Sifat Fungsional Protein Protein Fractionation and Functional Properties Characterization of Okara Flour

8 jumlah yang mirip dengan tepung kedelai. Asam uronat pada WUS merupakan 90 dari jumlahnya pada tepung kedelai. Adapun Aspinall et al. 1967a, b diacu dalam Yamaguchi et al. 1996 menyatakan bahwa asam uronat yang terdapat pada kotiledon tepung kedelai umumnya berupa asam galakturonat. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya pektin yang terdapat pada okara dan strukturnya lebih kompleks daripada dinding sel tanaman lainnya Huisman et al. 1998; Aparicio et al. 2010. Komposisi serat tak larut, serat larut, dan total serat pada biji kedelai dan okara dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8 Komposisi gula pada tepung kedelai dan water-unextractable solid Fraksi Rha Fuc Komposisi Gula mol Ara Xyl Man Gal Glc Kandungan Uronic karbohidrat a acids Tepung kedelai b WUS 2 2 3 3 19 19 8 8 3 2 28 29 21 21 18 17 14,5 89,3 a b dinyatakan sebagai ww. setelah pati dihilangkan secara enzimatis. Sumber: Huisman et al. 1998 Okara memiliki ikatan silang polimer galakturonat di antara gugus karboksilnya, disebut dengan bagian consisted “egg-box” dan bagian non-egg- box terdapat protein hidrofobik. Struktur serat okara seperti pada Gambar 1. Apabila tidak terdapat senyawa pengkelat chelator, maka okara akan terhidrolisis melalui mekanisme degragasi permukaan. Berdasarkan analisa pembentukan polisakarida larut air, tampak bahwa bagian egg-box pada okara mudah terdegradasi dengan adanya senyawa pengkelat, karena senyawa pengkelat tersebut melepaskan Ca 2+ dan menghilangkan struktur okara O’Toole 1999.

