BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada abad ke 21 ini Tandra, 2007. Diabetes disebut juga dengan
istilah diabetes mellitus, kencing manis, ataupun penyakit gula. Diabetes mellitus merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif Johnson, 1998.
Laporan statistik dari International Diabetes Federation IDF 2005 menyebutkan, bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penderita diabetes.
Angka ini terus bertambah hingga 3 persen atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian, jumlah penderita diabetes diperkirakan akan
mencapai 350 juta pada tahun 2025 dan setengah dari angka tersebut berada di Asia, terutama di India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Diabetes juga telah
menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes Tandra, 2008. Peningkatan
jumlah penderita diabetes mellitus menunjukkan bahwa pentingnya upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menjadi semakin parah dan dapat mengurangi
risiko kematian. Menurut Lanywati 2001 penyakit diabetes mellitus tidak hanya disebabkan
oleh faktor keturunan genetik, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain
Universitas Sumatera Utara
yang multikompleks, antara lain kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang tubuhnya membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula,
karena masih ada beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini pada seseorang, yaitu antara lain makan yang berlebihan
kegemukan, kurang gerak atau jarang berolah raga, dan kehamilan. Seseorang yang memiliki faktor risiko timbulnya penyakit diabetes, ketika
menderita diabetes akan mengalami beberapa rasa sakit yang khas yang menandakan bahwa ia menderita diabetes. Tedjapranata 2007 menyebutkan
bahwa ada beberapa rasa sakit yang khas yang dialami oleh penderita diabetes diantaranya adalah cepat lelah, merasa lemas sepanjang hari, sering merasa lapar
meskipun sudah banyak makan, mata menjadi semakin rabun, kaki dan tungkai terasa pegal dan nyeri bahkan mati rasa. Menurut Johnson 1998 penderita
diabetes juga merasakan gatal-gatal pada kemaluan, sering infeksi pada kulit, gusi dan kandung kencing yang lambat sembuh serta adanya mual dan muntah.
Diabetes termasuk penyakit yang serius dan dapat menyerang siapa saja. Menurut Tandra 2007 siapa pun bisa terkena penyakit ini, kaya atau miskin, tua
atau muda, pria atau wanita. Beberapa diantara penderita diabetes baru mengetahui sakit yang ia derita ketika ia sudah mengalami komplikasi.
Ketidaktahuan ini disebabkan karena kebanyakan penyakit diabetes terus berlangsung tanpa keluhan sampai beberapa tahun dan disebabkan karena
minimnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang penyakit diabetes itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Tandra 2007 mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun penderita hidup dengan diabetes akan memungkinkan munculnya berbagai kerusakan atau
komplikasi pada penderitanya. Lebih rumit lagi diabetes tidak menyerang satu alat tubuh saja, tetapi dapat menyerang beberapa alat tubuh sekaligus dan dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi yang dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh Ranakusuma, 1987.
Diabetes merupakan suatu penyakit yang memiliki komplikasi
menyebabkan terjadinya penyakit lain yang kronis. Menurut Tandra 2007 komplikasi diabetes yang kronis tersebut yaitu, kerusakan saraf neuropathy,
kerusakan ginjal nephropathy, kerusakan mata retinopathy, penyakit jantung, hipertensi, penyakit pembuluh darah perifer, gangguan pada hati, penyakit paru-
paru, gangguan saluran makan, dan infeksi. Komplikasi diabetes kronis yang dapat membuat penderitanya mengalami
tindakan amputasi adalah kerusakan saraf neuropathy. Kerusakan saraf neuropathy merupakan komplikasi diabetes yang paling sering terjadi. Hal ini
biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik diabetic neuropathy Tandra, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat
kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena Tandra, 2007.
Gejala neuropati diabetik bisa bermacam-macam. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita
tidak bisa jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan membuat muncul banyak keringat. Pada pria, bisa menimbulkan impotensi.
Kerusakan saraf perasa dapat menyebabkan penderita tidak bisa merasakan nyeri, panas, dingin, atau meraba. Kerusakan saraf sensoris atau perasa biasanya terjadi
pada kaki, kadang-kadang juga pada tangan dan lengan. Penderita bisa merasakan kram, kesemutan, rasa tebal, atau rasa nyeri. Ada pula rasa nyeri seperti terbakar,
bahkan rasa nyeri yang hebat pada malam hari. Gejala-gejala ini dapat berubah- ubah, biasanya pada ujung jari kaki atau tangan dan akan menjalar naik ke atas
Tandra, 2007. Tandra 2007 menambahkan bahwa kerusakan saraf sensoris atau perasa
yang paling berbahaya adalah rasa tebal di kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya rasa nyeri dan penderita tidak tahu bahwa ada infeksi. Misalnya, bila kaki terinjak
benda tajam atau ukuran sepatu terlalu kecil dapat membuat penderita tidak bisa merasakan apa-apa. Mungkin ada goresan kecil, luka, atau bisa jadi infeksi. Itu
sebabnya neuropati, terutama jika kaki terasa tebal, sangat berisiko mengakibatkan munculnya ulkus borok kaki, yang disebut neuropathic foot
Universitas Sumatera Utara
ulcer. Bila tidak diobati dengan baik, bisa timbul infeksi, yang lama kelamaan bisa menjalar ke tulang dan terjadi osteomielitis infeksi dan kerusakan tulang.
