Self-Efficacy Pada Anak Jalanan

(1)

SELF-EFFICACY PADA ANAK JALANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MAHARANI ASINA PASARIBU

041301117

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Maharani Asina Pasaribu dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Anak jalanan berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Anak jalanan memiliki tugas untuk belajar dan juga mencari uang dimana anak harus memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu (Baron & Byrne dalam Akbar & Hawadi, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy pada anak jalanan. Teknik pengambilan partisipan pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7-12 tahun, tinggal dengan orang-tua dan masih bersekolah, sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi self-efficacy pada anak jalanan adalah kurangnya motivasi dan dorongan dari orang-tua dan guru untuk belajar sehingga partisipan menjadi malas belajar dan justru lebih semangat mencari uang. Orang-tua partisipan lebih fokus pada jumlah uang yang dihasilkan partisipan di jalanan daripada hasil belajar mereka di sekolah. Meskipun partisipan sebenarnya ingin dapat meningkatkan hasil belajarnya namun karena keterbatasan kemampuan partisipan sehingga partisipan tidak dapat merealisasikan keinginannya tersebut.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk

memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana

jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan

judul Self-Efficacy Pada Anak Jalanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.Elvi Andriani Y., M.Si.

yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi ini, serta

kepada Ibu Eka Ervika, M.Si. dan Ibu Meidriani Ayu S., M.Kes. untuk kritik dan

masukan-masukan yang sangat bermanfaat. Penulis juga tidak lupa mengucapkan

terima kasih kepada rekan-rekan yang sudah sangat membantu penulis sehingga

proposal skripsi ini selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, mengingat

terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan saran yang dapat membangun agar proposal skripsi ini

menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

mengembangkan wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca sekalian.

Medan, Desember 2009


(4)

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Masa Kanak-Kanak Akhir ... 13

1. Definisi Kanak-Kanak Akhir ... 13

2. Tugas-tugas Perkembangan Kanak-Kanak Akhir ... 13

B. Anak Jalanan ... 14

1. Definisi Anak Jalanan ... 14

2. Karakteristik dan Kriteria Anak Jalanan ... 15


(5)

4. Latar Belakang Anak Jalanan ... 18

5. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan ... 19

B. Self-Efficacy ... 20

1. Definisi Self-Efficacy ... 20

2. Pembentukan Self-Efficacy ... 21

3. Sumber-sumber Self-Efficacy ... 23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy ... 24

5. Aspek-aspek Self-Efficacy ... 26

6. Karakteristik Individu yang Mempunyai Self-Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy Rendah ... 28

C. Self-Efficacy pada Anak Jalanan ... 29

D. Paradigma Self-Efficacy pada Anak Jalanan ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Kualitatif ... 34

B. Metode Pengumpulan Data ... 35

C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 37

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 37

2. Pedoman Wawancara ... 38

D. Kredibilitas Penelitian ... 39

E. Partisipan dan Lokasi Penelitian ... 40

1. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 40


(6)

3. Karakteristik Pastisipan ... 41

4. Lokasi Penelitian ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

1. Tahap Persiapan ... 42

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 43

3. Tahap Pencatatan Data ... 43

G. Prosedur Analisa Data ... 44

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 46

A. Partisipan 1 ... 46

1. Deskripsi Umum Partisipan 1 ... 46

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 49

3. Interpretasi Intra Subjek ... 63

B. Partisipan 2 ... 69

1. Deskripsi Umum Partisipan 2 ... 69

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 72

3. Interpretasi Intra Subjek ... 86

C. Partisipan 3 ... 92

1. Deskripsi Umum Partisipan 3 ... 92

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 95


(7)

BAB V. KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Diskusi ... 129

C. Saran ... 133

1. Saran Praktis ... 133

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan 1 ... 46

Tabel 2 Waktu Wawancara Partisipan 1 ... 49

Tabel 3 Interpretasi Partisipan 1 ... 64

Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 69

Tabel 5 Waktu Wawancara Partisipan 2 ... 72

Tabel 6 Interpretasi Partisipan 2 ... 87

Tabel 7 Gambaran Umum Partisipan 3 ... 92

Tabel 8 Waktu Wawancara Partisipan 3 ... 95

Tabel 9 Interpretasi Partisipan 3 ... 110


(9)

Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Maharani Asina Pasaribu dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Anak jalanan berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Anak jalanan memiliki tugas untuk belajar dan juga mencari uang dimana anak harus memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu (Baron & Byrne dalam Akbar & Hawadi, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy pada anak jalanan. Teknik pengambilan partisipan pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7-12 tahun, tinggal dengan orang-tua dan masih bersekolah, sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi self-efficacy pada anak jalanan adalah kurangnya motivasi dan dorongan dari orang-tua dan guru untuk belajar sehingga partisipan menjadi malas belajar dan justru lebih semangat mencari uang. Orang-tua partisipan lebih fokus pada jumlah uang yang dihasilkan partisipan di jalanan daripada hasil belajar mereka di sekolah. Meskipun partisipan sebenarnya ingin dapat meningkatkan hasil belajarnya namun karena keterbatasan kemampuan partisipan sehingga partisipan tidak dapat merealisasikan keinginannya tersebut.


(10)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 tampak

seakan-akan menjadi pemicu bertambahnya jumlah anak jalanan di Indonesia

(Koentjoro, 2001). Data Departemen Sosial (dalam Media Indonesia tanggal 1

April 2006) menyebutan bahwa anak jalanan tahun 2004 berjumlah 94.674 jiwa.

Hal tersebut merupakan simbol dari kegagalan pemerintah dalam mengentaskan

kemiskinan. Seperti yang terlihat dari hasil wawancara dengan seorang anak

jalanan berusia 8 tahun di sekitar terminal angkutan kota, yang memutuskan untuk

turun ke jalan karena alasan kemiskinan.

“Kami butuh uang kak...untuk makan, mau bayar uang sekolah. Bapak narik becak, nggak cukup uangnya. Ini aku disuruh mama kesini. Pulang sekolah aku langsung kesini sampai malam jam sembilan, baru aku pulang, naik angkot sendiri. Kadang aku ngamen, kadang aku nyemir sepatu kak. Tapi kalau semir sepatu, jarang ada yang mau. Paling sedikit aku bisa dapat lima ribu, paling banyak lima belas ribu. Bisa satu hari aku nggak ada dapat uang. Kalau aku pulang nggak dapat uang, mamaku marah-marah...terus aku dipukulnya. Mama jahat kak...mama tiri, mamaku udah meninggal kena tsunami...”

(Komunikasi personal, 27 September 2008)

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Giwo Rubianto

Wiyogo, penyelenggara perlindungan anak di Indonesia, termasuk pemerintah dan

aparat penegak hukum belum memiliki respon yang tinggi terhadap perlindungan

anak. Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 34 Republik Indonesia 1945 yang

menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Jumlah anak jalanan di Indonesia makin hari makin bertambah jumlahnya. Data


(11)

jiwa menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA, 2007) dan

hampir separuhnya berada di Jakarta, sedangkan sisanya tersebar ke kota-kota

besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja,

Surabaya, Malang dan Makasar (Suwardi, 2007).

Koentjoro (2001) menambahkan bahwa hingga kini belum ada kesepakatan

batasan tunggal mengenai anak. Menurut berbagai tinjauan pustaka dan pendapat

ahli psikologi perkembangan, yang disebut anak adalah mereka yang berusia di

bawah 12/13 tahun. Menurut pandangan lain bahwa batas usia anak berada dalam

rentang 14 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1984) hingga

21 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 dan No. 4 tahun

1979). UNICEF dan ILO (dalam Koentjoro, 2001) juga menyepakati bahwa yang

termasuk klasifikasi anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

Hasil pendataan oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

tahun 2003 mengatakan bahwa jumlah anak jalanan di daerah Pinang Baris,

Medan berkisar antara 200-300 anak dengan usia 6-18 tahun. Sebagian

diantaranya (±70%) masih berstatus sekolah tingkat SD, SLTP dan SLTA.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa terminal bus Pinang Baris

merupakan salah satu lokasi strategis sebagai tempat aktivitas anak jalanan. Jenis

pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak jalanan tersebut adalah

pengamen, penyemir sepatu, tukang doorsmeer, penjual koran terbitan pagi-sore, pedagang asongan, penyapu bus umum / angkutan kota dan pekerjaan lain yang


(12)

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti,

pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh anak-anak jalanan yang berada

di kota Medan. Berbagai jenis pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak

jalanan demi mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.

