Potensi Kesenian Kondisi Masyarakat Desa Kaliharjo

67 keadaan mulai memburuk karena pertahanan pasukan Diponegoro di daerah sekitar Yogyakarta mulai diserang. Mengetahui hal itu kemudian pasukan Diponegoro melarikan diri untuk mencari pertahanan di sebelah barat wilayah Bagelen, tepatnya diseberang Sungai Bogowonto yang terdiri atas daerah Jenar, Banyuurip, Daerah Brengelan dan Cangkrep Agus: 2012. Hingga adanya dukungan dari penduduk Bagelen yang menamakan dirinya “Laskar Bagelen” yang dipimpin oleh Basah Abdul Latif dan Basah Abdul Muhyi. Mereka kemudian berkerjasama dengan pasukan Diponegoro sampai akhirnya mampu mengusir pasukan Belanda dari daerah Bagelen. Pasca berakhirnya Perang Diponegoro, daerah Bagelen dibagi menjadi tiga, yaitu Purworejo, Kutoarjo dan Kebumen. Pada tahun 1830 Kabupaten Purworejo beribukota di Brengkelan yang berada di bawah pemerintahan Cokronegoro I. Ibukota Bagelen dipindahkan dari Brengkelan ke daerah Kedungrejo yang kemudian disebut dengan kota Purworejo 1838. Pada tahun 1901, karesidenan Bagelen bergabung dengan karisidenan Kedu. Oleh karena itu Purworejo dan Kutoarjo digabungkan menjadi satu menjadi bagian Karisidenan Kedu yang ibukotanya di Magelang. Ciri pemerintahan pada saat itu banyak yang mencontoh cara dan sikap orang Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tampak dari bahasa yang mereka gunakan lebih sering menggunakan bahasa Melayu, dan seringnya mereka mengadakan pesta di Pendopo untuk menjamu tamu Belanda Agus: 2012. Peperangan yang berlangsung lama membuat pasukan Belanda yang tinggal di Bagelen membangun sebuah pemukiman untuk dijadikan sebagai pusat 68 pemerintahan yang diberi nama Purworejo. Oleh karena itu banyak muncul peninggalan-peninggalan baik fisik maupun non fisik di Purworejo yang masih ada sampai sekarang. Secara fisik nampak peninggalan Belanda yang berupa benteng, Rumah Sakit Umum Pemda Tingkat II Purworejo yang sekarang masih berfungsi, Masjid Jami’ Purworejo, Gereja GPIB dan Rumah Dinas Bupati Purworejo. Selain peninggalan fisik yang berupa bangunan-bangunan tua, Kolonial Belanda juga memberikan pengaruh berupa gaya hidup mereka pada saat itu. Gaya hidup yang gemar berpesta dan berdansa sambil bernyanyi membuat masyarakat pribumi kemudian mengadopsinya menjadi sebuah kesenian yang kini menjadi identitas Kabupaten Purworejo, yaitu Dolalak.