2.4 Sifat Fungsional Protein

Pemanfaatan protein dalam suatu pangan hendaknya memenuhi beberapa karakteristik yang diharapkan dan dikenal dengan berbagai sifat fungsional functional properties. Sifat-sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang mempengaruhi peran protein dalam sistem pangan selama persiapan, proses pengolahan, penyimpanan dan konsumsi, serta kontribusinya terhadap kualitas dan sifat sensoris sistem pangan tersebut Zayas 1997. Sifat fungsional umumnya merupakan kombinasi simultan antara beberapa sifat fisis dan kimia at ur m at CP Nilai gula netral menunjjukkan NCP netral setelah dikalikan denngan faktor 0,888 Nilai asam uronat menuunjukkan NCPP asam setelahh dikalikan denngan faktor 0,,91 m Nilai glukkosa menunjukkkan CP setelaah dikalikan dengan faktor 0,89 d NSP meruupakan jumlahh seluruh kom mponen NCP + CP AC at 9 selama peengolahan pangan dan tidak dapa dengan mudah diuku menggunnakan pengujian fisis dan kiimia tunggaal. Tabeel 9 Kompoosisi serat ttak larut, seerat larut, daan total seraat pada biji kedelaai dan okaraa Biji keedelai Okkara Komponnen mg100 g baahan kering Serat tak Serrat Tootal mg100 g bbahan keringg Sera tak Seerat Tootal laruut larrut serrat larrut laarut seerat Ramnosa Fukosa Arabinosaa Xilosa Manosa Galaktosaa Glukosa Asam uronnat total NCP netraal 1 NCP asam 2 3 NSP 4 00,25 00,22 1,72 1,41 00,50 22,79 44,73 1,61 13,23 00,12 nd 00,57 00,07 00,21 11,08 00,13 00,98 33,16 0,37 0,22 2,29 1,48 0,71 3,87 4,86 2,58 166,38 7,95 2,35 4,33 144,63 0,55 0,41 5,74 5,08 1,00 9,04 144,86 3,76 40,44 0,30 0,04 0,61 0,05 0,26 1,79 0,15 1,27 4,46 0,85 0,45 6,35 5,14 1,26 10,83 15,00 5,03 44,91 22,14 4,58 13,35 40,07 Nilai rata-raata dari n = 6. Data ditentuukan menggunnakan GC berddasarkan prosedur Englyst setelah enzymmatic digestion seperti pada metode AOA gravimetri NCP = Non cellulosic pollysaccharides, CP = Celluloosic polysacchharides, NSP = Non-starch polysaccharrides . 1 2 3 4 Sumber: Apparicio et al. 22010 Sumber: Yoshii et al. 1996 diacu dalam O’Toole 1999 Gambar 1 Model sttruktur kommponen sera pada okarra M ,A 10 Sifat fungsional protein dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: 1 sifat hidrasi, seperti kelarutan atau kemampuan menahan air; 2 sifat permukaan, seperti emulsifikasi dan pembentukan buih; dan 3 interaksi antar protein, seperti gelasi Smith 2003. Berbagai sifat fungsional protein yang mempengaruhi peran protein seperti: kelarutan, daya serap air, daya serap minyak, kapasitas dan stabilitas emulsi, serta kapasitas dan stabilitas buih, koagulasi, gelasi pembentukan gel, pembentukan adonan. Sifat-sifat fungsional protein ini terkait erat dengan jenis protein itu sendiri. Jenis protein yang dimaksud berhubungan dengan sumber protein tersebut, seperti protein daging, protein susu, protein kedelai, dan sebagainya. Aspek dan hubungan antar sifat-sifat fungsional protein pada sistem pangan dapat dilihat pada Gambar2. Protein BINDING Fat H 2 O TEXURAL PROPERTIES PROPERTIES Fat Binding Energy Sorption H 2 O Protein and Bound Fat Protein and Sorbed H 2 O Texturization Textured Protein H 2 O H + , OH – Solubility + + Coagulum H 2 O SURFACE PROPERTIES Protein Energy in Solution Coagulation Fat Emulsification Energy Air Foaming Energy H + , OH – M + , A + Gel Gelation Protein - Lipid Emulsion Protein - Air Foams Sumber: Phillips Beuchat 1981 diacu dalam Pomeranz 1991 Gambar 2 Aspek dan hubungan antar sifat-sifat fungsional protein pada sistem pangan Sifat fungsional protein dipengaruhi oleh sifat molekuler protein yang dapat dimodifikasi dengan perlakuan pengolahan, faktor lingkungan, dan interaksi dengan komponen lain, seperti karbohidrat, lipid, dan protein yang lain. Kondisi lingkungan seperti pH, kekuatan ionik, jenis garam, kandungan air, potensial 11 oksidasi-reduksi, dapat mempengaruhi sifat fungsional protein dalam suatu pangan. Perlakuan pengolahan yang dimaksud seperti pemanasan, pengeringan, penekanan, dan pembekuan. Sifat fungsional protein umumnya berubah selama penyimpanan terkait dengan adanya reaksi fisis dan kimia yang terjadi, seperti: agregasi protein, denaturasi, aktivitas enzim, oksidasi lipid, dan kerusakan oleh kristal es, serta faktor lainnya Smith 2003.

2.4.1 Kelarutan

Solubility Sifat fungsional protein umumnya dipengaruhi oleh kelarutan protein. Protein tak terlarut memiliki keterbatasan penggunaan dalam pangan. Kelarutan protein merupakan kesetimbangan antara interaksi antar protein dengan interaksi antara protein dan solven. Interaksi utama yang mempengaruhi kelarutan adalah interaksi hidrofobik dan ionik. Interaksi hidrofobik menyebabkan interaksi antar protein sehingga menurunkan kelarutan sedangkan interaksi ionik menyebabkan interaksi antara protein dengan air sehingga meningkatkan kelarutan. Residu ionik menyebabkan dua gaya tolak menolak antar molekul protein dalam larutan, yaitu gaya repulsif elektrostatik antar protein yang memberikan muatan positif atau negatif pada pH selain titik isoelektriknya dan terkait lapisan hidrasi di sekeliling gugus ionik. Proses pelarutan mempertimbangkan perubahan energi interaksi intermolekuler yang menyertai pencampuran antara solut fase terlarut dan solven fase pelarut. Mekanisme proses dapat terjadi dalam 3 tahapan seperti pada Gambar 3. Tahap pertama berupa berubahnya molekul solut dari fase solut murni menjadi fase uap. Tahap kedua yaitu dengan pembetukan lubang pada pelarut untuk tempat bergabungnya molekul solut. Tahap ketiga merupakan tahap saat fase molekul solut bebas mengisi lubang yang ada pada solven Augustijns Brewster 2007.

