Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (Bits) Antara Indonesia Dengan Qatar (Studi Terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peni

(1)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITS) ANTARA INDONESIA DENGAN QATAR (STUDI TERHADAP PERATURAN PRESIDEN NO. 84 TAHUN 2007 TENTANG

PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Selar Sarjana Hukum

OLEH :

AMANDA SUMARDY NIM : 070200135

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITS) ANTARA INDONESIA DENGAN QATAR (STUDI TERHADAP PERATURAN PRESIDEN NO. 84 TAHUN 2007 TENTANG

PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

AMANDA SUMARDY NIM : 070200135

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S. H., M. Hum NIP. 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum NIP. 195603291986011001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tak pernah meninggalkan, mengecewakan, dan yang telah memberikan pengharapan dan semangat serta kekuatan yang baru ketika hampir putus asa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul: ANALISIS YURIDIS MENGENAI BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITS) ANTARA INDONESIA DENGAN QATAR (STUDI TERHADAP PERATURAN PRESIDEN NO. 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL) adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini sehingga berharap agar semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi substansi ataupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan mendidik Penulis sehingga Penulis bisa memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu ini.


(4)

Tak lupa juga Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.


(5)

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Syamsiar Yulia, S.H., CN, selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa baru sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

8. Ucapan terima kasih kepada seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu yang telah diberikan.

9. Buat kakak dan adikku yang sering membantuku dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10. Yang paling terakhir ucapan terima kasih kepada ‘my best friend’ Dominika, Diza dan Opi yang selalu menemaniku di kampus dan perkuliahan selama 3 tahun lebih ini. Dan buat teman-teman lain di kampus yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Salam Hormat,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………..iv

ABSTRAKSI………....vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah………..9

C. Tujuan Penulisan………..9

D. Manfaat Penulisan………..10

E. Keaslian Penulisan……….11

F. Tinjauan Kepustakaan………...11

G. Metode Penulisan………...14

BAB II PENGATURAN INVESTASI LANGSUNG DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Hukum Investasi Langsung di Indonesia…21 B. Manfaat Investasi Langsung Bagi Indonesia……….24

C. Pengaturan Pokok Investasi Langsung di Indonesia………..30

1. Asas-Asas Penyelenggaraan Penanaman Modal………..30

2. Ketentuan Bidang Usaha………..34

3. Fasilitas Penanaman Modal………..39


(7)

5. Penyelesaian Sengketa……….46

D. Perlindungan Terhadap Investor………48

1. Kepastian Hukum……….48

2. Nasionalisasi……….51

BAB III PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional………53

B. Bantuk dan Macam Perjanjian Internasional……….57

C. Pembuatan Perjanjian Internasional………...61

D. Ratifikasi Perjanjian Internasional……….67

E. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional……….72

BAB IV KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) ANTARA INDONESIA DENGAN QATAR DITINJAU DARI PERATURAN PRESIDEN NO. 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL A. Manfaat Bilateral Investment Treaties Bagi Indonesia………..…75

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan yang Diberikan Kepada Para Pihak..78


(8)

D. Penyelesaian Sengketa………...87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….95


(9)

Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (BITs) Antara Indonesia dengan Qatar (Studi terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun

2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan

Perlindungan atas Penanaman Modal)

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. **) Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

***) Amanda Sumardy

ABSTRAKSI

Bilateral Investment Treaties (BITs) adalah perjanjian penanaman modal

yang disepakati oleh dua Negara. Berdasarkan perjanjian tersebut, kedua negara sepakat untuk saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor antar-kedua negara. Karena itu, BIT sering diterjemahkan Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M), atau

Investment Guarantee Agreement (IGA).

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan investasi langsung di Indonesia, bagaimana pengaturan mengenai hukum perjanjian internasional di Indonesia, dan bagaimana ketentuan-ketentuan dalam Bilateral Investment Treaties (BITs) antara Indonesia dengan Qatar ditinjau dari Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan daripada penyusunan karya ilmiah ini.

Bilateral Investment Treaties (BITs) antara Indonesia dengan Qatar yang

ditinjau dari Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal yang berisi tentang ketentuan pokok mengenai peningkatan dan perlindungan atas penanaman modal, pengambilalihan dan ganti rugi, pengembalian penanaman modal dan pendapatan, subrogasi, aplikasi ketentuan lainnya, hambatan, perpajakan, penyelesaian perselisihan, pemberlakuan persetujuan, konsultasi dan perubahan, dan mulai berlaku, jangka waktu dan berakhirnya perjanjian tersebut.

Kata kunci: Bilateral Investment Treaties (BITs) *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Dalam dekade terakhir, penanaman modal tidak saja merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam pengembangan pembangunan ekonomi. Namun, juga merupakan sarana utama dalam pengembangan suatu industri. Terutama dalam era ini, liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam bidang investasi asing atau penanaman modal asing. Liberalisasi di bidang penanaman modal mengalir seperti air mengikuti arus membidik/mencari daerah sasaran yang paling menguntungkan. Investasi menggelinding laksana bola ke seluruh bagian penjuru dunia tanpa suatu hambatan berarti. Liberalisasi ekonomi dunia telah menghapuskan hambatan-hambatan yang dulu menghadang pananaman modal, baik hambatan-hambatan tarif (tariff

barriers) maupun hambatan nontarif (nontariff barriers). Globalisasi ekonomi

dunia telah meniadakan sekat-sekat batas hubungan ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas (borderless). Investasi telah mengglobal, sebagaimana pasar global (global market) yang telah siap menerima hasil produk penanaman modal tersebut.1

Indonesia adalah negara berkembang yang memerlukan investasi untuk meningkatkan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan kesempatan kerja, mengembangkan industri substitusi impor,

1

Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2003), hal. 1.


