Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten

(1)

YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN

PANDEGLANG, BANTEN

NISSA IZZANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Nissa Izzani C24080035


(3)

Nissa Izzani. C24080035. Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dibimbing oleh Yonvitner dan Ali Mashar

Sumberdaya ikan tembang merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang berada di perairan Indonesia, termasuk perairan Selat Sunda dan tergolong ikan ekonomis penting yang banyak dimanfaatkan. Hal ini dapat mendorong upaya penangkapan ikan tembang menjadi makin padat. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan sumberdaya ikan tembang secara baik untuk menjaga kelestariannya dengan mengetahui informasi mengenai aspek biologi ikan, diantaranya kebiasaan makanan ikan.

Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten pada bulan April-Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan ikan contoh sebulan sekali. Ikan contoh yang didaratkan di PPP Labuan Banten merupakan ikan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Selat Sunda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penarikan contoh acak sederhana (PCAS) dengan mengambil ikan contoh sebanyak + 100 ekor untuk masing-masing bulan pengamatan yang selanjutnya diamati di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data yang dilakukan meliputi indeks bagian terbesar (index of preponderance), relung makanan, dan tumpang tindih relung makanan, serta indeks similaritas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan tembang di perairan Selat Sunda termasuk ikan omnivora cenderung ke herbivora dengan makanan utamanya adalah fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae. Makanan utama ikan tembang tidak begitu berbeda, baik berdasarkan jenis kelamin, bulan pengamatan maupun kelompok ukuran panjang. Ikan tembang jantan yang berukuran sedang (129 – 157 mm) dan ikan tembang betina yang berukuran besar (158 – 186 mm) lebih beragam makanannya. Terdapat kesamaan organisme makanan yang dimanfaatkan antara ikan yang berukuran sedang (129 – 157 mm) dengan ikan yang berukuran besar (158 – 186 mm), sehingga diduga akan terjadi persaingan yang cukup tinggi antara kelompok ukuran ikan tersebut ketika sumberdaya makanan terbatas. Pada ikan tembang jantan dan betina masing-masing terdapat 4 kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan agar ikan tembang tetap berkelanjutan dan lestari yaitu dengan melindungi habitat ikan tembang dari pencemaran lingkungan.


(4)

YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN

PANDEGLANG, BANTEN

NISSA IZZANI C24080035

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

Judul Penelitian : Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten

Nama Mahasiswa : Nissa Izzani Nomor Pokok : C24080035

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yonvitner, S.Pi., M.Si Ali Mashar, S.Pi., M.Si NIP. 19750825 200501 1 003 NIP. 19750118 200701 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir Yusli Wardiatno, M. Sc NIP 19660728 199103 1 002


(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten”. Skripsi ini penulis susun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – Oktober 2011 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, maupun arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan hasil skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2012

Nissa Izzani C24080035


(7)

x

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Yonvitner, S.Pi., M.Si dan Ali Mashar, S.Pi., M.Si., masing-masing selaku Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. H. Ridwan Affandi selaku dosen penguji tamu serta Ir. Zairion, M.Sc selaku Ketua Program Studi yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Bambang Widigdo selaku Pembimbing Akademik atas dukungannya kepada penulis selama menuntut studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

4. Keluarga tercinta: Ibu Sri, Bapak Fadjar, Putri, Adhip serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, semangat dan dukungan, baik moril maupun materil, yang telah diberikan kepada penulis.

5. Seluruh staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 6. Para staf PPP Labuan Banten atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Para Sahabat: Dea Permata Sari, Lela Melawati, Yudith Pradipta, Melda Santi, Fenny Matrian, Mega Tri Rahmawati, Marlina, Wahyu Muzammil, Agus Maulana, Agung Prasetio Utomo.

8. Temen-teman terdekat di MSP: Ade Irma Listiani, Elfrida Megawati, Rina Shelvinawati, Fawzan Bhakti Soffa, Rio Putra Ramadhan, Rendra Danang Saputra, Nugraha Bagoes Soegesty, Ulfah Fitriana Akbar, Pionius Dipta Dirgayusa, Conny Puji Lestari, Tamimi P. Ritonga, Surya Gentha Akmal.

9. Teman seperjuangan: Rikza, Ria, Nimas, Ennie, Precia, Rani, Rena, Fauzia Rahmi, Hilda, Yuli, Doni, Tillana, Rizal, dan Ayu atas bantuan, semangat, dukungan, nasihat selama penelitian hingga penyusunan skripsi.

10.Teman-teman MSP 45, MSP 46, dan MSP 47 serta teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu


(8)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 November 1990 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan M. Fadjar Rahardjo, BE dan SSE. Hartiningsih. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis berawal dari TK Akbar Bogor (1994-1996), SDN Polisi 4 Bogor (1996-2002), SMPN 7 Bogor (2002-2005), dan SMA Rimba Madya Bogor (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan (2010/2011) dan Biologi Perikanan (2011/2012), serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kebiasaan

Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten”.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ikan Tembang Sardinella fimbriata ... 4

2.1.1 Klasifikasi dan tata nama ... 4

2.1.2 Morfologi ... 5

2.1.3 Kebiasaan makanan ... 5

2.1.4 Habitat dan Penyebaran ... 7

2.2 Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan ... 8

2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda ... 10

2.4 Jenis Makanan Ikan Tembang ... 11

3. METODOLOGI ... 15

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.3 Prosedur Kerja ... 16

3.3.1 Pengambilan sampel ... 16

3.3.2 Pengamatan sampel di laboratorium ... 16

3.4 Pengumpulan Data ... 17

3.5 Analisis Data ... 17

3.5.1 Panjang usus relatif ... 17

3.5.2 Indeks bagian terbesar (Index of Preponderance) ... 17

3.5.2 Luas relung makanan ... 18

3.5.3 Penentuan tumpang tindih ... 19

3.5.4 Indeks similaritas ... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Organ Pencernaan Ikan Tembang ... 21

4.2 Makanan Ikan Tembang ... 22

4.3 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Kelompok Ukuran ... 24


(10)

x

4.4 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Jenis Kelamin ... 25

4.5 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Waktu Pengamatan ... 27

4.6 Luas Relung makanan ... 29

4.7 Tumpang Tindih Relung Makanan ... 31

4.8 Indeks Similaritas ... 32

4.9 Alternatif Pengelolaan Ikan Tembang di Perairan Selat Sunda ... 34

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kondisi fisik lingkungan di sekitar perairan Selat Sunda ... 11 2. Makanan ikan Tembang ... 23 3. Luas relung makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran

panjang (mm) ... 30 4. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan berdasarkan

kelompok ukuran panjang (mm) ... 31 5. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang betina berdasarkan


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan Tembang ... 4

2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang ... 15

3. Posisi mulut ikan tembang ... 21

4. Insang ikan tembang ... 21

5. Perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh ikan tembang ... 22

6. Makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran ... 24

7. Makanan ikan tembang berdasarkan jenis kelamin ... 26

8. Makanan ikan tembang berdasarkan waktu pengamatan ... 28

9. Dendogram indeks similaritas ikan tembang jantan dan betina berdasarkan waktu penangkapan ... 33


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat-alat yang digunakan selama melakukan penelitian ... 41

2. Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian ... 43

3. Perbandingan panjang usus (mm) dan panjang tubuh (mm) ikan tembang ... 44

4. Komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) berdasarkan kelompok ukuran panjang menggunakan IP (%) ... 45

5. Komposisi makanan ikan tembang berdasarkan jenis kelamin menggunakan IP (%) ... 46

6. Komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) berdasarkan bulan pengamatan menggunakan IP (%)... 47

7. Luas relung makanan ikan tembang jantan ukuran 100 – 128 mm ... 48

8. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan ... 49

9. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang betina ... 50

10.Indeks Similaritas ikan tembang jantan dan betina di PPP Labuan Banten pada setiap bulan pengamatan ... 51


(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Selat Sunda yang terletak di sebelah barat Provinsi Banten memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi dan aktifitas perikanan yang cukup padat. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kesibukan kegiatan pendaratan ikan yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang yang terletak di sisi timur perairan Selat Sunda.

Selain PPP Labuan, di sekitar wilayah perairan Selat Sunda juga terdapat 3 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Sukanegara, PPI Carita, dan PPI Panimbang. Dari keempat Pelabuhan atau Pangkalan Pendaratan Ikan tersebut, PPI Panimbang dan PPP Labuan tergolong sebagai sentra pengembangan perikanan laut di wilayah ini yang tingkat aktifitasnya tinggi (Rahardjo et al. 1999 in Sjafei & Robiyani 2001). PPP Labuan memiliki tiga tempat pelelangan ikan (TPI), yaitu TPI lama, TPI baru, dan TPI pasar. Aktifitas perikanan di PPP Labuan didukung oleh banyaknya jumlah armada penangkapan ikan yang melakukan kegiatan bongkar muat. Tingginya aktifitas perikanan di wilayah ini kemudian menjadikannya sebagai pusat penelitian dan usaha perikanan lainnya oleh berbagai pihak.

Salah satu hasil tangkapan nelayan yang banyak didaratkan di PPP Labuan adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata), yang tertangkap hampir setiap waktu dan relatif selalu tersedia. Ikan tembang merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang berada di perairan Indonesia dan tergolong ikan ekonomis penting yang banyak dikonsumsi. Hal ini dapat mendorong pada upaya penangkapan ikan tembang yang makin tinggi. Beberapa alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan ikan ini adalah purse seine, dogol, rampus, dan sejenisnya. Ikan tembang yang didaratkan di PPP Labuan sebagian besar berasal dari perairan Selat Sunda.

