serrata var. paramamosin Estampador. Meskipun demikian, menurut Stephenson dan Campbell 1960 dalam Watanabe et al. 2001, genus Scylla hanya memiliki satu jenis saja, yaitu Scylla serrata. Hal yang sama juga diyakini oleh Alcock 1989 dalam Sulaeman dan Naevdal 2000 yang menyatakan bahwa Scylla dari perairan India terdiri atas satu jenis yaitu Scylla serrata. Demikian pula halnya dengan Moosa et al. 1985 yang mendukung kesimpulan tersebut melalui kajian terhadap kepiting bakau di perairan Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan metode Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA, Keenan et al. 1998 menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas empat jenis, yaitu Scylla serrata, S. tranguebarica, S. paramamosain dan S. olivacea. Di desa Blanakan dan Mayangan di pesisir selatan Subang, Jawa barat, keempat jenis Scylla spp ini hidup bersama Siahainenia, 2008.

2.1.2 Morfologi kepiting bakau

Menurut Moosa 1981, untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiap jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian- bagian tubuh yang biasanya dipergunakan dalam taksonomi binatang yang bersangkutan. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis dari famili Portunidae adalah: 1. Karapas carapace, yaitu selubung kepala-dada dan bagian-bagian yang ada di atasnya; 2. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapas rostrum; 3. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapas; 4. Bentuk sudut postero-lateral tubuh; 5. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan periopod, terutama pada pasangan kaki pertama yang berbentuk capit cheliped dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung; 6. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod; 7. Bentuk mulut terutama maxilliped III; dan 8. Bentuk bagian ruas dasar antenne basal antennal joint. Kriteria tersebut tidak semuanya berlaku untuk satu genus. Ada kriteria yang dapat digunakan untuk genus yang satu, tetapi tidak penting atau kurang penting bila digunakan pada genus yang lain. Meskipun demikian, ada kriteria yang sama-sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari beberapa genus. Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili Portunidae adalah karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat- bulatan. Karapas umumnya berukuran lebih lebar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya. Tepi antero-lateral karapas berduri lima jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae sampai sembilan buah. Dahi lebar, dan terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah. Antenne antennulae kecil terletak melintang atau menyerong Gambar 2. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas terakhir. Ada beberapa genus yang berkaki tetapi tidak berbentuk demikian Moosa 1981. Keterangan : a. Karpus b. Kaki jalan c. Karapas d. Kaki renang e. Merus f. Basi-ischium g. Lekukan karapas h. Panjang karapas i. Lebar karapas Gambar 2 Morfologi Scylla spp Ciri kepiting bakau secara khusus, menurut Sulistiono et al. 1992, adalah karapas berbentuk cembung dan halus, dengan lebar karapas satu setengah dari panjangnya. Bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area pencernaan gastric area dan area jantung cardiac area jelas. Empat duri berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, dan memiliki orbit yang lebar dengan dua celah. Kathirvel dan Srinivasagam 1992 membedakan kepiting bakau berdasarkan habitatnya di wilayah Indo-Pasifik. Menurutnya ada dua jenis dari genus Scylla yaitu S. serrata dan S. tranquebarica, yang sejenis dengan S. oceanica. Kedua spesies ini dibedakan melalui warna tubuh dan habitatnya. S. serrata hidup pada lobang-lobang di hutan mangrove, sedangkan S. tranquebarica yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah perenang bebas. Selanjutnya Estampador 1949 menggolongkan kepiting bakau ke dalam dua kelompok, yaitu banhawin dan mamosain. Kelompok banhawin terdiri atas individu dengan warna tubuh hijau dan dengan tandapola poligonal pada semua kaki dan cheliped-nya. Kelompok kedua adalah individu berwarna coklat gelap yang tidak memiliki tandapola apapun pada kaki-kaki dan cheliped-nya. Kepiting banhawin adalah perenang bebas, sedangkan kelompok mamosain tinggal menetap di dalam lobang. Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica digolongkan kedalam kelompok banhawin, yakni sebagai perenang bebas, sedangkan S. serrata digolongkan ke dalam kelompok mamosain yang hidup di dalam lobang-lobang pada areal mangrove. Untuk membedakan keempat jenis kepiting dari genus Scylla, Estampador 1949 mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama. Pendapat ini berbeda dengan Warner 1977. Menurutnya identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat, seperti cahaya, panas dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap dispersi pigmen pada tubuh kepiting bakau. S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu- abuan sampai abu-abu. Karakteristik kepiting bakau Scylla spp dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. Tabel 1 Karakteristik kepiting bakau Scylla spp. No. Warna dan ciri morfologis Scylla oceanica Scyllla tranquebarica Scylla serrata Scylla serrata var. paramamosin 1. Warna karapas Hijau keabu- abuan Hijau buah zaitun Coklat merah seperti karat Coklat kehijauan 2. Sumber pigmen polygonal Pada capit dan semua kaki jalan Hanya pada bagian terakhir kaki jalan Tidak ada Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki 3. Bentuk alur “H” pada karapas Dalam Dalam Tidak dalam Relatif tidak begitu dalam 4. Bentuk duri depan Tajam Tajam Tumpul Sedang 5. Bentuk duri pada “fingerjoint” Kedua duri jelas dan runcing Kedua duri jelas dan satu agak tumpul Duri tidak ada dan berubah menjadi vestigial - 6. Bentuk rambutsetase Melimpah pada karapas - Hanya pada hepatic area - Gambar 3 Perbedaan morfologi Scylla spp Purwati et al., 2010 Sumber: Estampador 1949 Selain perbedaan warna dan perbedaan morfologi tubuh, suatu teknik baru telah dikembangkan untuk memperoleh status taksonomi dari jenis organisme tertentu, yaitu melalui analisa genetik. Analisa ini telah dikembangkan terhadap kepiting bakau oleh Keenan et al. 1998 yang kemudian merubah klasifikasi genus Scylla dari klasifikasi sebelumnya dengan karakter tiap jenis Tabel 2. Tabel 2 Karakter jenis kepiting bakau Scylla spp. Jenis Faktor pembeda ciri morfologis Scylla serrata Pola poligon dan warna Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai hitam kecoklatan Duri pada dahi Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat Duri pada bagian luar cheliped Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus Scylla tranquebarica Pola poligon dan warna Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. Serrata Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi oleh celah sempit Duri pada bagian luar cheliped Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus Scylla paramamosain Pola poligon dan warna Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai coklat kehitaman. Duri pada dahi Tajam, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku Duri pada bagian luar cheliped Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada propondus sedangkan pada juvenil di bagian luar carpus tajam. Scylla olivacea Pola poligon dan warna Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari oranye kemerahan sampai coklat kehitaman. Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi raung-raung yang sempit Duri pada bagian luar cheliped Umumnya tidak ada duri pada carpus. Sedangkan pada bagian propondus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul. Sumber: Keenan et al. 1998 Klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan secara eksternal. Menurut Moosa et al. 1985, ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau jantan umumnya sempit dan berbentuk segitiga, sedangkan ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau betina berukuran lebar dan sedikit membulat Gambar 4. Gambar 4 Kepiting jantan atas, betina bawah Purwati et al., 2009 Kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari dan berisitirahat dengan membenamkan diri dalam lumpur pada siang hari Hill, 1974. Makanannya, menurut Kasry 1984, berupa organisme yang bergerak lambat atau jenis makro zoobenthos, seperti kerang, siput, krustacea dan cacing. Bangkai juga termasuk makanannya, karena kepiting tergolong hewan omnivorus scavengers. Kemampuan makan kepiting, menurut Hill 1974, menjadi berkurang pada masa molting, karena kepiting tidak beraktivitas.

