Sejarah Kabupaten Purworejo Hasil Penelitian
70 sedangkan, Duliyat memberikan sentuhan seni Jawa berupa instrumen kendhang
dan syair-syair lagu berbahasa Jawa dan Indonesia Moeljohadiwinoto: 1993. Pada perkembangan selanjutnya mereka menyebut kesenian tersebut
dengan sebutan Dolalak. Kesenian Dolalak memiliki beberapa keunikan karena dalam proses penciptaannya banyak mengimitasi dari tingkah laku para serdadu
Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Jazuli 2014, bahwa karya seni selalu memiliki keunikan yang berasal dari imajinasi seniman yang tidak terduga, tidak
lazim, dan kemudian mampu menarik dan mempengaruhi lingkungan sekitar sebagai pengalaman baru. Masyarakat setempat sangat menerima dan mendukung
munculnya Kesenian Dolalak tersebut. Masyarakat Kabupaten Purworejo sering menyebut Kesenian Dolalak dengan nama lain yaitu Bangilun, Jidhur, dan
Angguk. Agus: 2012. Terdapat dua versi dalam pengartian nama Bangilun ini, Prihartini 2007
mengartikan kata Bangilun sebagai bahasa Jawa “abang-abang karo ngilo
” ,yang artinya pemerah bibir dan pipi sedang bercermin. Namun masyarakat Dukuh Sejiwan mengatakan bahwa Bangilun berasal dari bahasa Arab
“fa’ilun”, yang berarti alat syiar agama Islam Wawancara dengan Untariningsih pada tanggal 18 Februari 2016. Sedangkan nama Jidhur sendiri berasal dari
instrumen yang digunakan dalam Kesenian Dolalak yaitu bedhug kecil, dan nama Angguk berasal dari gerakan kepala penari Dolalak yang mengangguk-anggukkan
kepala saat sedang menari. Keberagaman penyebutan nama kesenian tersebut membuat tokoh
pemerintahan pada masa pemerintahan Bupati Sardiatmoko, beberapa tokoh kesenian, dan budayawan berkumpul dan saling menyatukan argumen. Mereka
71 mengadakan sarasehan yang kemudian membuat kesepakatan yang menyepakati
nama kesenian tersebut dengan “Dolalak”. Alasan dalam penamaan Dolalak karena diambil dari nada lagu do-la-la yang dominan dinyanyikan serdadu
Belanda untuk mengiringi pada saat mereka menyanyi dan menari Wawancara dengan Ibu Untarinungsih pada tanggal 18 Februari 2016.
Manusia sebagai pelaku kesenian tidak berada pada dua tempat sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain Poerwanto: 2000.
Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Penyebaran Kesenian Dolalak di Dukuh
Sejiwan dengan cepat mulai merembes ke daerah-daerah lain di Kabupaten Purworejo, hingga pada tahun 1920 terdapat 7 orang warga Desa Kaliharjo yang
belajar Kesenian Dolalak di Dukuh Sejiwan. Tujuh orang tersebut adalah Cokro Sumarto, Suprapto, Amat Yusro, Marto Tiyono, Amat Karyo, Martoguno dan
Parmin Wawancara dengan bapak Paryono pada tanggal 20 April 2016. Mereka mempelajari gerak tari, iringan, dan syair-syair yang terdapat dalam Kesenian
Dolalak. Perkembangan Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo berkembang sangat
pesat. Banyak warga masyarakat yang mau bergabung untuk menjadi penari maupun pengrawit. Pada masa itu Kesenian Dolalak sudah memiliki banyak
permintaan untuk pentas dalam acara formal maupun tidak formal. Ketua Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo pada awal kemunculannya adalah Cokro
Sumarto. Namun pada tahun 1944, beliau meninggal dunia dan kemudian grup Kesenian Dolalak dipercayakan kepada penarinya yang bernama Marto Guno.
72 Tahun 1948 grup Kesenian Dolalak di Kaliharjo mengalami penurunan
karena tentara Belanda berhasil menduduki wilayah Kabupaten Purworejo. Terjadi pertempuran antara tentara Belanda dengan Tentara Nasional Indonesia
TNI. Banyak putra putri yang tergabung dalam grup Kesenian Dolalak ikut berjuang menjadi Tentara Nasional Indonesia. Penyerangan yang dilakukan
disegala wilayah membuat tentara Belanda tidak leluasa menduduki wilayah Purworejo. Mereka kemudian hanya mengusai pusat kota Purworejo saja. Untuk
mengakhiri perang yang terjadi secara terus menerus, pada tahun 1949 Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan dalam Konferensi Meja Budar KMB yang
dilaksanakan di Den Haag. Berakhirnya perlawanan antara Indonesia dan Belanda membuat Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo kembali bangkit dan berkembang.