Sebagai ikan ekonomis penting dan banyak dikonsumsi masyarakat dapat menjadikan ikan tembang sebagai salah satu sumber bahan pangan berprotein tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan ikan tersebut dalam jangka panjang harus tetap


(15)

dipertahankan dan untuk hal tersebut. Ketersediaan makanan ikan tembang harus selalu tersedia di alam. Dalam konsep ekosistem, makanan menjadi salah satu penentu kelangsungan hidup ikan dan ketersediaan populasi dan stok ikan. Keberadaan suatu jenis ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanan yang ada di alam (Lagler 1972 in Febyanti & Syahailatua 2008). Makanan yang dikonsumsi ikan, akan digunakan dalam siklus metabolisme tubuhnya dan hasil metabolisme tubuh akan mempengaruhi proses pertumbuhan, reproduksi, dan tingkat keberhasilan hidup untuk tiap-tiap individu ikan (Effendie 2002). Sejauh ini informasi tentang biologi ikan tembang yang berasal dari perairan Selat Sunda masih terbatas, salah satunya adalah informasi tentang aspek kebiasaan makanan.

1.2 Perumusan Masalah

Penangkapan ikan tembang yang berlebihan dikhawatirkan akan mengakibatkan populasi menurun. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan tembang ini, maka diperlukan adanya pengelolaan yang baik. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kelestarian ikan tembang adalah ketersediaan makanan, baik jumlah maupun mutu, secara terus-menerus. Oleh karena itu, informasi mengenai kebiasaan makanan ikan tembang diperlukan sebagai dasar yang mendukung dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan tembang. Kajian mengenai makanan ikan akan membantu kita untuk mengetahui peran sumberdaya ikan dalam rantai makanan di perairan. Selain itu juga penting untuk mengetahui tingkat daya dukung pertumbuhan populasi ikan tersebut. Informasi mengenai hasil kajian ini akan sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan tembang di masa mendatang. Hasil kajian kebiasaan makanan ikan tembang di perairan Selat Sunda ini dapat melengkapi hasil kajian kebiasaan ikan tembang yang sudah dilakukan di perairan lainnya, yaitu di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur (Robiyanto 2006; Rosita 2007). Dengan demikian, diharapkan informasi tentang kebiasaan makanan ikan tembang menjadi lebih lengkap dan utuh sehingga dapat membantu dalam menyusun kebijakan pengelolaan ikan tembang yang efektif dan lebih tepat.


(16)

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji makanan tiap kelompok ikan tembang di perairan Selat Sunda untuk merumuskan rencana pengelolaan di masa mendatang.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dan sebagai salah satu acuan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan tembang (Sardinella fimbriata) di perairan Selat Sunda ke arah yang lebih baik dan berkelanjutan pada masa mendatang.


(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tembang Sardinella fimbriata (Cuvier andValenciennes 1847) 2.1.1 Klasifikasi dan Tata Nama

Klasifikasi ikan tembang menurut Cuvier and Valenciennes 1847 (Gambar 1) dalam Persitiwady (2006) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Clupeiformes Famili : Clupeidae Subfamili : Incertae sedis Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes 1847) Nama umum : Fringle-scale sardinella, fimbriated sardinella

Nama lokal : Tembang (Jakarta), Mangida (Bali), Tembang lakara (Bugis), Sintring (Madura), Jurung (Pekanbaru)

(Peristiwady 2006)

Gambar 1. Ikan Tembang


(18)

2.1.2 Morfologi

Ikan tembang memiliki bentuk tubuh memanjang dan pipih serta memiliki duri di bagian bawah badan. Lengkung kepala bagian atas ikan tembang sampai di atas mata hampir lurus, dan dari setelah mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan ikan tembang lebih besar daripada panjang kepala dengan mata tertutup oleh kelopak mata. Awal dasar sirip punggung ikan tembang terletak sebelum pertengahan badan, sedangkan dasar sirip dubur sama panjang dengan dasar sirip punggung. Kepala dan badan bagian atas ikan tembang berwarna hijau kebiruan, sedangkan bagian bawah berwarna putih keperakan. Adapun sirip-sirip berwarna keputihan. Sirip punggung (dorsal) ikan tembang mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada (pectoral) mempunyai 15 jari-jari lemah, sirip dubur (anal) memiliki 18 jari-jari lemah, dan sirip perut (ventral) memiliki 8 jari-jari lemah (Peristiwady 2006).

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki ciri-ciri rangka yang terdiri dari tulang benar dan tulang bertutup insang. Ikan tembang mempunyai bentuk kepala simetris, bentuk badan tidak seperti ular dan seluruh sisik tidak terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor ikan tembang tidak bercincin dan hidung tidak memanjang ke depan serta pipi atau kepala tidak mempunyai kelopak keras dan duri. Sirip punggung ikan tembang terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku dan berbelah, bersisik dan tidak bersungut, dan tidak berjari-jari keras pada tulang punggung. Ikan tembang tidak mempunyai sirip punggung tambahan seperti kulit, tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, dan sirip dada senantiasa sempurna. Perut ikan tembang sangat pipih dan bersisik tebal yang bersiku. Ikan tembang mempunyai sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk mulut ikan tembang ini terminal, tajam serta bergerigi dan gigi-giginya lengkap pada langit-langit, serta terdapat sambungan tulang rahang dan lidah (Saanin 1984).

2.1.3 Kebiasaan Makanan

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan


(19)

dengan waktu, tempat, dan cara makanan yang diperoleh oleh ikan. Kebiasaan makanan ikan secara alami tergantung pada lingkungan tempat ikan hidup, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, umur ikan, periode harian mencari makan, dan spesies kompetitor (Febyanti & Syahailatua 2008).

Berbagai jenis makanan ikan tersedia di alam. Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan variasi makanannya (Nikolsky 1963). Eurifagus adalah ikan yang memakan berbagai jenis makanan, sebagai contoh yaitu ikan buntal (Tetraodon reticularis) di perairan Ujung Pangkah yang memakan berbagai jenis makanan, yaitu bivalvia (kerang hijau), Crustacea (udang, balanus), kepiting, gastropoda, dan ikan (Lubis 2001); ikan tipe stenofagus adalah ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya, sebagai contoh ikan biji nangka (Upenus moluccensis) yang terdapat di perairan Teluk Labuan karena ikan ini variasi jenis makanannya sedikit berupa udang-udangan, ikan kecil, dan detritus (Susilawati 2000); dan ikan tipe monofagus adalah ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja, sebagai contoh ikan kapasan (Gerres kapas) jantan dan betina yang terdapat di perairan Pantai Mayangan, Subang, hanya memakan Tellina (Sarjono 2005). Setiap hewan membutuhkan energi yang didapatkan dari makanan antara lain untuk reproduksi selain hidup, tumbuh, dan perawatan (Royce 1972 in Krismono et al. 2008).

Ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di perairan (Nurmawati 2007 in Satia et al. 2009). Dalam satu spesies, ikan mungkin makanannya berbeda-beda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu perubahan lingkungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan makanan ikan diantaranya penyebaran suatu organisme makanan dan ketersediaan makanan di lingkungan perairan tersebut (Effendie 2002). Penyebaran jenis makanan yang paling banyak di suatu perairan akan menyebabkan pengambilan dari jenis makanan tersebut bertambah (Effendie 1979 in Widyorini 2010). Kebiasaan makanan ikan-ikan dapat berbeda sesuai perubahan waktu meskipun penangkapannya dilakukan pada tempat yang sama (Lagler 1972 in Simanjuntak & Rahardjo 2001).


(20)

Berdasarkan kelompok ukuran, terlihat perbedaan jumlah dan jenis organisme yang dimakan. Perbedaan ini antara lain diduga oleh perbedaan tapis insang, ukuran makanan, tingkat kelaparan ikan, dan frekuensi pengambilan makanan (Pradini et al.

2001). Dengan mengetahui kebiasaan makanan ikan, kita dapat melihat hubungan ekologis antar organisme pada perairan tersebut, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan.

Ikan tembang, seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya (Pradini 1998 in Rosita 2007). Makanan utama ikan tembang di perairan Ujung Pangkah pada bulan Juli - Desember adalah Bacillariophyceae, makanan pelengkap adalah kelompok Crustacea, dan makanan tambahannya berupa Cilliata dan Dinophyceae (Robiyanto 2006). Dari jenis makanan yang dimakan, dapat diketahui bahwa ikan tembang tergolong omnivora cenderung herbivora.

Bacillariophyceae (diatom) merupakan kelompok fitoplankton yang sering dijumpai selama pencacahan sampel. Bacillariophyceae (Diatom) merupakan kelompok fitoplankton dengan jumlah terbesar di perairan laut dan berperan penting sebagai produsen primer di perairan laut (Sachlan 1983 in Subiyanto et al. 2008). Bacillariophyceae mempunyai ukuran yang sangat halus sehingga sangat mudah dicerna di dalam saluran pencernaan (Rosita 2007). Pertumbuhan diatom yang dominan tersebut dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Salah satu parameter yang berperan adalah suhu perairan. Suhu optimal untuk pertumbuhan diatom adalah sekitar 20-300C (Effendi 2003 in Agustini et al. 2008).

2.1.4 Habitat dan Penyebaran

Ikan tembang termasuk ikan pelagis yang hidup di lautan terbuka, lepas dari dasar perairan dan pada zona kedalaman sampai 100 – 150 meter, yang merupakan zona yang masih dapat ditembus cahaya (zona epipelagik) (Nybakken 1988). Telur dan larva ikan tembang ditemukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Saat juvenil, ikan ini masih ada yang hidup di mangrove dan mulai memasuki daerah yang memiliki kadar garam sedang. Ketika dewasa, spesies ini hidup bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak ditemukan di dekat pantai sampai ke arah laut (www. fishbase.org). Gunarso (1985) in Monintja et al. (1994) menyatakan bahwa


(21)

terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikan membentuk kelompok, antara lain sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin, untuk melalukan ruaya dan pergerakan serta terdapatnya suatu pengaruh dari faktor-faktor yang ada sekelilingnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan di perairan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan intra spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, ketersediaan makanan, arus air, dan angin (Hanson in

Pradini 1998). Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan berada pada permukaan sampai matahari sudah akan terbit dan pada waktu malam terang bulan gerombolan ikan tersebut agak berpencar atau berada tetap di bawah permukaan air (Dwiponggo 1978 in Monintja et al. 1994).