2.1.3 Penyebaran kepiting bakau

Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sagat luas. Menurut Sulistiono et al 1994, kepiting ditemukan di daerah air payau dan tertangkap di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia, yaitu di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Kepiting bakau mendiami daerah intertidal dengan suhu air antara 13-40 o C dalam setahun. Jenis Scylla olivacea ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur dengan kisaraan pH antara 7,9 - 8,3 Sulistiono et. al., 1994. Pada tingkat juvenile, kepiting jarang terlihat di daerah bakau, karena cenderung membenamkan diri di dalam lumpur.

2.1.4 Ukuran kedewasaan

Kedewasaan kepiting bakau ditandai dengan terbentuknya organ reproduksi dan tanda-tanda perkawinan. Kepiting bakau jantan yang telah melakukan perkawinan akan memiliki ‘memar’ di sisi bawah tubuhnya, terutama bagian atas dekat dengan mata dan kaki jalan pertama. Memar ini akan bertahan sampai kepiting bakau tersebut ganti kulit moulting. Sedangkan untuk kepiting bakau betina, kedewasaan ditandai dengan adanya telur di dalam karapas, moulting dan abdominal flap semakin bertambah lebar, serta telur yang sudah dibuahi berada di dalam abdominal flap Purwati, 2009. Ukuran terkecil kepiting bakau yang mulai dewasa bervariasi sesuai dengan lokasi dan spesiesnya, bahkan dapat bervariasi antar individu di dalam populasi yang sama. Informasi tentang ukuran awal kedewasaan kepiting dari keempat jenis Scylla spp. di Indonesia masih belum diketahui secara luas. Scylla serrata terkecil di Afrika Selatan yang memiliki gonad kelenjar kelamin, menunjukan lebar karapas 104 mm. Namun rata-rata kepiting baru memiliki gonad setelah karapasnya mencapai 123 mm Robertson Kruger 1994. Scylla serrata di Teluk Moreton, Queensland mencapai dewasa saat lebar karapasnya 140-160 mm Hyland Lee 1984. Di perairan muara sungai Ramisi, Kenya, Scylla serrata berukuran 77 mm sudah memiliki ovarium, tetapi kepiting betina terkecil yang membawa telur yang sudah dibuahi ovigerous female berukuran 139 mm Onyango, 2002. Sedangkan di perairan Delta Mekong , Vietnam, ukuran rata- rata Scylla paramamosain yang matang gonad berukuran 102 mm. Ukuran tersebut diperkirakan berumur sekitar 160 hari setelah settlement Walton et al., 2002. Dalam perairan estuari Labu, Papua New Guinea, Scylla paramamosain mulai matang gonad pada ukuran 101 mm dan Scylla olivacea pada 83 mm Overton Macintosh, 2002. Jirapunpipat et al 2008, dalam penelitiannya di rawa bakau Klong Ngao, Provinsi Ranong, Thailand, menemukan bahwa ukuran kepiting dewasa lebar karapasnya lebih dari 8 cm, kepiting jantan lebih berat dari kepiting betina. Hasil tangkapan dominan adalah kepiting berukuran kecil baik jantan maupun betina, sedangkan kepiting dewasa dalam jumlah yang sedikit. Dari hasil estimasi model logistik, ditemukan bahwa 50 kepiting betina yang pertama kali matang gonad, lebar karapasnya adalah 9,55 cm, dengan ukuran minimum ketika matang gonad yaitu 8,3 cm. Hal yang sama juga dikemukan oleh Aldrianto 1994, bahwa menyatakan bahwa di Indonesia kepiting bakau yang telah mencapai dewasa kelamin berukuran panjang karapas 4,27 cm dan lebar karapas 8,0 cm. Le vay 2001, menyatakan bahwa di perairan utara Jawa, kepiting bakau S. Paramamosain betina mencapai tingkat dewasa kelamin pada ukuran lebar karapas 8,0-9,0 cm. Sementara itu menurut Siahainenia 2008, dalam penelitiannya di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa karakter perkembangan dewasa kelamin kepiting bakau teramati melalui perubahan struktur morfologis dan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh. Ukuran minimum kepiting bakau ketika mencapai dewasa kelamin adalah 10,0 cm untuk jantan dan 9,0 cm untuk betina. Perkembangan gonad teramati melalui perubahan pada struktur morfologis tubuh kepiting bakau, warna gonad serta jaringan gonad.