2.4.2 Daya Serap Air

Water Absorption CapacityWAC Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air akibat adanya gaya, tekanan, sentrifugasi, dan pemanasan. Parameter ini umum D Glu T Tyr His , Lys e, 12 digunakann sebagai ffaktor penenntu dan peembatas dallam pengguunaan proteein di pangan. Sumber: Augustijns Brewster 20007 Gaambar 3 Hippotesis tahaapan proses pelarutan Mollekul air meengikat bebberapa guguus pada protein. Hal inni terkait deengan gugus bermuatan iion-dipole interactions; gugus peptida uttama backkbone peptide ; ggugus amidda pada Asnn dan Gln; gugus hidrroksil pada residu Ser,, Thr, dan Tyr all dipole--dipole inteeractions; dan residuu nonpolar dipole-indduced dipole intteraction , hidrasi hiddrofobik Damodaran 1996. Kapasitas hidrasi protein terrkait dengann komposissi asam amiino, yaitu seemakin bannyak residu yang bermuatan maka penngikatan air akan makiin meningkkat. Kapasita hidrasi residu asam aminno seperti pada Tabel 110. Tabbel 10 Kapaasitas hidrassi a residu assam amino Kelomppok Polar Ionik Nonpollar Residu asaam amino Asn, Gln, Ser, Thhr, Trp Pro,Tyr Asp uunionized, Glu unionnized Arg uunionized Lys uunionized Asp - - - Arg + + + Ala, Gly, Val, Ile Leu, Met Hiddrasi mol h 2 omol residdu 2 3 2 3 4 6 7 3 4 1 a Phe 0 dinyatakkan sebagai aair yang tidakk dapat beku unfrozen waater pada assam amino reesidu berdasarrkan analisis ppolipeptida meenggunakan nuuclear magneetic resonancee. Sumber: Damodaran 19996 B ar se se ai 13 Mekkanisme prroses pengiikatan air oleh proteiin terjadi dalam bebberapa tahapan. Gugus ionik dengan afinitas tingg akan meengalami lebih dahulu pada kondisi akktivitas air yyang rendahh, dilanjutkkan gugus polar dan noonpolar. Tahhapan pengikatann air dapatt dilihat padda Gambarr 4 dan skeema lapisann hidrasi prrotein seperi padda Gambar 55. Sumber: Daamodaran 19996 Gambar 4 Tahapan hidrasi prootein. A Protein unnhidrasi. B Hidrasi awal terjadi ppada guguus bermuattan. C Air membbentuk forrmasi mengeliliingi sisi pola dan bermmuatan. D Hidrasi terjjadi pada eluruh permukaaan yang pollar. E Hiddrasi hidrofofobik pada bagian nonppolar; lapisan monolayer terbentuk empurna. F Pembenntukan hubuungan antara airr yang teriikat dengann protein ddan air bebbas. G Hidrasi hidrodinaamis telah teerjadi sempuurna Moddel diasumssikan terdappat sejumlahh molekul aair pada permukaan prrotein dan tipe aair ini dikennal dengan istilah air terikat. Moolekul air yaang terikat tidak terikat seccara permannen tetapi erikat lebih kuat dibanndingkan moolekul air bebas. Air yang tidak terikat langsung dengan permmukaan prottein tetapi tetap berada pada lapisan hiidrasi dikennal dengan air bebas. Pertukarann antara aiir bebas daan air terikat terjjadi secara simultan dan konstan Gu Schhoenborn 19995 diacu dalam Pal et al. 2006. Inteeraksi antar molekul air maupun antara mollekul air deengan rantai sammping asam amino pad rantai olipeptida terjadi dalam bentuk ikatan hidrogen. Ikatan hidrrogen moleekul air terjjadi sebaga akibat peerbedaan muatan n, 14 parsial daari perbedaaan keelektroonagatifan antara oksigen dan hiddrogen Gaambar 6. Keteerangan: : atom oksiggen dari suatu molekul air : atom hidrogen dari suatuu molekul air S : ikatan hidroogen : perubahanaan antara air teerikat dan air bebas : difusi masuuk dan keluar lapisan hidrassi Sumber: Pal et al. 2006 Gambar 5 Skkematis lappisan hidrasi protein Sumber: Sheeehan 2009 Gambar 6 Ikatan hidrrogen antaraa molekul aair dengan pprotein Day serap air dipengaruhi oleh konnsentrasi prrotein, pH, kekuatan ionik, suhu, kommponen lain dalam panggan, garam, pemanasan dan konddisi penyimppanan 15 Zayas 1997. Protein akan mengikat air lebih banyak saat pH berada di atas maupun di bawah pI. Kondisi ini terkait dengan meningkatnya muatan dan gaya repulsifnya. Daya ikat air protein secara umum lebih besar pada pH 9 – 10 dibandingkan pH lainnya Fennema 1996. Hal ini terkait dengan terionisasinya sulfidril dan residu tirosin. Muatan positif pada gugus ε-amino akan hilang di atas pH 10 sehingga mereduksi air yang terikat pada protein tersebut. Perubahan konformasi protein selama pengolahan terjadi umumnya akibat adanya pemanasan. Pemanasan menyebabkan terbukanya struktur rantai polipeptida dan dikenal dengan istilah denaturasi. Kapasitas pengikatan air pada protein terdenaturasi umumnya meningkat 10 lebih besar daripada native protein . Hal ini terkait dengan peningkatan area permukaan terhadap rasio massa yang terekspos. Denaturasi yang menyebabkan terjadinya agregasi protein akan menurunkan kapasitas pengikatan air karena adanya interaksi antar protein tersebut Damodaran 1996.