Menurut Hutomo et al. 1975 in Monintja et al. 1994, pada saat akan memijah,

Sardinella fimbriata beruaya dari perairan pesisir ke perairan lepas pantai. Ikan ini penyebarannya meliputi perairan Indonesia menyebar ke utara sampai Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia, dan ke barat sampai Laut Merah.

2.2 Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Persaingan terhadap makanan sering terjadi antar individu dalam satu spesies atau antar spesies. Persaingan terhadap makanan merupakan perebutan antara dua spesies ikan atau lebih terhadap organisme makanan yang sama (Effendie 1997 in

Robiyanto 2006).

Luas relung makanan mengindikasikan adanya perbedaan sumberdaya makanan yang dimanfaatkan oleh suatu organisme (Oktaviani 2006). Luas relung makanan dapat membantu dalam menentukan posisi suatu spesies ikan dalam rantai makanan yang berguna dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Luas relung makanan dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran ikan. Luas relung ikan memiliki kecenderungan menurun di setiap kelas ukuran panjang. Perubahan nilai luas relung ada pada setiap kelompok ukuran ikan, dimana ikan berukuran kecil akan menggunakan luas relung yang sempit (Effendie 1997 in Satia


(22)

jantan di perairan Pantai Mayangan, Subang, lebih luas dari pada ikan blama betina. Berdasarkan ukuran panjang, ikan blama pada kelompok ukuran 261 – 300 mm mempunyai luas relung makanan paling besar (Djapari 2003). Luas relung makanan yang besar menandakan bahwa ikan-ikan tidak selektif dalam memilih makanan yang tersedia (Satia et al. 2009). Semakin besar ukuran panjangnya, pola kebiasaan makannya juga akan berubah dan akan menggunakan luas relung yang besar. Perbedaan luas relung makanan ikan antar kelompok ukuran menunjukkan bahwa pertambahan panjang ikan tidak berkaitan dengan kelimpahan dan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia di perairan (Nurnaningsih et al. 2005). Namun variasi makanan yang banyak tidak menjamin akan memberikan luas relung yang besar (Satia et al. 2009).

Tumpang tindih relung adalah penggunaan bersamaan atas satu sumberdaya atau lebih oleh dua kelompok atau lebih, sedangkan tumpang tindih relung makanan adalah pemanfaatan jenis makanan yang sama oleh dua kelompok atau lebih. Jika tumpang tindih tinggi (berkisar 1), kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama, sebaliknya jika nilai tumpang tindih sama dengan nol, berarti tidak didapatkan makanan yang sama diantara kedua kelompok (Colwell et al. 1971 in Mahyasopha 2007). Besarnya nilai tumpang tindih menunjukkan bahwa ikan tersebut mempunyai kesamaan jenis makanan sehingga peluang terjadinya persaingan makanan akan menjadi tinggi, sedangkan kecilnya nilai tumpang tindih yang terjadi akan mengurangi persaingan antar kelompok ukuran ikan karena ikan tidak memanfaatkan makanan yang sama (Nurnaningsih et al. 2005).

Persaingan dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya makanan yang sama oleh dua atau lebih spesies dapat menimbulkan kematian atau kepunahan jenis ikan tertentu. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumberdaya makanan di suatu perairan, dimana persediaan makanan di perairan akan mempengaruhi pertumbuhan ikan dan hanya ikan-ikan yang kuat dalam persaingan yang dapat tumbuh dengan baik (Weatherley 1972).


(23)

2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda

Daerah penangkapan ikan tembang oleh para nelayan di sekitar perairan Selat Sunda yang berada pada titik koordinat 105015’E/6054’S sampai dengan 104035’E/5059’S (Heriawan 2006). Selat Sunda terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang merupakan penghubung antara Laut Jawa di sebelah utara dengan Samudera Hindia di sebelah selatan. Kedalaman maksimum di Selat Sunda adalah 1.575 m dan luas perairannya lebih kurang 8.138 km2 (Birowo 1983 in

Silalahi 2000).

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang unik, karena kondisi perairannya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudera Hindia dan sifat perairan dangkal Laut Jawa. Topografi dasar laut Selat Sunda beragam bentuknya, yaitu berbentuk paparan, berbagai kedalaman (slope), berupa mangkuk (deep sea basins), gunung di bawah laut (sea mount), dan pemunculan dasar perairan (throughs). Dasar perairan Selat Sunda pada kedalaman hingga 30 m umumnya adalah lumpur berpasir dan bahan organik yang belum terurai, sedangkan pada kedalaman antara 30 hingga 100 m umumnya adalah campuran pasir dan karang (Heriawan 2006).

Iklim di Selat Sunda dipengaruhi oleh angin muson, yaitu Muson Tenggara dan Muson Barat Laut. Angin Muson Tenggara biasanya terjadi pada musim kemarau (April – September), sedangkan angin Muson Barat Laut terjadi pada musim penghujan (Oktober – Maret) (Silalahi 2000). Pada angin Muson Tenggara, angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan yang lemah sehingga laut tidak bergelombang besar. Pada angin Muson Barat Laut, angin bertiup dari arah barat sampai barat laut dengan membawa hujan dan musim ini merupakan musim paceklik bagi para nelayan karena angin berkecepatan tinggi dan hujan badai (Heriawan 2006). Kondisi perairan laut sekitar Selat Sunda di Pasauran, Kabupaten Serang menurut Yusfiandayani (2004) in Heriawan (2006) disajikan pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1. Kondisi fisik lingkungan di sekitar perairan Selat Sunda

Parameter Kisaran Keterangan

Suhu 27-31oC Umumnya 29oC atau lebih

Kecepatan arus air 3-25 m/menit Umumnya kurang dari 15 m/menit

Salinitas 29-31o/oo Umumnya 30 o/oo

Kecerahan 3,5-13,0 meter Kedalaman maksimum sechii disk dapat terlihat dari permukaan; Umumnya antara 6-10 meter.

2.4 Jenis Makanan Ikan Tembang

Karakteristik beberapa organisme makanan ikan tembang menurut Nontji (2008) adalah sebagai berikut :

1. Diatom (Kelas Bacillariophyceae)

Diatom merupakan kelompok fitoplankton yang paling umum dijumpai di laut. Diatom terdapat di mana saja, dari tepi pantai hingga tengah samudera. Di dunia, fitoplankton dari kelompok ini diperkirakan ada sekitar 1400 – 1800 jenis, tetapi tidak semua jenis hidup sebagai plankton.

Diatom merupakan tumbuhan mikroskopis di laut yang merupakan tumpuan hidup (langsung atau tidak langsung) bagi sebagian besar biota di laut. Oleh sebab itu, diatom memiliki beberapa julukan, yaitu marine pasture, invisible forest, dan

jewel of the sea. Diatom terbagi atas dua ordo, yakni Centrales dan Pennales. Diatom sentrik bercirikan bentuk sel yang mempunyai simetri radial atau konsentrik dengan satu titik pusat. Selnya bisa berbentuk bulat, lonjong, atau silindris dengan penampang bulat, segitiga, atau segi empat. Diatom penat umumnya memanjang

atau berbentuk sigmoid seperti huruf “S”. Disepanjang median sel diatom penat terdapat jalur tengah yang disebut rafe (raphe).

Struktur umum sel diatom dapat dijelaskan secara sederhana dengan model dari diatom sentrik. Sel dengan kerangka silikanya disebut frustul. Di dalam frustul terdapat sitoplasma yang mengandung inti sel dan vakuola yang besar. Di dalam sitoplasma juga terdapat kromatofor yang umumnya berwarna kuning-cokelat karena adanya pigmen karotenoid. Diatom dapat hidup sebagai individu sel tunggalyang soliter, atau terhubung dengan sel lainnya membentuk koloni bagaikan


(25)

rantai, dengan rangkaian antar selnya bervariasi menurut jenis. Gelombang laut yang kuat dapat membuat rantai yang semula panjang pecah menjadi rantai yang lebih pendek. Ukuran diatom cukup beragam dari 5 µm – 2 mm. Distribusi plankton diatom bervariasi secara temporal dan spasial, yang banyak ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Sebaran horizontal misalnya banyak ditentukan oleh faktor suhu, salinitas, dan arus. Di perairan Ugahari (temperate) yang mengalami perubahan musim panas dan musim dingin yang nyata, variasi musiman suhu, hara, dan cahaya akan mempengaruhi keberadaan dan suksesi plankton diatom.

2. Dinoflagellata (Dinophyceae)

Dinophyceae merupakan kelas utama dari Dinoflagellata, yang merupakan kelompok fitoplankton yang sangat umum ditemukan di laut setelah diatom. Ciri khas yang terdapat pada kelompok fitoplankton ini adalah kandungan pigmen dalam selnya, yang tidak saja mengandung klorofil-a dan klorofil-c, tetapi yang sangat spesifik adalah kandungan pigmen klorofil-â-carotene. Kehadiran pigmen ini menyebabkan warna fitoplankton dari kelompok ini umumnya coklat kekuningan. Ciri lain dari Dinophyceae adalah adanya organ untuk bergerak berupa flagella yang memiliki bentuk seperti bulu cambuk. Berdasarkan kebiasaan hidupnya dan lokasi flagellanya, Dinophyceae dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni Desmokontae dan Dinokontae. Dinding sel pada Dinophyceae ada yang berupa dinding selulosa yang tebal dan kuat ada yang berupa pelat-pelat yang melindungi sel, dan adapula dinophyceae tipe telanjang yang tidak mempunyai pelat perisai. Dinophyceae memiliki ukuran 5 – 200 µm, tetapi beberapa spesies dari kelas ini terkadang tumbuh dalam rantai lebih besar atau pseudocoloni. Dinophyceae mendominasi komunitas fitoplankton di perairan sub tropik dan tropik. Kelompok yang mewakili kelas ini umumnya berasal dari genera peridinales yang meliputi

Ceratium, Gonyaulax, dan Peridinium dan dari genera Gymnodiniales yang meliputi

Amphidinium, Ptychodiscus dan Gyrodinium.