2.1.5 Daur hidup dan habitat kepiting bakau

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai, yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah Kasry, 1996. Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea yang diadaptasikan dari Soim 1999. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka akan muncul larva tingkat I Zoea I yang akan terus menerus berganti kulit, kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat Zoea V lima kali berganti kulit dan proses tersebut membutuhkan waktu minimal 18 hari. Setelah itu, Zoea V akan mengalami pergantian kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa, kepiting bakau akan beruaya pada dasar perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melakukan perkawinan. Menurut Ong 1966 dalam Moosa, et al 1985, kepiting bakau mulai dari telur hingga dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut ialah zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada setiap kali pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang yang antara lain ditandai dengan setae renang bagian tubuh yang menyerupai bulu pada endopod maxilliped-nya Warner, 1977 dalam Kasry, 1996. Megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke tingkat muda diperlukan 11-12 hari Motoh, 1977. Kepiting bakau, menurut Afrianto dan Liviawaty 1972, dapat dikatakan dewasa pada umur 12 -14 bulan dan dapat memijah.

2.1.6 Makanan dan kebiasaan makan

Arriola 1940 dan Mossa et al 1985 dalam Mulya 2000, menyatakan bahwa kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai omnivorous- scavenger dan pemakan sesame jenis canibal. Menurut Pagctipunan 1972, Hill 1976 dalam Mulya 2000, kepiting bakau dewasa juga pemakan organisme benthos dan organisme yang bergerak lambat, seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing dan jenis-jenis gastropoda dan crustacean. Kepiting bakau yang hidup di sekitar hutan bakau memakan akar- akar pohon bakau pneumatophore. Perairan di sekitar hutan bakau sangat cocok untuk kehidupan kepiting karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia Hill, 1976 dalam Mulya, 2000. Pendapat ini didukung oleh Moosa et al, 1985 yang menyatakan kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal dekat hutan bakau yang bersubstrat Lumpur. Biasanya kepiting bakau lebih besar dan menyerang kepiting yang lebih kecil dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Selanjutnya, kepiting bakau mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkannya menerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya Ariola, 1940 dalam Moosa et al, 1985. Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan, tetapi lebih efektif pada malam hari dibandingkan dengan siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nocturnal yang aktif pada malam hari. Berdasarkan hasil penelitian Almada 2001, menjelaskan bahwa waktu makan kepiting bakau cenderung pada malam hari yaitu sekitar pukul 18.00 – 06.00 WIB. Waktu makan yang dominan pada selang waktu 18.00 – 24.00 WIB, yang diindikasikan dengan presentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut.

2.1.7 Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove

Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau disekitar ekosistem tersebut. Nontji 1987, mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang Paneus, kepiting bakau Scylla dan Tiram Crassostrea. Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur- angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan migrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove Siahainenia, 2008. Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda pascalarva yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air pasang dan akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung Hutching Saenger 1987. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian Queensland Departement of Indutries 1989 a . Lebih lanjut Pagcatipunan 1972, menyatakan bahwa setelah berganti kulit moulting, kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lubang sampai karapasnya mengeras. Hutching dan Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya pneumatophore. Sementara Hill 1982, menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Serasah dikenal sebagai makanan alami kepiting bakau. Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter 1985, habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan disekitar hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat Robertson 1988. Substrat halus lumpur dan liat yang mengandung banyak serasah bahan organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama organisme pemakan detritus dari kelompok gastropoda Ellobiidae dan Potamididae. Gastropoda diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Berdasarkan penelitian Opnai 1986, yang menyatakan bahwa 89 isi lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau.

2.2 Alat Tangkap Kepiting Bakau

Menurut Martasuganda 2008, alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah wadong dan pintur. Alat tangkap wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif dan dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting. Supaya kepiting mau memasuki wadong, maka diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus. Adapun alat tangkap pintur merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Nelayan Sulawesi menyebut alat ini dengan sebutan bubu rakkang. Alat ini umumnya memakai rangka dari bambu atau besi sebagai rangkanya. Jaring yang digunakan umumnya potongan jaring bekas yang sudah tidak dipakai lagi. Dalam pengoperasian perangkap kepiting, umpan digunakan sebagai alat pemikat agar kepiting bakau tertarik masuk ke dalam perangkap. Pemilihan umpan untuk perangkap lebih didasari pada harga yang murah dan mudah mendapatkannya. Umpan yang digunakan dalam penangkapan kepiting bakau di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan antara lain ikan rucah, ikan buntal dan potongan daging ikan hiu. Penangkapan kepiting bakau di daerah Jawa Tengah menggunakan daging ular, karena baunya mudah tercium oleh kepiting Soim, 1999. Adapun Soelistiyono et al 1994 mengemukakan bahwa umpan yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan Segara Anakan, Cilacap umumnya adalah ikan.