2.4.3 Daya Serap Minyak

Oil Absorption CapacityOAC Daya serap minyak merupakan salah satu sifat yang dimiliki protein dan sangat perlu untuk membantu penggunaan protein tersebut dalam olahan pangan dalam bentuk emulsi. Sumber protein, kondisi proses pengolahan, komposisi bahan tambahan, ukuran partikel, dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi protein dalam mengikat minyak Zayas 1997. Kinsella dan Sathe et al. diacu dalam Zayas 1997 menyatakan bahwa penyerapan minyak ditentukan dengan pengikatan minyak oleh bagian nonpolar protein. Pengikatan minyak oleh protein tanaman merupakan kombinasi pengaruh dari konsentrasi protein, jumlah sisi nonpolar, serta interaksi antara protein, lipida, dan karbohidrat. Kapasitas protein dalam mempertahankan lipida dipengaruhi interaksi protein-lipida dan susunan ruang pada fase lipida yang ditentukan oleh interaksi antar lipida tersebut Zayas 1997. Interaksi antara protein dan lipida dipengaruhi oleh ikatan – ikatan hidrofobik, elektrostatis, hidrogen, dan nonkovalen. Ikatan hidrofobik merupakan ikatan yang sangat penting dalam menstabilkan kompleks protein-lipida. as te jem W Em se em lem em ar am o. E em 16