Pada umumnya anak-anak jalanan tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan

saja, melainkan dua atau lebih agar kemungkinan untuk mendapatkan uang lebih

banyak lagi. Anak-anak jalanan di kota Medan semakin hari semakin bertambah

dan tahun ini berjumlah sekitar 7000 anak. Hal tersebut dikatakan oleh Jesmon,

salah seorang pekerja sosial di salah satu LSM di Medan.

“Kalau untuk Medan secara keseluruhan banyak dek.. Jumlah anak jalanan sekitar 7000an. Itu termasuk mereka yang ngabisin banyak waktunya berada di jalanan tanpa melakukan pekerjaan apapun. Tapi tidak semua dari anak jalanan itu bergabung di LSM ataupun rumah singgah, yang bergabung dan dibina di rumah-rumah singgah hanya sekitar 3000 anak jalanan.”

(Komunikasi personal, 9 Desember 2008)

Laporan dari Departemen Sosial pada tahun 2004 sebanyak 3.308.642 anak

termasuk ke dalam kategori anak terlantar dan anak jalanan termasuk ke dalam

kategori tersebut. Menurut Suwardi (2007), seseorang bisa dikatakan anak jalanan

bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari

nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

Anak jalanan juga dapat didefinisikan sebagai anak yang berusia 7-15 tahun yang

bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman

dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Istilah anak

jalanan digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasi kelompok


(13)

1995). Menurut pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga atau di

dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Departemen Sosial menjelaskan bahwa telah banyak terdapat rumah singgah

dan Lembaga Swadaya Masyarakat di kota Medan dan salah satunya adalah

Yayasan KKSP yang mengurus anak-anak kurang mampu termasuk di dalamnya

anak jalanan, tapi hal tersebut tidak dapat mengurangi jumlah anak jalanan.

Anak-anak yang memang telah menjadi Anak-anak jalanan dan mencari nafkah di jalanan

sudah sulit dibina untuk tidak menjadi anak jalanan lagi (Fahmi Yayasan KKSP,

2009), namun mereka diberikan pembekalan agar dapat bertahan hidup di jalanan

misalnya pembekalan bermain alat musik dan menyanyi.

Fenomena tersebut sesuai dengan teori reinforcement yang didukung oleh pernyataan Suwardi (2007) mengatakan bahwa anak-anak yang dibimbing di

rumah singgah atau LSM, tak jarang yang tetap melakukan aktifitasnya di jalanan.

Hal tersebut seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan

sekolah gratis, makanan gratis dan atap untuk berlindung bagi mereka. Penyebab

anak-anak tersebut kembali ke jalanan adalah tidak lain karena uang. Di jalanan

mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum

mencapai Rp 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh

paling tidak Rp 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif cukup besar bagi seorang

anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan

hasil wawancara yang dilakukan terhadap seorang anak jalanan berumur 10 tahun

yang masih memiliki keluarga inti dan tinggal bersama keluarganya :

“Mamaku tahu kok aku kesini, tapi aku nggak dipaksa, aku sendiri yang mau. Aku ngamenkalo udah pulang sekolah kak. Pagi kan aku sekolah, trus pulang


(14)

dulu makan siang di rumah, baru aku kesini ngamen pake krincing-krincing ini. Ini aku sendiri yang buat. Aku disini ngamen sendiri aja, aku nggak ada nyetor-nyetor ke bos. Kami disini nggak ada bos, nggak ada juga yang minta-minta uang kami. Baik-baik disini semua kak. Satu hari paling dikit aku bisa dapat 20.000... Tapi aku pernah dapat 110.000 satu hari. Kawanku ada juga yang pernah dapat 300.000 satu hari, dia masih kecil segini kak, pandai dia bikin mukanya lemas-lemas, pucat kayak gini hahaha... Makanya bisa dapat banyak kali dia satu hari tu. Aku pulang ke rumah jam-jam 6 atau 7 kak.”

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008)

Yayasan Duta Awam Semarang (Kalida, 2005) mengkategorikan penyebab

anak turun ke jalanan ke dalam tiga faktor yaitu ekonomi, masalah keluarga dan

pengaruh teman sebaya. Dari ketiga faktor tersebut, faktor ekonomi menjadi

penyebab utama yang menjadikan seorang anak turun ke jalanan yaitu karena

kemiskinan, sehingga anak turun ke jalanan bukan karena inisiatif sendiri karena

banyak kasus ditemui bahwa anak jalanan turun ke jalanan justru karena perintah

orangtuanya.

“Sebenarnya awakpun tak maunya kerja-kerja macam ni di jalan, nyapu-nyapu angkot, kadang bantu-bantu doorsmeer... tapi cemana lah bosawak ni nyuruh, marah pulak dia nanti kalau nggak diturutin... Tapi benar pulak, bos cowok pun tak cukup uangnya buat makan kami, bos cewek juga bukannya banyak juga penghasilannya dari jualan rokoknya itu, mau makan apa nanti kami kalau nggak kerja kayak gini... adek-adek awak tu yang masih kecil juga...”

(Komunikasi personal, 9 Desember 2008)

Koentjoro (2001) juga menyebutkan alasan-alasan mengapa seseorang

menjadi anak jalanan dan salah satunya adalah karena sebagai jalan keluar dari

problematika keluarga dimana anak akan disuruh ikut bekerja untuk mencari

nafkah oleh orang tuanya. Seorang anak juga dapat menjadi anak jalanan karena

akibat dari diusir keluarganya sehingga anak terpaksa harus dapat

mempertahankan hidupnya dengan bekerja di jalanan. Koentjoro (2001)


(15)

alasan yang berbeda satu dengan yang lain. Sukiadi (dalam Hariadi dan Suyanto,

1999) mengatakan bahwa keputusan untuk menjadi anak jalanan tergantung pada

diri anak itu sendiri dan pengaruh teman yang membawanya.

Karyanto (dalam Suranto, 1999) mengatakan bahwa masyarakat mengenali

anak jalanan sebagai kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada

di jalanan. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan, maka anak-anak jalanan dapat

digolongkan sebagai pekerja anak yang bekerja dalam sektor jasa kemasyarakatan

terutama yang bercirikan informal. Mereka disebut sebagai anak jalanan karena

umumnya mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah

di jalanan ataupun di tempat-tempat umum lainnya (Ariyanto, 1999). Hal tersebut

didukung oleh pernyataan Departemen Sosial No.26 tahun 1997 (dalam Waluyo,

2000) yang mengatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan

sebagian waktunya untuk mencari nafkah.

Berdasarkan rentang usia anak-anak jalanan yaitu 7-15 tahun, mereka berada

dalam tahapan masa kanak-kanak akhir (6-12 tahun) dan masa remaja (13-18

tahun). Pada rentang usia tersebut, tugas perkembangan anak seharusnya adalah

menghabiskan banyak waktu di sekolah untuk mempersiapkan karir ekonomi

mereka nantinya, sedangkan tugas untuk mencari uang atau nafkah seharusnya

dilakukan mereka pada saat memasuki masa dewasa awal (Hurlock, 1999).

Namun pada kenyataannya, anak-anak jalanan yang berada dalam rentang usia

tersebut justru lebih banyak menghabiskan banyak waktunya di jalanan untuk

mencari uang atau nafkah, seperti yang tergambar dalam wawancara di bawah ini


(16)

“Aku disuruh mamaku kak...cari uang katanya. Untuk uang sekolah. Makanya aku ngamen terus kadang-kadang juga nyemir sepatu. Kalau aku nggak dapat uang, aku dimarahi mamak...kadang dipukul juga sama mamak.”

(Komunikasi personal, 16 Oktober 2008)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa anak-anak jalanan tersebut telah

melakukan kegiatan-kegiatan ataupun pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya

belum dilakukan mereka, seperti mengamen, menyapu angkutan umum ataupun

bekerja di doorsmeer, dimana mereka bekerja untuk mencari nafkah ataupun sekedar uang tambahan guna menghidupi keluarganya, namun mereka juga masih

tetap melakukan kewajiban mereka sebagai seorang pelajar yang menjalankan

pendidikan di sekolah formal seperti halnya anak-anak lain yang seumuran

mereka.

