Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Peranan Penyedia Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Mencapai Eliminasi

Malaria Pembahasan penelitian ini disesuaikan dengan tujuan dan hipotesis penelitian yaitu untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan swasta mengenai diagnosis, pengobatan, pencegahan, pencatatan dan pelaporan malaria dalam mancapai eliminasi malaria di di Kabupaten Aceh Besar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian mengenai keterlibatan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria telah banyak dilakukan pada daerah malaria dengan endemisitas sedang dan tinggi seperti di Afrika. Sementara pada daerah dengan endemisitas malaria rendah bahkan menuju eliminasi malaria belum ditemukan oleh peneliti. Peranan pelayanan kesehatan swasta pada konteks eliminasi malaria masih menjadi perdebatan di dunia internasional. Beberapa ahli mengusulkan untuk meminimalisir peranan pelayanan kesehatan swasta dengan beberapa alasan. Global Health Group dari University of California merekomendasikan hanya pelayanan kesehatan swasta formal yang diperbolehkan menangani penderita malaria Sabot et al, 2009, sementara pendapat lain yang berdasarkan konteks pengendalian malaria dan kesehatan masyarakat pada umumnya, masih mempertimbangkan banyaknya keuntungan dari keterlibatan pelayanan kesehatan swasta formal dan informal untuk program malaria WHO, 2006. 87 Universitas Sumatera Utara Pelayanan kesehatan swasta di Indonesia merupakan salah satu pelaku penyedia pelayanan kesehatan yang diakui oleh peraturan pemerintah Perpres RI, 2012. Keterlibatan pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria telah diatur oleh Kementerian Kesehatan RI yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan swasta dapat terlibat aktif pada kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita malaria, pecengahan dan penanggulangan resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah, serta peningkatan komuniasi, informasi dan edukasi KIE dan peningkatan SDM Depkes RI, 2009. Pada penelitian ini didapatkan 74 48,4 responden yang berperan pada pencapaian eliminasi malaria di Kabupaten Aceh Besar. Peran ini dibuktikan dengan kontribusi pelayanan kesehatan swasta pada penemuan kasus suspek malaria sebanyak 953 kasus suspek 28,8 dalam satu tahun terakhir dibandingkan dengan 3.310 kasus suspek yang ditemukan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Aceh Besar ditahun yang sama. Besarnya kontribusi pelayanan kesehatan swasta dalam penemuan kasus malaria di Kabupaten Aceh Besar dimungkinkan masih besarnya animo masyarakat untuk mencari pengobatan malaria kepada mereka sebagai pilihan pertama sebelum mengakses pelayanan kesehatan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai mean jumlah pasien rawat jalan dalam setahun terakhir sekitar 1001 – 1500 orang, dengan mean jumlah pasien demam dalam setahun terakhir 101 – 500 orang. Yeung et all 2008 melaporkan hasil studi di Cambodia bahwa 80-90 masyarakat dengan Universitas Sumatera Utara demam lebih mencari pengobatan ke penyedia pelayanan kesehatan swasta. Di Indonesia sendiri, Bank Dunia 2008 melaporkan hampir 50 pasien rawat jalan pergi ke fasilitas kesehatan swasta, walaupun mulai tahun 2005 terjadi penurunan secara bertahap ke 31, dan terus menurun sekitar 29 pada tahun 2006 dan 2007 World Bank, 2008, cited in Wang, et al, 2009. Pada responden apotek dan toko obat diperoleh 18 responden 43,9 yang berperan pada kedua komponen pengukuran dalam pencapaian eliminasi malaria. Peranan dalam diagnosis sebanyak 20 responden 48,8 dan pengobatan 13 responden 31,7. Potensi yang dimiliki apotek dan toko obat terlihat dari mean jumlah pembeli per hari 29 orang, mean jumlah pembeli dengan keluhan demam per hari sebanyak 14 orang dan pembeli dengan suspek malaria rata – rata 4 orang per hari. Penelitian yang dilakukan di daerah rural Tanzania melaporkan jumlah pembeli obat per hari rata – rata 19 95 CI 14 – 24 pada toko obat dan 10 95 CI 9 -11 pada toko kelontongan p 0,001 Hetzel, 2008. Secara umum dalam penelitian ini terlihat adanya peranan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam penemuan kasus, diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pencatatan pelaporan malaria. Dimana penemuan dan pengobatan penyakit malaria dilakukan oleh hampir seluruh jenis responden. Bila dilihat dari kewenangan yang diatur di Indonesia kepada setiap tipe profesi kesehatan, ada perbedaan yang perlu menjadi bahan diskusi dalam konteks eliminasi malaria. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dokter mempunyai wewenang untuk menegakkan diagnosis, menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien, melakukan tindakan kedokteran, menuliskan resep dan alat kesehatan. Sementara menurut Permenkes RI No. 1464MenkesPerX2010 praktik bidan berwenang dalam hal memberikan pelayanan kesehatan ibu, anak dan reproduksi perempuan dan keluarga berencana Depkes RI, 2010a. Keterlibatan bidan dalam program malaria telah terjalin dengan adanya program Pencegahan Malaria Dalam Kehamilan PMDK, dimana bidan desa melaksanakan penapisan malaria bagi ibu hamil trimester pertama dan pembagian kelambu pada ibu hamil dan balita Direktorat PPBB, 2011. Hal ini dapat dilihat pada penelitian ini bahwa ketersediaan diagnosis dan obat malaria terdapat pada beberapa bidan praktik swasta yang terlibat pada program Pencegahan Malaria dalam Kehamilan PMDK. Berdasarkan Permenkes No. HK.02.02MENKES148I2010 wewenang praktik keperawatan mandiri meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat serta pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. Perawat juga dapat memberikan obat bebas dan atau obat bebas terbatas Depkes RI, 2010b. Bila dikaji lebih jauh peraturan kewenangan diatas, penegakan diagnosis dan pengobatan penyakit malaria menjadi tanggungjawab dokter dan bidan. Sementara kelompok perawat dapat terlibat dalam penemuan kasus suspek malaria dan merujuk Universitas Sumatera Utara pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah guna dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis. Disatu sisi, praktik pemberian obat anti malaria oleh perawat selama ini tidak bisa disalahkan, karena obat yang digunakan adalah tipe Klorokuin, yang berlabel biru atau sebagai obat bebas terbatas. Sementara, apabila yang diberikan adalah obat jenis DHPACT yang berlabel merah, tentu saja tidak dapat digunakan oleh perawat dan bidan kecuali pada kondisi di daerah yang tidak ada dokter, seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan. Peranan diagnosis penyedia pelayanan kesehatan swasta merupakan hal penting dalam mencapai eliminasi. Hal ini sesuai dengan kebijakan Kemenkes RI tentang “stop diagnosis klinis” yang berarti suatu kasus dinyatakan sebagai kasus malaria adalah yang terbukti ditemukannya parasit Plasmodium dalam darah penderita, sehingga memerlukan pemeriksaan laboratorium baik RDT, mikroskop maupun pemeriksaan molekuler dan antibodi WHO, 2010a, WHO, 2010b; Ditjen PPPL, 2011; Feachem et al, 2009; Direktorat PPBB, 2011. Lebih lanjut penegakan diagnosis ini penting untuk pemberian pengobatan penyakit malaria dengan jenis obat ACT Ditjen PPPL, 2011. Kontribusi penegakan diagnosis malaria yang berasal dari pelayanan kesehatan swasta pada tahun 2013 sebanyak 446 kasus suspek 13,5 dibandingkan dengan 3.310 kasus suspek tercatat di Dinas Kesehatan Aceh Besar tahun 2013. Sementara pada pelayanan kesehatan swasta terdapat 446 46,8 kasus suspek yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dibandingkan 953 kasus suspek Universitas Sumatera Utara malaria malaria yang ditemukan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan swasta di Kabupaten Aceh Besar, dimana dapat diartikan bahwa ada 53,2 kasus suspek yang tidak dapat ditegakan diagnosis malaria secara pasti dengan pemeriksaaan laboratorium. Perilaku diagnosis malaria dengan mengkonfirmasi setiap kasus suspek dengan pemeriksaan laboratorium seperti