2.4.4 Kaapasitas daan Stabilita Emulsi Emulsion CapasityEC and Emyylsion

StaabilityES Emuulsi merupakan sistem dispersi dari satu atau lebbih cairan yang sebenarnyya tidak dappat bercamppur. Campuuran tersebuut distabilkkan oleh aggensia pengemulsi, yaitu yanng dapat meembentuk laapisan film yang menghhubungkan antar cairan terssebut interfface film. PProtein dapaat mengadsoorpsi minyaak karena addanya residu asaam amino hiidrofobik yaang dapat erlepas dari matriks mbatan hidrrogen di sekelilling molekkul air Beelitz 2009. Hal ini mengakibaatkan terjadinya penggantiaan molekul air yang terdapat pad bagian hidrofobik lapisan pemmbatas antara minnyak dan air interfacce dengan minyak. Emulsi dalam pangan dapat berupa 2 tipe, yaitu minyak dalam air OW dan air daalam minyak WO. mulsi dengan sisstem OW umumnya membentuk tekstur yanng creamy edangkan mulsi dengan sisstem WO memiliki teekstur greassy. Ilustrasii pelapisan molekul prrotein pada tetesan minyak maupun mak seperti pada Gambbar 7. Sumber: Culbertson 22006 Gambar 7 Pembentuukan proteein menstaabilkan mulsi. Proteein ditunjuukkan dengan gabungan lingkarann dan buujur sangkkar. Lingkaran melambanngkan residdu asam amiino hidrofiliik dan terorrientasi padaa fase polar. Buujur sangka melambaangkan residu asam mino hidroofobik dan teroriientasi padaa fase nonpoolar. Garis ppenghubungg melambanngkan ikatan pepptida yang menghubunngkan antar asam amino Karaakteristik eemulsi dinnyatakan dalam kapaasitas emullsi Emulsiifying Capacity EC dan stabilitas mulsi Emulssifying StabbilityES. Kapasitas emulsi EC meruupakan jummlah minyak ml yang dapat menggemulsi 1 grram protein pada 17 kondisi tertentu. Agensia pengemulsi yang menentukan kapasitas emulsi tergantung pada kemampuannya membentuk lapisan film yang dapat mengadsorpsi di sekeliling globula dan menurunkan tegangan permukaan lapisan pembatas minyak-air oil-water interface Zayas 1997. pH mempengaruhi total muatan dan kesetimbangan elektrostatis pada dan antar protein serta memodifikasi kemampuan protein tersebut untuk berinteraksi hidrofilik dan lipofilik Elizalde et al. 1996. Stabilitas emulsi ES merupakan kemampuan emulsi untuk mempertahankan dispersinya tanpa adanya pemisahan. Kapasitas dan stabilitas emulsi dipengaruhi oleh asal dan konsentrasi protein, pH, kekuatan ionik, dan viskositas sistem. Karakteristik emulsi yang dihasikan dipengaruhi desain peralatan, suhu minyak, dan larutan protein Zayas 1997. Stabilitas emulsi tidak dipengaruhi oleh kesetimbangan antara karakteristik hidrofilik-lipofilik protein tetapi terutama besarnya WAC protein hidrofilik Elizalde et al. 1996. Emulsi dengan stabilitas yang tinggi dapat diperoleh dengan mengkombinasikan beberapa agensia pengemulsi dengan tetap memperhatikan nilai kesetimbangan hidrofilik lipofilik HLB. Zayas 1997 menyatakan bahwa penurunan tegangan permukaan dan antarmuka yang maksimal dapat dicapai saat indeks absorpsi air-minyak mendekati 2,0, yaitu absorpsi air oleh protein dua kali lebih besar daripada absorpsi terhadap minyak. Protein yang cocok digunakan sebagai agensia pengemulsi pada emulsi minyak dalam air hendaknya memiliki berat molekul yang rendah, komposisi asam amino yang seimbang antara residu bermuatan, polar, dan nonpolar, kelarutan yang baik dalam air, serta dapat membentuk permukaan hidrofobik yang baik dan konformasinya stabil Belitz 2009. Perubahan interaksi elektrostatis akan mempengaruhi interaksi hidrofobik dan Van der Walls serta ikatan hidrogen. Kekuatan interaksi-interaksi tersebut merupakan faktor kritis dalam mengoptimasi sifat emulsifikasi protein pangan Elizalde et al. 1996. Kapasitas emulsi protein kedelai tergantung pada kesetimbangan antara karakteristik dan perubahan kesetimbangan hidrofilik-lipofilik protein terutama nilai lipofilik terkait dengan perubahan pH yang besar dan berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas emulsi Elizalde et al. 1996. 18 Kelarutan protein merupakan faktor yang penting dalam menentukan karakteristik pembentukan emulsi oleh protein. Tingkat kelarutan yang semakin meningkat akan menyebabkan terbentuknya emulsi dan foam yang semakin stabil pula Zayas 1997. Kelarutan protein ini lebih berkontribusi terhadap kualitas emulsi dibandingkan terhadap jumlah minyak yang diperlukan untuk mengemulsi. Protein tak terlarut akan bersatu dan membantu meningkatkan kestabilan emulsi.