Menurut Kennish (1190) in Sunarto (2008), beberapa fitoplankton dari kelompok spesies Dinophyceae menghasilkan racun. Ketika terjadi blooming


(26)

dimana kepadatannya dapat mencapai 5 x 105 sel/L, racun yang bertumpuk akan mematikan ikan, kekerangan dan organisme lain. Beberapa jenis fitoplankton dari kelompok Dinophyceae mempunyai kemampuan yang dapat menghasilkan sebuah cahaya antara lain Noctiluca, Gymnodinium dan Pycrocystis. Umumnya Dinophyceae bereproduksi secara aseksual dengan melalui pembelahan sel, meskipun ada beberapa individu bereproduksi secara seksual.

3. Tintinid (Cilliata)

Tintinid merupakan hewan yang hidup sebagai plankton yang paling primitif adalah hewan dari filum protozoa. Hewan ini bersel tunggal, yang mempunyai sitoplasma, sitomembran, dan satu atau lebih inti. Salah sau ciri utama tintinid adalah tubuhnya membentuk kantong dari gelatin atau kitinyang disebut lorika. Bentuk lorika masing-masing jenis berbeda sehingga bagian tubuh hewan ini digunakan sebagai ciri utama untuk identifikasi. Tintinid mempunyai banyak jenis yang hidup sebagai plankton. Ukuran tubuh tintinid beragam, yang umumnya berkisar dari 30 – 150 µm. Dari sebaran vertikalnya, tintinid umumnya hidup di lapisan permukaan, tidak lebih dari kedalaman 100 meter. Persebaran tintinid ada juga yang mengalami perubahan musiman. Tintinid mempunyai peran yang penting dalam ekosistem laut sebagai makanan bagi para larva ikan, udang, dan moluska. Oleh karena itu kehadirannya akan sangat menunjang keberhasilan produksi jenis-jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis penting.

4. Kopepod (Crustaceae)

Kopepod adalah nama umum yang diberikan untuk hewan dari subkelas Copepoda, di bawah kelas Crustaceae, filum Arthropoda. Seperti umumnya warga krustacea, kopepod mempunyai kulit atau kerangka luar yang keras dari bahan kitin. Selain itu, kopepod juga mempunyai dua pasang antena, dan memiliki kaki yang banyak. Di dunia diperkirakan ada sekitar 12.000 jenis kopepod, tetapi tidak semua hidup sebagai plankton. Kopepod hidup diperairan tawar, perairan payau, atau perairan osenik. Ada kopepod yang hidup sebagai parasit pada ikan, ada pula yang hidup sebagai benthos (hidup di dasar laut). Kopepod yang paling banyak di laut itu


(27)

kopepod plankton hampir setiap kali kita mengambil contoh plankton di laut hampir selalu tertangakp pula kopepod plankton. Ukuran kopepod plankton ini memang kecil, sekitar 0,5 – 2 mm.

Sebagian besar kopepod plankton hidup sebagai herbivor, yang menyantap tetumbuhan renik. Namun, tidak semua koped plankton itu herbivor. Ada juga beberapa jenis yang hidup sebagai pemangsa plankton, meskipun jenis seperti ini tidak terlalu banyak jumlahnya. Fitoplankton yang dilahap oleh kopepod merupakan sumber energi dan hara yang akan ditransfer ke sebagian besar komponen biota lautt melalui rantai dan jaringan pakan.

5. Chaetognatha

Chaetognatha umumnya dikenal sebagai cacing panah karena kemampuan renangnya yang dapat melesat dan bentuk tubuhnya yang umumnya langsing memanjang dan silindris. Chaetognatha merupakan hewan pemangsa yang buas dan rakus. Makanannya termasuk berbagai zooplankton. Tetapi hewan besar, termasuk larva ikan, dapat diserang dan dimakannya. Renangnya bisa melesat cepat dengan daya dorong dari kibasan sirip ekornya, sedangkan sirip-sirip tubuhnya untuk pengendali dan kestabilan. Chaetognatha umunya berukuran sekitar 2 – 3 cm, tetapi ada juga yang bisa mencapai 5 - 10 cm. Di bagian kepalanya ada sepasang matakecil, sedangkan di sepanjang tubuhnya terdapat sirip yang umumnya dua pasang. Diperkirakan di seluruh laut dunia terdapat sekitar 100 jenis Chaetognatha yang berada dibawah 15 marga. Hewan ini dijumpai mulai dari perairan pantai hingga di perairan oseanik. Karena chaetognatha hidup pada kisaran faktor lingkungan yang terbatas, maka jenis-jenis Chaetognatha tertentu juga sering digunakan sebagai indikator massa air atau arus laut. Dari segi perikanan, Chaetognatha mempunyai peranan penting juga karena hewan ini merupakan makanaan bagi banyak jenis ikan dan cumi.tetapi sebaliknya karena Chaetognatha merupakan pemakan telur dan larva ikan ganas, maka jika populasinya besar akan menimbulkan kerugian pula bagi ladang ikan dan upaya budi daya perikanan.


(28)

3.

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret – Oktober 2011 di PPP Labuan Banten. Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan selama pengamatan. Ikan contoh berasal dari hasil tangkapan nelayan di sekitar Perairan Selat Sunda yang telah didaratkan di PPP Labuan, Banten (Gambar 2). Pengumpulan data ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang Sumber: Fadlian 2012

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 gram dan 1 gram, satu set alat bedah, botol film, pipet tetes, gelas ukur, cawan petri, mikroskop, tissue, nampan, kaca preparat, coverglass, kamera digital, dan laptop (Lampiran 1).


(29)

Bahan yang digunakan adalah organ pencernaan ikan tembang, formalin 4%, dan akuades (Lampiran 2).

3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan ikan contoh dilakukan selama 7 bulan yakni mulai bulan Maret 2011 sampai Oktober 2011. Ikan contoh diperoleh dari para nelayan pengumpul di PPP Labuan. Ikan contoh dimasukkan ke dalam coolbox yang diisi es sebanyak mungkin agar tetap segar kemudian dibawa ke Laboratorium Biologi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor untuk dianalisis lebih lanjut. Secara keseluruhan jumlah ikan contoh yang diamati selama penelitian adalah 302 ekor yang terdiri dari 155 ekor jantan dan 147 ekor betina dengan ukuran panjang ikan terkecil 100 mm untuk ikan tembang jantan dan 110 mm untuk ikan tembang betina sedangkan ukuran panjang ikan terpanjang 176 mm untuk ikan tembang jantan dan 186 mm untuk ikan tembang betina.

3.3.2 Pengamatan Sampel di Laboratorium

Pada setiap bulan pengamatan, sampel ikan tembang yang didapatkan, diukur panjang total (mm) dan ditimbang bobotnya (gram) serta dibedakan jenis kelaminnya, sehingga kebiasaan makanannya dibandingkan berdasarkan jenis kelamin, bulan pengamatan, dan kelompok ukuran panjang. Panjang ikan diukur dari ujung kepala terdepan sampai dengan ujung sirip ekor yang paling belakang menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Bobot ikan ditimbang seluruh tubuhnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 gram.

Ikan tembang dibedah menggunakan gunting bedah, dimulai dari bagian anus menuju bagian dorsal di bawah linea lateralis sampai ke belakang operkulum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Otot dibuka sehingga organ dalam ikan dapat terlihat dan jenis kelamin dapat ditentukan secara morfologi. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya kemudian diukur panjangnya. Bagian ujung dari saluran pencernaan diikat agar makanan yang ada dalam usus tidak keluar, kemudian saluran pencernaan diawetkan dalam formalin 4%.


(30)

Untuk menganalisis jenis-jenis makanan yang dimakan oleh ikan, dilakukan pengamatan terhadap isi lambung dari ikan contoh tersebut. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10, menggunakan metode sensus dengan tiga kali ulangan, dan pada saat yang sama organisme makanan diidentifikasi dengan berpedoman pada buku “Ilustrations of the Marine Plankton” karangan Yamaji (1979).

3.4 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan selama penelitian dan pada setiap pengamatan adalah data primer berupa jenis-jenis makanan ikan tembang, jumlah tiap jenis makanan, kelompok makanan, dan volume jenis makanan ikan tembang.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Panjang Usus Relatif

Analisis panjang usus relatif dilakukan untuk mengetahui tipe ikan berdasarkan makanan yang dikonsumsi. Panjang usus relatif dihitung dengan membandingkan panjang usus ikan terhadap panjang tubuh ikan.

Keterangan :

Pusus : Panjang usus (mm)

Ptubuh : Panjang tubuh (mm)

3.5.2 Indeks Bagian Terbesar (Index of Preponderance)

Indeks bagian terbesar makanan dihitung untuk mengetahui persentase suatu jenis makanan tertentu terhadap semua organisme makanan yang dimanfaatkan oleh ikan tembang. Analisis indeks bagian terbesar dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan (Natarajan et al. 1961 in Effendie 2002):


(31)

IP

i

(%) =

x 100

Keterangan :

IP : Indeks bagian terbesar

Vi : presentase volume makanan ke-i (%) Oi : frekuensi kejadian makanan ke-i

Untuk menentukan kebiasaan makanan pada ikan, maka urutan makanan dapat dibedakan manjadi tiga kategori yaitu makanan dengan nilai IP > 40% dikategorikan sebagai makanan utama, nilai IP antara 4% hingga 40% dikategorikan sebagai makanan tambahan, dan nilai IP < 4% dikategorikan sebagai makanan pelengkap.

Dalam menganalisis ikan tembang dilakukan pengelompokkan berdasarkan ukuran yang dibagi atas 3 bagian yaitu pengelompokkan ukuran kecil (100 – 128 mm), sedang (129 – 157 mm) dan besar (158 – 186 mm). Pembagian kelompok ukuran ikan tembang ini dilakukan berdasarkan pembagian selang kelas menggunakan pendekatan statistika dari nilai tengah dan selang kelas.