2.2.1 Pinturrakkang

Martasuganda, 2008 Alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Potongan jaring yang biasanya dipakai adalah potongan bekas pembuatan jaring insang. Konstruksi pintur terdiri dari rangka dan badan jaring, rangka terbuat dari bambu atau besi behel dengan diameter antara 4-10 mm, nomor jaring memakai nomor 210D6-12 dengan mesh size berkisar antara 2,5-6,76 cm. Ikan umpan biasanya memakai potongan ikan, atau ikan apa saja yang bisa dijadikan umpan. Untuk memasang ikan umpan supaya menetap, ikan umpan diletakan ditengah-tengah pintur dengan cara diikatkan pada salah satu mata jaringnya. Daerah penangkapan yang umum dijadikan tempat untuk pengoperasian pintur adalah perairan pantai yang dangkal yang banyak dihuni udang dan kepiting pada kedalaman 1-5 m. Pengoperasian pintur dapat dioperasikan secara tunggal atau dioperasikan secara beruntai di daerah penangkapan yang diperkirakan ada dan akan dilewati oleh udang atau kepiting. Untuk memasang pintur di daerah penangkapan, ada yang memakai tiang bambu dan ada juga yang memakai pelampung tanda. Panjang tiang pancang dan tali pelampung tanda berkisar antara 1-3 m. Tali pelampung memakai rope yang berdiameter 0,3 mm, sedangkan pelampungnya ada yang memakai karet bekas sandal, bekas botol aqua atau benda lainnya yang dapat dijadikan sebagai pelampung. Pengoprerasian pintur semuanya dilakukan secara manual baik tanpa perahu, dengan sampan atau memakai perahu motot tempel. Waktu pemasangan biasanya dipasang di pagi hari, siang hari atau sore hari tergantung nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bervariasi mulai dari 2-3 jam sampai 12 jam. Setelah mengangkat hasil tangkapan, dan ikan umpan masih utuh, biasanya langsung dipasang kembali, tetapi kalau ikan umpannya habis, ikan umpan diganti dengan yang baru. Konstruksi Pinturrakkang disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Konstruksi pinturrakkang

2.2.2 Perangkap

Perangkap merupakan alat penangkap ikan dan non ikan yang bersifat pasif. Jenis alat tangkap ini sudah lama dikenal oleh nelayan, karena biaya pembuatannya yang relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya yang mudah, bahan pembuatnya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan, dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Ukuran perangkap umumnya kecil dan hanya dapat dimasuki oleh beberapa organirme laut saja. Namun demikian, jumlah perangkap yang dioperasikan bisa mencapai puluhan buah, sehingga hasilnya memuaskan. Dalam satu kali operasi penangkapan, nelayan dapat merendam puluhan perangkap pada beberapa tempat penangkapan yang berbeda. Dengan demikian, peluang tertangkapnya organisme laut pada setiap operasi penangkapan sangat besar. Perangkap umumnya dioperasikan dengan 2 cara, yaitu cara terpisah dan teruntai. Cara pengoperasian terpisah dilakukan dengan cara menempatkan beberapa perangkap pada tempat-tempat yang berbeda. Antara satu perangkap lainnya benar-benar terpisah. Adapun cara operasi teruntai dilakukan dengan cara menempatkan perangkap pada suatu area penangkapan yang sama dan antara satu perangkap dengan lainnya saling terhubung dengan tali utama. Cara pengoperasian perangkap secara teruntai dapat dilakukan jika permukaan dasar perairannya datar. Organisme non ikan yang memiliki habitat seperti ini adalah kepiting, rajungan, siput macan dan gurita. Oleh karena itu, penangkapan ke-4 jenis organisme tersebut biasanya menggunakan perangkap yang disusun secara teruntai dengan jumlah perangkap yang sangat banyak. Menurut Subani dan Barus 1988, perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan. Alat ini bersifat pasif, yaitu menunggu ikan hewan laut masuk ke dalam perangkap dan mencegahnya untuk keluar dari perangkap. Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung, penghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar, terbuat dari anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap tetap dipasang ditanam didasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Penyebab ikan atau hewan laut masuk kedalam perangkap antara lain adalah: 1 Sifat dasar ikan atau hewan laut yang selalu mencari tempat berlindung ; 2 Ikan atau hewan laut masuk karena tertarik oleh umpan yang ada di dalam perangkap ; 3 Ikan atau hewan laut terkejut sehingga dia mencari tempat berlindung ; dan 4 Ikan atau hewan laut masuk karena digiring oleh nelayan. Secara umum perangkap terdiri atas kerangka, dinding, mulut, pintu dan tempat umpan. Bentuk perangkap bervariasi Subani dan Barus, 1988, yaitu silinder, gendang, segitiga memanjang, kubus atau segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Cara pengoperasian perangkap dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut. Gardenia 2006, mengungkapkan bahwa perangkap lipat sering digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu adalah perangkap lipat yang berbentuk kotak, merupakan hasil introduksi dari Taiwan digunakan untuk menangkap rajungan. Seiring perkembangannya, perangkap lipat yang berbentuk kotak ini digunakan juga untuk menangkap kepiting bakau di wilayah Subang dan sekitarnya. Selanjutnya Martasuganda, 2008 mengemukakan bahwa konstruksi dari rangka bubuperangkap kepiting, keseluruhannya memakai rangka dari besi behel 0,8 cm. Badan jaring memakai jaring PE multifilament dengan mesh size 0,25 inchi. Rangka bisa dibuat dari besi behel atau kawat baja dengan diameter 2-3 mm. Ukuran bubu adalah, Panjang: Lebar: Tinggi = 60:40:25-30 cm. Untuk tali pelampung, tali utama, dan tali pemberat semuanya memakai tambang yang disebut dengan tambang tros nama dagang dari tali yang dijual untuk kebutuhan perikanan dan kelautan berdiammeter 2,0 cm dengan panjang 8.000 – 10.000 m, sedangkan tali cabangnya berdiameter 1,0 cm. Konstruksi perangkap lipat dapat dilihat pada Gambar 7. Metode operasi dimulai dari persiapan semua kebutuhan yang diperlukan, kemudian pemasangan pemberat pada tali utama, penyambungan tali temali dan pemasangan pelampung tanda dikedua ujung tali utama. Setelah semua persiapan dilakukan, kemudian perahu menuju ke daerah penangkapan terpilih. Sambil menuju ke daerah penangkapan, dilakukan pemasangan umpan. Setelah sampai di daerah penangkapan, pelampung tanda dan alat tangkap diturunkan. Pemasangan alat tangkap di daerah penangkapan dipasang satu demi satu kemudian diuntai menjadi satu set dengan jarak satu dengan lainnya antara 10-15 m. Lama perendaman biasanya antara 3 – 4 hari. Keterangan : a : Rangka perangkap b : Badan jaring c : Mulut perangkap d : Engsel e : Pengait umpan Gambar 7 Konstruksi perangkap lipat kepiting Keberhasilan crustacea menemukan perangkap, masuk dan akhirnya tertangkap sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara tingkah laku hewan tersebut dengan rancangan dari perangkap, seperti: bentuk dan ukuran perangkap, besarnya celah pelolosan, ukuran pintu masuk, keadaan dan tempat umpan di letakan dalam perangkap dan perlengkapan lain yang digunakan agar hasil tangkapan tidak lolos atau lepas Krouse, 1988. Miller 1978 dalam Krouse 1988 menjelaskan penggunaan perangkap untuk menangkap kepiting Cancer irroratus, Cancer productus dan Hyas araneus menunjukkan bahwa hasil tangkapan terbesar terjadi pada perangkap yang memiliki pintu masuk lurus sepanjang tempat umpan yang berbau diletakkan. Cocok tidaknya lokasi pintu masuk sangat berhubungan dengan tingkah laku kepiting. Krouse 1988 menemukan kepiting jenis H. americanus dan C. irroratus lebih mudah masuk ke dalam perangkap yang memiliki pintu masuk yang terletak di bagian atas perangkap. Selanjutnya Jirapunpipat et al 2008, dalam penelitiannya tentang efek celah pelolosan pada perangkap lipat terhadap hasil tangkapan dan ukuran kepiting bakau S. olivacea, dengan mengujicobakan 5 celah pelolosan dengan ukuran dan letak yang berbeda pada perangkap, menemukan bahwa letak celah pelolosan pada bagian pinggir bawah perangkap menghasilkan jumlah pelolosan yang terbesar dan ukuran celah pelolosan 3 cm x 6 cm efektif untuk meloloskan S. olivacea yang undersized. Celah pelolosan tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat masuknya kepiting bakau kedalam perangkap. Disamping mereduksi kematian kepiting yang belum dewasa, celah pelolosan dapat mereduksi retensi target spesies yang tidak didinginkan yang tidak memiliki nilai komersial dan yang selalu dibuang. Selain itu, celah pelolosan juga mempersingkat waktu penyortiran oleh nelayan.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penangkapan dengan Perangkap