2.4.5 Kapasitas dan Stabilitas Buih

Foam CapacityFC and Foam StabilityFS Buih merupakan dispersi gas dalam cairan. Protein dapat menstabilkan buih dengan cara membentuk lapisan film yang fleksibel dan kohesif. Cherry McWatters diacu dalam Zayas 1997 menyatakan bahwa protein dalam cairan film harus: 1 dalam terlarut dalam larutan encer aqueous; 2 dapat terkonsentrasi pada lapisan pembatas air-udara; dan 3 berada pada kondisi terdenaturasi sehingga akan meningkatkan viskositas dan kekuatannya. Protein akan teradsorpsi pada lapisan pembatas interface melalui area hidrofobik dan diikuti dengan denaturasi permukaan partial unfolding. Adanya reduksi tegangan permukaan menyebabkan adsorpsi protein dan memfasilitasi pembentukan interface baru dan selanjutnya membentuk gelembung gas. Semakin cepat molekul protein terdifusi dalam interface maka denaturasi akan makin cepat terjadi sehingga buih akan semakin stabil Belitz 2009. Zayas 1997 menjelaskan bahwa pembentukan buih meliputi 3 tahapan, yaitu: 1 Protein globular terlarut terdifusi pada lapisan pembatas udara-air air- water interface , terkonsentrat dan menurunkan tegangan permukaan; 2 Struktur protein terbuka unfold pada interface sehingga terorientasi bagian hidrofilik pada bagian polar dan hidrofobik pada bagian nonpolar; 3 Interaksi polipeptida membentuk lapisan film dengan dimungkinkan terjadi denaturasi dan koagulasi parsial. Protein akan terabsorpsi dengan cepat dan membentuk lapisan film yang stabil di sekeliling gelembung yang mendukung terbentuknya buih. Adsorpsi protein secara spontan dari bentuk larutan menjadi lapisan pembatas antara udara dan cairan airaqueous interface sangat mempengaruhi buih yang dihasilkan. Kondisi ini terkait dengan dehidrasi simultan pada lapisan 19 permukaan hidrofobik hydrophobic interface dan bagian hidrofobik protein tersebut Dickinson 1986 diacu dalam Foegeding et al. 2006. Interaksi elektrostatis memegang peran penting pada adsorpsi protein. Sifat pembentukan buih dapat dioptimalkan saat protein dikondisikan mendekati titik isoelektrisnya pI Foegeding et al. 2006. Proses adsorpsi ini terjadi dengan cepat pada pI karena minimalnya tolakan elektrostatis pada protein yang bermuatan netral. Buih akan runtuh akibat adanya gelembung gas yang besar terbentuk diantara gelembung-gelembung kecil karena terjadi disprotonasi. Stabilitas buih dipengaruhi oleh jumlah protein yang teradsorpsi dan kemampuan molekul teradsorpsi mengalami asosiasi. Denaturasi permukaan umumnya akan melepaskan rantai samping asam amino yang dapat masuk dalam interaksi intermolekuler Belitz 2009. Buih dapat dirusak dengan adanya lipida dan pelarut organik karena sifat hidrofobisitasnya yang mampu menggantikan posisi protein pada permukaan gelembung gas. Adanya substansi yang tidak larut air juga dapat menyebabkan runtuhnya film protein pada buih Zayas 1997.

2.4.6 Pembentukan Gel

Gel Formation Gel merupakan sistem dispersi minimal antara dua komponen dengan fase terdispersi membentuk matriks yang kohesif pada fase pendispersinya. Pembentukan gel terjadi dengan adanya pengkondisian pH, penambahan ion-ion, maupun pemanasan dan pendinginan. Gel dalam pangan dikelompokkan menjadi termal reversibel thermally reversible dan termal ireversibel thermally irreversible. Gel termoreversibel gel termoplastik memiliki karakteristik kebalikannya, yaitu akan mencair kembali saat dipanaskan kembali. Gel termal ireversibel disebut juga dengan gel termoset dan umumnya dihasilkan sebagian besar gel yang dapat dimakan edible gels . Gel tipe ini disusun oleh ikatan kimia yang tidak dapat putus dengan adanya pemanasan ulang. Gel termoset dihasilakan akibat terjadinya struktur protein yang terbuka dan terdenaturasi kemudian diikuti dengan agregasi molekul membentuk jaringan dengan ikatan silang Culbertson 2006. 20 Agregasi umumnya terjadi melalui ikatan hidrogen intermolekuler yang dapat dengan mudah terputus dengan adanya pemanasan. Matriks polimer yang terbentuk bersifat termoreversibel, yaitu akan terbentuk gel saat larutan didinginkan dan akan meleleh kembali saat dipanaskan Belitz 2009. Aggregated dispersions merupakan gel yang terbentuk dari protein globular akibat adanya pemanasan dan denaturasi. Protein yang mengalami thermal unfolding menyebabkan terlepasnya asam amino rantai samping yang dapat masuk ke dalam interaksi intermolekuler Belitz 2009. Tingkat denaturasi penting untuk menentukan awal terjadinya agregasi. Denaturasi parsial melepaskan terutama gugus hidrofobik sehingga terbentuk gel dengan karakteristik termoplastik termoireversibel.

2.5 Fraksinasi