“Pagi aku sekolah kak, terus pulang sekolah baru aku ngamen kesini. Nggak ada dimarahin mamak karena dia juganya yang nyuruh aku kek gini, untuk bantu-bantu bayar uang sekolahku katanya...”

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008)

Anak-anak yang seharusnya berada dalam lingkungan belajar, bermain dan

berkembang bersama dengan teman-teman sebayanya, justru mereka harus

menghadapi kehidupan yang keras dan penuh berbagai bentuk eksploitasi

(Kushartati, 2004). Berdasarkan wawancara di atas, dapat dilihat bahwa anak

jalanan tersebut harus memiliki suatu kemampuan untuk dapat bertahan hidup dan

menghadapi kehidupan yang dijalaninya tersebut yaitu tanggung jawabnya

terhadap pendidikan formal yang dijalananinya dimana anak harus tetap

berkonsentrasi terhadap pelajarannya di sekolah serta tanggung jawabnya

terhadap orang tuanya dalam hal mencari uang yang ditempuhnya dengan cara


(17)

yang sesungguhnya dapat membahayakan dirinya sendiri seperti mengamen di

jalanan, membersihkan angkutan umum di perempatan jalan, serta

kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat memberikan penghasilan bagi mereka.

Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, diperoleh bahwa ketika seorang

anak turun ke jalanan untuk menghadapi kehidupannya, maka ia juga akan

berhadapan dengan lingkungan sosial dan untuk dapat bertahan dengan keadaan

tersebut maka anak harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri agar

dapat mempertahankan hidupnya dari berbagai macam rintangan hidup misalnya

kemampuan untuk bernyanyi, berjualan, ataupun kemampuan untuk

membersihkan mobil.

“aku biasanya ngamen kak, sebenarnya suarakupun tak bagus-bagus kalinya, tapi biarlah yang pentingkan dapat uang. Krincing-krincingku ini kak, aku sendiri yang buat, biar paling nggak adalah musik-musiknya.”

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008)

Hal tersebut di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Schultz (1994)

mengenai kemampuan diri seseorang atau yang lebih dikenal dengan istilah self-efficacy, yaitu kemampuan individu dalam menghadapi kehidupan. Selain itu juga, Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan kemampuan individu dalam mengatasi rintangan untuk mencapai tujuan dan mendapatkan sesuatu.

Menurut Bandura (dalam Schultz, 1994) self-efficacy seseorang terbentuk secara bertahap dimulai dari masa bayi dan akan berkembang terus sampai lanjut

usia. Bandura juga menjelaskan mengenai sumber-sumber self-efficacy antara lain berasal dari pengalaman keberhasilan yang telah dicapai diri sendiri, pengalaman


(18)

mengatakan bahwa anak jalanan dapat bertahan hidup di jalan karena kemampuan

yang dimiliki mereka yang diperoleh dari pengalaman orang lain juga pengalaman

keberhasilan yang telah dicapainya. Anak jalanan akan mengikuti apa yang

dilakukan orang lain dan akan mengulangi kegiatan yang dianggapnya

menghasilkan sesuatu yang menyenangkan.

“Sebenarnya aku nggak ada kak ikut-ikut kayak gini, tapi kutengok abangku banyak dia dapat uang dari nyapu-nyapu angkot sama ngamen kek gitu... jadinya akupun ikut-ikutan, lumayan juga lah kan uangnya buat bantu-bantu mamak untuk tambah-tambah uang makan kami, kalau pas dapat lebih, bisa juga kutabung...”

(Komunikasi personal, 9 Desember 2008)

Schwarzer (dalam Zimbardo dan Gerrig, 1999) menjelaskan bahwa self-efficacy mempengaruhi seberapa besar usaha yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan berapa lama seseorang dapat bertahan dalam mengatasi situasi

kehidupan yang sulit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, anak

jalanan akan berusaha keras untuk mencapai tujuannya.

“biasanya aku memang ngamen kak, tapi kalau aku sudah capek nyanyi, nyemir sepatu lah aku, nengok-nengok orangnya juga lah. Biar bisa dapat uang lebih banyak lagi, karena kalau nggak bawa uang kan nanti dimarahin mamak.

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008)

Individu yang dapat bertahan dalam situasi kehidupan tersebut di atas adalah

individu yang mempunyai self-efficacy tinggi dimana individu tersebut tidak akan putus asa dan terus berusaha serta mencoba lebih keras dalam menghadapi

tantangan hidup tersebut, sebaliknya individu yang mempunyai self-efficacy yang rendah akan mengurangi usahanya untuk bekerja dalam situasi yang sulit serta

cenderung akan gagal dalam menyesuaikan diri dalam situasi sosial (Bandura


(19)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy seorang anak jalanan itu mempengaruhi bagaimana cara mereka dalam

mempertahankan hidupnya di jalanan dan juga bagaimana cara mereka

menyelesaikan pendidikan formal yang mereka jalani sehingga menimbulkan

pertanyaan bagi peneliti yaitu bagaimanakah gambaran self-efficacy yang dimiliki oleh anak jalanan dimana mereka memiliki tanggung jawab sebagai seorang

pelajar serta tanggung jawab sebagai pencari nafkah dalam keluarganya.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana gambaran self-efficacy pada anak jalanan”.

Perumusan masalah di atas akan diperinci lagi dengan pertanyaan-pertanyaan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah persepsi anak jalanan terhadap tugas untuk mencari nafkah

yang mereka hadapi dan apa dampak bagi anak jalanan tersebut?

2. Seberapa mampukah anak jalanan dapat bertahan ketika menghadapi tugas

untuk mencari nafkah?

3. Bagaimanakah anak jalanan dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai

seorang pelajar di sekolah?

4. Bagaimanakah anak jalanan dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai


(20)

5. Faktor-faktor apa saja yang mendukung keberhasilan anak jalanan dalam

melakukan tugas-tugasnya sebagai pelajar dan pencari nafkah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban dari perumusan

masalah mengenai self-efficacy pada anak jalanan.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan,

yaitu membukakan wawasan mengenai self-efficacy pada anak jalanan. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk menambah

pengetahuan dan pemahaman mengenai anak jalanan bagi :

a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak-pihak yang ikut

berpartisipasi terhadap masalah anak jalanan.

b. Masyarakat umum sebagai referensi bagi para pembaca yang ingin melakukan

penelitian mengenai anak jalanan terutama yang berhubungan dengan self-efficacy pada anak jalanan.


(21)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dalam laporan ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam

pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang

berhubungan dengan anak jalanan dan self-efficacy. BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan

lokasi penelitian dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan pengolahan dan pengorganisasian data penelitian,

membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan. Bab ini

juga memuat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan

oleh teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang

baru.

BAB V : Kesimpulan dan Saran


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. MASA KANAK-KANAK AKHIR 1. Definisi Kanak-kanak Akhir

Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam

tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual, atau dari 6 –

12 tahun. Masa kanak-kanak akhir ditandai dengan kondisi yang sangat

mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi dari masa

kanak-kanak akhir adalah kanak-kanak yang berada pada rentang usia enam

sampai dua belas tahun.

2. Tugas-tugas Perkembangan Kanak-kanak Akhir

Havighurst (dalam Monks, 1999) mengemukakan bahwa perjalanan hidup

seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi. Tugas

ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang.

Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan, yaitu tugas yang harus

dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma

masyarakat dan norma budaya (Monks, 1999).

Tugas-tugas perkembangan masa kanak-kanak akhir menurut Havighurst


(23)

a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan

yang umum.

b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang

sedang tumbuh.

c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya

d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.

e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis

dan berhitung.

f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan

sehari-hari.

g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai.

h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan

lembaga.

i. Mencapai kebebasan pribadi.

B. ANAK JALANAN 1. Definisi Anak Jalanan

Anak jalanan diistilahkan sebagai anak-anak bermasalah pada era Orde Baru.

