Latar Belakang Masalah PENUTUP A.
Meningkatnya kesejahteraan hidup serta makin cepatnya penerapan teknologi modern justru manusia bukan makin bahagia, akan tetapi malah
mengalami kemunduran-kemunduran yang berhakekat Dehumanisasi.
4
Keadaan manusia justru semakin memburuk dan secara keseluruhan bahkan menunjukkan gejala-gejala rontok. Mengenai kenyataan ini, kalangan ilmuwan
dan kaum cerdik-cendikiawan banyak menuliskan pendapat dan peringatannya, sedangkan pers dan media masa lainnya sehari-hari penuh dengan berita-berita
tentang makin parahnya keadaan manusia saat ini. Menurut Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto dalam bukunya
yang berjudul Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana menjelaskan bahwa: Memburuknya keadaan manusia di dunia modern sekarang ini, ternyata
bukan saja memiskinkan manusia akan kebajikan dan perhatian terhadap sesamanya, akan tetapi telah meningkatkan pula kecenderungan-
kecenderungan yang mendorong meningkatnya perbuatan-perbuatan kekerasaan dan teror, sehingga terasa sangat mengancam peradaban dan
martabat manusia modern tersebut.
5
Banyaknya tindakan-tindakan yang mengancam peradaban dan martabat manusia pada saat ini, karena banyaknya tindakan pelanggaran moral yang
buruk sehingga merugikan manusia yang lainnya. Dengan banyaknya tindakan moral yang buruk maka semakin bertambah pula jumlah narapidana. Meskipun
seseorang telah ditetapkan menjadi seorang narapidana, akan tetapi narapidana tersebut tetap memiliki hak-hak yang harus dilindungi yang sesuai dengan
4
. Dehumanisme adalah penghilangan harkat manusia. KBBI, Jakarta: Balai Pustaka 1988 cet-1.
5
. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia: Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, , Jakarta: Ghalia Indonesia 1984, cet -1, h. 27-28
amanat UU No 12 Tahun 1995 dalam pasal 14 dinyatakan bahwa hak-hak
narapidana meliputi: a.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b.
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e.
Menyampaikan keluhan; f.
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya; i.
Mendapatkan pengurangan masa pidana remisi; j.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6
Meskipun hak-hak narapidana sudah diatur dalam Undang-Undang, akan tetapi pada kenyataannya masih ada beberapa hak narapidana yang belum
terpenuhi. Tentunya hal ini menjadi masalah dalam pelaksanaan hak asasi manusia.
Sebagai titik tolak dalam pembahasan masalah hak asasi manusia di Indonesia ini, maka sorotan kita tidak terlepas dari Undang-Undang Dasar dan
Pancasila, karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, begitu pula Pancasila
adalah merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum Indonesia.
6
. Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: PT Intan Sejati 2007, cet -3, h. 185
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pengendapan dari cita-cita dan pengalaman bangsa Indonesia dalam perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia untuk menghapuskan penjajahan. Oleh sebab itu, pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimulai dengan menonjolkan hak
setiap bangsa untuk merdeka, sebagaimana dinyatakan pada alinea pertamanya yaitu “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan per
ikemanusiaan dan perikeadilan”.
7
Menurut Johnny Ibrahim, dalam bukunya yang berjudul Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif menyatakan
“Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum, sepanjang sejarah
peradaban manusia peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang menginginkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara
damai dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui ”.
8
Manusia sebagai makhluk yang tidak luput dari kesalahan maka dengan itu manusia tidak bisa
dipisahkan dengan hukum, karena dengan adanya hukum manusia bisa menjadi lebih baik dan terarah.
Menurut Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana menyatakan bahwa:
Masalah hukum tidaklah dapat dipisahkan dengan masalah pidana dan pemidanaan yang dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari
7
. Djoko Prakoso dan Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, h, 41-42
8
. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif Malang: Bayumedia Publishing, 2007, cet -3, h. 1.
abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal
yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan dengan mendasarkan
diri pada pengalamannya di masa lampau
9
. Maka tidak diherankan lagi jika peraturan selalu mengalami perubahan
dan selalu diperdebatkan oleh kalangan para ahli hukum karena hukum selalu berubah-ubah tidak ada hukuman yang bisa menjamin tanpa adanya perubahan
yang menuju kebaikan. Dalam pasal 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 menyatakan bahwa:
Fungsi sistem
pemasyarakatan menyiapkan
warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegritasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab oleh karena itu sistem pemasyarakatan haruslah mampu mengembalikan warga binaannya
menjadi pribadi yang taat hukum.