3.5.2 Luas Relung Makanan

Ikan –ikan sampel yang sudah dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok ukuran panjang, kemudian dihitung luas relung makanannya dengan menggunakan rumus (Levins in Krebs 1989 in Krismono et al. 2008):


(32)

Keterangan :

Bi : Luas relung atau lebar relung ikan ke-i

Pij : proporsi organisme makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan

ke-i (%)

n : Jumlah kelompok ikan

m : Jumlah organisme makanan yang dimanfaatkan

Dalam perhitungan luas relung ini dibutuhkan suatu standarisasi agar nilai luas relung yang dihasilkan berkisar antara 0-1 dengan selang yang tidak begitu besar. Adapun rumus yang digunakan adalah (Hulbert 1968 in Krebs 1989 in Krismono et al. 2008):

Keterangan :

Ba : Standarisasi ruang relung Bi : Luas relung

n : Jumlah seluruh organisme makanan yang dimanfaatkan

3.5.3 Penentuan Tumpang Tindih

Tumpang tindih relung merupakan penggunaan bersama suatu sumber daya atau lebih oleh dua spesies ikan atau lebih atau tingkat kesamaan jenis makanan antara kelompok ikan pertama dan kedua.

Penentuan nilai tumpang tindih diketahui dengan rumus (Colwell dan Futuyama 1971 in Krismono et al. 2008) :

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑


(33)

Keterangan :

CH : Tingkat kesamaan jenis makanan

Pij : proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

Pik : proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-k

n : Jumlah jenis organisme makanan m,l : Jumlah kelompok ukuran ikan

Pij didapat dengan rumus sebagai berikut:

ij

P

Keterangan :

Pij : proporsi spesies ke-i kelompok ikan ke-j

3.5.4 Indeks Similaritas

Indeks similaritas digunakan untuk mengetahui kesamaan jenis makanan berdasarkan waktu pengambilan ikan contoh. Perhitungannya dilakukan dengan membandingkan komposisi jenis makanan pada masing-masing kelompok ikan setiap bulannya.

Adapun rumus indeks similaritas yang digunakan menurut Bray Curtis in Krebs (1989), yaitu :

∑ |

|

Keterangan :

B = Indeks similaritas Bray Curtis

Xij = Jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh (pengamatan) ke-j


(34)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Organ Pencernaan Ikan Tembang

Ikan tembang merupakan salah satu jenis ikan pelagis. Ikan tembang juga merupakan ikan omnivora cenderung herbivora yang memakan plankton. Ikan tembang memiliki mulut berbentuk terminal, dimana posisi mulut terletak di bagian depan ujung hidung (Saanin 1984). Gambar posisi mulut ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Posisi mulut ikan tembang

Ikan tembang memiliki usus yang lebih panjang dibandingkan panjang tubuhnya sehingga ikan tembang disebut ikan omnivora yang cenderung herbivora. Ikan tembang mempunyai tapis insang yang panjang dan rapat. Gambar insang ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 4.


(35)

Berdasarkan rasio perbandingan antara panjang usus dan panjang tubuh ikan tembang, didapatkan bahwa rasio panjang usus dan panjang tubuh ikan tembang mulai dari bulan April sampai Oktober 2011 yaitu antara 0,2941 – 1,4545 mm. Rasio yang didapatkan setiap bulannya hampir mendekati 1, hal ini menunjukkan bahwa panjang usus hampir sama dengan panjang tubuh ikan tembang, sehingga

ikan tembang termasuk dalam kategori ikan omnivora cenderung herbivora (Nikolsky 1963). Perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh ikan tembang

dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 3.

Gambar 5. Perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh ikan tembang

4.2 Makanan Ikan Tembang

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan cara makanan diperoleh oleh ikan (Febyanti & Syahailatua 2008). Secara umum, berdasarkan hasil analisis terhadap isi usus ikan tembang di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten memperlihatkan bahwa organisme makanan ikan tembang dapat digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu Bacillariophyceae, Ciliata, Crustacea, Dinophyceae, dan Chaetognatha. Komposisi jenis makanan tersebut tertera pada Tabel 2. Berdasarkan komposisi jenis makanan, maka dapat dinyatakan bahwa ikan tembang termasuk ikan pemakan plankton. Hal ini didukung oleh pernyataan Pradini 1998 in Rosita


(36)

2001 dalam skripsinya yang menyatakan bahwa Ikan tembang seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya.

Tabel 2. Makanan ikan tembang

Kelas Genus

Bacillariophyceae (12 genera) Bactriastrum, Chaetoceros, Corethron, Coscinodiscus, Guinardia, Hemialus, Melosira, Navicula, Nitzchia, Pleurosigma, Rhizosolenia, Skeletonema.

Cilliata ( 2 genera) Favella, Tintinnopsis Crustacea (2 genera) Nauplius, Calanus,

Dinophyceae (3 genera) Ceratium, Ceratorys, Peridinium

Chaetognatha (1 genera) Sagitta

Menurut Robiyanto (2007) ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah (Gresik) komposisi makanannya terdiri dari lima kelompok plankton yaitu Bacillaripohyceae (7 genus), Crustacea (3 genus), Cilliata (2 genus), Dinophyceae (2 genus) dan Detritus (berupa serasah, makanan yang telah dicerna dan material yang tidak teridentifikasi). Menurut Rosita (2008) ikan tembang pada bulan Januari - Juni 2006 di perairan Ujung Pangkah di perairan Ujung Pangkah, Jawa timur komposisi makanannya terdiri dari lima kelompok plankton yaitu Bacillariophyceae (14 genus), Dinophyceae (1 genus), Cilliata (2 genus) dan Crustacea (3 genus) dan Detritus (Organisme yang tidak teridentifikasi atau sudah dicerna). Berdasarkan keterangan dapat diketahui bahwa terdapat kesamaan jenis makanan ikan tembang yang tertangkap di perairan Selat Sunda (penelitian saya) dengan ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah pada penelitian Robiyanto (2007) dan Rosita (2008).

Perbandingan protein nabati dan protein hewani sebesar 75% untuk protein nabati dan 25% untuk protein hewani. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa ikan tembang lebih memilih makanan dari jenis fitoplankton yang mengandung protein nabati daripada zooplankton yang mengandung protein hewani. Ikan tembang lebih menyukai mengkonsumsi makanan yang mengandung protein nabati karena dapat mendukung pertumbuhan ikan tembang dengan baik dibandingkan mengkonsumsi makanan yang mengandung protein hewan


(37)

4.3 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Kelompok Ukuran

Penentuan kebiasaan makanan berdasarkan kelompok ukuran panjang dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan jenis dan komposisi makanan yang dimanfaatkan oleh ikan tembang (jantan dan betina) pada kelompok ukuran yang berbeda. Ikan tembang memiliki rata-rata ukuran panjang yang hampir seragam, sehingga dibedakan menjadi tiga kelompok ukuran yaitu ikan tembang kecil dengan ukuran 100 mm – 128 mm, ikan tembang sedang dengan ukuran 129 mm – 157 mm, dan ikan tembang besar dengan ukuran 158 mm – 186 mm.

Komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) berdasarkan kelompok ukuran panjang dapat dilihat pada Gambar 6 dan rincian komposisi makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran panjang menggunakan IP dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 6. Makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran

Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa proporsi IP makanan alami ikan tembang di perairan Selat Sunda relatif seragam pada setiap kelompok ukuran, proporsi IP makanan ikan tembang didominasi oleh fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae dengan proporsi antara 70,33% hingga 77,64%. Proporsi IP terbesar kedua ditempati oleh fitoplankton dari kelompok Dinophyceae dengan proporsi antara 21,90% hingga 29,41% dan proporsi IP makanan ikan tembang

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Kecil (N = 38)

Sedang (N = 198)

Besar (N=65) K o m po si si ( % ) Ukuran (mm) Chaetognatha Crustaceae Cilliata Dinophyceae Bacillariophyceae


(38)

sisanya ditempati oleh zooplankton yang terdiri dari zooplankton kelompok Cilliata, Crustacea, dan Chaetognatha.

Berdasarkan nilai proporsi IP makanan ikan tembang seperti pada Gambar 8 di atas menunjukkan bahwa secara umum makanan utama ikan tembang di perairan Selat Sunda adalah fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae karena nilai proporsi IP untuk Bacillariophyceae selalu > 40% pada seluruh bulan pengamatan. Makanan pelengkap ikan tembang di perairan Selat Sunda untuk melengkapi makanan utamanya adalah fitoplankton dari kelompok Dinophyceae, yang ditunjukkan dengan nilai proporsi IP sebesar antara 4% hingga 40% pada setiap bulan pengamatan. Adapun zooplankton yang terdiri dari kelompok Cilliata, Crustacea, dan Chaetognatha merupakan makanan tambahan ikan tembang di perairan Selat Sunda, karena nilai proporsi IP rata-rata < 4% pada setiap bulan pengamatan.

Berdasarkan hasil penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa jenis makanan ikan tembang di setiap kelompok ukuran sama, baik makanan utama, makanan pelengkap maupun makanan tambahannya. Hasil ini seolah-olah menunjukkan bahwa jenis makanan ikan tembang sama pada seluruh kelompok ukuran panjang sehingga ukuran panjang tidak menyebabkan perubahan dalam jenis makanan ikan. Nilai IP pada masing-masing jenis berfluktuasi pada setiap kelompok ukuran, hal ini diduga dari ukuran makanan yang masuk dalam tubuh ikan. Ukuran plankton yang dimanfaatkan oleh ikan filter feeder dipengaruhi oleh lebar dari jarak antara tapis insang dan panjang dari jarak antara lekuk tapis insang yang membentuk wadah penyaringan (Blaber 1997 in Mawardi 2007).

4.4 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Jenis Kelamin

Penentuan kebiasaan makanan berdasarkan jenis kelamin dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan komposisi makanan yang dimanfaatkan oleh ikan tembang jantan dan betina. Berdasarkan indeks bagian terbesar (IP) dari jumlah ikan tembang yang tertangkap ditentukan makanan utama, makanan pelengkap, makanan tambahan, dan makanan pengganti.