Istilah ini muncul dari cara dan niat pemerintah yang cenderung melihat

keberadaan anak-anak di luar kerangka atau norma yang diberlakukan. Suyono

Yahya dalam presentasinya tentang anak jalanan di Philipina (1989) menyebutkan

anak jalanan sebagai anak yang mengalami ‘penyimpangan sosial’ atau child’s social dysfunction. Istilah ‘penyimpangan’ menunjuk pada cara pandang atau


(24)

sikap pemerintah yang diskriminatif, dimana anak jalanan dibedakan dengan

anak-anak lain berdasarkan norma atau aturan yang ditentukan sendiri oleh rezim

Orde Baru (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Soedijar (dalam Irwanto, 1995) mendefinisikan anak jalanan sebagai anak

yang berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang

dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan

keselamatan dirinya. Soedijar juga menambahkan bahwa istilah anak jalanan

digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasi kelompok

anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Identifikasi ini kuat

dipengaruhi oleh cara masyarakat yang mendasarkan pandangannya pada

domestikasi. Dalam pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga

atau di dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Menurut Suwardi (2007), seseorang dapat dikatakan anak jalanan bila

berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari

nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak

jalanan adalah anak yang berusia 7 – 15 tahun yang bekerja dan menggunakan

jalanan ataupun tempat umum lainnya sebagai tempat mencari nafkah serta berada

di jalanan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

2. Karakteristik dan Kriteria Anak Jalanan

Penelitian Nusa Putra (dalam Mulandar, 1996) menyebutkan secara umum


(25)

a. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan)

selama 3 sampai 24 jam sehari.

b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah dan hanya sedikit sekali

yang tamat SD).

c. Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (biasanya berpindah-pindah

tempat tinggal, bahkan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya).

d. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal).

Kriteria yang menonjol dari diri anak jalanan (Suwardi, 2007) antara lain :

a. Terlihat kumuh atau kotor, baik kotor pada badan atau tubuh maupun pakaian

yang mereka pakai.

b. Memandang orang lain (di luar orang yang berada di jalanan) adalah orang

yang bisa atau dapat dimintai uang.

c. Mandiri artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama

dalam hal tempat tidur atau makanan.

d. Muka atau mimik yang selalu memelas terutama ketika berhubungan dengan

orang yang bukan dari jalanan.

e. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan mengobrol dengan

siapapun sesama di jalanan.

f. Malas untuk melakukan pekerjaan anak rumahan misalnya mandi,

membersihkan badan, menyimpan pakaian serta jadwal tidur selalu tidak


(26)

3. Klasifikasi Anak Jalanan

Menurut Suwardi (2007) anak jalanan terbagi ke dalam empat tipe, yaitu:

a. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua.

b. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang

tua.

c. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan

keluarga.

d. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan

keluarga.

Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) juga membagi anak jalanan ke dalam

tiga kategori, yaitu :

a. Children of the Street : anak jalanan yang selama 24 jam hidup di jalanan termasuk makan, tidur, bekerja dan juga tinggal di jalan. Anak jalanan

kategori ini tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak bersekolah lagi juga

tidak pernah lagi pulang ke rumah meskipun rumah mereka masih ada.

b. Children on the Street : anak masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, bahkan sebagian ada yang masih bersekolah. Kategori inilah yang meroket

jumlahnya semenjak krisis 1997 melanda Indonesia, berhubung penghasilan

orang tua yang menurun karena gelombang PHK dan krisis ekonomi yang

melanda. Membantu orang tua termasuk membiayai sendiri biaya sekolah


(27)

c. Children Vulnerable to Be on the Street : kelompok anak yang berteman atau bergaul dengan 2 tipe di atas dan terkadang ikut-ikutan turun ke jalan.

Kelompok anak kategori ini melihat “asyiknya” gaya hidup di jalanan yang

bebas, punya uang, dll. Anak tersebut tinggal menunggu thecrashmoment seperti dipukul orang tua, perceraian, bencana (kebakaran, penggusuran,

banjir, dsb) untuk masuk ke dalam kategori pertama atau kedua.

4. Latar Belakang Anak Jalanan

Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) menyebutkan ada tiga tingkat yang

menyebabkan munculnya fenomena anak jalanan, yaitu :

a. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya seperti kondisi ekonomi keluarga yang

rendah, ketidakharmonisan keluarga, kekerasan dalam keluarga.

b. Tingkat meso (underlying causes), yaitu faktor-faktor yang ada di masyarakat tempat anak dan keluarga berada seperti tinggal di tempat kumuh dan juga

lingkungan pergaulan anak.

c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan struktur makro dari masyarakat (ekonomi, politik dan kebudayaan) seperti

krisis moneter, konflik antar suku, kerusuhan dan bencana alam.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

penyebab munculnya fenomena anak jalanan adalah karena kondisi keluarga

(termasuk ekonomi, ketidakharmonisan dan kekerasan), lingkungan pergaulan


(28)

5. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan

Menurut Soedijar (dalam Irwanto, 1995) anak jalanan merupakan anak yang

berusia 7 – 15 tahun dan menurut Hurlock (1999) rentang usia tersebut merupakan

masa kanak-kanak akhir (6 – 12 tahun) dan masa remaja (13 – 18 tahun).

Karakteristik anak jalanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak

jalanan yang berada pada masa kanak-kanak akhir dimana pada masa ini tugas

perkembangan dari seorang anak adalah mengembangkan

keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, anak mulai

membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang

tumbuh dan pada masa ini anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya di

sekolah (Hurlock, 1999). Namun pada kenyataannya, anak jalanan yang berada di

rentang usia 6–12 tahun tersebut, selain mereka tetap menjalankan kewajiban

mereka untuk belajar di sekolah formal, mereka juga harus terjun ke jalanan dan

justru lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan dengan orang-orang yang

bukan sebaya dengannya daripada di sekolah dengan teman-teman sebayanya.

Mereka juga akan berhadapan langsung dengan kerasnya dunia serta melakukan

kegiatan ataupun tugas-tugas yang seharusnya belum dilakukan pada rentang usia

mereka. Anak-anak jalanan diharuskan dapat menguasai tugas-tugas

perkembangan yang seharusnya baru dapat mereka kuasai dan mereka lakukan

pada tahap dewasa awal yaitu mencari nafkah untuk dapat mempertahankan

kehidupannya sendiri serta kehidupan keluarga mereka.

Anak jalanan melakukan kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan seperti


(29)

penjual koran, penyemir sepatu dan lain sebagainya, dimana seharusnya

pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dilakukan oleh anak seusia mereka karena akan

dapat membahayakan diri mereka sendiri dimana anak-anak jalanan tersebut akan

berhadapan dengan rintangan-rintangan kehidupan (antara lain kekerasan seksual

dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minum minuman keras akibat

dari pergaulannya dan sebagainya) agar dapat menghasilkan sesuatu.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan anak-anak jalanan karena mereka harus

mendapatkan penghasilan atau uang tambahan sebab penghasilan dari orang tua

mereka dirasa masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga

sehingga anak-anak jalanan dan keluarganya dapat tetap bertahan hidup.

C. SELF-EFFICACY 1. Definisi Self-Efficacy

Schultz (1994) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan individu tersebut dalam

menghadapi kehidupan. Bandura (dalam Santrock, 1998) mendefinisikan self-efficacy sebagai “individual’s belief that they can master a situation and produces positive outcomes”. Definisi ini menyebutkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang

positif.

Bandura (dalam Feist & Feist, 2002; Akbar & Hawadi, 2004) mengatakan


(30)

juga mengatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam

hidupnya dan hal ini akan mendorong suatu keinginan serta akan berpengaruh

dalam pemilihan perilaku, usaha dan ketekunan seseorang. Bandura

menambahkan pendapatnya bahwa persepsi individu terhadap kemampuannya

(mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan tindakan

dalam jenis performansi tertentu.

Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) berpendapat bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan

untuk menghasilkan sesuatu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada

dalam dirinya yang akan mempengaruhi dalam pemilihan perilaku dan usaha dari

individu tersebut ketika mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu dan

melakukan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan.

2. Pembentukan Self-Efficacy

Self-efficacy berkembang secara bertahap dan menurut Bandura (dalam Schultz,1994) perkembangan self-efficacy dimulai dari masa bayi. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai belajar tentang kemampuan dirinya seperti


(31)

kemampuan fisik, keterampilan sosial dan kecakapan berbahasa. Kemampuan ini

hampir secara konstan digunakan dan ditunjukkan di lingkungan.

Awal pertumbuhan self-efficacy berasal dari orang tua, kemudian setelah itu diperluas lagi dengan pengalaman dunia anak dan penerimaan pengaruh dari

saudara kandung, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Anak yang

berpengalaman dan sukses dalam tugas dan permainan akan menunjukkan self-efficacy yang tinggi (Schultz, 1994).