Menurut Krouse 1988, tertangkapnya Crustacea sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti faktor fisiologis dan tingkah laku dari hewan tersebut, termasuk didalamnya karakteristik dari perangkap. Sainsbury 1971, operasi penangkapan dengan perangkap menyebabkan keberhasilan sangat tergantung pada gerakan ikan menuju alat tangkap, tingkah laku ikan dan konstruksi perangkap, seperti ukuran mata dinding perangkap dan mulut. Secara teknis, ada dua macam faktor yang menyebabkan ikan dan hewan laut masuk ke dalam perangkap, yaitu melalui penciuman dan melalui penglihatan.

2.3.1 Umpan

Menurut Gunarso 1985, umpan memegang peranan yang sangat penting dalam penangkapan dengan perangkap. Umpan yang memenuhi syarat dapat merangsang indra penciuman dan rasa dari ikan dan Crustacea. Spence 1989, mengemukakan bahwa kepiting tertarik masuk ke dalam perangkap karena adanya umpan ikan segar berupa ikan sebelah yang dipotong-potong atau dalam keadaan utuh. Selain itu meningkatnya hasil tangkapan perangkap sangat tergantung pada ketahanan dan daya tarik dari umpan. Selanjutnya Philips et al, 1980 dalam Krouse 1988 menyatakan indra Crustacea yang berkembang baik adalah indra penciuman yang berfungsi untuk mendeteksi makanan terutama makanan yang berbau busuk. Respon penciuman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan antara lain temperatur dan salinitas dan faktor-faktor fisiologis seperti molting pergantian kulit dan kondisi reproduksi. Dari hasil seleksi yang telah dilakukan nelayan, ternyata faktor utama yang paling menentukan dari umpan adalah: ketersediannya, harga yang terjangkau, menarik, dan tersedia di daerah tempat perangkap di operasikan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan dengan perangkap adalah jumlah umpan yang dipergunakan, lokasi penempatan umpan dalam perangkap, frekuensi penggantian umpan dan cara pemasangan umpan apakah menggunakan tali atau kotak berlubang. Hasil penelitian menemukan bahwa ikan rucah jenis Myxine glutinosa dan bangkai ampipoda merupakan umpan yang baik dan tahan lama Krouse, 1988. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian skala laboratorium dilakukan pada bulan April – Mei 2011, di Laboratorium Tingkah Laku Ikan dan Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK- IPB. Perancangan alat dan pengambilan data lapanagan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 di Desa Mayangan dan Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian yang digunakan terbagi atas dua bagian, yaitu pada penelitian skala laboratorium dan penelitian skala lapangan.

3.2.1 Alat dan bahan skala laboratorium

Alat yang akan digunakan adalah : 1 Aquarium dengan alat dan bahan filterisasi air laut ; 2 Aerator untuk aerasi wadah pemeliharaan kepiting ; 3 Refrakto meter sebagai pengukur salinitas air ; 4 Bingkai frame perangkap ; dan 5 Coban untuk menjahit bagian dinding wall perangkap. Adapun bahan yang akan digunakan adalah : 1 Besi galvanis berdiameter 7 mm untuk membuat kerangka ; 2 Jaring nilon ukuran mesh size 1,5 inch untuk membuat dinding perangkap ; 3 Jaring warring 0,5 cm untuk membuat lintasan masuk ; 4 Benang nilon PE berdiameter  0,5 mm untuk menjahit dinding perangkap 5 Kepiting bakau Scyla spp. hidup yang berasal dari habitat asal lokasi penelitian ; dan 6 Pakan untuk makanan kepiting berupa ikan rucah dan udang.