(11)

mendorong barang industri, transfer teknologi, membangun infrastruktur, dan mengembangkan daerah yang kurang beruntung (daerah miskin). Pembangunan ekonomi dapat dilihat dari arus investasi, khususnya investasi asing yang memiliki tujuan untuk mendapatkan biaya tenaga kerja murah, dekat dengan sumber bahan produksi, mencari pasar baru, alih teknologi, royalty, keuntungan penjualan barang dan suku cadang, insentif lainnya, seperti pajak dan bea impor, juga status hukum dari negara tertentu dalam perdagangan internasional. Untuk menentukan adanya kepastian hukum di suatu negara dapat diukur dari sistem hukum yang terdiri dari tiga faktor yaitu: substansi hukum, stuktur hukum dan budaya hukum. Kepastian hukum ini harus mencakup aspek substansi hukum yang didukung oleh struktur hukum dan budaya hukum.2

Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi internasional yang tidak terelakkan. Sebagaimana hubungan ekonomi internasional lainnya, penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga masyarakat. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingannya. Hal tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat internasional dalam liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi peningkatan hubungan penanaman modal internasional. Adanya perbedaan geografis, kondisi wilayah, potensi sumber daya alam, kemampuan sumber daya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan Negara

2

Dimas Julianto “Development of Investment Law In Indonesia”,


(12)

berada dalam interdepedensi. Di lain sisi negara penerima modal (host country) membutuhkan sejumlah dana dan teknologi dan keahlian (skill) begi kepentingan pembangunan dalam bentuk investasi. Disisi lain, investor sebagai pihak yang berkepentingan untuk menanamkan modal memerlukan bahan baku, tenaga kerja, sarana prasarana, pasar, jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk dapat lebih mengembangkan usaha dan memperbesar perolehan keuntungan.3

Ada dua hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana diinventarisasi oleh BKPM, yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal, meliputi : (1) kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai; (2) kesulitan memperoleh bahan baku; (3) kesulitan dana/pembiayaan; (4) kesulitan pemasaran; dan (5) adanya sengketa atau perselisihan di antara pemegang saham. Kendala eksternal, meliputi: (1) faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas investasi yang diberikan Pemerintah; (2) masalah hukum; (3) keamanan, maupun stabilitas politik yang merupakan faktor eksternal ternyata menjadi faktor penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia; (4) adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman modal; dan (5) adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(13)

yang menimbulkan ketidakpastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan.4

Pada tahun 2006, BKPM juga menemukan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan investasi di Indonesia, sebagaimana disajikan berikut.5

1) Menurunnya komitmen investasi tahun 2004 dan 2005 dibandingkan tahun 2003.

2) kenaikan harga bahan bakar minyak yang mendorong kenaikan nilai investasi dan ongkos produksi.

3) krisis ketenagalistrikan di sepuluh wilayah di Indonesia.

4) krisis gas di Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga menunda ekspansi usaha.

5) masalah perburuhan. 6) harmonisasi tarif pajak.

Pada tahun 2006 Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Penanaman Modal, dan pada tanggal 29 Maret 2007, RUU itu telah disahkan oleh DPR RI. Rancangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang ini terdiri atas 14 bab dan 40 pasal. Sejak disahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, oleh DPR pada tanggal 29 Maret 2007, kini sudah ada tiga Negara yang telah menawarkan diri untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Kedua negara itu, yakni Korea Selatan dan Cina. Korea Selatan telah merencanakan

4

Salim HS & Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal . 4.


(14)

untuk berinvestasi dengan mengerjakan 40-50 proyek. Jumlah investasi langsung yang telah direncanakan oleh Korea Selatan untuk diinvestasi di Indonesia sebanyak 5,7 miliar dolas AS. Sebanyak 3,5 miliar dolar AS akan diinvestasikan di sektor energi. Investor China telah menawarkan lima proyek kerja sama itu, meliputi (1) perakitan mobil, (2) pengelolaan singkong, (3) pembuatan gula, (4) manufaktur mesin pertanian, dan (5) eksploitasi sumber daya mineral. Sementara itu, investor Jepang juga akan menanamkan investasinya di Indonesia. Para pengusaha Jepang akan mengembangkan energi gas, manufaktur, seperti mobil dan elektronik. Mitsubishi akan meningkatkan investasinya di Indonesia dari biasanya 2 miliar dolar AS, menjadi tiga kali lipat, yaitu sekitar 6 miliar dolar AS. Pada tahun 2007, jumlah investasi Jepang yang sudah ditanamkan di Indonesia pada triwulan pertama tahun 2007 sebanyak 149,1 juta dolar AS dengan 24 proyek. Pertanyaannya, mengapa ketiga Negara itu tertarik menanamkan investasinya di Indonesia. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah dimaksudkan untuk memberikan:6

1. Kepastian Hukum; 2. Transparansi;

3. Tidak membeda-bedakan investor; serta

4. memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.

Di samping itu, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diatur tentang fasilitas atau kemudahan-kemudahan yang


(15)

diberikan kepada para investor. Kemudahan-kemudahan atau fasilitas itu, meliputi:7

1. fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan neto;

2. pembebasan atau keringanan bea masuk impor barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri;

3. pembebasan bea masuk bahan baku atau penolong untuk keperluan produksi tertentu;

4. pembebasan atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) atas impor barang modal;

5. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; 6. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

7. pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan; 8. fasilitas hak atas tanah;

9. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan 10. fasilitas perizinan impor.

UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tersebut menggabungkan investasi asing dan investasi dalam negeri dalam satu undang-undang, yang didasarkan pada asas kesetaraan bagi semua investor. Kebijakan dasar investasi dalam UU Penanaman Modal dimaksud adalah memberikan perlakuan yang sama antara investor dalam negeri dengan investor asing, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. UU Penanaman Modal menegaskan


(16)

bahwa investasi di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan perlakuan yang sama bagi investor dalam negeri maupun investor asing, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pada dasarnya, asas perlakuan yang sama merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah perikatan termasuk juga halnya dengan berinvestasi. Adanya asas perlakuan yang sama bagi semua investor menjadi landasan pengaturan investasi langsung dalam satu undang-undang, yang sebelumnya terpisah dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara yang melakukan investasi dimaksudkan sebagai asas perlakuan non-diskriminatif baik antara investor dalam negeri dengan investor asing, maupun antara investor dari satu negara asing dengan investor dari negara asing lainnya.8

Dalam hal ini, Bilateral Investment Treaties (BITs) dibutuhkan untuk menjadi pendorong dua negara untuk saling menyajikan kebijakan yang dapat mendukung dan mempromosikan penanaman modal di masing-masing negara. Komitmen tersebut mereka tuangkan dengan cara saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal dari aksi nasionalisasi, atau pengambilalihan perusahaan oleh negara. Mereka juga menjamin kebebasan investor ketika melakukan transfer dana. Karena itu, BIT sering diterjemahkan Perjanjian

8 Jonker Sihombing, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal,


(17)

Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M), atau Investment

Guarantee Agreement (IGA).9

Perundingan investasi bilateral semakin banyak dilakukan oleh negara-negara dalam beberapa tahun terakhir. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perundingan investasi di forum multilateral atau forum WTO mengalami kebuntuan. Semakin banyaknya perundingan tingkat bilateral ini didorong oleh alasan pragmatis. Perundingan bilateral melibatkan lebih sedikit negara, yang membutuhkan biaya relative lebih rendah dan meminimalkan potensi timbulnya masalah rumit yang berada di luar jangkauan negara-negara kecil. Perjanjian BITs di bidang investasi antar negara telah berkembang dalam dekade-dekade terakhir dan bahkan telah menjadi salah satu perjanjian internasional yang penting.10

Melihat pentingnya BITs untuk diterapkan dalam kegiatan usaha penanaman modal agar perkembangan ekonomi dapat dimajukan, maka Penulis terinspirasi untuk membahas mengenai BITs, sehingga ditulislah skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (BITs)

(Studi terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal)”

9

“Kerja Sama Penanaman Modal”,

tanggal 7 Oktober 2010.

10

Birkah Latif, “Kedudukan Bilateral Investment Treaties (BITs) dalam Perkembangan

Hukum Investasi di Indonesia”,


(18)

B. Perumusan Masalah

Agar tidak menjadi bias dan melebarnya pembahasan dalam skripsi ini, maka perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau acuan dari materi penulisan sehingga suatu kesimpulan dapat dipilih.

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai investasi langsung di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan perjanjian Internasional di Indonesia?

3. Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam Bilateral Investment Treaties (BITs) antara Indonesia dengan Qatar ditinjau dari Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan utama penulisan dalam pembahasan skripsi Penulis yang berjudul “Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (BITs) (Studi terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal)” adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penulisan pembahasan skripsi ini juga bertujuan, antara lain:


(19)

1. Untuk mengetahui pengaturan Investasi langsung di Indonesia

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai Perjanjian Internasional di Indonesia

3. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan-ketentuan dalam Bilateral

Investment Treaties (BITs) antara Indonesia dengan Qatar ditinjau dari

Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, pambahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan terhadap Bilateral Investment Treaties (BITs).

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan terhadap masalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya bagi negara-negara yang berhubungan langsung dengan penerapan Bilateral Investment Treaties (BITs) untuk kemudian dapat menerapkannya dengan sebaik-baiknya sehingga membawa manfaat bagi negara, bagi masyarakat.


(20)

E. Keaslian Penulisan

“Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (BITs) (Studi terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusunnya melalui bahan-bahan referensi buku-buku, media cetak dan elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Bilateral Investment Treaties (BITs)

Bilateral Investment Treaties (BITs) adalah perjanjian penanaman modal

yang disepakati oleh dua Negara. Berdasarkan perjanjian tersebut, mereka sepakat untuk saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor antar-kedua negara.11

Pengertian lain dari BITs ini adalah perjanjian antara kedua negara negara promosi, dorongan dan perlindungan timbal balik investasi ke masing-masing wilayah oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di negara lain. Biasanya perjanjian ini mencakup bidang-bidang berikut: ruang lingkup dan defenisi dari investasi, penerimaan dan pembentukan, perlakuan nasional, pengoobatan yang paling dibutuhkan oleh suatu negara, perlakuan yang adil dan merata, kompensasi

11

“Kerja Sama Penanaman Modal”,


(21)

dalam hal terjadi pengambilalihan atau kerusakan dengan investasi, jaminan dan transfer dana gratis, dan mekanisme penyelesaian sengketa, baik antara negara-negara maupun investor dengan negara-negara.12

2. Pengertian Investasi / Penanaman Modal

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.13

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan sebagai penanaman uang atau di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Pada dasarnya investasi adalah membeli suatu asset yang diharapkan di masa datang dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi. Investasi juga dapat dikatakan sebagai suatu penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa depan. Harapan pada keuntungan di masa datang merupakan kompensasi atas waktu dan resiko yang terkait dengan suatu investasi yang dilakukan.14

Dalam kamus Istilah Keuangan dan Investasi digunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai arti: “Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana inventor menempatkan

12

13 Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 14

Putra “Defenisi Investasi dan Faktor Penentu Investasi”,


(22)

uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”.15

Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminology, investment, penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.16

3. Perjanjian Internasional

Menurut Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.17

International Convention is “a treaty as any International agreement in written form, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular design (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of note, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation), concluded between two or more states or other subjects of International Law and governed by International Law”. (Konvensi Internasional adalah “suatu perjanjian

Internasional dalam bentuk tertulis, yang terkandung dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrument terkait dan apapun desain khususnya (perjanjian, konvensi, protocol, perjanjian, piagam, undang-undang, tindakan, deklarasi, persetujuan antara dua belah pihak, pertukaran catatan, persetujuan menit, nota persetujuan, modus vivendi atau sebutan yang lain), menyimpulkan antara dua Berdasarkan ketentuan yang dibuat ooleh Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) 1962:

15 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Yogyakarta:Sinar Grafika, 2009), hal. 2. 16

Ibid., hal. 2

17 Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


(23)

ataulebih Negara atau subjek Hukum Internasional lainnya dan diatur oleh Hukum Internasional”.)18

Perjanjian Internasional merupakan sesuatu yang penting dalam hubungan internasional sehingga merupakan salah satu sumber hukum formil hukum internasional. Kedudukan tersebut dikarenakan praktek-praktek negara saat ini telah mengatur beragam persoalan dan hubungan antara mereka dengan mempergunakan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga menjadi jelaslah pentingnya perjanjian-perjanjian internasional. Perjanjian Internasional diartikan sebagai kesepakatan anatarnegara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrument tunggal maupun lebih dan memiliki tujuan tertentu. Defenisi itu secara rinci memberikan unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh setiap negara untuk membuat perjanjian internasional.19

G. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam menjawab pemasalahan-permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian

18

“Persamaan dan Perbedaan Defenisi Perjanjian Internasional”,

19

“Negara Ketiga dalam Perjanjian Internasional Berdasarkan Konvensi Wina 1969”,


(24)

hukum normatif merupakan penilaian kepustakaan, yaitu disini peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder.20

Pada penelitian hukum normatif, sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.21

2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini kadang-kadang berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada.22

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang terdiri atas satu variable atau lebih dari satu variabel, namun variabel tersebut tidak saling bersinggungan.23

20

Abdul Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, (Medan:Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990), hal. 44.

21 Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2003), hal. 118.

22 Ibid., hal. 25.

23 H.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 11.

Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa


(25)

berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.24

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis-normatif. Penelitian yuridis-normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan bahan pustaka atau data sekunder25. Dalam hal ini juga digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu metode penelitian dengan berusaha memahami asas-asas dari suatu peraturan perundang-undangan26

4. Sumber Data

yang berkaitan dengan permasalahan yang diuraikan dalam skripsi ini.

Data sekunder yang digunakan meliputi:

24 Erna Febru S, “Penelitian Deskriptif”,

Oktober 2010.

25 “Metode Penelitian Normatif dengan Penelitian Empiris”,

26 “Ilmu Hukum:Metode Penelitian”,


(26)

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional

3) Peraturan Presiden Nomor 84 tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan Atas Penanaman Modal

4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah

5) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), pendapat para pakar hukum.27

27 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),

hal. 114.

Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen


(27)

yang tidak resmi, dimana publikasi tersebut terdiri atas: buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum.28 c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus (Hukum), dan ensiklopedia.29

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:

Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari perpustakaan, artikel-artikel, baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen Pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

6. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan; sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan penelitian yang telah dirumuskan.

28 H.Zainuddin Ali, Op.cit., hal. 54. 29 Bambang Sunggono, Loc.cit.


(28)

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai Latar Belakang Penulisan Skripsi, Perumusan Masalah, kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, yang kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan. BAB II :Merupakan bab yang membahas tentang Pengaturan Investasi

Langsung di Indonesia, dimana di dalamnya diuraikan Pengertian dan Dasar Hukum Investasi Langsung di Indonesia, Manfaat Investasi Langsung Bagi Indonesia, Pengaturan Pokok Investasi Langsung di Indonesia, dimana di dalamnya mencakup Asas-Asas Penyelenggaraan Penanaman Modal, Ketentuan Bidang Usaha, Fasilitas Penanaman Modal, Hak, Kewajiban, dam Tanggung Jawab, Penyelesaian Sengketa; Perlindungan Terhadap Investor, dimana didalamnya mencakup Kepastian Hukum, dan Nasionalisasi.

BAB III : Merupakan bab yag membahas tentang Pengaturan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia, dimana di dalamnya diuraikan tentang Pengertian Perjanjian Internasional, Unsur-Unsur Perjanjian


(29)

Internasional, Pembuatan Perjanjian Internasional, Ratifikasi Perjanjian Internasional, dan Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional.

BAB IV :Merupakan bab yang membahas tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Bilateral Investment Treaties (BITs) Antara Indonesia Dengan Qatar Ditinjau dari Peraturan Presiden Nomor 84 tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan Atas Penanaman Modal, dimana di dalamnya diuraikan tentang Bentuk-Bentuk Perlindungan yang Diberikan Kepada Para Pihak, Tindakan-Tindakan yang Dilarang, dan Penyelesaian Sengketa.

BAB V :Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi perkembangan Bilateral Investment Treaties (BITs) di Indonesia dan orang-orang yang membacanya.


(30)

BAB II

PENGATURAN INVESTASI LANGSUNG DI INDONESIA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Investasi Langsung di Indonesia

Dalam berbagai kepustakaan hukum ekonomi atau hukum bisnis, terminologi penanaman modal dapat berarti pananaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (Foreign

Direct Investment, FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak

langsung oleh pihak asing (Foreign Indirect Investment, FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio, yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market).30

“norma-norma hukum mengenai kemungkinan-kemungkinan dapat dilakukannya investasi, syarat-syarat investasi, perlindungan dan yang terpenting mengarahkan agar investasi dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat”

Istilah hukum investasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu

investment of law. Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan

pengertian hukum investasi. Untuk mengetahui pengertian hukum investasi, kita harus mencari dari berbagai pandangan para ahli dan kamus hukum. Ida Bagus Wyasa Putra, dkk., mengemukakan pengertian hukum investasi. Hukum investasi adalah:

31

30 Hendrik Budi Untung., op.cit., hal. 1. 31 Salim HS & Budi Sutrisno., op.cit., hal. 9.


(31)

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.32

Secara umum investasi atau penanaman modal dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan / atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun keahlian.33

Istilah investasi sering digunakan berkaitan dengan hubungan internasional. Sedangkan istilah penanaman modal lebih sering kita temukan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan. Meskipun di Indonesia kementrian yang membidangi penanaman modal disebut dengan Menteri Investasi (Menivers) selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan demikian pemakaian istilah tersebut tampak adanya ketidakkonsistenan dalam penggunaan kedua istilah tersebut. Oleh karena itu, kedua istilah penanaman modal/investasi tersebut sah-sah saja untuk digunakan, baik investasi ataupun penanaman modal.