Ketika memasuki masa remaja, seseorang dihadapkan dengan tuntutan dan

tekanan baru, dari pengenalan seks hingga pemilihan universitas dan karir. Dalam

setiap situasi yang membutuhkan penyesuaian, remaja harus membentuk

kemampuan baru dan penilaian baru terhadap kemampuan mereka. Bandura

mencatat bahwa keberhasilan pada masa remaja tergantung pada self-efficacy yang terbentuk pada masa kanak-kanak (Schultz, 1994).

Bandura membagi masa dewasa atas 2 kelompok yaitu dewasa muda dan

dewasa pertengahan. Menurut Bandura, self-efficacy penting pada masa dewasa muda yakni dalam hal penyesuaian terhadap perkawinan dan peningkatan karir.

Individu yang mempunyai self-efficacy rendah cenderung gagal dalam menyesuaikan diri dalam situasi sosial (Schultz, 1994).

Bandura (1994) juga menambahkan pendapatnya mengenai proses terbentukya

self-efficacy dimana ia mengatakan bahwa penilaian self-efficacy merupakan suatu proses pertimbangan pada faktor kemampuan dan non kemampuan, dan proses

penyimpulan terhadap kesuksesan dan kegagalan. Self-efficacy bersama-sama dengan kemampuan kognitif, sosial dan tingkah laku diatur menjadi tindakan yang


(32)

terintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu. Akibatnya, dalam situasi yang sama

dan orang yang berbeda dapat menghasilkan prestasi yang berbeda. Demikian

juga orang yang sama dalam situasi yang berbeda dapat menghasilkan prestasi

yang berbeda pula (Akbar & Hawadi, 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa proses perkembangan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang berlangsung dari sejak masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan seterusnya sampai usia dewasa. Dalam perkembangannya,

self-efficacy seseorang akan dipengaruhi oleh pengalaman sosial bersama orang tua, saudara dan lingkungan di sekitarnya.

3. Sumber-sumber Self-Efficacy

Bandura (1997) mengatakan bahwa terdapat empat sumber informasi yang

dapat diperoleh individu mengenai kemampuan dirinya, yaitu :

a. Enactive Mastery Experiences (Pengalaman Keberhasilan)

Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang merupakan sumber informasi

yang paling berpengaruh terhadap self-efficacy. Bila seseorang berhasil mencapai kesuksesan yang diinginkan, maka akan dapat meningkatkan

keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, bila seseorang

mengalami kegagalan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, maka akan

dapat mengurangi keyakinan terhadap kemampuan dirinya (Bandura, 1997).

b. Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain)

Melihat orang lain yang sama dengan dirinya dalam memperoleh


(33)

tugas yang sama pula. Individu akan menilai bahwa dirinya juga mampu

melakukan hal yang sama. Sementara jika individu tersebut melihat orang lain

yang dinilai memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya mengalami

kegagalan, maka hal tersebut dapat merendahkan penilaian terhadap

kemampuan dirinya sendiri (Bandura, 1997).

c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal)

Individu dapat memperoleh informasi mengenai kemampuan dirinya melalui

persuasi verbal yang disampaikan oleh orang lain dan biasanya merupakan

orang-orang yang mempunyai pengaruh terhadap dirinya. Pada dasarnya

persuasi digunakan untuk membantu individu percaya akan kemampuan yang

dimilikinya (Bandura, 1997).

d. Physiological State (Keadaan Fisiologis)

Individu dapat mengetahui bahwa kondisi fisiknya dalam suatu situasi yang

menekan, sebagai tanda bahwa ia tidak mampu melakukan suatu tugas. Dalam

menghadapi suatu aktifitas yang menuntut kekuatan fisik dan stamina,

seseorang dapat membaca kelelahannya sebagai indikasi ketidakmampuan,

sehingga keyakinan dirinya akan menurun (Bandura, 1997).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy individu antara lain :


(34)

Orang tua seringkali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan

anak laki-laki dan perempuannya. Zimmerman (dalam Bandura, 1997) dalam

penemuannya melaporkan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan

kemampuan dan kompetensi anak laki dan perempuan. Ketika anak

laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan kemampuan dirinya, anak

perempuan malah seringkali meremehkan kemampuan mereka.

b. Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dan kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan

mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya

sendiri. Semakin kompleksnya suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka

akan semakin rendah individu tersebut dalam menilai kemampuannya.

Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana

maka akan semakin tinggi individu tersebut akan menilai kemampuannya.

c. Insentif eksternal

Bandura (1997) mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan

self-efficacy adalah competent contingent incentive yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang dalam

menguasai atau melaksanakan tugasnya.

d. Status (peran serta individu dalam lingkungan)

Individu yang memiliki peran di dalam lingkungan akan memperoleh derajat

kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang tidak terlibat dalam lingkungan akan memiliki


(35)

dibandingkan dengan orang yang aktif dalam lingkungan. Peran dalam

lingkungan dapat ditunjukkan dengan mengikuti satu atau lebih

organisasi-organisasi sosial yang ada.

e. Informasi tentang kemampuan diri

Seseorang akan memiliki self-efficacy yang tinggi jika ia memperoleh informasi yang positif mengenai dirinya dan akan memiliki self-efficacy yang rendah jika memperoleh informasi yang negatif mengenai dirinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang

dapat mempengaruhi self-efficacy yaitu jenis kelamin, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal, status (peran serta individu dalam lingkungan) dan

informasi tentang kemampuan diri.

5. Aspek-aspek Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada 3 aspek dari self-efficacy antara lain : a. MagnitudeLevel (tingkat kesulitan tugas)

Magnitude level berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dihadapi.

Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari

suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain

mungkin menganggap tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang

dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan semakin mudah


(36)

Magnitudelevel terbagi atas 3 bagian, yaitu :

1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu

merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan

pilihan perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas

kemampuannya, yaitu seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu

dalam menghindari situasi dan perilaku yang dirasa berada di luar batas

kemampuannya.

3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu

seberapa besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas

dan tantangan pekerjaan.

b. Generality (luas bidang perilaku)

Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana seseorang merasa yakin bahwa

dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik pada setiap bidang yang

biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah dilakukannya.

c. Strength (kemantapan keyakinan)

Berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan

tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat

terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan


(37)

6. Karakteristik Individu yang Mempunyai Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy Rendah

Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan penilaian terhadap seberapa baiknya seseorang dalam melakukan suatu tindakan yang

diperlukan dalam situasi tertentu.

Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah :

a. Merasa yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa dan

situasi yang dihadapi.

b. Tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas.

c. Percaya pada kemampuan diri sendiri.

d. Memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari

situasi baru.

e. Menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen

yang kuat terhadapnya.

f. Menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakukannya dan

meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan.

g. Berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan.

h. Cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan dan menghadapi

stressor atau ancaman dan keyakinan bahwa dirinya mampu mengontrolnya

(Bandura, 1997).

Karakteristik individu yang memliki self-efficacy yang rendah adalah : a. Merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis dan menjadi cemas.


(38)

c. Cepat menyerah saat menghadapi rintangan.

d. Aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin

dicapai dalam situasi yang sulit cenderung akan memikirkan kekurangan

dirinya.

e. Lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami

kegagalan (Bandura, 1997).

Bandura (dalam Warsito, 2004) menambahkan individu yang memiliki self-efficacy yang rendah akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Mereka menganggap kegagalan sebagai kurangnya

kemampuan yang ada. Dalam kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini,

orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan sebaliknya orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mengurangi usaha mereka untuk bekerja dalam situasi yang sulit.

C. Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Menurut Tauran (2000), anak jalanan harus memiliki kemampuan untuk

melakukan suatu tugas atau kegiatan dalam menghadapi kehidupannya karena

mereka akan menghabiskan waktunya untuk bekerja antara lima sampai dua belas

jam dalam sehari antara lain sebagai pengamen jalanan, pedagang asongan

ataupun pembersih mobil dan angkot. Dalam realitanya, anak jalanan banyak

berinteraksi dengan orang dewasa dan berhadapan dengan kekerasan hidup,


(39)

Menurut Hurlock (1999), jika dikaitkan dengan tugas perkembangan seorang

anak jalanan (dimana pada penelitian ini berumur 7 – 12 tahun), maka dapat

dilihat bahwa hal tersebut bukan merupakan tugas perkembangan dari anak

jalanan karena di usia kanak-kanak akhir (6 – 12 tahun) tersebut seharusnya anak

berada dalam lingkungan bermain, belajar serta menghabiskan banyak waktu di

sekolah. Anak akan menghadapi tugas untuk mencari nafkah guna memenuhi

kebutuhan konsumtif mereka pada masa dewasa awal (18 – 40 tahun).