10
Sebagai negara hukum, hak-hak narapidana itu harus dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang, maka dari itu penegak hukum khususnya para staf di lembaga pemasyarakatan harus menjamin perlindungan hak-hak narapidana
sebagaimana fungsi lembaga pemasyarakatan sendiri yang berfungsi untuk melakukan pembinaan terhadap narapidananya. Narapidana juga perlu
diperhatikan sebagai mana manusia yang lainnya, agar ketika narapidana sudah mendapatkan kebebasan bisa menjadi masyarakat yang lebih baik. Walaupun
seorang narapidana telah melakukan kesalahan melanggar hukum akan tetapi mereka tidak boleh diperlakukan secara tidak manusiawi, misalnya penyiksaan
9
. Muhammad Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 1
10
. Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia , Bandung: PT. Refika Admitama, 2006, h. 106.
di dalam lembaga pemasyarakatan, tidak mendapat fasilitas untuk menunjang pelaksanaan hak-haknya dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi.
Pada dasarnya hak narapidana antara narapidana laki-laki dan narapidana perempuan memiliki hak yang sama, hanya ada beberapa saja yang berbeda
karena narapidana perempuan memiliki beberapa hak yang tidak didapatkan oleh narapidana laki-laki. Ada juga beberapa hal yang berbeda, di antaranya
karena perempuan mempunyai kodrat yang tidak dimiliki oleh narapidana laki- laki yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui maka dalam hal ini
hak-hak narapidana perempuan perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun berdasarkan peraturan dari petugas lembaga
pemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia. Selain dibahas dalam hukum positif, hak asasi manusia pun dibahas
dalam hukum pidana Islam. Menurut Frans Maramis terdapat dua pandangan
yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan hukum pidana yaitu: 1.
Untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Merupakan suatu realitas bahwa dalam masyarakat senantiasa ada kejahatan, sehingga
diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari terjadinya kejahatan.
2. Untuk melindungi individu-individu dari kemungkinan kesewenangan
penguasa. Pandangan ini didasarkan pada suatu titik tolak bahwa kekuasaan cenderung disalah gunakan, sehingga diadakannya hukum
pidana justru untuk membatasi kekuasaan penguasa.
11
11
. Frans Maramis, Hukum Pidana dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012, h.12-13
Selain hal itu bisa kita lihat bahwa hukum pidana Islam dalam buku Hukum Pidana Islam karangan Asadulloh Al-Faruq menyatakan bahwa
“Hukum Pidana Islam bertujuan melindungi lima kebutuhan hidup manusia atau yang biasa disebut dengan istilah
Al maqasid al syari’ah al khamsah yaitu: 1.
Hifzh al din memelihara agama 2.
Hifzh al nafsi memelihara jiwa 3.
Hifzh al maal memelihara harta 4.
Hifzh al nashl memelihara keturunan 5.
Hifzh al’aqli memelihara akal.
12
Hal tersebut menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia dan setiap manusia berhak memiliki dan dilindungi dalam hak-haknya
sebagai manusia, walaupun manusia sering melakukan kehilafan dan kesalahan
bukan berarti manusia kehilangan hak-haknya.
Menurut Asadulloh Al Faruk dalam buku Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam
bahwa “Seseorang yang terkenai pidana dalam hukum pidana Islam adalah orang yang telah terbukti melalui pembuktian, telah melakukan
suatu tindakan yang dilarang oleh s yar’i. Terpidana adalah orang yang benar-
benar memiliki kesalahan, dan kesalahan itu bukan sekedar praduga, tetapi harus dibuktikan sehingga tidak ada lagi keraguan”.