(39)

Komposisi makanan ikan tembang antara ikan jantan dan ikan betina dapat dilihat pada Gambar 7 dan komposisi makanan ikan tembang berdasarkan jenis kelamin menggunakan IP dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 7. Makanan ikan tembang berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa proporsi IP ikan tembang jantan dan betina hampir sama. Proporsi IP terbesar pada ikan jantan dan betina ditempati oleh fitoplankton kelompok Bacillariophyceae, masing-masing adalah 77% dan 75,4%, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan tembang jantan dan betina memanfaatkan fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae sebagai makanan utama (IP > 40%). Hal tersebut dapat disebabkan, diantaranya karena organisme tersebut melimpah di perairan dan dengan ukurannya yang sangat halus menyebabkan sangat mudah untuk dicerna di dalam saluran pencernaan (Rosita 2007). Proporsi IP terbesar kedua pada ikan jantan dan betina dari kelompok Dinophyceae, masing-masing dengan nilai 22,7% dan 24,08%, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan tembang jantan dan betina memanfaatkan zooplankton dari kelompok Dinophyceae sebagai makanan pelengkap (4% < IP < 40%). Proporsi IP untuk ikan tembang jantan dan betina dari kelompok Cilliata (0,16% dan 0,39%), Crustacea ( 0,11% dan 0,09%) dan Chaetognatha (0,00009% dan 0,0007%) sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan tembang jantan dan betina memanfaatkan zooplankton dari kelompok tersebut sebagai makanan tambahan (IP < 4%).

0% 20% 40% 60% 80% 100% Jantan (N= 155) Betina (N= 147) K o m po si si ( % ) Jenis Kelamin chaetognatha Crustaceae Cilliata Dinophyceae Bacillariophyceae


(40)

Menurut Robiyanto (2006), makanan utama ikan tembang di perairan Ujung Pangkah pada bulan Juli - Desember adalah Bacillariophyceae, makanan pelengkap adalah kelompok Crustacea, serta makanan tambahannya berupa Cilliata dan Dinophyceae. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa ikan tembang seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya (Pradini 1998 in Rosita 2007). Adanya kesamaan memanfaatkan Bacillariophyceae sebagai makanan utama pada ikan tembang jantan dan betina diduga karena ikan tersebut memiliki kesukaan makanan yang sama, berada dalam habitat yang sama, serta ketersediaan makanan yang sama di perairan tersebut. Pernyataan tersebut didukung dengan melihat makanan utama ikan tembang yaitu fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae (Diatom) yang merupakan kelompok fitoplankton dengan jumlah terbesar di perairan laut dan berperan penting sebagai produsen primer di perairan laut (Sachlan 1983 in Subiyanto et al. 2008). Pertumbuhan diatom yang dominan tersebut dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Salah satu parameter yang berperan adalah suhu perairan dimana suhu perairan Selat Sunda menurut Yusfiandayani (2004) in Heriawan (2006) sebesar 27 – 310C dan suhu optimal untuk pertumbuhan diatom adalah sekitar 20-300C (Effendi 2003 in Agustini et al., 2008) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan tembang memilih organisme dari kelompok Bacillariophyceae sebagai makanan utamanya dikarenakan organisme plankton tersebut paling tinggi populasinya di perairan Selat Sunda. Oleh karena itu, kebiasaan makanan ikan secara alami tergantung pada lingkungan tempat ikan hidup, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, umur ikan, periode harian mencari makan, dan spesies kompetitor (Febyanti & Syahailatua 2008).

4.5 Komposisi Makanan Ikan Tembang Berdasarkan Waktu Pengamatan

Penentuan kebiasaan makanan berdasarkan bulan pengamatan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan jenis dan komposisi makanan yang dimanfaatkan oleh ikan tembang (jantan dan betina) di setiap bulan pengamatan. Berdasarkan indeks bagian terbesar (IP) dari jumlah ikan tembang yang tertangkap ditentukan makanan utama, makanan pelengkap, makanan tambahan, dan makanan pengganti.


(41)

Komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) di setiap bulan pengamatan berdasarkan nilai IP dapat dilihat pada Gambar 8 dan rincian komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) berdasarkan bulan pengamatan menggunakan IP dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 8. Makanan ikan tembang berdasarkan waktu pengamatan

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa proporsi IP makanan alami ikan tembang di perairan Selat Sunda relatif seragam pada setiap bulan pengamatan, kecuali pada bulan Juni. Pada pengamatan bulan April hingga Oktober 2011 (kecuali Juni 2011), proporsi IP makanan ikan tembang didominasi oleh fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae dengan proporsi antara 77,79% hingga 88,90%. Proporsi IP terbesar kedua ditempati oleh fitoplankton dari kelompok Dinophyceae dengan proporsi antara 10,46% hingga 21,28%. Adapun proporsi IP makanan ikan tembang sisanya ditempati oleh zooplankton yang terdiri dari zooplankton kelompok Cilliata, Crustacea, dan Chaetognatha.

Dapat dilihat pada Gambar 8 bahwa pada pengamatan bulan Juni 2011, tampak bahwa proporsi IP makanan ikan tembang antara fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae dengan fitoplankton dari kelompok Dinophyceaepada tidak jauh berbeda, yitu masing-masing nilainya 47,34% dan 52,55%. Proporsi IP makanan ikan tembang sisanya juga ditempati oleh zooplankton dari kelompok Cilliata, Crustacea, dan Chaetognatha.

0% 20% 40% 60% 80% 100% K o m po si si ( % ) Bulan pengamatan Chaetognatha Crustacea Cilliata Dinophyceae Bacillariophyceae


(42)

Berdasarkan nilai proporsi IP makanan ikan tembang seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa secara umum makanan utama ikan tembang di perairan Selat Sunda adalah fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae karena nilai proporsi IP untuk Bacillariophyceae selalu > 40% pada seluruh bulan pengamatan. Sedangkan sebagai makanan pelengkap ikan tembang di perairan Selat Sunda untuk melengkapi makanan utamanya adalah fitoplankton dari kelompok Dinophyceae, yang ditunjukkan dengan nilai proporsi IP sebesar antara 4% hingga 40% pada setiap bulan pengamatan dan zooplankton yang terdiri dari kelompok Cilliata, Crustacea, dan Chaetognatha merupakan makanan tambahan ikan tembang di perairan Selat Sunda, karena nilai proporsi IP rata-rata < 4% pada setiap bulan pengamatan.

Ikan tembang di perairan Selat Sunda memanfaatkan fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae sebagai makanan utamanya di setiap bulan dikarenakan fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae ini merupakan fitoplankton yang melimpah dan dominan berada di perairan Selat Sunda dan perbedaan makanan utama pada bulan Juni 2011, dimana ikan tembang memanfaatkan fitoplankton dari kelompok Dinophyceae. Hal ini mungkin dipengaruhi bahwa pada bulan Juni 2011 ketersediaan fitoplankton dari kelompok Dinophyceae paling melimpah di perairan Selat Sunda. Ditemukannya jenis organisme makanan yang berbeda di setiap bulan pengamatan dapat diduga dipengaruhi oleh keberadaan jenis organisme makanan ikan tembang di Perairan Selat Sunda. Hal ini didukung dengan penyataan Effendie (2002) dimana dalam satu spesies ikan mungkin makanannya berbeda-beda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu perubahan lingkungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan makanan ikan diantaranya penyebaran suatu organisme makanan dan ketersediaan makanan di lingkungan perairan tersebut (Quaaatey & Maravelias 1999 in Rahardjo & Simanjuntak 2002).

4.6 Luas Relung makanan

Analisis luas relung makanan dilakukan untuk melihat proporsi sumberdaya makanan yang dimanfaatkan oleh ikan. Luas relung makanan menunjukkan keragaman makanan yang dimanfaatkan oleh suatu organisme (Oktaviani 2006). Luas relung makanan dapat membantu dalam menentukan posisi suatu spesies ikan


(43)

dalam rantai makanan yang berguna dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Luas relung makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran panjang disajikan dalam Tabel 3 dan Lampiran 7.

Tabel 3. Luas relung makanan ikan tembang berdasarkan kelompok ukuran panjang (mm)

Kelas Ukuran (mm) Jantan Betina

Luas Relung

Standarisasi Luas Relung Standarisasi

Kecil (100-128) 4,8837 0,2589 4,6246 0,2416

Sedang (129-157) 5,9586 0,2610 6,1165 0,2693

Besar (158-186) 5,2160 0,2635 6,4614 0,2874

Berdasarkan kelompok ukuran panjang, telihat bahwa nilai luas relung makanan ikan tembang jantan berkisar antara 4,8837 – 5,9586 dengan nilai standarisasi 0,2589 – 0,2610. Nilai luas relung terbesar terdapat pada kelompok ukuran 129 – 157 mm dan luas relung terkecil terdapat pada kelompok ukuran 100 – 128 mm. Sementara itu kisaran pada ikan tembang betina adalah 4,6246 – 6,4614 mm dengan nilai standarisasi 0,2416 – 0,2874 dengan nilai luas relung terbesar terdapat pada kelompok ukuran 158 – 186 mm dan nilai luas relung terkecil terdapat pada kelompok ukuran 100 – 128 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok ukuran sedang (129 – 157 mm) pada ikan tembang jantan memilih makanan yang lebih beragam dibandingkan ikan tembang jantan yang berukuran kecil (100 – 128 mm) dan besar (158 – 186 mm) sedangkan untuk ikan tembang betina, kelompok ukuran besar (158 – 186 mm) memilih makanan yang lebih beragam dibandingkan ikan tembang betina yang berukuran kecil (100 – 128 mm) dan sedang (129 – 157 mm) .

Standarisasi dilakukan agar nilai luas relung berkisar pada 0-1 dan selang antar variabel tidak terlalu berbeda. Besarnya nilai luas relung pada ukuran tersebut di atas dikarenakan pada ukuran tersebut ikan tembang memanfaatkan kelompok makanan yang beragam yang dikonsumsi dalam proporsi yang relatif seimbang. Kelompok ikan dengan luas relung makanan terbesar memiliki jenis makanan yang lebih beragam dibandingkan dengan kelompok yang memiliki luas relung kecil


(44)

(Satia et al. 2009). Perbedaan nilai luas relung makanan antar kelompok ukuran menunjukkan bahwa pertambahan panjang ikan tidak berkaitan dengan kelimpahan dan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia di perairan (Nurnaningsih et al. 2005). Namun variasi makanan yang banyak tidak menjamin akan memberikan nilai luas relung yang besar (Satia et al. 2009).