Pada fenomena yang ada, anak jalanan memang masih melakukan tugas

perkembangannya sebagai seorang pelajar di sekolah formal namun dapat

dikatakan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjadi anak

jalanan agar mendapatkan uang sebagai penghasilan tambahan bagi orangtua

mereka. Di rentang usia tersebut anak-anak seharusnya lebih banyak bergaul dan

berteman dengan anak seusia mereka namun pada kenyataannya, mereka justru

lebih banyak bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua dari

mereka. Anak jalanan melakukan tugas-tugas yang seharusnya belum dilakukan di

usia mereka yaitu mencari nafkah di jalanan karena akan dapat membahayakan

diri mereka sendiri sebab anak-anak jalanan akan berhadapan dengan

rintangan-rintangan kehidupan agar dapat menghasilkan sesuatu. Menurut Suwardi (2007),

pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan anak-anak jalanan karena mereka harus

mendapatkan penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan

keluarganya agar dapat tetap bertahan hidup. Baron & Byrne (dalam Akbar &

Hawadi, 2004) mengatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan definisi dari self-efficacy yaitu merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau


(40)

kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan

mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu. Anak jalanan memiliki tugas

untuk mencari nafkah guna mencapai tujuan yaitu mendapatkan penghasilan atau

uang, dan untuk memenuhi tugas dan tujuan tersebut, anak jalanan harus dapat

mengatasi rintangan-rintangan kehidupan yang akan dihadapi mereka (antara lain

kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang

yang tidak bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minuman keras

akibat dari pergaulan dan sebagainya) ketika menjalankan tugas untuk mencapai

tujuannya.

Bandura (dalam Santrock, 1998) mengatakan bahwa self-efficacy berhubungan dengan keyakinan individu dalam mengatasi suatu situasi kehidupan. Dalam

kaitannya dengan anak jalanan adalah bahwa anak jalanan yang berada di masa

kanak-kanak akhir (6 – 12 tahun), selain mereka harus tetap menyelesaikan

pendidikan sebagai seorang pelajar di sekolah formal, mereka juga harus dapat

berhadapan dengan situasi-situasi kehidupan dan tugas untuk mencari nafkah yang

seharusnya belum dilakukan untuk rentang usia tersebut. Menurut Bandura (dalam

Warsito, 2004) individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi merupakan individu yang mampu bertahan serta memiliki usaha yang keras dalam

menghadapi situasi dan tantangan hidup yang sulit. Sebaliknya, individu yang

memiliki self-efficacy yang rendah akan gagal menyesuaikan diri dalam situasi sosial dan mereka juga akan mengurangi usahanya untuk bekerja ketika mereka

berhadapan dengan situasi dan tantangan hidup yang sulit. Anak jalanan yang


(41)

rintangan-rintangan kehidupan yang mereka hadapi dan dapat memenuhi tugasnya

untuk bersekolah dan mencari nafkah sedangkan anak jalanan yang memiliki self-efficacy yang rendah akan merasa kurang mampu mengatasi situasi dan rintangan-rintangan kehidupan. Self-efficacy yang rendah dapat menyebabkan anak jalanan tersebut merasa gagal memenuhi tugasnya untuk bersekolah dan mencari nafkah

karena mereka mengurangi usaha ketika berhadapan dengan rintangan dan situasi


(42)

D. Paradigma Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Anak Jalanan Latar Belakang :

problematika di dalam keluarga

(Koentjoro, 2001)

Klasifikasi Anak Jalanan : 1. Children of the Street 2. Children on the Street 3. Children Vulnerable to be on the Street

(Tata Sudrajat, 1996)

Self-efficacy

Sumber self-efficacy : 1.Enactive mastery experiences 2.Vicarious experiences

3.Verbal persuasion 4.Physiological state Aspek self-efficacy :

1.MagnitudeLevel 2.Generality 3.Strength

Self-efficacy Tinggi dan

Self-efficacy Rendah Tugas perkembangan :

Bersekolah dan mempersiapkan karir ekonomi

(Hurlock, 1999)

Anak Jalanan bersekolah dan mencari uang / nafkah bagi keluarganya.

Faktor-faktor self-efficacy: 1. Jenis kelamin

2. Sifat dari tugas yang dihadapi

3. Insentif eksternal 4. Status

5. Informasi tentang kemampuan diri


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode

penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan

menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Penelitian

kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara

keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam

mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti

adalah pengalaman subjektif individu mengenai kemampuan anak jalanan dalam

menjalankan tugas-tugasnya untuk bersekolah dan mencari nafkah dimana

karakteristik dari partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7 – 12

tahun dan peneliti menilai bahwa anak dalam rentang usia tersebut akan lebih

mudah jika dilakukan dengan pendekatan kualitatif agar peneliti memperoleh apa

yang menjadi tujuan penelitian.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan

bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya

pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian


(44)

dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif adalah

bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang

sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa

pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta

penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang,

interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti

untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena

yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran,

perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan

pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif,

tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

B. METODE PENGUMPULAN DATA

Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber utama

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan

data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat

objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam penelitian


(45)

terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan

studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif

yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud

melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan

melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007). Wawancara

akan dilakukan terhadap anak-anak jalanan yang sesuai dengan karakteristik

partisipan penelitian dan akan dilakukan juga wawancara terhadap significant other seperti orang tua, teman dekat, dll agar data yang dikumpulkan dapat lebih valid dan terpercaya serta lebih memperkaya data-data yang akan diperoleh.

Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan

teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara

agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewatkan. Meskipun demikian,

tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk

menambah keakuratan data penelitian.

Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi

terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan


(46)

mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut

(Poerwandari, 2007).

Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat

bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk

diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan

reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana

keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan

dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam

penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya

bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut

(Minauli, 2002).

C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat yang

terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data,

peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat

bantu pengumpulan data antara lain :

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu

direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak

bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas


(47)

indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan tape recorder, peneliti tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan

observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan

memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan tape recorder juga memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti

tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin dari

partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam

pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang

nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak

menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap

analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi

juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin

dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek


(48)

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan

dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang

ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan

secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal

diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

3. Panduan Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hal-hal yang

terjadi selama wawancara dicatat dalam panduan observasi. Catatan observasi ini

akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan mengingat garis besar yang

terjadi selama proses wawancara seperti penampilan fisik partisipan, setting

wawancara, sikap partisipan kepada peneliti selama wawancara, hal-hal yang

mnegganggu wawancara, hal-hal yang unik, menarik dan tidak biasa dilakukan

partisipan yang muncul selama menjawab pertanyaan peneliti.

D. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk

menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian

kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah

dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.


(49)

Kredibilitas penelitian ini terletak pada keberhasiln penelitian dalam

mengungkapkan permasalahan mengenai aspek-aspek dari self-efficacy yang terdapat dala diri anak jalanan.

Marshall (dalam Poerwandari, 2007) menyarankan adanya patokan-patokan

yang perlu dipahami untuk meningkatkan kredibilitas laporan penelitian kualitatif.

Peneliti mengikuti saran Marshall tersebut dengan berusaha meningkatkan

kredibilitas penelitian melalui beberapa langkah seperti : peneliti menjelaskan

metode pengumpulan data, mengungkap secara terbuka langkah-langkah

pengumpulan data dan analisa data, menyimpan kelengkapan data yang didapat di

lapangan, peneliti juga mengembangkan konstruk analisa data yang sebenarnya

didapatkan di lapangan, dimana analisa tersebut bukan rekaan peneliti.

Selain itu peneliti berusaha meningkatkan generalibilitas dan kredibilitas

penelitian ini dengan melakukan triangulasi. Peneliti juga berusaha meningkatkan

kredibilitas penelitian dengan cara melakukan diskusi dan meminta saran

mengenai analisa dan interpretasi data yang diperoleh di lapangan dengan dosen

pembimbing. Hal tersebut dilakukan peneliti sesuai dengan saran dari Patton

(dalam Poerwandari, 2007).

