Pecking Order Theory Intangible Assets

dimiliki perusahaan, memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan dan digunakan untuk menyusun dan menerapkan strategi perusahaan sehingga meningkatkan kinerja perusahaan menjadi semakin baik.

2.1.2 Pecking Order Theory

Teori ini dikemukakan oleh Myer dan Majluf 1984 dan Myers 1984. Tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena ada 2 jenis modal sendiri yaitu, eksternal dan internal. Perusahaan cenderung lebih menyukai modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan. Secara singkat teori pecking order menyatakan sebagai berikut Brealey and Myers, 1996: 1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal 2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian deviden dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran deviden yang terlalu besar 3. Pembayaran deviden yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih atau kurang untuk investasi. 4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan memulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang besar cenderung memiliki hutang atau pinjaman dalam jumlah kecil. Hal tersebut bukan disebabkan memiliki Universitas Sumatera Utara target debt of equity ratio yang rendah, akan tetapi perusahaan tersebut mampu untuk membiayai operasionalnya dari dana modal sendiri internal perusahaan. Sehingga tidak membutuhkan hutang atau aliran dana ekstern yang besar.

2.1.3 Intangible Assets

Selama ini, terdapat ketidakjelasan perbedaan antara aktiva tidak berwujud dengan IC. Intangibles telah dirujuk sebagai goodwill, ASB, 1997; IASB, 2004, dan IC adalah bagian dari goodwill. Dewasa ini, sejumlah skema klasifikasi komputer telah berusaha mengidentifikasikan perbedaan tersebut dengan secara spesifik memisahkan IC kedalam kategori eksternal customer-related capital, internal structural capital, dan human capital lihat misalnya: Brennan dan Connell, 2000; Edvinsson dan Malone, 1997. Sebagian peneliti misalnya Bukh, 2003 menyebut bahwa IC dan aset tidak berwujud adalah sama dan seringkali saling menggantikan overlap. Sementara peneliti lainnya misalnya: Edvinsson dan Malone, 1997; Boekestein, 2006 menyatakan bahwa IC adalah bagian dari aset tidak berwujud intangible assets. Paragraph 08 PSAK 19 revisi 2000 mendefinisikan aktiva tidak berwujud sebagai aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang dan jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi tersebut merupakan adopsi dari pengertian yang disajikan oleh IAS 38 tentang intangible assets yang relative sama dengan definisi yang diajukan dalam FRS 10 tentang goodwill dan intangible assets. Keduanya, baik IAS 38 maupun FRS 10, menyatakan bahwa tidak berwujud harus 1 dapat diidentifikasi, 2 bukan aset keuangan non financial non-monetary assets, dan 3 tidak memiliki substansi Universitas Sumatera Utara fisik. Sementara APB 17 tentang intangible assets tidak menyajikan definisi yang jelas tentang aktiva tidak berwujud.

2.1.4 Definisi Intellectual Capital