Penderita neuropati yang mengalami luka pada kaki, sebaiknya memeriksakan lukanya ke dokter. Menurut Tandra 2007, dokter dapat
melakukan sejumlah tes untuk mengetahui adanya gangguan saraf pada kaki. Bila terjadi kerusakan saraf pada kaki, penderita tidak dapat merasakan adanya tusukan
paku atau jarum atau panas api, dan lain-lain. Hal ini bisa menimbulkan luka dan infeksi yang terkadang dapat berakibat buruk pada kaki, bahkan sampai perlu
diambil tindakan amputasi. Neuropati merupakan satu-satunya komplikasi diabetes yang dapat membuat penderitanya harus melakukan amputasi. Terutama
pada kaki yang luka dan sudah infeksi, karena sudah terjadi kerusakan saraf di kaki.
Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir
manakala organ tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh penderita
secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain. Amputasi yang sering terjadi adalah pada bagian kaki. Biasanya terjadi pada jari kaki, kaki bagian paha ke
bawah, dan kaki bagian lutut ke bawah Hariwijaya Sutanto, 2007. Dapat dibayangkan sepasang kaki yang indah, yang berfungsi untuk berjalan, harus
diamputasi. Bukan hanya estetika yang hilang, melainkan rasa percaya diri pun bisa terkubur karena tindakan amputasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Amputasi merupakan hal yang paling menakutkan bagi para penderita diabetes. Angka amputasi akibat diabetes masih tinggi sedangkan biaya
pengobatan juga sangat tinggi, dan sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum Waspadji 2008 menambahkan jumlah penyandang diabetes di Indonesia yang
harus menjalani amputasi jumlahnya sekitar 25 dari seluruh pasien yang dirawat karena kakinya bermasalah.
Menurut Johnson 1998, komplikasi yang menuntut amputasi menyebabkan kehilangan besar bagi seseorang. Seseorang yang harus diamputasi kakinya,
kehilangan lebih dari sekedar kakinya saja. Mungkin juga akan kehilangan pekerjaan dan pendapatannya. Orang tersebut akan kehilangan kebebasannya
untuk bergerak dan mungkin juga kemerdekaannya. Mungkin juga orang tersebut akan kehilangan banyak kualitas hidup dan kesenangan dalam hidup. Hal tersebut
dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan amputasi kaki berikut ini :
“Ya kata dokter karena udah kena komplikasi la makanya kaki ibu sampai diamputasi. Katanya kaki ibu sarafnya udah rusak dan sarafnya nggak bisa
bagus lagi. Terus diamputasi sampai bawah lutut. Karena sarafnya yang rusak sampai ke bawah lutut.”.
Komunikasi personal, 10 Januari 2010
“Pekerjaan ibu dulunya pegawai swasta. Ya lumayan la bantu-bantu bapak. Tapi karena sakit gula terus sampai diamputasi gini, ya...mau nggak mau ibu
nggak kerja lagi. Karena ibu nggak bisa lagi melakukan pekerjaan ibu seperti biasa. Ya...terasa juga karena ibu udah nggak kerja lagi. Ya ekonomi,
cuma mengharapkan dari bapak dan anak-anak aja. Kalau sekarang ibu ya di rumah aja la.”
Komunikasi personal, 28 Februari 2010
Frankl dalam Hasibuan, 2009 menyatakan bahwa menderita cacat sudah pasti menyebabkan stres dan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan,
Universitas Sumatera Utara
susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, dan tidak bermakna serta penghayatan-penghayatan yang tidak menyenangkan lainnya.
Seorang penderita diabetes yang telah diamputasi mengaku, kondisinya yang tidak bisa berjalan dan selalu menyusahkan orang membuatnya malu dan merasa
tidak berguna, namun ia menyadari bahwa ia tidak boleh berlama-lama seperti ini. Ia sadar ia harus menerima kenyataan fisiknya, namun ia mengatakan bahwa
semuanya membutuhkan waktu dalam Hasibuan, 2009. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan
amputasi kaki berikut ini : “Ya awalnya setelah diamputasi, ya sedih la kan. Siapa yang nggak sedih
udah jadi cacat gini. Ya sedih, cemas, tertekan, stres, nggak berguna, bisanya cuma nyusahin aja. Wah...tertekan la nak. Semua itu kan butuh
waktu sampai ibu bisa nerima kondisi ibu yang sekarang. Nggak mudah sampai kepada nerima. Ibu aja membutuhkan waktu yang lama”.