mikroskop dan RDT telah menjadi kebijakan global. WHO 2011c mengeluarkan inisiatif universal bagi akses terhadap diagnosis malaria, serta bagi daerah yang menuju eliminasi malaria terdapat kebijakan “test, treat, track”. Dimana pada kebijakan ini, akses alat dan bahan diagnosis malaria pada pelayanan kesehatan swasta juga harus terjamin. Selain akses, penjaminan mutu terhadap diagnosis juga harus diterapkan untuk menghindari kesalahan diagnosis WHO, 2012b. Perilaku pengobatan dapat dilihat pada hasil penelitian ini dimana dari 23 jumlah kasus malaria yang ditemukan pada pelayanan kesehatan swasta sebanyak 13 kasus yang diobati dengan obat anti malaria standar, hal serupa dilaporkan pada penelitian di Nigeria bagian Tenggara bahwa dari 665 rekam medis pasien yang diaudit dari 6 enam fasilitas kesehatan swasta dan 7 tujuh fasilitas kesehatan pemerintah tahun 2003, 77 mendapat resep obat anti malaria monoterapi, Klorokuin 30,2, SP 22,7 dan derivat Artemisinin monoterapi 15,8, dan hanya 3 yang mendapat jenis ACT Meremikwu, 2007. Universitas Sumatera Utara Sementara perilaku pengobatan pada apotek yang dilaporkan dari studi di Somalia, lebih dari 53 penyedia pelayanan kesehatan swasta memberikan Klorokuin sebagai pilihan pertama. Cotecxin® Artemisinin monoterapi yang tersedia di apotek dan toko obat Noor, 2009. Perilaku pencegahan dan pencatatan pelaporan pada penelitian ini telah dilakukan hampir 50 dari responden. Hal yang menarik dalam penelitian ini, dari 112 responden kelompok klinik dan praktik perseorangan hanya 9 orang yang pernah memberikan obat anti malaria sebagai profilaksis, dan obat yang digunakan adalah Klorokuin. Menurut protokol pengobatan Kemenkes 2011 obat anti malaria yang digunakan sebagai profilaksis adalah Doksisiklin. Lebih lanjut rendahnya cakupan data dari pelayanan kesehatan swasta juga diungkapkan dalam studi di Iran, dimana Ahmadi, 2013. Sementara penelitian Meremikwu 2007 di Nigeria bagian Tenggara melaporkan bahwa pelayanan kesehatan swasta cenderung lebih banyak mencatat riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dibandingkan dengan fasilitas kesehatan pemerintah. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat penyedia pelayanan kesehatan swasta di Kabupaten Aceh Besar masih memiliki peranan yang mendukung tercapainya tujuan eliminasi malaria. Namun, belum tersedianya wadahjejaring koordinasi maupun komunikasi antara pelayanan kesehatan pemerintah - swasta menyebabkan pelayanan kesehatan swasta terlupakan pada program – program pemerintah. Pada Peraturan Bupati Aceh Besar No.232013 telah mengatur mengenai peranan secara Universitas Sumatera Utara umum pelayanan kesehatan swasta dalam konteks eliminasi malaria, tetapi hanya mencakup Rumah Sakit dan klinik swasta, sementara praktik mandiri dokter, bidan dan perawat, apotek dan toko obat tidak tercantum dalam peraturan tersebut. Lebih lanjut menurut PP No 41 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 2672008 yang menyatakan bahwa Dinas Kesehatan KabupatenKota mempunyai wewenang pembangunan kesehatan di wilayahnya yang memiliki perpanjangan tangan berupa unit – unit pelaksana teknis dibawahnya, seperti puskesmas, RS, apotek, dokter dan bidan praktik swasta, dan pengobatan alternatif. Untuk itu Dinas Kesehatan berkewajiban membina dan melakukan pengawasan kepada unit – unit pelaksana teknis tersebut. Beberapa fungsi pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja tertentu dapat didelegasikan ke puskesmas seperti yang diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 128MENKESSKII2004, termasuk pembinaan dan pengawasan fasilitas pelayanan kesehatan swasta di wilayah kerja puskesmas. Apabila tugas dan fungsi puskesmas dan Dinas Kesehatan KabupatenKota berjalan sesuai dengan yang ditentukan, maka tidak akan ditemukan ketidakterlibatan pelayanan kesehatan swasta dalam program kesehatan secara umum, maupun program malaria secara khusus.

5.2. Variabel-variabel yang Berpengaruh terhadap Peranan Penyedia