3.2.2 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan

Alat dan bahan yang digunakan di lapangan terdiri atas : 1 Perahu sebagai media angkut ; 2 Alat tangkapperangkap lipat kepiting 25 unit ; 3 Alat tulis menulis untuk pencatatan data 4 Timbangan untuk mengukur berat hasil tangkapan; 5 Jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm untuk mengukur panjang, lebar dan tinggi karapas dari kepiting bakau yang tertangkap ; 6 GPS global positioning sistem sebagai alat bantu dalam menentukan lokasi penelitian. 7 Umpan berupa ikan segar. 8 Kamera digital untuk dokumentasi

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Metode penelitian skala laboratorium 1

Persiapan wadah Metode penelitian skala laboratorium dilakukan dengan persiapan awal yaitu menyiapkan 2 aquarium kemudian diisi dengan air laut yang berasal dari daerah Palabuhanratu dengan salinitas ±30 ‰. Aquarium pertama berukuran 70 cm x 50 cm x 60 cm digunakan sebagai aquarium filter yang dipasang instalasi aerasi untuk menyaring kotoran-kotoran agar air yang disalurkan ke aquarium kedua tetap jernih untuk pemeliharaan. Aquarium yang kedua berukuran 90 cm x 60 cm x 50 cm berfungsi sebagai media penampungan dan pemeliharaan kepiting. 2 Aklimatisasi Kepiting uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau Scylla spp sebanyak 12 individu dengan ukuran bervariasi yang diperkirakan sudah matang gonad. Kemudian ditampung dalam wadah dan diberi percikan air laut sebagai rangsangan awal yang berlangsung selama 25 menit, kemudian dimasukan kedalam aquarium yang telah berisi air laut selama 1 malam tanpa diberi pakan, agar kepiting tidak mengalami stres. Aklimatisasi dan adaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan dan pakan dilakukan selama 3 hari dan diberi pakan berupa potongan ikan segar dan juga udang. Kemudian individu kepiting dipindahkan ke wadah aquarium yang telah dipersiapkan untuk pemeliharaan selama observasi di laboratorium. 3 Penentuan celah pelolosan Penentuan ukuran celah pelolosan dilakukan dengan cara memberi sekat yang terbuat dari bahan kaca berukuran 50 cm x 40 cm, ditempatkan pada bagian tengah aquarium yang berfungsi sebagai pembatas kedua sisi ruang. Ruang pertama sebagai sebagai tempat kepiting, ruang kedua sebagai tempat umpan. Sebelumnya tidak dilakukan pemberian pakan terhadap kepiting, diharapkan kepiting akan agresif meraih umpan. Ukuran celah pelolosan ditentukan berdasarkan percobaan tinggi celah pelolosan saat dilewati oleh kepiting. Kepiting berukuran kecil akan dengan mudah melewati celah pelolosan, sebaliknya kepiting berukuran besar akan sulit melewati melewati celah pelolosan tersebut. Ukuran minimum kepiting yang melewati celah pelolosan diukur panjang karapas dan tinggi tubuhnya untuk digunakan dalam menentukan ukuran panjang dan lebar dalam mendesain celah pelolosan pada alat tangkap kepiting. Ilustrasi dari percobaan penentuan celah pelolosan ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8 Ilustrasi percobaan celah pelolosan Celah pelolosan ditempatkan pada bagian bawah, ini didasarkan pada hasil penelitian Jirapunpipat et al 2008, bahwa letak celah pelolosan pada bagian pinggir bawah perangkap menghasilkan jumlah pelolosan yang terbesar dan ukuran celah pelolosan 3 cm x 6 cm efektif untuk meloloskan S. olivacea yang undersized. 4 Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk pada perangkap lipat dilakukan untuk memperoleh sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk yang dapat dilalui oleh kepiting dalam waktu yang cepat. Hal ini dilakukan dengan melakukan ujicoba berdasarkan besar sudut kemiringan lintasan pintu masuk, mesh size dan bahan serta kecepatan waktu kepiting saat melintasi lintasan pintu masuk perangkap. Selanjutnya sudut kemiringan dan bahan jaring yang paling cepat dilalui oleh kepiting digunakan untuk mendesain perangkap. Beberapa jenis bahan jaring pembuat perangkap dari bahan jaring PE dan waring dijahit pada frame dan diletakan di dalam aquarium dengan sudut kemiringan tertentu untuk mengetahui kecepatan waktu kepiting melintasi pintu masuk. Ilustrasi percobaan penentuan sudut lintasan pintu masuk perangkap disajikan pada Gambar 9a dan 9b. Uji coba laboratorium terhadap sudut kemiringan lintasan pintu masuk mulai dari 0° - 45°, ditemukan bahwa kepiting ukuran sedang mampu memanjat dinding lintasan hingga sudut 45°, namun pada sudut 45° kepiting yang besar tidak mampu memanjat bahkan hingga terpental. Untuk dapat dilalui oleh semua kepiting, pemilihan sudut kemiringan lintasan pintu masuk ditentukan dengan interval 10°, yakni mulai dari 10°, 30°, dan 40°. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang terdapat pada alat tangkap kepiting milik nelayan pada umumnya adalah 20°, namun sudut ini sangat landai sehingga masih memungkinkan kepiting untuk menjangkau pintu masuk dan meloloskan diri melalui pintu masuk. Oleh karena itu penelitian dilaboratorium dilakukan dengan merubah ukuran dengan interval 10°. Sehingga sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30° dan 40° yang dipilih untuk dalam mendesain alat tangkap. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk ini dimksudkan untuk dapat menghalangi kepiting yang ada di dalam perangkap dalam upaya menjangkau pintu keluar secara langsung. Karena jarak antara dasar dan celah pintu masuk semakin tinggi. Sehingga tidak mudah dijangkau oleh kepiting untuk meloloskan diri melalui pintu masuk. Selain itu kemudahan dalam menkonstruksi celah pelolosan, karena penempatan celah pelolosan berada pada posisi yang proporsional sesuai dengan bentuk dan ukuran perangkap. a. Sudut 30° b. Sudut 40° Gambar 9 Ilustrasi percobaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk

3.3.2 Metode penelitian skala lapangan 1

Metode pengumpulan data Penelitian skala lapangan dilakukan dengan metode experimental fishing yakni dengan mengambil data melalui serangkaian operasi penangkapan. Pengoperasian alat tangkap dilakukan di daerah penangkapan kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Desa Legonwetan dan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pengoperasian berlangsung selama 11 hari, terhitung mulai tanggal 22 April sampai 2 Mei 2012 sebanyak 16 trip, dengan prosedur pengoperasian alat sebagai berikut: 1 Alat tangkap dioperasikan secara acak berdasarkan pada daerah penangkapan, sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat. Pengoperasian alat tangkap dilakukan 1 - 2 kali sehari pagi – sore atau sore – pagi dengan lama perendaman rata-rata sekitar 12 jam. Umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan ikan segar yang sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi penelitian. Umpan diperoleh dari tempat pelelangan ikan, yang secara ekonomis harganya tergolong murah dan dapat dijangkau oleh nelayan. 2 Alat tangkap dipasang atau dioperasikan dengan sistem tunggal dengan menggunakan pelampung sebagai penanda keberadaan alat tangkap di perairan. Setiap alat tangkap dioperasikan secara terpisah satu sama lain berdasarkan kode yang telah ditentukan. Setiap kode teridiri atas 5 alat tangkap, adapun bentuk kodenya adalah : A3 : Perangkap tanpa celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 30° A4 : Perangkap tanpa celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 40° B3 : Perangkap dengan celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 30° B4 : Perangkap dengan celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 40° BN : Perangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan setempat 3 Pengoperasian dimulai dari tahap persiapan di darat yaitu persiapan umpan dan persiapan alat tangkap, bahan bakar dan persiapan lainnya, selanjutnya menuju daerah penangkapan yang dituju, kemudian dilakukan pemasangan alat tangkap setting ke dalam perairan, alat tangkap perangkap ini sebelum diturunkan terlebih dahulu diberidipasangi umpan. Setelah semua perangkap dipasang dalam perairan, berarti operasi setting selesai dan kapal kembali ke darat. Perangkap dibiarkan terendam selama kurang lebih 12 jam ini sesuai kebiasaan nelayan setempat, kemudian operasi dilakukan untuk pengangkatan hauling alat tangkap tersebut. Hauling dilakukan satu per satu terhadap alat tangkap, sampai semua alat tangkap terangkat dari perairan ke atas kapal. 2 Metode pencatatan data Data yang diperoleh dicatat pada log book yang telah tersedia, meliputi: 1 HariTanggal, waktu setting, waktu hauling, posisi koordinat lokasi berdasarkan data GPS dan informasi ekologi pengamatan visual ; untuk data kualitas air, diambil sampel air di lokasi penelitian untuk selanjutnya dianalisa salinitasnya. 2 Kode perangkap, jumlah dan jenis hasil tangkapan ; 3 Ukuran kepiting : Panjang, Lebar, Tinggi karapas dan bobot tubuh ; 4 Jenis kelamin : Jantan atau Betina ; 5 Tingkat Kedewasaan : Muda atau Dewasa ; dan 6 Jumlah Kepiting yang berada di dalam perangkap baik di luar ataupun di dalam ruang pelolosan Prosedur yang dilakukan dalam pencatatan hasil tangkapan yang diperoleh yaitu, dihitung langsung jumlahnya dan dimasukkan dalam kantong plastik yang diberi kode sesuai dengan perangkapnya, untuk perangkap yang dilengkapi dengan ruang pelolosan setiap hasil tangkapan yang diperoleh dimasukkan dalam kantong plastik dengan membedakan antara yang berada dalam ruang pelolosan dan yang tidak. Kemudian hasil tangkapan yang diperoleh diidentifikasi jenisnya, dihitung jumlahnya, dan ditimbang beratnya, untuk hasil tangkapan kepiting bakau dan kepiting lainnya, diukur panjang karapas, lebar karapas dan tinggi tubuh serta bobot tubuh untuk keperluan analisis data. Adapun metode kerja pengukuran dan pengamatan aspek biologinya adalah: 1 Identifikasi jenis kepiting Identifikasi jenis kepiting dilakukan berdasarkan pengamatan langsung, dibedakan berdasarkan kepiting yang tertangkap, yaitu kepiting bakau, kepiting batu dan kepiting bolem, rajungan dan lain-lain. 2 Panjang, lebar dan tinggi karapas dan bobot tubuh Pengukuran panjang, lebar dan tinggi karapas dilakukan sampai skala terkecil 1 mm. Cara mengukur panjang karapas yaitu jarak antara duri bagian tengah diantara ruas mata sampai pada bagian belakang karapas, lebar karapas yaitu jarak horisontal antara ujung-ujung dari anterolateral kesembilan, sedangkan tinggi karapas adalah jarak vertikal antara bagian atas karapas sampai bagian bawah abdomen. Sedangkan bobot tubuh diukur sampai skala terkecil 1 gram. Pengukuran ini dilakukan di darat, setelah semua hasil tangkapan didaratkan. 3 Karakter jenis kelamin Jenis kelamin jantan dan betina dibedakan melalui ciri kelamin. Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau didasari pada Siahainenia, 2008 : 1 Perbedaan proporsi cheliped terhadap panjang karapas. 2 Bentuk tutup abdomen. 3 Kehadiran pasangan bukaan kelamin oviduct openings pada tulang rongga dada thoraric stenum . 4 Jumlah dan bentuk pleopod. 4 Karakter dewasa kelamin Ukuran dewasa kelamin adalah ukuran lebar karapas kepiting bakau ketika memasuki masa dewasa kelamin yang ditandai oleh perubahan morfologis tubuh kepiting bakau. Karakter kepiting bakau jantan dewasa kelamin dapat ditentukan melalui pengamatan dan perbandingan terhadap morfologi maupun tanda-tanda khusus pada tubuh kepiting bakau jantan dewasa kelamin dan pradewasa kelamin Siahainenia, 2008 yaitu sebagai berikut : 1 Kerapatan tutup abdomen abdominal flap pada tulang rongga dada thorachic sternum. 2 Pigmentasi pada ujung atas thorachic sternum. 3 Ukuran chela. 4 Tanda-tanda luka scaring pada permukaan tubuh terutama pada cheliped. 5 Adanya goresan atau pengikisan permukaan kulit integument erosion. Karakter kepiting bakau betina dewasa kelamin dapat digambarkan melalui pengamatan dan perbandingan terhadap morfologi maupun tanda-tanda khusus pada tubuh kepiting bakau betina dewasa kelamin dan pradewasa kelamin sebagai berikut : 1 Ukuran dan bentuk tutup abdomen abdominal flap. 2 Pigmentasi pada tutup abdomen. 3 Kerapatan tutup abdomen pada tulang rongga dada thorachic sternum. 4 Bentuk bukaan kelamin oviduct opennings. 5 Bentuk tutup abdomen dan pleopod. 6 Pigmentasi pada ujung atas thorachic sternum. 7 Bentuk rambut pada ruas-ruas kaki jalan dan kaki renang endopod.