Komunikasi personal, 10 Januari 2010
Semua penghayatan penderita diabetes setelah diamputasi di atas tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan individu yang lainnya.
Hal itu tergantung pada seberapa baik proses penyesuaian yang mereka lakukan. Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami
perubahan dalam kehidupannya, begitu juga dengan penderita diabetes yang mengalami cacat akibat suatu penyakit komplikasi diabetes. Penderita diabetes
akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Perubahan dalam kehidupan akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan
keputusasaan dan krisis psikologis lainnya Holmes Holmes, dalam Irmayanti, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Keputusasaan dan krisis psikologis yang dialami penderita komplikasi diabetes yang kakinya diamputasi akan menjadi suatu pengalaman hidup yang
traumatis, sehingga akan membuat penderita diabetes melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman tersebut. Kubler-Ross dalam Santrock, 1997 menyatakan,
dalam melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman hidup yang traumatis, individu akan melalui beberapa tahapan. Individu yang mengalami suatu
pengalaman hidup yang traumatis, awalnya ia akan mengalami denial, yaitu suatu tahap yang di dalamnya individu secara sadar ataupun tidak, menolak realita yang
ada. Tahap selanjutnya adalah anger, tahap yang didalamnya individu yang mengalami kemarahan terhadap fakta yang terjadi. Kemarahan ini dapat ditujukan
kepada siapa saja, apakah dirinya sendiri, orang-orang sekitar yang dekat dengannya, dan bahkan Tuhan. Tahap selanjutnya adalah bargaining. Dimana
pada tahap ini individu mencoba untuk melakukan tawar-menawar dan negosiasi untuk berkompromi dengan kenyataan. Selanjutnya individu akan mengalami
tahap depression. Tahap ini ditandai dengan adanya kesedihan dan ketakutan yang mendalam, hadirnya perasaan akan adanya ketidakpastian, dan adanya
penyesalan. Individu yang memasuki tahap ini sebenarnya sudah mulai menerima kenyataan yang ada, dan rasa sedih yang timbul sesungguhnya adalah usaha untuk
memisahkan diri dari orang-orang yang dicintai. Tahap terakhir adalah acceptance. Tahap ini ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kenyataan
secara objektif. Tahap-tahap tersebut bukanlah tahap yang baku. Johnson 1998
mengatakan bahwa tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross tersebut
Universitas Sumatera Utara
sifatnya relatif pada tiap-tiap orang. Semua itu tergantung dari bagaimana penderita komplikasi diabetes melakukan penyesuaian diri terhadap pengalaman
hidup yang dihadapinya. Menurut Schneiders 1964 penyesuaian diri adalah suatu proses yang
mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi,
konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu
berada. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal dengan penderita diabetes yang melakukan amputasi berikut ini :
” Ya...karena ibu udah cacat gini, ya ibu terima aja apa yang udah terjadi sama kaki ibu ini. Ya mau diapain lagi. Orang udah dipotong kok. Toh mau
sedih atau nangis kayak mana pun, kaki ibu nggak bisa balik lagi. Memang kalau ibu mau nangis, ya ibu nangis sekuat-kutnya. Ibu nggak peduli sama
orang yang di rumah. Karena abis nangis, rasanya dada ibu ini plong. Ya kayak gitu la cara ibu kalau lagi emosi. Karena emosi ini kadang nggak ada
sebabnya. Ya tiba-tiba aja datangnya. Ya sekarang ibu pakek kaki palsu aja la. Yang pasti udah nggak kayak kaki asli la kan. Yang penting masih bisa
jalan walaupun pelan-pelan dan ibu nggak mau nyusahkan anak-anak ibu”. Komunikasi personal, 10 Januari 2010
Berdasarkan komunikasi personal dengan penderita komplikasi diabetes mellitus yang kakinya sudah diamputasi, diketahui bahwa terjadi perubahan dalam
hidup penderita diabetes yang membutuhkan penyesuaian diri dalam menjalani kehidupannya. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang
mengatasi perubahan dalam kehidupnya. Menurut Haber Runyon 1984, penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang
tidak bisa berubah, dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berbagai macam perubahan yang terjadi dalam hidup penderita komplikasi diabetes mellitus setelah diamputasi dan penyesuaian dirinya terhadap
perubahan-perubahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penyesuaian diri penderita komplikasi diabetes mellitus setelah
diamputasi.
B. Perumusan Masalah