13
Dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman penjara, pertama: As- Sijnu: mencegah atau menahan, yang kedua Al- Habsu: diartikan juga As-Sijnu,
dengan demikian kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziah, yang dimaksud dengan Al-Habsu menurut
12
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor : Ghalia Indonesa, 2009, h. 12
13
. Ibid, h. 9
syara’ bukanlah menahan pelaku ketempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan pencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik
menahan tersebut di dalam rumah, masjid maupun di tempat yang lainnya.
14
Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar, artinya pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus
disediakan untuk menahan seorang pelaku. Akan tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam bertambah luas, Khalifah
Umar pada masa pemerintahannya membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4.000 empat ribu dirham untuk kemudian dijadikan sebagai
penjara. Selain tindakan Khalifah Umar dasar hukum untuk diperbolehkannya hukuman penjara ada dalam surat An-Nisaa ayat 15.
15
Yang artinya: Dan terdapat para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi di antara kamu yang menyaksikan. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian maka kurunglah mereka wanita-wanita itu dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. QS. An-
Nisaa’: 15. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam memberikan hukuman bagi para pelanggar dengan tujuan untuk
membina mereka agar bisa mentaati aturan yang ada di masyarakat tanpa mengurangi hak-hak mereka.
14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet- 1, h. 261
15
.Ibid., h. 261
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara
maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah SWT pernah bersabda
“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu
”, HR. Bukhari dan Muslim. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan
dan menjamin hak-hak ini. Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin,
tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-haknya. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia menyatakan bahwa: Yang dimaksudkan dengan orang yang memerangi dan para perusuh
dalam ayat ini adalah para perusuh dan pengganggu keamanan umum seperti dengan merampok, menyamun, dan sebagainya. Mereka itu,
maksudnya perampok dan penyamun, apabila tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh korbannya tetapi hanya menakut-nakuti saja
atau menyebabkan rasa takut saja kepada korban, maka pidana yang diancamkan baginya adalah pidana pengusiran. Ini menunjukan bahwa
yang bersangkutan diasingkan dari kehidupan pergaulan sehari-hari yang berarti kemerdekaannya sebagai pribadi ditiadakan atau dikurangi
sedemikian rupa, sehingga ia tidak bebas bergaul dalam kehidupannya sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.
16
Oleh karena itu diasingkan dari kehidupan pergaulan sehari-hari sama
saja dengan di penjara karena kemerdekaannya dikurangi atau tidak bebas untuk bergaul ke masyarakat dalam hak-haknya.
16
. Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, h. 97
Apa yang dijumpai di dalam lembaga pemasyarakatan sering berbeda dengan apa yang tercantum di dalam perundang-undangan, karena ada hal yang
belum sepenuhnya dapat terlaksana sebagaimana amanat Undang-Undang. Seperti yang disampaikan oleh Hazairin dalam bukunya yang berjudul Tujuh
Serangkai Tentang Hukum yang menegaskan bahwa “Hidup dalam penjara
walaupun dalam penjara yang super modern, adalah hidup yang sangat menekan jiwa, pikiran dan hidup kepribadian
”.
17
Seharusnya Lapas mampu menjadikan manusia yang tidak baik menjadi manusia yang baik, sesuai
dengan Undang-Undang, sehingga narapidana bisa diterima dengan baik di masyarakat dan menjadi agen perubahan di masyarakat. Ketidaksesuaian di
Lembaga Pemasyarakatan dengan pelaksanaan hak-hak yang diamanatkan oleh Undang-Undang bisa kita lihat dari berbagai peristiwa yang diberitakan oleh:
1. Sindonews.com. Seorang narapidana kasus narkoba atas nama Pati
Taulani 40, tewas di dalam kamar selnya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Sabtu 2192013.
18
2.
Liputan6.com. Semarang - Brojol Hermawan, seorang napi kasus
pencurian dan kekerasan di Lapas Kelas 1 Kedungpane Semarang, Jawa Tengah tewas setelah terlibat dalam perkelahian antar
narapidana di dalam Lapas. Ia dikeroyok oleh 2 penghuni lainnya.