3.4 Metode Analisa Data

3.4.1 Efisiensi dan produktivitas perangkap

Efisiensi hasil tangkapan perangkap lipat dengan perlakuan terhadap sudut kemiringan pintu masuk yang berbeda, tanpa atau dengan celah pelolosan dianalisis dengan analisis varians ANOVA Jirapunpipat, 2008. Data dianalisis menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS Statistical Produk and Servicer Solutions versi 17.

3.4.2 Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL dengan uji faktorial, terdiri atas dua faktor, yaitu faktor pertama A = sudut kemiringan dinding dengan 2 taraf 30 o , 40 o , faktor kedua B adalah jenis perangkap dengan 2 taraf, perangkap tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan. Jadi faktor A dengan 2 taraf sebanyak a = 2; faktor B dengan taraf sebanyak b = 2. Maka dalam setiap kombinasi perlakuan terdapat n buah unit eksperimen pengamatan, maka model linear matematik yang tepat untuk rancangan faktorial a × b, menurut Sudjana 1985, adalah : Keterangan : Yijk : Hasil tangkapan pada taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, dan taraf Ulangan ke-k yang terdapat pada pengamatanunit perlakuan ke-n; µ : Efek rata-rata yang sebenarnya nilai konstan; Ai : Efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor A; Bj : Efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor B; ABij : Komponen interaksi dari faktor A dan B eijk : Efek sebenarnya unit eksperimen ke-i disebabkan oleh kombinasi perlakuan ijk; i : 1, 2, a ; taraf sudut kemiringan; dan j : 1, 2, b ; celah pelolosan; k : 1, 2, n = r Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + eijk.

3.4.3 Analisis selektivitas perangkap

Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan alat tangkap untuk mengurangi atau menyeleksi hasil tangkapan dari ukuran yang tidak diinginkan dan hasil tangkapan yang tidak ditargetkan. Pengukuran selektivitas perangkap kepiting bakau yang digunakan adalah metode tidak langsung yang dilakukan dengan menggunakan metode celah pelolosan. Celah pelolosan terbuat dari bahan plastik sold dengan ukuran p x l 4 cm x 6 cm dan 5 cm x 7 cm. Analisis selektivitasnya menggunakan pendekatan model logistik. Panjang 50 yang tertangkap dari kepiting bakau L 50 diestimasi dari panjang karapas CL kepiting yang tertangkap. Fungsi logistik digunakan untuk memperoleh kurva selektivitas penangkapan Holt, 1963 yang diacu dalam Jirapunpipat 2008 : S L = 1 1 – e a-bL Dimana : S L = presentase akumulatif kelas panjang karapas L = nilai tengah kelas panjang karapas a dan b adalah parameter yang menentukan kurva selektivitas Panjang karapas ketika tertangkap 50 CL 50 dari kepiting bakau dihitung dari : CL 50 = ab Ukuran rata-rata ketika pertama kali matang gonad seringkali digunakan sebgai ukuran legal untuk penangkapan spesies decapoda Hilborn dan Walters, 1992 dan ukuran ketika pertama kali matang gonad kepiting bakau Scylla spp dalam penelitian ini diestimasi berdasarkan lebar karapas jarak horisontal antara ujung-ujung dari anterolateral kesembilan. Oleh karena itu CL 50 ditransformasikan ke CW 50 menggunakan persamaan regresi linear : CW = a + b x CL. Sebagai akibat pertumbuhan hewan dalam tingkat yang sama pada semua dimensi linier, lebar dan berat adalah proporsional satu sama lain King, 1995. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang

Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan batas koordinat yaitu 107°31’ – 107°54’ Bujur Timur dan 60°11’ – 60°30’ Lintang Selatan. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999. Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :  sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung  sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa  sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang  sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta Luas Wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 hektar atau sekitar 6,34 dari luas Propinsi Jawa Barat, sedangkan range ketinggian tempat antara 0–1500 m dpl di atas permukaan laut. Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu BPS Subang dalam angka, 2011 : 1 Daerah pegunungan dengan ketinggian 500-1500 m dpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah 41.035,09 Ha atau 20 dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 2 Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 m dpl dengan luas wilayah 71.502,16 Ha atau 34,85 dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 3 Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas wilayah 92.639,7 Ha atau 45,15 dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya 52 aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi 4 empat wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan Pusakanagara. Desa Mayangan dan Desa Legonwetan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Legonkulon. Desa Mayangan terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan memiliki luas 678.37 Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa Mayangan cukup produktif. Sedangkan Desa Legonwetan terletak di bagian utara dari Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Legonkulon, yang memiliki luas 706 Ha. Dengan batas wilayah Sebelah Barat berbatasan dengan Tegal Urung, sebelah Selatan dengan Desa Mayangan, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pengerengan dan sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.

4.2 Faktor Klimatologi Perairan Pantai Kabupaten Subang