Suatu Sebab yang Halal

rumah itu dan dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. 35 Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian harus dihilangkan kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kata sebab adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menyebutkan: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab yang lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah” 36 Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 37 1. Syarat Subjektif : 35 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori Teknik penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 34 36 Lihat pasal 1335 KUH Perdata 37 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 19-20. Universitas Sumatera Utara Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut antara pihak yang mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan vernietigbaar. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas yaitu orang tua atau walinya, atau pun dirinya sendiri apabila kelak sudah menjadi cakap danatau pihak yang memberikan izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Dalam Pasal 1446 KUH Perdata disebutkan bahwa: semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang- orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hokum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka. Disini perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan. Dengan demikian, kelanjutan perjanjian itu seperti tidak pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh undang-undang kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat dilakukan dengan penguatan oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu dapat terjadi secara tegas, atau dapat terjadi secara diam-diam. Atau apabila Universitas Sumatera Utara orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada para pihak untuk melakukan pembatalan perjanjian atau tidak. Perjanjian demikian itu tidak batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan. 2. Syarat Objektif Syarat objektif adalah mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian adalah syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi hukum nietig, karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena objek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Berkaitan dengan pembahasan mengenai syarat sahnya perjanjian ini, Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian perjanjian inti dan bagian yang bukan inti. Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta, seperti para pihak dan objek dari perjanjian. Naturalia, bagian yang merupakan bawaan dari perjanjian, secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat pada benda yang dijual. Sedangkan aksidentalia adalah Universitas Sumatera Utara bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak. 38 1. Asas kebebasan berkontrak

C. Asas-asas Hukum perjanjian