4.7 Tumpang Tindih Relung Makanan

Analisis tumpang tindih relung makanan dilakukan untuk mengetahui penggunaan bersama sumberdaya makanan yang ada oleh dua kelompok ukuran ikan atau lebih, interspesifik atau intraspesifik. Tumpang tindih relung makanan dapat terjadi bila ada kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh dua kelompok atau lebih kelompok ikan. Jika tumpang tindih tinggi (berkisar 1), kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama, sebaliknya jika nilai tumpang tindih sama dengan nol, berarti tidak didapatkan makanan yang sama diantara kedua kelompok (Colwell et al. 1971 in Mahyasopha 2007). Tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan dan betina berdasarkan kelompok ukuran panjang (mm) disajikan dalam Tabel 4 dan Tabel 5 serta Lampiran 8 dan Lampiran 9.

Tabel 4. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan berdasarkan kelompok ukuran panjang (mm)

Kelas Ukuran Kecil Sedang Besar

Kecil 1 0,946987 0,848398

Sedang 1 0,949712


(45)

Tabel 5. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang betina berdasarkan kelompok ukuran panjang (mm)

Kelas ukuran Kecil Sedang Besar

Kecil 1 0,943608 0,89827

Sedang 1 0,973681

Besar 1

Dari Tabel 4 dan Tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan dan betina terbesar adalah pada kelompok ukuran ikan sedang (129 – 157 mm) dengan kelompok ukuran ikan besar (158 – 186 mm) dengan nilai masing-masing sebesar 0,9497 dan 0,9737. Besarnya nilai tumpang tindih menunjukkan bahwa terjadi persaingan atau adanya peluang kompetisi yang sangat tinggi antar kelompok ukuran. Hal ini diduga karena ikan pada kelompok ukuran tersebut menyukai makanan yang sama (Nurnaningsih et al. 2005).

Nilai tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan dan betina terkecil adalah pada kelompok ukuran ikan kecil (100 – 128 mm) dengan kelompok ukuran ikan besar (158 – 186 mm) dengan nilai masing-masing sebesar 0,8484 dan 0,8983. Kecilnya nilai tumpang tindih yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan makanan yang dimanfaatkan pada kelompok ukuran tersebut sehingga akan mengurangi persaingan antar kelompok ukuran dalam memanfaatkan sumberdaya makanan yang ada di perairan tersebut (Nurnaningsih et al. 2005).

4.8 Indeks Similaritas

Indeks similaritas digunakan untuk melihat kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh ikan di setiap bulannya. Tingkat kesamaan jenis makanan ikan tembang dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin dan waktu penangkapan ikan. Nilai indeks similaritas diolah menjadi dendogram untuk menentukan kelompok kesamaan makanan. Pada Gambar 6 diagram dipotong pada taraf kesamaan 75%, sehingga akan berbentuk kelompok bulan yang mempunyai kesamaan jenis makanan setiap bulan untuk ikan tembang jantan dan betina. Indeks similaritas ikan tembang jantan dan betina disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 10.


(46)

Jantan

Betina

Gambar 9. Dendogram Indeks similaritas ikan tembang jantan dan betina berdasarkan waktu penangkapan

Pada ikan tembang jantan diperoleh IV kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan. Kelompok I adalah bulan Agustus, September, dan Oktober. Kelompok II adalah bulan Juli. Kelompok III adalah bulan Juni. kelompok IV adalah bulan April.

Pada ikan tembang betina diperoleh IV kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan. Pada kelompok I adalah bulan September, Agustus dan

75,00% A p ri l Ju n i Ju li A g u st u s Se p te mb e r O kt o b e r 0,6482437 0,6982437 0,7482437 0,7982437 0,8482437 0,8982437 0,9482437 0,9982437 Si m il a ri ty Dendrogram 75,00% Ju n i A p ri l Ju li Se p te mb e r A g u st u s Ok to b e r 0,6137684 0,6637684 0,7137684 0,7637684 0,8137684 0,8637684 0,9137684 0,9637684 Si m il a ri ty Dendrogram


(47)

oktober. Kelompok II adalah bulan Juli. Kelompok III adalah bulan April. Kelompok IV adalah bulan Juni.

Dapat diketahui bahwa pada ikan tembang jantan maupun betina diperoleh IV kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan yang dikonsumsi sehingga kemungkinan terjadi persaingan makanan di setiap bulan terjadi baik pada ikan tembang jantan maupun betina. Kesamaan konsumsi makanan ikan tembang diduga karena karakteristik habitat, ketersediaan makanan dan selera ikan terhadap makanan yang ada di perairan.

4.9 Alternatif Pengelolaan Ikan Tembang di Perairan Selat Sunda

Sumberdaya perikanan ikan di perairan Selat Sunda sangat melimpah, sehingga penangkapan bisa dilakukan sepanjang tahun. Salah satu hasil tangkapan itu yaitu ikan tembang. Ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi, serta kondisi ikan. Studi kebiasaan makanan dilakukan untuk menunjang pengelolaan ikan tembang ke arah yang lebih baik lagi sehingga ikan tembang dapat dimanfaatkan secara optimum dan lestari. Adapun usaha yang dapat dilakukan terhadap pengelolaan ikan tembang di perairan Selat Sunda yaitu dengan cara melindungi habitat ikan tembang pada saat ikan berukuran matang gonad dan akan memijah serta melindungi habitat dari pencemaran lingkungan, karena makanan utama ikan tembang mayoritas terdiri dari fitoplankton yang paling melimpah di perairan dan rentan terhadap perubahan lingkungan, sehingga secara tidak langsung perubahan lingkungan yang terjadi di perairan Selat Sunda dapat memberikan dampak langsung terhadap organisme perairan tersebut, karena populasi suatu jenis ikan di alam tergantung pada ketersediaan makanan di perairan.


(48)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Ikan tembang di perairan Selat Sunda termasuk ikan omnivora cenderung ke herbivora dengan perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh antara 0,25 – 1,45 mm. Dari komposisi isi usus ikan tembang dapat diketahui bahwa makanan utama ikan tembang, baik jantan maupun betina, adalah fitoplankton dari kelompok Bacillariophyceae dan makanan tambahannya dari kelas Dinophyceae. Ikan tembang jantan lebih selektif dalam memilih makanannya dibandingkan ikan tembang betina karena luas relung ikan tembang jantan lebih sempit daripada ikan tembang betina. Persaingan dalam memanfaatkan makanan mencapai nilai tertinggi pada kelompok ikan ukuran 129 – 157 mm dengan kelompok ikan ukuran 158 – 186 mm, baik ikan tembang jantan maupun ikan tembang betina, ini dikarenakan baik ikan tembang jantan dan betina pada ukuran tersebut memilih makanan dari jenis organisme yang sama. Terdapat 4 kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan, baik ikan tembang jantan maupun betina. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan agar ikan tembang tetap berkelanjutan dan lestari yaitu dengan melindungi habitat ikan tembang dari pencemaran lingkungan dimana habitat tersebut merupakan tempat hidup sumber makanan yang mendukung keberadaan ikan tembang tersebut.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan gambaran tentang kebiasaan makanan ikan tembang yang lebih teliti perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran ikan yang lebih bervariasi dalam kuantitas yang besar, waktu pengambilan yang berlangsung selama 1 tahun untuk dapat melihat pengaruh musim terhadap perubahan kebiasaan makanan.


(1)

Lampiran 6. Komposisi makanan ikan tembang (jantan dan betina) berdasarkan bulan pengamatan menggunakan IP (%)

Jenis Organisme IP (%) April 2011 IP (%) Juni 2011 IP (%) Juli 2011 IP (%) Agustus 2011 IP (%) September 2011 IP (%) Oktober 2011 Bacillariophyceae 77,7857* 47,3448* 82,3305* 88,9012* 79,6037* 84,1090*

Bactriastrum 18,6773 0,0576 0,6115 0,0462 0,0348 0,0045

Chaetoceros 2,2326 0,1097 0,1619 0,2420 1,7613 0,0734

Corethron 0,0025 0,0000 0,0039 0,0009 0,0000 0,0000

Coscinudiscus 27,8681 15,8707 24,8230 28,3829 21,0962 44,4694 Guinardia 11,8512 23,3465 37,6786 21,0176 19,6186 21,3906

Hemialus 4,2850 1,7129 7,5553 0,5742 1,1654 0,6928

Melosira 1,8356 0,0122 0,0199 0,2453 0,4649 0,1456

Navicula 1,2746 1,1507 0,9095 2,6204 4,8540 0,0832

Nitzchia 5,0601 4,6966 7,9333 21,9426 24,1626 16,8814

Pleurosigma 1,5188 0,1048 0,8989 8,2001 0,2558 0,0011

Rhizoselonia 1,8441 0,2814 1,7070 5,4987 5,0195 0,3269

Skeletonema 1,3360 0,0017 0,0278 0,1303 1,1705 0,0400

Dinophyceae 21,2844** 52,5583* 17,4550** 10,4621** 19,6337** 15,8148**

Ceratium 0,0086 0,0111 0,4498 2,1626 9,5585 4,0149

Ceratorys 0,0287 0,0002 0,0004 0,0000 0,0000 0,0000

Peridinium 21,2471 52,5470 17,0049 8,2995 10,0752 11,7999 Cilliata 0,6489*** 0,0863*** 0,1723*** 0,6158*** 0,4466*** 0,0108***

Favella 0,3978 0,0686 0,1415 0,6152 0,3579 0,0108

Tintinnopsis 0,2511 0,0177 0,0307 0,0006 0,0887 0,0000

Crustaceae 0,2788*** 0,0106*** 0,0416*** 0,0209*** 0,3151*** 0,0654***

Calanus 0,1137 0,0100 0,0156 0,0166 0,3142 0,0578

Nauplis 0,1652 0,0006 0,0259 0,0043 0,0009 0,0076

Chaetognatha 0,0022*** 0,0000*** 0,0006*** 0,0000*** 0,0009*** 0,0000***

Sagitta 0,0022 0,0000 0,0006 0,0000 0,0009 0,0000

Keterangan :