34

32 Pasal 1 butir (1) Undang-Undang 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 33

Ana Rokhmatussa’dyah & Suratman., Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Malang:Sinar Grafika, 2009), hal. 1.


(32)

Dalam praktik istilah investasi sendiri seringkali dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Komaruddin memberikan pengertian investasi tersebut dalam tiga (3) arti:35

a. suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau surat penyertaan lainnya.

b. Suatu tindakan untuk membeli barang-barang modal.

c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan hasil pendapatan dimasa yang akan datang.

Untuk investasi langsung (direct investment), yakni investasi yang dilaksanakan dengan kepemilikan proyek yang kelihatan wujudnya, kajian mengenai resiko dan hasil yang akan diterima dari investasi tersebut dilakukan melalui studi kelayakan investasi yang menyangkut semua aspek seperti aspek keuangan, aspek ekonomi/sosial, aspek pemasaran, aspek teknis/produksi, aspek hukum, serta aspek organisasi dan manajemen.36

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah mengemukakan bahwa investasi langsung adalah penyertaan modal dan/atau pemberian pinjaman oleh badan investasi Pemerintah untuk membiayai kegiatan usaha.

37

Investasi langsung bisa juga diartikan sebagai suatu pemilikan surat berharga secara langsung dalam suatu entitas yang secara resmi telah go public

35 Ibid., hal. 3. 36

Jonker Sihombing, op.cit., hal. 160.

37 Pasal 1 butir (3) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi


(33)

dengan harapan dapat memperoleh keuntungan berupa penghasilan deviden atau

capital gains.38

B. Manfaat Investasi Langsung Bagi Indonesia

Sebagaimana dimaklumi, pembangunan ekonomi Indonesia di era globalisasi dewasa ini memerlukan dana yang cukup besar dan membutuhkan tambahan sumber-sumber pembiayaan pembangunan. Disadari bahwa investasi yang bersumber dari dalam negeri tidak cukup untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional dalam skala yang lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran investasi asing untuk mendampingi investasi dalam negeri untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Di era global dewasa ini, dana yang dimiliki oleh pihak asing sebenarnya tersedia dalam jumlah yang cukup besar untuk diinvestasikan di negara-negara berkembang, termasuk untuk diinvestasikan di Indonesia. Namun, investasi asing akan mencari negara-negara yang mempunyai daya tarik yang tinggi ditinjau dari berbagai hal. Infrastruktur yang memadai, iklim investasi yang kondusif, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi makro, penegakan hukum, transparansi di pasar modal, dan pasar keuangan yang bekerja dengan efisien tanpa adanya distorsi dari Pemerintah menjadi pertimbangan bagi kehadiran investasi asing.39

Umumnya investasi langsung asing atau Foreign Direct Investment (FDI) dianggap positif. Sejak dua dekade terakhir, berbarengan dengan penurunan jumlah utang berbunga rendah yang menjadi sumber utama dana pembangunan di

38

“Pasar Uang, Pasar Modal, dan IPO”, http://masodah.staff.gunadarma.ac.id, terakhir kali diakses tanggal 8 januari 2011.


(34)

banyak negara berkembang, terjadi peningkatan FDI. Ketika dana publik untuk biaya pembangunan tidak mencukupi, kita perlu mencari alternatif dana dari sumber lain. Terkait hal ini, oleh banyak pihak, FDI dianggap paling bermanfaat dari segi pembangunan. Dalam kondisi ideal, sebuah perusahaan asing yang melakukan investasi di negara berkembang memuluskan transfer teknologi, membuka lapangan kerja, menstimulasi industri, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diyakini FDI selain tidak meningkatkan utang luar negeri juga tidak mudah hengkang saat krisis.40

40

Ivan A Hadar, ”Perlu Menimbang Manfaat Investasi Langsung”, Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoretis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer

of know how). Dilihat dari sudut pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor

cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI menjalankan aktivitasnya. Arti pentingnya kehadiran investor asing dikemukakan oleh Gunarto Suhardi:


(35)

“Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena langsung lebih permanen. Selain itu, investasi langsung:41

a. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk;

b. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal;

c. memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi;

d. apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara;

e. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;

f. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan”.

Sekalipun kehadiran investor membawa manfaat bagi negara penerima modal, disisi lain investor yang hendak menanamkan modalnya juga tidak lepas dari orientasi bisnis (business oriented), apakah modal yang diinvestasikan aman dan bisa menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, terdapat beberapa faktor penentu bagi investor dalam berinvestasi yaitu apakah investasi memberikan tambahan nilai kepada perusahaan melalui penjualan produknya. Demikian juga halnya, suku bunga merupakan harga atau biaya yang harus dibayar dalam meminjamkan uang untuk suatu periode tertentu dan ekspekstasi keuntungan. Dengan demikian para investor melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan atas investasi yang dilakukan. Selain pertimbangan ekonomi, investor juga mempertimbangkan nonekonomi seperti jaminan keamanan, stabilitas politik,


(36)

penegakan hukum dan sosial budaya merupakan faktor penentu yang tidak kalah pentingnya untuk menentukan keberhasilan investasi. Adanya berbagai pertimbangan yang dilakukan bagi investor sebelum mengambil keputusan berinvestasi atau tidak cukup beralasan, sebab investasi yang dilakukan dalam jangka panjang.42

Keberadaan investasi yang ditanamkan oleh investor, terutama modal asing, ternyata memberikan dampak positif di dalam pembangunan. Adi Harsono, mengemukakan dampak dari adanya investasi asing atau perusahaan asing di berbagai negara. Dampak yang dikemukakan oleh Adi Harsono didasarkan bukti-bukti dari keberadaan investasi asing atau perusahaan asing. Bukti-bukti-bukti tersebut disajikan berikut ini:43

1. Masalah gaji.

Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional. Di Amerika misalnya, perusahaan asing membayar 4% lebih tinggi pada tahun 1989 dan 6% lebih tinggi pada tahun 1996 dibandingkan perusahaan domestik.

2. Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika, jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1,4% per tahun dari 1989 sampai dengan 1996. Bandingkan dengan 0,8% yang diciptakan oleh perusahaan domestik. Di Inggris dan Prancis, lapangan kerja di perusahaan asing naik 1,7% per tahun, sebaliknya lapangan kerja di perusahaan domestik justru

42 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung:Nuasa Aulia, 2010), hal. 9. 43 Salim HS & Budi Sutrisno, op.cit., hal. 84-85.


(37)

menyusut 2,7%. Hanya di Jerman dan Belanda, perusahaan asing tidak banyak beda dengan perusahaan domestik.

3. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan. Jumlah pelatihan dan di bidang penelitian (R&D) di negara tempat mereka menanamkan investasinya mencapai 12% dari total pengeluaran R&D di Amerika Serikat, di Prancis 19% dan 40% di Inggris.

4. Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik. Tahun 1996, perusahaan asing di Irlandia mengekspor 89% dari produksinya. Bandingkan dengan 34% yang dilakukan perusahaan domestik. Di Belanda perbandingannya adalah 64% dan 37%, Prancis 35,2% dan 33,6%, dan Jepang 13,1% dan 10,6%. Akan tetapi, keadaannya terbalik di Amerika. Perusahaan domestik nasional mengekspor 15,3% dari total produksi mereka, sedangkan asing hanya 10,7%. Negara-negara miskin OECD menerima berkah lebih besar dari adanya investasi asing. Ambil contoh negara Turki. Gaji pekerja perusahaan asing adalah 124% di atas rata-rata domestik nasional. Jumlah pekerja juga meningkat 11,5% per tahun dibandingkan dengan 0,6% rata-rata domestik.

Lebih rinci lagi dapat disebutkan bahwa manfaat investasi bagi pembangunan ekonomi, yaitu:44

a. Investasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan kesulitan modal yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional.


(38)

b. Industri yang dibangun dengan investasi akan berkontribusi dalam perbaikan sarana dan prasarana, yang pada gilirannya akan menunjang pertumbuhan industri-industri turutan di wilayah sekitarnya.

c. Investasi turut serta membantu Pemerintah memecahkan masalah lapangan kerja, yakni akan menciptakan lowongan kerja untuk tenaga kerja terampil maupun untuk tenaga kerja yang tidak terampil.

d. Investasi akan memperkenalkan teknologi dan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi peningkatan keterampilan pekerja dan efisiensi produksi. e. Investasi akan memperbesar perolehan devisa yang didapatkan dari industri

yang hasil produksinya sebagian besar ditujukan untuk ekspor.

Dari hal-hal yang dikemukakan di atas kelihatan bahwa investasi langsung maupun investasi tidak langsung sangat penting peranannya dalam pembangunan ekonomi. Baik investasi yang dilakukan oleh investor dalam negeri maupun yang dilakukan oleh investor asing sama-sama berperan dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tentunya yang diprioritaskan dalam pembangunan ekonomi nasional adalah investasi yang berasal dari kekuatan sendiri.45


(39)

C. Pengaturan Pokok Investasi Langsung di Indonesia 1. Asas-Asas Penyelenggaraan Penanaman Modal

Hal lain yang menarik dalam Undang-Undang Penanaman Modal adalah dicantumkannya sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam undang-undang penanaman modal. Tampaknya pembentuk undang-undang-undang-undang berupaya untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional maupun di dunia internasional. Artinya dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional, maka berbagai nilai yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Di era globalisasi ini penerapan tata kelola Pemerintahan yang bersih dan baik serta tata kelola perusahaan yang baik sudah menjadi acuan berbagai pihak dalam memberi layanan publik maupun dalam menjalankan aktivitas bisnis. Adapun prinsip dasar yang terkandung dalam tata Pemerintahan dan tata kelola perusahaan yang baik satu di antaranya adalah adanya kepastian hukum. Demikian juga halnya dalam Undang-Undang Penanaman Modal pun dicantumkan sejumlah asas.46

Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:47

a. Kepastian hukum

Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan

46 Sentosa Sembiring, op.cit., hal. 132.


(40)

sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

b. Keterbukaan

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

c. Akuntabilitas

Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara

Yang dimaksud dengan “asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dlam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.

e. Kebersamaan

Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.


(41)

f. Efisiensi berkeadilan

Yang dimaksud “asas efisiensi berkeadilan” adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

g. Berkelanjutan

Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

h. Berwawasan lingkungan

Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

i. Kemandirian

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.


(42)

j. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.

Di samping asas-asas hukum di atas, dalam Agreement on Trade Related

Investment Measures (TRIMs) telah ditentukan sebuah asas, yaitu asas

nondiskriminasi, yaitu asas di dalam penanaman investasi tidak membedakan antara investasi asing maupun lokal mengingat investasi itu sendiri bersifat state

borderless (tidak mengenal batas negara). Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa investasi yang ditanamkan oleh investor tidak dibedakan antara investasi asing dengan investasi lokal. Asas ini telah dimasukkan ke dalam pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam ketentuan ini, tidak dibedakan antara investasi asing dengan investasi domestik.48

Untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Untuk itu, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional.49

48

Salim HS & Budi Sutrisno, op.cit., hal. 15-16.

49Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta:PT Raja Grafindo


(43)

2. Ketentuan Bidang Usaha

Ketentuan bidang usaha diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.50 Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau International Standard for Industrial Classification (ISIC).51

Selain itu, bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:52 a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang

b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Selanjutnya, Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.53

50 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 51 Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal.

52 Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 53 Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(44)

Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.54

Menurut Peraturan presiden Nomor 36 Tahun 2010 menyebutkan bahwa bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.55

Penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup.56

54

Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

55

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

56

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

Dalam hal izin penanaman modal, telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud pada


(45)

pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010.57 Untuk memenuhi persyaratan lokasi tersebut, penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.58

Dalam hal ini Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.59

Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut:60

a. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

b. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang mengambil alih adalah sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

57 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang

Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

58

Pasal 3 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

59

Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

60 Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang


(46)

c. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan baru hasil peleburan adalah sebagaimana ketentuan yang berlaku pada saat terbentuknya perusahaan baru hasil peleburan dimaksud.

Dalam hal penanaman modal asing melakukan perluasan kegiatan usaha dalam bidang usaha yang sama dan perluasan kegiatan usaha tersebut membutuhkan penambahan modal melalui penerbitan saham dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue) dan penanam modal dalam negeri tidak dapat berpartisipasi dalam penambahan modal tersebut, maka berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi penanam modal asing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.61

Dalam hal penambahan modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2010, mengakibatkan jumlah kepemilikan modal asing melebihi batasan maksimum yang tercantum dalam Surat Persetujuan, maka dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, kelebihan jumlah kepemilikan modal asing tersebut harus disesuaikan dengan batas maksimum yang tercantum dalam surat persetujuan, melalui cara:62

a. Penanam modal asing menjual kelebihan saham yang dimilikinya kepada penanam modal dalam negeri;

61

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

62

Pasal 6 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.


(47)

b. Penanam modal asing menjual kelebihan sahamnya melalui penawaran umum yang dilakukan oleh perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing tersebut pada pasar modal dalam negeri; atau

c. Perusahaan membeli kelebihan jumlah saham yang dimiliki penanam modal asing tersebut dan diperlakukan sebagai treasury stocks, dengan memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Sebagai pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas Pemerintah telah mengeluarkan, Peraturan Presiden. Pertama, Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Kedua, Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.63

63

Erman Rajagukguk, “Hukum Investasi dan Pasar Modal”,


(48)

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 menyatakan :64

1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

2) Bidang usaha yang tertutup adalah jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal.

3) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu.

3. Fasilitas Penanaman Modal

Fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dapat diberikan kepada penanaman modal yang:65

a. melakukan perluasan usaha

b. melakukan penanaman modal baru.

Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini:66

a. menyerap banyak tenaga kerja b. termasuk skala prioritas tinggi

64 Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan

Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

65 Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 66 Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(49)

c. termasuk pembangunan infrastruktur d. melakukan alih teknologi

e. melakukan industri prionir

f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu

g. menjaga kelestarian lingkungan hidup

h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi

j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dalam Undang-Undang Penanaman Modal dapat berupa:67

a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu;

b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;

c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;


(50)

d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;

e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan

f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi yang baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.68

Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.69 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.70 Fasilitas yang dimaksudkan dalam Pasal 18 dalam UUPM tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.71

Selain fasilitas tersebut, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:72

a. hak atas tanah

68 Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 69 Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 70

Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

71 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 72 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(51)

b. fasilitas pelayanan keimigrasian c. fasilitas perizinan impor.

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian tersebut dapat diberikan untuk:73

a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal

b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan purnajual

c. calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan modal.

Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:74

a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun

b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut

c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan

73 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 74 Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(52)

d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan

e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.

4. Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab

Menurut Pasal 14 UUPM, setiap penanam modal berhak mendapat:75 a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;

b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;

c. hak pelayanan; dan

d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam UUPM menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban:76

a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Maksudnya disini adalah bahwa peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatian kestabilan

75 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 76 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(53)

makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).77

b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.78

c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal.79

d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal.

77

Pither Ponda Barany, “Aspek Yuridis Penanaman Modal”,

78 Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal.

79 Penjelasan Pasal 15 huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


(54)

Hal ini dilakukan agar dapat menjadi instrumen untuk meminimalisir potensi konflik yang sering terjadi antara pihak investor dengan masyarakat setempat yang berakibat pada kurang kondusifnya pihak investor dalam melakukan aktivitasnya.80

e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Maksudnya disini adalah bahwa dalam pelaksanaan penanaman modal harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Termasuk pula pengawasan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan perusahaan.81

Selanjutnya, setiap penanam modal bertanggung jawab:82

a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian

jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara

d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup

e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja

80 Taqwaddin, ”Aspek Hukum Pertambangan di Aceh”,

terakhir kali diakses tanggal 4 Februari 2011.

81

“Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal”,


(55)

f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Penyelesaian Sengketa

Satu hal yang sering menjadi pertimbangan calon investor, jika ia ingin menanamkan modalnya di luar negeri adalah, eksistensi lembaga penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional di negara maupun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan ada keraguan di kalangan calon investor asing.83

Penyelesaian sengketa dalam hal ini diatur dalam Pasal 32 UUPM yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.84

Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.85

Kemudian apabila terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika

83

Sentosa Sembiring, op.cit., hal 238.

84 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 85 Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(56)

penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.86

Selanjutnya, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.87

Dalam penyelesaian sengketa berkenaan dengan penanaman modal asing di Indonesia terdapat kecenderungan bahwa pilihan forum penyelesaian sengketa yang disepakati dipilih sebagai forum penyelesaian sengketa adalah arbitrase, bahkan negara-negara masyarakat hukum internasional telah membentuk arbitrase khusus mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal, dengan adanya konvensi Multilateral Investment Guarantee Agreement (MIGA) maupun

International Centre of Settlement of Investment Disputes (ICSID) demikian juga

terdapat pengakuan dan penerimaan putusan badan/dewan arbitrase internasional yang dapat di eksekusi di negara lain sesama peserta yang bersangkutan, misalnya konvensi New York 1958.88

Secara teoretis, dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 tersebut oleh Pemerintah Indonesia, maka konvensi tersebut menjadi hukum nasional. Hal ini berarti putusan arbitrase asing secara otomatis akan diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, putusan pelaksanaan arbitrase asing tersebut belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diharapkan.