5. Sejarah Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo

Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo merupakan seni tradisi rakyat yang sudah berakar secara turun temurun yang menjadi salah satu perwujudan budaya. Kesenian Dolalak merupakan bentuk perpaduan antara tari, musik, dan lagu vokal koor Agus: 2012. Kesenian Dolalak adalah akulturasi budaya Eropa dengan budaya Jawa yang terjadi di Purworejo. Sejarah Kesenian Dolalak berawal dari adanya pemerintahan Belanda yang berkuasa di tanah Purworejo pasca perang Diponegoro. Kabupaten Purworejo merupakan wilayah yang memiliki banyak daerah perbukitan dan hutan. Hal yang demikian membuat daerah tersebut sering digunakan oleh pasukan Diponegoro untuk bergerilya melawan penjajahan Belanda. Pasukan Belanda pada saat itu berada dalam tangsi-tangsi yang dibangun oleh Belanda sebagai tempat tinggal pasukannya. Tangsi yang digunakan oleh pasukan Belanda berdekatan dengan perkampungan, sehingga suara nyanyian dan 69 musik yang mengalun membuat penasaran penduduk yang tinggal di sekitar tangsi. Kemunculan Kesenian Dolalak di tengah masyarakat Kabupaten Purworejo terjadi pada tahun 1915. Pada masa itu, wilayah Purworejo dikenal sebagai tempat pelatihan serdadu yang berasal dari berbagai daerah militer Belanda. Banyak warga masyarakat Kabupaten Purworejo yang bekerja sebagai serdadu pada pemerintahan Belanda. Selama pelatihan mereka hidup di dalam baraktangsi tentara. Kegiatan yang sering dilakukan pada masa pelatihan membuat adanya hubungan kedekatan antara serdadu Belanda dengan masyarakat Kabupaten Purworejo. Selama hidup di tangsi, dari pagi hingga sore hari mereka hanya bekerja dan berlatih, maka untuk membuang kebosanan pada malam hari mereka menghibur diri dengan menari dan menyanyi. Mereka melakukan gerak dansa, pencak silat dan bernyanyi. Perilaku yang menarik tersebut kemudian menginspirasi tiga orang pemuda dari dukuh Sejiwan, Desa Trirejo, Kecamatan Loano, yaitu Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo. Dukuh Sejiwan dahulu menjadi salah satu wilayah pesantren di Kabupaten Purworejo. Semula tiga orang pemuda tersebut memiliki grup kesenian terbang, mereka berdakwah sambil mendendangkan syair-syair Islam. Kemudian setelah mereka melihat perilaku serdadu Belanda, lalu mereka mengimitasi apa yang mereka lihat menjadi sebuah kesenian tari. Kebetulan dalam grup kesenian terbang tersebut terdapat ahli musik, mencipta syair lagu, dan mencipta tari. Rono Dimejo memberikan unsur tari. Rejo Taruno memasukkan unsur berwujud instrumen musik berupa terbang, bedhug kecil, dan syair lagu berbahasa Arab 70 sedangkan, Duliyat memberikan sentuhan seni Jawa berupa instrumen kendhang dan syair-syair lagu berbahasa Jawa dan Indonesia Moeljohadiwinoto: 1993. Pada perkembangan selanjutnya mereka menyebut kesenian tersebut dengan sebutan Dolalak. Kesenian Dolalak memiliki beberapa keunikan karena dalam proses penciptaannya banyak mengimitasi dari tingkah laku para serdadu Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Jazuli 2014, bahwa karya seni selalu memiliki keunikan yang berasal dari imajinasi seniman yang tidak terduga, tidak lazim, dan kemudian mampu menarik dan mempengaruhi lingkungan sekitar sebagai pengalaman baru. Masyarakat setempat sangat menerima dan mendukung munculnya Kesenian Dolalak tersebut. Masyarakat Kabupaten Purworejo sering menyebut Kesenian Dolalak dengan nama lain yaitu Bangilun, Jidhur, dan Angguk. Agus: 2012. Terdapat dua versi dalam pengartian nama Bangilun ini, Prihartini 2007 mengartikan kata Bangilun sebagai bahasa Jawa “abang-abang karo ngilo ” ,yang artinya pemerah bibir dan pipi sedang bercermin. Namun masyarakat Dukuh Sejiwan mengatakan bahwa Bangilun berasal dari bahasa Arab “fa’ilun”, yang berarti alat syiar agama Islam Wawancara dengan Untariningsih pada tanggal 18 Februari 2016. Sedangkan nama Jidhur sendiri berasal dari instrumen yang digunakan dalam Kesenian Dolalak yaitu bedhug kecil, dan nama Angguk berasal dari gerakan kepala penari Dolalak yang mengangguk-anggukkan kepala saat sedang menari. Keberagaman penyebutan nama kesenian tersebut membuat tokoh pemerintahan pada masa pemerintahan Bupati Sardiatmoko, beberapa tokoh kesenian, dan budayawan berkumpul dan saling menyatukan argumen. Mereka