E. PARTISIPAN DAN LOKASI PENELITIAN 1. Prosedur Pengambilan Partisipan

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik

pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan


(50)

construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai

tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat

representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.

2. Jumlah Partisipan

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat

yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel

yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung

pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan

sumber daya yang tersedia.

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah subyek penelitian, yang

terpenting dalam penelitian kualitatif adalah subyek yang bisa memberikan

sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya, kemampuan

partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya

subyek menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian

(Gay dan Airasian, 2003). Dalam penelitian ini peneliti merencanakan 3 (tiga)

partisipan dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk

mendapatkan gambaran mengenai self-efficacy pada anak jalanan secara menyeluruh.

3. Karakteristik Partisipan


(51)

a. Anak jalanan, yaitu anak-anak yang melakukan aktivitas atau pekerjaan di

jalanan untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat

umum lainnya paling sedikit enam jam dalam sehari dan enam hari dalam

seminggu.

b. Usia antara 7 – 12 tahun dan bersekolah.

c. Tinggal dengan orang-tua.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil subjek yang

sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini penting

dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga

berdomisili di kota Medan sekaligus menghemat biaya penelitian.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu :

a. Mengumpulkan data

Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang

berhubungan dengan anak jalanan, melalui wawancara awal, artikel,

jurnal-jurnal, dosen, teman-teman dan lingkungan sekitar serta mengumpulkan

teori-teori yang berhubungan dengan hal tersebut, kemudian menguraikan


(52)

b. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi

pedoman dalam proses wawancara. Pedoman wawancara berisikan tentang

aspek-aspek self-efficacy dan teori-teori yang terdapat pada Bab II. c. Menghubungi calon partisipan

Mengumpulkan informasi tentang calon partisipan. Peneliti mendapatkan

informasi mengenai calon partisipan melalui informan. Setelah mendapatkan

beberapa calon partisipan, selanjutnya peneliti menghubungi calon partisipan

untuk menjelaskan penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaan

calon partisipan untuk menjadi subjek penelitian

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah :

a. Informed consent, yaitu partisipan menyatakan persetujuannya untuk terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar tentang

penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale & Neuman dalam Poerwandari,

2007).

b. Peneliti meminta izin partisipan untuk merekam pembicaraan dengan

menggunakan alat perekam dari awal sampai akhir wawancara.

c. Melakukan rapport yang diawali dengan percakapan-percakapan ringan agar suasana tidak kaku pada saat wawancara.


(53)

d. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian makin

lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan

sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat

perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Hasil rekaman ini

kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Verbatim adalah

mendengarkan lalu menulis kata per kata hasil rekaman wawancara kemudian

diketik (Poerwandari, 2007).

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk

verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode

observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan

dianalisa sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

G. PROSEDUR ANALISA DATA

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa setelah wawancara, peneliti kemudian

menganalisa dan menginterpretasi data yang dimulai dengan membuat verbatim

dari hasil wawancara. Data akan dianalisa menurut prosedur penelitian kualitatif

dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode

kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), proses analisa data adalah :

1. Peneliti melakukan organisasi data secara sistematis untuk memperoleh


(54)

2. Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding dan analisis.

Peneliti kemudian menyusun transkripsi verbatim dengan menyediakan kolom

kosong sebelah kanan transkrip untuk tempat kode-kode tertentu, kemudian

secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip.

Selanjutnya peneliti memberi pemaknaan pada substansi data yang telah

dikumpulkan.

3. Peneliti melakukan pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data

dan kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan

kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan

upaya mencari penjelsan yang berbeda mengenai data yang sama, dalam hal

ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan

keluasan analisa serta memeriksa bias-bias yang mungkin terjadi tanpa

disadari oleh peneliti.

4. Peneliti kemudian melakukan strategi analisis. Proses analisa dilakukan

dengan melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata

subjek maupun konsep yang dikembangkan peneliti untuk menjelaskan

fenomena yang dianalisa.

5. Peneliti melakukan interpretasi data yang mengacu pada upaya untuk

memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki

perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data


(55)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi.

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami self-efficacy pada anak jalanan, maka data akan dijabarkan, dianalisa dan diinterpretasi per partisipan. Dalam bab

ini akan digunkan kode-kode yang memudahkan melihat hasil wawancara yang

terdapat pada lampiran. Contoh kode yang digunakan seperti W1P1B078-086/ hal.

2, yang berarti pernyataan tersebut terdapat pada wawancara pertama untuk

parsipan pertama yang terdapat pada baris 78 sampai 86, dimana pernyataan

tersebut terdapat pada lampiran halaman 2.

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) partisipan penelitian. Masing-masing

partisipan akan dianalisa satu per satu dan kemudian akan dibandingkan hasil

analisa masing-masing dalam tabel analisa banding.

A. Partisipan 1 (RS)

1. Deskripsi Umum Partisipan 1 (RS) Tabel 1

Gambaran Umum Partisipan 1

Keterangan Partisipan 1 (RS)

Inisial RS

Usia 12 tahun

Jenis Kelamin Perempuan

Agama Kristen Protestan

Anak ke- 10 dari 11 bersaudara


(56)

Penghasilan rata-rata Rp 20.000,- / hari

Pekerjaan Ayah Petani

Usia Ayah 50 tahun

Pekerjaan Ibu Petani

Usia Ibu 35 tahun

Partisipan berinisial RS (12 tahun) ini merupakan anak keenam dari tujuh

bersaudara, namun dapat dikatakan juga bahwa RS anak kesepuluh dari sebelas

bersaudara karena ayah RS menikah dua kali dan RS terlahir dari ibu keduanya.

Ibu pertama RS telah meninggal karena suatu penyakit dan RS memiliki empat

orang saudara tiri dari ibu pertamanya. Tiga orang saudara RS telah menikah, tiga

orang pergi merantau dan yang lainnya tinggal bersama dengan RS dan

orang-tuanya serta nenek RS.

Orang-tua RS memiliki ladang padi dan sehari-hari pekerjaan mereka adalah

bertani. Penghasilan orang-tua RS dirasa kurang untuk dapat memenuhi

kebutuhan mereka sekeluarga sehingga ketika RS yang pada saat itu berusia 8

tahun diajak oleh kakaknya (10 tahun) untuk berjualan aqua di jalanan sekitar

Simpang Pos, RS mau melakukannya agar RS bisa mendapatkan uang untuk

keperluan dirinya sehari-hari dan apabila RS memperoleh uang yang banyak dari

jalanan maka RS akan memberikannya pada orang-tuanya bahkan digunakan juga

untuk keperluan sekolah RS. Awalnya orang-tua RS tidak mengetahui bahwa RS

menjadi penjual aqua di lampu merah Simpang Pos, namun setelah beberapa

minggu berjualan akhirnya RS memberitahukan orang-tuanya. Pada saat RS

memberitahukan mengenai hal tersebut, RS juga memberikan uang sejumlah


(57)

apa yang dilakukan oleh RS. Sejak saat itu RS menjadi rutin pergi ke Simpang

Pos untuk berjualan aqua.

Menurut pengakuan teman-teman RS, RS termasuk anak yang pandai mencari

uang karena penampilan RS yang menarik serta RS yang ‘pintar merayu’.

Pendapatan rata-rata RS dapat dikatakan sekitar Rp 20.000,- s/d Rp 25.000,-

kecuali pada hari-hari tertentu (misalnya Hari Raya) RS akan mendapatkan uang

yang jauh di atas rata-rata. Selama berada di jalanan, RS juga melakukan kegiatan

lain untuk mendapatkan uang seperti mengamen, menyapu ataupun menyemprot. Namun kegiatan yang paling sering dilakukannya sekarang adalah mengamen karena RS merasa kegiatan itu lebih mudah dan lebih menyenangkan dilakukan.

Meskipun RS berstatus sebagai anak jalanan, namun RS masih tetap

bersekolah di SMP Budi Insani yang berada di daerah Simalingkar dan sekarang

RS duduk di kelas I (satu). RS masuk sekolah pada pukul 07.25 dan pulang pukul

14.00. Di sekolah, RS paling berminat pada mata pelajaran kesenian dan budaya

karena RS mengaku memang sangat suka menyanyi, sementara itu mata pelajaran

yang paling tidak disukai RS adalah matematika karena RS merasa kurang

menyukai dan menguasai pelajaran berhitung.

