Latar Belakang Perfomance of Collapsible Crab Traps in Mayangan and Legonwetan, Subang, West Java

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau dari genus Scylla merupakan spesies bentik yang memiliki distribusi luas mulai dari Madagaskar sampai laut Hindia, sepanjang pantai Laut Cina Selatan hingga bagian utara Jepang Shokita et al., 1991; Keenan et al., 1998; Overton dan Macintosh, 2002 dalam Jirapunpipat et al., 2009. Di wilayah Asia tenggara, kepiting bakau Scylla spp. sebagai sumber pangan yang merupakan sumber makanan laut yang penting juga sumber nafkah oleh masyarakat pesisir. Saat ini, eksploitasi dan budidaya kepiting bakau di Asia mengalami peningkatan, di banyak negara permintaan kepiting bakau dari segala ukuran, meliputi kepiting bakau betina dewasa untuk pasar premium dan kepiting kulit lunak hasil budidaya kepiting soka sebagai bahan makanan baru, terus bertambah Cholik, 1999; Le Vay, 2001. Ada empat jenis kepiting bakau yang umumnya dikonsumsi masyarakat, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla olilvacea, Scylla paramamosain. Jenis organisme ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama jika dalam kondisi masih hidup, segar dan tidak ada satupun bagian tubuhnya yang cacat atau terluka. Scylla olivacea dan S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal. Scylla olivacea, sering disebut orange mud crab merupakan salah satu spesies dari kelas Crustacea yang hidup di perairan estuari dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Menurut Nontji 1993, kepiting bakau jenis S. serrata sangat disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi. Sebagian besar produksi kepiting bakau oleh nelayan didapat dari alam. Hasil tangkapan ini berupa, juvenil untuk budidaya di tambak, kepiting dewasa ataupun muda untuk penggemukan, dan kepiting matang telur untuk pasar premium Le Vay, 1998. Besarnya jumlah permintaan untuk kebutuhan diatas, memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan terhadap populasi kepiting bakau. Akibatnya, sumberdaya kepiting bakau semakin berkurang. Ditambah lagi, dengan adanya konversi kawasan mangrove menjadi areal pertanian dan budidaya pantai, pemukiman dan penebangan kayu untuk bahan bakar atau kebutuhan lainnya, abrasi, dan sebagainya, menyebabkan terjadinya degradasi habitat kepiting bakau. Akumulasinya, menyebabkan berkurangnya kepiting bakau di alam dan berkurangnya hasil tangkapan. Untuk itu, upaya seperti mengurangi tekanan penangkapan, restorasi habitat mangrove dan perbaikan stok dapat dilakukan sebagai pendekatan untuk meringankan akibat dari overfishing dan degradasi lingkungan terhadap populasi kepiting bakau Le Vay, 2001; Walton et al., 2006; Jirapunpipat et al. 2008 dalam Jirapunpipat et al., 2009. Upaya untuk mengurangi tekanan penangkapan akibat overfishing, dapat dilakukan dengan salah satu cara yaitu penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan adalah alat tangkap yang jika digunakan dapat memenuhi prinsip-prinsip konservasi sumberdaya yang di eksplotasi. Di Indonesia, kepiting bakau ditangkap dengan berbagai alat tangkap, diantaranya pancing kepiting, pinturrakkang, perangkap lipat dan sebagainya. Namun yang populer sampai saat ini adalah dari jenis perangkap karena dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, perangkap memberikan hasil tangkapan dengan kualitas terbaik. Kepiting masih dalam kondisi hidup dan tidak cacat. Salah satu jenis perangkap yang banyak dioperasikan saat ini adalah perangkap lipat. Namun, selama ini alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi Siahainenia, 2008, perangkap lipat yang dioperasikan oleh nelayan cenderung menangkap kepiting bakau dari semua jenis ukuran tanpa ada seleksi ukuran, karena memang belum ada aturan di Indonesia yang mengatur tentang pembatasan ukuran kepiting yang harus ditangkap, disamping itu hasil tangkapan sampingan yang banyak dan kebanyakan memiliki nilai ekonomis yang kecil atau tidak ada sama sekali. Hasil tangkapan kepiting dan spesies non target lainnya seringkali dibuang kembali ke perairan jika tidak diperlukan. Penangkapan dan penanganan semacam ini dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting bakau karena tidak ada kesempatan untuk proses produksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok barurekruitmen Siahainenia, 2008, dan dapat memberikan dampak yang serius terhadap perikanan dimasa datang Winger and Walsh, 2007. Perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan hasil introduksi dari Taiwan sehingga oleh nelayan setempat sering disebut badong Taiwan dengan ukuran panjang p x lebar l x tinggi t = 70 cm x 51 cm x 38 cm. Perangkap ini mulai diperkenalkan pertama kali sejak tahun 2001 oleh nelayan andon nelayan Cirebon yang bermukim di Jakarta atau ikut kapal nelayan asing. Nelayan tersebut kemudian mencoba membuat duplikat dari perangkap lipat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih sederhana yaitu berukuran p x l x t = 52 cm x 33 cm x 20 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai ukuran p x l x t = 44 cm x 28 cm x 15 cm Gardenia, 2006. Desain dan konstruksinya tidak berubah dan digunakan untuk menangkap segala jenis organisme air, baik ikan, keong maupun kepiting. Padahal untuk memaksimalkan jumlah tangkapan, maka perangkap lipat harus diperbaiki dan rancangbangunnya disesuaikan dengan organisme yang menjadi tujuan penangkapan. Ini tidak terkecuali untuk perangkap lipat yang ditujukan untuk menangkap kepiting bakau. Beberapa penelitian merekomendasikan bahwa fokus penelitian terhadap modifikasi perangkap dapat mereduksi tertangkapnya organisme yang belum layak tangkap untuk memperbaiki dan mempertahankan keberlanjutan stok Grant, 2003; DFO, 2005; FRCC, 2005 yang diacu dalam Winger and Walsh, 2007. Ada beberapa pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi hasil tangkapan kepiting belum dewasa pada perangkap, seperti pemasangan celah pelolosan, peningkatan ukuran mata jaring, modifikasi bentuk mesh mata jaring, penyesuaian bentuk perangkap atau desain pintu masuk Boutson et al., 2008.

1.2 Perumusan Masalah