19
17
. Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta: PT. Tintamas, 1974. h. 2
18
. http:m.sindonews.comread78583231narapidana-kasus-narkoba-tewas-di-lapas- cipinang. Berita ini diakses Rabu. 17 september-2014 pukul 12.30
19
. http:news.liputan6.comread2103515berkelahi-di-lapas-seorang-napi-di-semarang- tewas-ditusuk. Berita ini diakses pada Rabu 17 september 2014. Pukul 12.55
Berdasarkan peristiwa tersebut bisa kita amati bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan ternyata masih terjadi tindakan-tindakan kekerasan, dan hak-
hak narapidana yang belum terpenuhi, yang tentunya hal ini melanggar hak asasi manusia. Tidak jarang juga narapidana yang meninggal di dalam lembaga
pemasyarakatan disebabkan sakit karena mempunyai penyakit pribadi. Hal
tersebut pun pernah terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang yaitu “Narapidana yang bernama Benget Situmorang meninggal karena sakit di
Rutan Cipinang hal tersebut karena terlantarkan di dalam Rutan”.
20
Semua petugas dan penjaga lembaga pemasyarakatan serta staf-staf yang mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melindungi narapidana, jika
peraturan dan fasilitas di dalam lembaga pemasyarakatan teratur dan tercukupi maka perlindungan hak-hak narapidana akan berjalan dengan baik, karena
narapidana pun mempunyai hak untuk hidup dan untuk dilindungi. Fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan sendiri adalah membina warga binaannya berubah
menjadi lebih baik, bukan semakin memburuk, maka dari itu perlu dibimbing dan perlu diperhatikan dengan baik hak-haknya.
Keadaan narapidana tersebut tentunya tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H yang berbunyi:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
”.
20
. Hery H Winarno, http:www.merdeka.comperistiwabenget-diterlantarkan-hakim-pn- jakarta-timur-karena-miskin.html
Berita ini diakses Sabtu Rabu 20 September 2014 pukul 13.45
Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua yaitu kesehatan jasmani maupun rohani akan tetapi dalam pelaksanaannya hak kesehatan jasmani maupun
rohani kurang terlaksana dengan baik, seperti narapidana yang meninggal di dalam lembaga pemasyarakatan karena tidak mendapatkan perlindungan dan
fasilitas kesehatan yang baik, serta masih ada narapidana yang melakukan kekerasan antar sesama narapidana di lembaga pemasyarakatan.
Kesehatan jasmani adalah keserasian yang sempurna antara bermacam- macam fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi
kesukar-sukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan, di samping secara positif merasa gesit, kuat dan bersemangat.
21
Kesehatan jasmani atau kesehatan fisik yaitu bentuk dan fungsi fisiknya tidak mengalami gangguan,
sehingga bisa melaksanakan aktivitasnya dengan normal. Sedangkan kesehatan mental adalah keserasian yang sempurna atau
integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan
yang biasa terjadi pada orang, di samping itu secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan.
22
Kesehatan mental lebih terpacu dengan kesehatan jiwa seseorang yang tidak bisa membedakan yang baik dan yang
buruk. Adanya pelanggaran hak narapidana terutama hak kesehatannya di dalam Lapas, tentunya hal ini harus diselesaikan, terutama Lapas-Lapas yang
21
. Abdul Aziz-Quussiy, Pokok-Pokok Kesehatan JiwaMental, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986 cet. -2, h. 12
22
. Ibid, h 14
merupakan acuan bagi Lapas lainnya maka harus mampu memberikan contoh yang baik dalam pelaksanaan hak narapidananya.
Berdasarkan karakteristik dari Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang sendiri, sebagai Lapas terbesar di Provinsi Banten, seperti yang diberitakan di
media massa, maka tentunya Lapas tersebut menjadi acuan dalam pelaksanaan perlindungan hak kesehatan fisik bagi Lapas di Provinsi Banten lainnya.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka masalah tersebut akan dibahas dengan judul:
“Perlindungan Hak Kesehatan Narapidana Dalam Pandangan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam
Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pemuda Tangerang Analisis
Yuridis UU No 12 Tahun 1995 ”.