RS biasanya berangkat ke Simpang Pos setelah RS pulang sekolah, tapi

terlebih dahulu RS pulang ke rumah untuk makan siang dan berganti pakaian baru

kemudian RS berangkat ke Simpang Pos dimana RS biasanya bekerja di jalanan

untuk mencari uang sebagai pengamen, penjual aqua, ataupun pembersih


(58)

Tabel 2

Waktu Wawancara Partisipan 1 (RS) Partisipan Hari/Tanggal wawancara Waktu

wawancara Tempat wawancara RS Minggu/18 Oktober 2009 15.30 - 16.35 WIB Rumah singgah RS Sabtu/24 Oktober 2009 15.00 - 16.00 WIB Rumah singgah RS Rabu/04 Nopember 2009 15.30 - 16.20 WIB Rumah makan

2. Deskripsi Hasil Wawancara

Partisipan berinisial RS yang berusia 12 tahun ini merupakan anak kesepuluh

dari sebelas bersaudara. Ayah RS sudah dua kali menikah karena istri pertamanya

telah meninggal dan RS terlahir dari istri kedua ayahnya. RS memiliki 4 orang

saudara tiri dan 7 orang saudara kandung. RS bersekolah di SMP Budi Insani

yang berada di daerah Simalingkar dan sekarang RS duduk di kelas I (satu). RS

masuk sekolah pada pukul 07.25 dan pulang pukul 14.00. Setelah pulang sekolah

RS biasanya pergi ke Simpang Pos untuk mengamen, menyapu ataupun menyemprot. Pendapatan rata-rata RS dapat dikatakan sekitar Rp 20.000,- s/d Rp25.000,- kecuali pada hari-hari tertentu (misalnya Hari Raya) RS akan

mendapatkan uang yang jauh di atas rata-rata. Uang yang didapatkan RS biasanya

digunakan untuk keperluan sehari-hari dirinya dan keluarganya serta untuk

keperluan sekolah RS.

a. Klasifikasi anak jalanan

Sewaktu RS masih berusia sekitar 8 tahun, kakak RS (Elita) yang pada saat itu


(59)

akhirnya kakak RS berhasil membujuk RS untuk mengikutinya berjualan aqua di

lampu merah sekitar Simpang Pos.

“Eee, diajak sama kakak. Si Elita. Ada dia disitu.” (W1P1B031-032/Hal.5)

“Eee, dibilangnya kan, ayo Rosi jualan, trus dibawanya aku lari ke simpang pos.”

(W1P1B041-042/Hal.5)

“Si Elita kak, kakak ku yang kemaren itu. Kan dia yang ngajak aku, diajaknya aku waktu itu jualan aqua.”

(W2P1B086-088/Hal.17)

Kakak RS mengajak RS berjualan aqua dengan alasan agar mereka bisa

mendapatkan uang tambahan untuk jajan mereka karena menurut pengakuan RS

penghasilan orang-tuanya tidak terlalu banyak sehingga tidak dapat memenuhi

kebutuhan mereka sekeluarga. Oleh karena itu, RS mau diajak kakaknya untuk

berjualan aqua karena dengan berjualan aqua mereka akan memperoleh uang

tambahan untuk dapat dipergunakan mereka membeli makanan.

“Iya, dibilang si Elita kan, ayo Rosi jualan aqua kita di simpang pos, biar dapat duit kita Rosi. Bisa nanti kita jajan. Pertama nggak mau aku, takut aku lah, tapi kan karena sama-sama kami jadi bisa juga lah aku.”

(W2P1B091-096/Hal.17)

“Ah, bapak pun susah nya itu uangnya. Untuk makan kami ajanya itu. Nggak bisa jajan jadinya.”

(W2P1B099-101/Hal.18)

Namun setelah beberapa lama RS mendapatkan uang dari hasil menjual aqua,

orang-tua RS menasehatinya agar RS tidak lupa menabung sebagian dari

pendapatannya agar kelak RS dapat mempergunakan tabungannya tersebut untuk

melanjutkan sekolahnya apabila orang-tuanya tidak memiliki uang untuk


(1)

(2)

PEDOMAN WAWANCARA

I. Data Diri Partisipan

1. Nama :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin :

4. Nama Sekolah / Kelas :

5. Anak ke- :

6. Status tempat tinggal : 7. Penghasilan rata-rata perhari : 8. Usia ketika pertama kali menjadi ‘AJ’ :

II. Riwayat Keluarga Partisipan 1. Ayah

a. Nama :

b. Usia :

c. Pekerjaan :

d. Penghasilan :

2. Ibu

a. Nama :

b. Usia :

c. Pekerjaan :


(3)

III. Klasifikasi anak jalanan

1. Apakah yang menjadi alasan utama partisipan menjadi anak jalanan? 2. Sejak usia berapa partisipan menjadi anak jalanan?

3. Jadwal sekolah dan pergi ke jalan setiap harinya? 4. Tempat tinggal partisipan dimana dan dengan siapa?

5. Penghasilan partisipan diberikan pada siapa dan digunakan untuk keperluan apa?

IV. Latar belakang anak jalanan

1. Bagaimanakah kondisi keluarga dan orang-tua (mis: pekerjaan, penghasilan,dll)?

2. Bagaimanakah kondisi lingkungan tempat tinggal partisipan?

V. Tugas-tugas yang dihadapi anak jalanan berkaitan dengan aspek-aspek self-efficacy

1. Magnitude Level

a. Macam-macam tugas yang dilakukan partisipan?

b. Apakah partisipan merasa mampu menyelesaikan semua tugas atau hanya beberapa saja?

c. Jenis tugas yang dirasa paling sulit dilakukan?

d. Bagaimana cara partisipan mengatasi / menghadapi tugas-tugas yang dirasa kurang mampu untuk dilakukan?


(4)

a. Partisipan merasa lebih mampu menyelesaikan tugas yang memang seharusnya mereka lakukan (mis: belajar) atau tugas yang seharusnya tidak mereka lakukan (mis: mencari uang) ?

b. Apakah partisipan merasa aktifitasnya di jalanan mengganggu proses belajarnya?

c. Bagaimana partisipan mengatur waktu belajarnya? 3. Strength

a. Apa saja yang menjadi tantangan dan rintangan bagi partisipan?

b. Apakah partisipan merasa mampu menghadapi segala kesulitan dan tantangan yang dialaminya?

c. Bagaimana partisipan dapat bertahan melakukan kegiatannya di sekolah maupun di jalanan untuk mencari uang ketika ia menghadapi tantangan (misalnya sakit)?

d. Hal-hal apa sajakah yang paling disukai dan tidak disukai menjadi anak jalanan?

VI. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy

1. Bagaimana tanggapan orang tua terhadap status partisipan sebagai anak jalanan?

2. Apakah pihak guru dan sekolah mengetahui bahwa partisipan adalah seorang anak jalanan? (jika tahu) Apa tindakan sekolah terhadap partisipan?


(5)

3. Bagaimana sikap teman-teman partisipan terhadap statusnya sebagai anak jalanan?

4. Bagaimana pendapat partisipan mengenai dirinya sebagai anak jalanan? 5. Bagaimanakah prestasi partisipan di sekolah?

6. Bagaimana sikap orang tua dan guru ketika partisipan dapat meraih suatu prestasi?

7. Apakah orang-tua dan saudara partisipan ikut membantu partisipan dalam proses belajarnya?

8. Bagaimana perlakuan orang-tua terhadap partisipan apabila melakukan kesalahan?

9. Apa yang dirasakan partisipan apabila melihat temannya yang sesama anak jalanan dapat meraih suatu prestasi tertentu?

10.Apakah yang menjadi cita-cita dalam hidup partisipan?

11.Berapa jumlah penghasilan paling sedikit dan paling banyak yang pernah didapatkan partisipan?

12.Apa yang akan terjadi pada partisipan apabila penghasilan partisipan sangat sedikit? Dan apa pula yang terjadi apabila partisipan mendapatkan penghasilan yang banyak dalam satu hari?

13.Bagaimana perasaan partisipan menjadi anak jalanan? 14.Apakah partisipan mau menjadi anak jalanan selamanya?


(6)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Partisipan

Judul Penelitian : Self-Efficacy Pada Anak Jalanan Peneliti : Maharani Asina Pasaribu

NIM : 041301117

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai self-efficacy pada anak jalanan.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, September 2009