* = Makanan utama

** = Makanan pelengkap *** = Makanan tambahan


(2)

Lampiran 7. Luas relung makanan ikan tembang jantan ukuran 100 – 128 mm

Jenis organisme IP Pi Pi^2 Bi BA

Bactriastrum 0,9679 0,00967867 0,000094 4,88368 0,258912 Calanus 0,2412 0,00241181 0,000006

Ceratium 1,1705 0,01170524 0,000137

Ceratorys 0,0000 0 0,000000

Chaetoceros 0,5097 0,00509674 0,000026

Corethron 0,0000 0 0,000000

Coscinudiscus 19,1155 0,19115544 0,036540 Favella 0,5959 0,00595855 0,000036 Guinardia 29,9913 0,29991264 0,089948 Hemialus 5,6241 0,05624105 0,003163 Melosira 0,2939 0,00293945 0,000009

Nauplis 0,0000 0 0,000000

Navicula 2,0431 0,02043078 0,000417 Nitzchia 10,0399 0,1003988 0,010080 Peridinium 25,2173 0,2521727 0,063591 Pleurosigma 1,8767 0,01876665 0,000352 Rhizoselonia 1,8874 0,01887373 0,000356

Sagitta 0,0000 0 0,000000

Skeletonema 0,2296 0,00229637 0,000005 Tintinnopsis 0,1961 0,0019614 0,000004

100,0000 0,204764

Bij = 1/ ∑∑ Pij2 = 1/0,204764 = 4,88368 BA = (Bij-1)/(N-1) = (4,88368-1)/(16-1) = 0,258912


(3)

Lampiran 8. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang jantan

CHPiPj = ((2*∑ PiPj)/((∑ Pi^2)+(∑ Pj^2))) = ((2*0,1764)/(0,2048+0,1678)) = 0,9470

100-128 mm &

129 -157 mm IP Proporsi Pi^2 P1*P2

Jenis Organisme P1 P2 P1 P2 P1^2 P2^2

Bactriastrum 0,9679 2,1534 0,0097 0,0215 0,0001 0,0005 0,000208418 Calanus 0,2412 0,5074 0,0024 0,0051 0,0000 0,0000 1,22381E-05 Ceratium 1,1705 3,2488 0,0117 0,0325 0,0001 0,0011 0,00038028 Ceratorys 0,0000 0,0050 0,0000 0,0001 0,0000 0,0000 0 Chaetoceros 0,5097 1,1762 0,0051 0,0118 0,0000 0,0001 5,99502E-05 Corethron 0,0000 0,0330 0,0000 0,0003 0,0000 0,0000 0 Coscinudiscus 19,1155 25,2727 0,1912 0,2527 0,0365 0,0639 0,048310142 Favella 0,5959 0,5107 0,0060 0,0051 0,0000 0,0000 3,04278E-05 Guinardia 29,9913 20,9701 0,2999 0,2097 0,0899 0,0440 0,062892051 Hemialus 5,6241 2,7164 0,0562 0,0272 0,0032 0,0007 0,001527749 Melosira 0,2939 0,7180 0,0029 0,0072 0,0000 0,0001 2,11046E-05

Nauplis 0,0000 0,1032 0,0000 0,0010 0,0000 0,0000 0

Navicula 2,0431 2,5318 0,0204 0,0253 0,0004 0,0006 0,000517267 Nitzchia 10,0399 14,0903 0,1004 0,1409 0,0101 0,0199 0,014146512 Peridinium 25,2173 18,6685 0,2522 0,1867 0,0636 0,0349 0,047076927 Pleurosigma 1,8767 3,2220 0,0188 0,0322 0,0004 0,0010 0,000604663 Rhizoselonia 1,8874 3,2465 0,0189 0,0325 0,0004 0,0011 0,00061274

Sagitta 0,0000 0,0180 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0

Skeletonema 0,2296 0,6151 0,0023 0,0062 0,0000 0,0000 1,41253E-05 Tintinnopsis 0,1961 0,1927 0,0020 0,0019 0,0000 0,0000 3,78044E-06 100 100 1 1 0,2048 0,1678 0,176418376


(4)

Lampiran 9. Tumpang tindih relung makanan ikan tembang betina

100-128 mm &

129-157 mm IP Proporsi Pi^2

Pi*Pj Jenis

Organisme Pi Pj Pi Pj Pi^2 Pj^2

Bactriastrum 0,5797 2,4691 0,0058 0,0247 0,0000 0,0006 0,000143137 Calanus 0,0675 0,2297 0,0007 0,0023 0,0000 0,0000 1,54964E-06 Ceratium 0,8617 3,5176 0,0086 0,0352 0,0001 0,0012 0,000303116

Ceratorys 0,0000 0,0882 0,0000 0,0009 0,0000 0,0000 0

Chaetoceros 0,2485 1,7299 0,0025 0,0173 0,0000 0,0003 4,29928E-05

Corethron 0,0000 0,0570 0,0000 0,0006 0,0000 0,0000 0

Coscinudiscus 19,4126 23,1876 0,1941 0,2319 0,0377 0,0538 0,045013132 Favella 0,4636 0,8493 0,0046 0,0085 0,0000 0,0001 3,93737E-05 Guinardia 29,1860 22,8088 0,2919 0,2281 0,0852 0,0520 0,066569814 Hemialus 3,8997 3,6858 0,0390 0,0369 0,0015 0,0014 0,001437347 Melosira 0,2110 0,8621 0,0021 0,0086 0,0000 0,0001 1,81923E-05 Nauplis 0,0646 0,3705 0,0006 0,0037 0,0000 0,0000 2,39231E-06 Navicula 1,5132 2,8146 0,0151 0,0281 0,0002 0,0008 0,000425913 Nitzchia 7,3309 13,2079 0,0733 0,1321 0,0054 0,0174 0,009682573 Peridinium 28,9742 18,6126 0,2897 0,1861 0,0840 0,0346 0,053928612 Pleurosigma 2,3863 1,7599 0,0239 0,0176 0,0006 0,0003 0,000419965 Rhizoselonia 3,9272 2,7704 0,0393 0,0277 0,0015 0,0008 0,001087999

Sagitta 0,0000 0,0176 0,0000 0,0002 0,0000 0,0000 0

Skeletonema 0,3971 0,8378 0,0040 0,0084 0,0000 0,0001 3,32659E-05 Tintinnopsis 0,4761 0,1237 0,0048 0,0012 0,0000 0,0000 5,88762E-06 100,0000 100,0000 1,0000 1,0000 0,2162 0,1635 0,1792

CHPiPj = ((2* ∑ PiPj)/((∑ Pi^2)+(∑ Pj^2))) = ((2*0,1792)/((0,2162+0,1635))) = 0,9436


(5)

Lampiran 10. Indeks Similaritas ikan tembang jantan dan betina di PPP Labuan Banten pada setiap bulan pengamatan

Jantan

A B C D E F

A 1 0,629691 0,648244 0,553403 0,584198 0,530754 B 0,629691 1 0,648561 0,505883 0,536993 0,514264 C 0,648244 0,648561 1 0,670691 0,681771 0,681207 D 0,553403 0,505883 0,670691 1 0,838218 0,755287 E 0,584198 0,536993 0,681771 0,838218 1 0,780704 F 0,530754 0,514264 0,681207 0,755287 0,780704 1

Betina

A B C D E F

A 1 0,550252 0,683947 0,616191 0,524588 0,59329 B 0,550252 1 0,613768 0,536491 0,52021 0,511132 C 0,683947 0,613768 1 0,716558 0,587221 0,681207 D 0,616191 0,536491 0,716558 1 0,782899 0,802149 E 0,524588 0,52021 0,587221 0,782899 1 0,70094 F 0,59329 0,511132 0,681207 0,802149 0,70094 1


(6)

Nissa Izzani. C24080035. Kebiasaan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Cuvier and Valenciennes 1847) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dibimbing oleh Yonvitner dan Ali Mashar

Sumberdaya ikan tembang merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang berada di perairan Indonesia, termasuk perairan Selat Sunda dan tergolong ikan ekonomis penting yang banyak dimanfaatkan. Hal ini dapat mendorong upaya penangkapan ikan tembang menjadi makin padat. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan sumberdaya ikan tembang secara baik untuk menjaga kelestariannya dengan mengetahui informasi mengenai aspek biologi ikan, diantaranya kebiasaan makanan ikan.

Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten pada bulan April-Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan ikan contoh sebulan sekali. Ikan contoh yang didaratkan di PPP Labuan Banten merupakan ikan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Selat Sunda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penarikan contoh acak sederhana (PCAS) dengan mengambil ikan contoh sebanyak + 100 ekor untuk masing-masing bulan pengamatan yang selanjutnya diamati di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data yang dilakukan meliputi indeks bagian terbesar (index of preponderance), relung makanan, dan tumpang tindih relung makanan, serta indeks similaritas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan tembang di perairan Selat Sunda termasuk ikan omnivora cenderung ke herbivora dengan makanan utamanya adalah fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae. Makanan utama ikan tembang tidak begitu berbeda, baik berdasarkan jenis kelamin, bulan pengamatan maupun kelompok ukuran panjang. Ikan tembang jantan yang berukuran sedang (129 – 157 mm) dan ikan tembang betina yang berukuran besar (158 – 186 mm) lebih beragam makanannya. Terdapat kesamaan organisme makanan yang dimanfaatkan antara ikan yang berukuran sedang (129 – 157 mm) dengan ikan yang berukuran besar (158 – 186 mm), sehingga diduga akan terjadi persaingan yang cukup tinggi antara kelompok ukuran ikan tersebut ketika sumberdaya makanan terbatas. Pada ikan tembang jantan dan betina masing-masing terdapat 4 kelompok bulan yang memiliki kesamaan jenis makanan. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan agar ikan tembang tetap berkelanjutan dan lestari yaitu dengan melindungi habitat ikan tembang dari pencemaran lingkungan.