Ketersediaan Alat dan Bahan

paling banyak yang berstatus swasta murni sebanyak 39 52,7, kepemilikan fasilitas berstatus milik pribadi sebanyak 47 63,5, sistem pembiayaan langsung out of pocket sebanyak 65 87,8, lama fasilitas beroperasi ≤ 6 tahun sebanyak 54 73, fasilitas beroperasi 7 hari per minggu sebanyak 47 63,5, dengan tidak memiliki jam kerja 24 jamhari sebanyak 42 56,8, dan lama bekerja ≤ 5 tahun sebanyak 43 58. Selanjutnya, hal menarik yang ditemukan pada penelitian ini adalah adanya fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang beroperasi 7 hari per minggu dan 24 jam per hari selain klinik, apotek dan toko obat, dimana secara umum ketiga jenis pelayanan kesehatan ini biasa beroperasi terus menerus dengan sistem pergantian jadwal jaga. Sementara pada kelompok praktik mandiri baik dokter, perawat maupun bidan secara umum lebih banyak yang melakukan praktik terjadwal.

5.2.3. Ketersediaan Alat dan Bahan

Pada tabel 4.21. menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan bahan yang berkaitan dengan program malaria di pelayanan kesehatan swasta seperti alat diagnosis, obat anti malaria, materi komunikasi-informasi-edukasi KIE, kelambu berinsektisida tahan lama LLIN dan pencatatan pelaporan tidak berpengaruh terhadap peranan dalam pencapaian eliminasi p = 0,212 pada uji Chi-square. Permasalahan ketersediaan ini sudah menjadi isu lama di seluruh dunia. Ketersediaan obat anti malaria yang sesuai dengan standar WHO atau Kemenkes RI hanya terbatas pada fasilitas kesehatan pemerintah, terutama jenis ACT. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.6. obat anti malaria hanya tersedia pada 57 responden 37,3 dari total 153 responden. Hal yang menarik adalah obat ACT juga tersedia pada 10 Universitas Sumatera Utara responden, sementara jenis obat anti malaria yang paling banyak tersedia adalah Klorokuin pada 19 responden kelompok klinik dan praktik perseorangan dan 18 toko obat. Ketersediaan obat ACT yang sedikit ini disebabkan oleh keterbatasan penjualan dan pendistribusiannya. Obat anti malaria ACT masih diadakan oleh pemerintah pusat yang didistribusikan ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah melalui Dinas Kesehatan KabupatenKota, walaupun pelayanan kesehatan swasta berhak mengakses obat ini, tetapi informasi mengenai prosedur permintaan masih terbatas Kusriastuti dan Surya, 2012. Hal serupa terjadi di Somalia, dimana menurut studi dilaporkan bahwa lebih dari 30 pelayanan kesehatan swasta yang memiliki pelayanan diagnosis parasitologi, hanya 22 42 apotektoko obat yang memiliki obat anti malaria jenis ACT Noor, 2009. Selanjutnya, terbatasnya ketersediaan obat anti malaria yang sesuai standar telah menjadi isu internasional yang dipaparkan dalam sensus di 6 enam negara endemis malaria didapatkan dari 28.263 pelayanan kesehatan kesehatan yang diperiksa, 51.158 obat anti-malarials diaudit, dan 9.118 penyedia pelayanan diwawancara. Pada pelayanan kesehatan pemerintah, terdapat 43 – 85 yang memiliki paling sedikit satu jenis obat anti malaria ACT, sementara pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta paling sedikit memiliki satu jenis obat anti malaria non- ACT, seperti Klorokui dan SP yang tersedia di lebih dari 95 tempat dibandingkan jenis obat anti malaria ACT yang tersedia 25 O’Connell et al, 2011. Universitas Sumatera Utara Permasalahan yang muncul dengan terbatasnya ketersediaan obat anti malaria dapat dilihat dampaknya pada penelitian ini bahwa dari 23 kasus malaria positif yang didapatkan di fasilitas pelayanan kesehatan swasta hanya 13 kasus 56,5 yang mendapat pengobatan sesuai Protokol Kemenkes RI. Sementara alat dan bahan diagnosis malaria hanya tersedia pada 14 responden 9 dari total 153 responden, paling banyak jenis RDT yang tersedia di 10 responden dan mikroskop tersedia di 7 responden. Sebanyak 5 responden menyatakan alat diagnosis ini berasal dari pengadaan sendiri, sementara 6 responden menyatakan dari sumbangan pemerintah. Hal ini tentu saja dapat menyulitkan Kabupaten Aceh Besar dalam menghilangkan penularan malaria lokal untuk tujuan eliminasi malaria, karena masih banyak penderita malaria yang tidak mendapat pengobatan yang tepat dan dapat memicu resistensi obat. Permasalahan lain yang timbul adalah masifnya penjualan dan praktik pemberian obat anti malaria yang tidak standar. Berdasarkan jumlah apotek dan toko obat yang aktif menjual obat malaria sebanyak 24 responden 58,5, dan hampir seluruhnya menjual obat anti malaria yang tidak sesuai Protokol Kemenkes RI yaitu Klorokuin, dengan mean Klorokuin terjual tanpa resep dokterparamedik sebanyak 38,3 tablet per bulannya. Dibandingkan dengan mean jumlah obat anti malaria yang sesuai Protokol Kementerian Kesehatan RI yaitu ACT hanya sebanyak 0,5 tablet per bulan. Hal serupa dilaporkan pada studi di pedalaman Tanzania, dimana satu toko obat dapat menyediakan obat anti malaria bagi setiap 834 orang yang dibandingkan Universitas Sumatera Utara dengan satu fasilitas kesehatan yang menyediakan obat anti malaria bagi setiap 4.368 orang Goodman et al, 2004. Sistem penjaminan mutu pengobatan juga perlu diterapkan untuk memastikan kualitas obat yang diberikan kepada penderita malaria sesuai dengan estándar WHO dan Kemenkes RI Ditjen PPPL, 2011 Hal yang menarik pada penelitian ini adalah adanya satu toko obat yang memiliki alat diagnosis malaria RDT dan obat ACT, dimana keduanya berasal dari sumbangan pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa toko obat dan apotek dapat terlibat mendekatkan akses diagnosis dan pengobatan kepada masyarakat, namun yang menjadi pertanyaan adalah batasan wewenang apotek dan toko obat dalam menjual alat diagnosis dan obat anti malaria yang kesemuanya tanpa dilengkapi resep dokter PP RI, 2009. Bila melihat label obat Klorokuin pada kemasannya dengan lingkaran bewarna biru dengan garis tepi berwarna hitam yang berarti obat bebas terbatas Depkes RI, 1983 yaitu dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter dengan Depkes RI, 2000, memungkinkan bagi toko obat untuk menjual tanpa resep dokter. Praktik penjualan obat Klorokuin tanpa resep dokter ini disetujui oleh responden dengan alasan penjualan obat malaria termasuk katergori obat bebas 22,2, dan berlabel biru 11,2. Lebih lanjut penelitian ini mengungkap, apotek dan toko obat menjual obat anti malaria jenis Klorokuin kepada pembeli yang akan naik ke gunung tanpa resep dokter atau memberikan konseling cara penggunaan obat untuk kepentingan profilaksis. Maraknya penjualan jenis Klorokuin pada pembeli yang akan naik Universitas Sumatera Utara gunung ini sesuai dengan penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Aceh Besar yang lebih banyak di daerah pegunungan Dinkes Aceh Besar, 2013 dan adanya sejarah panjang pemberian obat anti malaria Klorokuin sebagai profilaksis. Sementara obat ACT yang digunakan di Indonesia berjenis kombinasi Artesunate-Amodiakuin-Primakuin, dan Dihidroartemisinin Piperakuin-Primakuin Ditjen PPPL, 2011, dimana Primakuin dan ACT memiliki label merah yang berarti obat keras harus dengan resep dokter Depkes, 1993. Tentu saja pendistribusian obat jenis ini diperlukan suatu sistem yang kuat, terutama pengawasan penggunaan dan pemberian ke masyarakat. Mempertimbangkan masifnya pemberian obat anti malaria yang tidak sesuai Protokol Kemenkes RI yaitu Klorokuin di Kabupaten Aceh Besar, dimana sesuai dengan penelitian Badan Litbangkes RI di Kota Sabang bahwa Klorokuin telah menunjukkan resistensi pada P.falsiparum Ompusungu et al, 1989. Hampir diseluruh dunia resisten pada P.falsiparum sekitar akhir tahun 1950-an dan pada P.vivax 1989 CDC, 2014. Untuk itu diperlukan upaya untuk menghentikan praktik pemberian obat Klorokuin pada penderita suspek malaria maupun penderita yang sudah terkonfirmasi pemeriksaan laboratorium. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.293MENKESSKIV2009 yang menyatakan bahwa pada daerah pra-eliminasi dan eliminasi, penegakan diagnosis dan pengobatan malaria melibatkan penyedia pelayanan kesehatan swasta, sehingga obat anti malaria sesuai Universitas Sumatera Utara protokol Kemenkes RI seyogyanya dapat diakses oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta sesuai dengan wewenang menurut peraturan yang berlaku. Lebih lanjut, isu resistensi obat anti malaria jenis Artemisinin saat ini menjadi isu hangat di dunia internasional, dimana berdasarkan laporan lembaga CSIS bahwa di sub regional Great Mekong telah terjadi perlambatan efektifitas obat Artemisinin akibat pemakaian Artemisinin monoterapi yang berlangsung jangka panjang, pemberian obat anti malaria kepada pasien demam tanpa konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium, kesalahan diagnosis, obat anti malaria tidak sesuai dosis dan durasi pemakaian, keterlambatan pengobatan dan mutu obat yang jelek Daniel, 2013. Hal ini memicu dikeluarkannya pedoman WHO untuk mencegah meluasnya resistensi obat jenis Artemisinin ini WHO, 2011b. Kerjasama antara pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta secara resmi perlu diadakan segera untuk mengatasi isu keterbatasan kesediaan obat di fasilitas kesehatan swasta. Walaupun, pada penelitian ini menemukan ada 3 klinik, 3 praktik dokter mandiri, 1 praktik perawat, 2 praktik bidan dan 1 toko obat yang memiliki obat anti malaria jenis ACT yang mendapat sumbangan dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara resmi belum ada jejaring kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam hal ini Dinas Kesehatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta, tetapi di lapangan telah ada inisiasi kerjasama antara fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan swasta, hal ini diperkuat dengan keterangan petugas malaria Puskesmas Sukamakmur dan Indrapuri pada survei Universitas Sumatera Utara pendahuluan bahwa klinik swasta telah pro-aktif berkonsultasi bila ditemukan pasien malaria. Pada negara endemis malaria terbatasnya kesediaan obat anti malaria ini berbahaya bagi keselamatan pasien malaria. Di Kenya, akses yang jelek pada obat anti malaria yang efektif berkontribusi pada tingginya angka kesakitan dan kematian karena malaria. Sekitar 12 anak-anak yang menerima obat anti malaria dalam 24 jam pertama pada saat mereka demam, dan yang menjadi tempat mencari pertolongan pertama adalah toko obat lokal. Peranan apotek, toko obat dan praktik swasta menjadi penting di daerah seperti ini Smith et, 2011. Pada klinik dan praktik dokter, seluruhnya memiliki buku register atau rekam medik. Sementara sebanyak 12 praktik perawat 46,2 dan 35 praktik bidan 76,1 yang mempunyai buku registerrekam medik. Lebih lanjut ketersediaan formulir pelaporan pasien malaria maupun alat malaria sangat minim pada semua jenis pelayanan kesehatan swasta. Hasil penelitian menunjukkan dari setiap jenis pelayanan kesehatan hanya satu responden yang memiliki formulir pelaporan, kecuali pada pada kelompok praktik bidan, dimana sebanyak 8 responden 17,0 memiliki formulir pelaporan kasus malaria. Pada tabel 4.15 menunjukkan bahwa jumlah kasus malaria yang ditemukan di pelayanan kesehatan swasta hanya menyumbang 5,6 9 dari 162 kasus malaria positif dan dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus malaria yang didapatkan di pelayanan kesehatan swasta sebanyak 39 9 dari 23 kasus malaria positif. Universitas Sumatera Utara Sementara pada penemuan kasus suspek, dari 953 kasus suspek yang ditemukan di pelayanan kesehatan swasta hanya 139 kasus suspek yang terlaporkan di puskesmas.

5.2.4. Pengetahuan