86 Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 87

Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

88 “Arbitrase Sebagai Penyelesaian Sengketa Dalam Penanaman Modal Asing”,


(57)

Hal ini tampak dari pandangan lembaga peradilan di Indonesia dalam menyikapi putusan arbitrase yang akan dijalankan di negeri ini tidak konsisten. Alasan yang digunakan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing bertentangan dengan kepentingan umum (public policy).89

D. Perlindungan Terhadap Investor 1. Kepastian Hukum

Perkembangan dan kemajuan suatu pasar modal, sangat ditentukan oleh adanya kepastian hukum bagi investor, baik nasional maupun investor internasional, para investor akan tertarik menanamkan modalnya di bursa efek apabila adanya perangkat aturan hukum yang menjamin adanya perlindungan, kepastian hukum dan keadilan, apabila bisnis pada perdagangan saham sangat mengandalkan kepercayaan investor. Salah satu kiat untuk menanamkan kepercayaan adalah keterbukaan informasi, terutama keterbukaan terhadap fakta materiel, yakni informasi penting dan relevan mengenai peristiwa/kejadian/fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa efek, atau keputusan investor atau calon investor yang berkepentingan atas informasi tersebut.90

Iklim investasi di lndonesia bertambah tidak kondusif karena stabilitas sosial dan politik serta jaminan keamanan dan penegakan hukum di dalam negeri masih rawan. Investor sering mengeluhkan masalah penegakan hukum. Hasil survey dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan

89 Sentosa Sembiring, op.cit., hal. 246. 90

Syarief Oesman Ahimsa, ”Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik Insider Trading Dalam Perdagangan Saham”, 8 Januari 2011.


(58)

bahwa lndonesia paling buruk dalam skor hukum di Asia. lndonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir 10. Tidak adanya kepastian hukum membuat para investor merasa tidak nyaman untuk menanamkan uangnya di lndonesia. Selain itu, banyak investor mengeluhkan masalah pelayanan perizinan dan birokrasi yang masih dianggap berbelit-belit dan memakan biaya yang besar.91

Pemerintah yang kebijakan investasinya berubah-ubah dengan cepat atau tidak transparan dalam perundingan bisnis, akan kesulitan, bahkan mustahil menarik modal skala besar dan munculnya kegiatan anti investor dapat juga mempengaruhi lokasi dan jumlah modal perusahaan swasta di bar negeri. Ketidakstabilan politik dapat menutup operasi asing menjauhkan investasi baru. Di samping kebijakan yang berubah-ubah, Pemerintah yang tidak kompeten, lemah atau kolusif yang tidak mampu atau tidak mau menghilangkan perilaku yang membuat investor asing takut, maka sulit menemukan investasi asing dan kemajuan perekonomian. Hal ini juga nampak pada akses kebijakan Pemerintah Pusat, dalam hal kebijakan investasi asing, di mana seharusnya Pemerintah Daerah harus memahami bahwa investor asing mungkin saja membawa permasalahan investasi mereka kepada lembaga ICSID untuk mendapatkan perlindungan hukum dan akibatnya berdampak secara nasional.92

Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat

91 Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era

Otonomi Daerah”,

92 Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era


(59)

melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.93 Kepastian Hukum dalam penanaman modal diletakkan berdasarkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam setiap kebijakan dan tindakan Pemerintah.94

Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 menempatkan asas kepastian hukum dalam posisi teratas dari 10 asas penyelenggaran penanaman modal di Indonesia. Asas ini menekankan pada kedudukan Indonesia sebagai negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Namun, masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi tidak seluruhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam UU tersebut. Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung pula oleh substansi hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan terkait investasi dalam peristiwa konkrit melalui putusan-putusan badan peradilan menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum. Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang memberikan citra pada kepastian hukum tersebut.95

93 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Internasional dan Implikasinya

Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia”, www.usu.ac.id, terakhir kali diakses tanggal 10 Januari 2011.

94 Yakub Adi Krisanto, “Asas dan Tujuan Penanaman Modal Menurut UU No. 25 Tahun

2007”,

95

Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia”, www.usu.ac.id, terakhir kali diakses tanggal 10 Januari 2011.


(1)

Muis, Abdul, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990.

Parthiana, I Wayan, Perjanjian Internasional Bag.:1, Bandung: Mandar Maju, 2002.

Rakhmawati, Rosyidah, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2003.

Rokhmatussa’dyah, Ana & Suratman., Hukum Investasi dan Pasar Modal, Malang: Sinar Grafika, 2009.

Rudy, T. May, Hukum Internasional 1, Bandung: PT. Refika Aditama, 2001.

Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Bandung: Nuasa Aulia, 2010.

Sihombing, Jonker, Investasi Asing Melalui Surat Utang Negara di Pasar Modal, Bandung: PT. Alumni, 2008.

Situni, F. A. Whisnu, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1989.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Untung, Hendrik Budi, Hukum Investasi, Yogyakarta: Sinar Grafika, 2009.

Wasito, Konvensi-Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler dan Hukum Perjanjian/Traktat, Yogyakarta: Andi Offset, 1984.


(2)

II. Website

“Arbitrase Sebagai Penyelesaian Sengketa Dalam Penanaman Modal Asing”,

“Arbitrase Sebagai Penyelesaian Sengketa Dalam Penanaman Modal Asing”,

“Hukum Penanaman Modal”

“Ilmu Hukum: Metode Penelitian”,

“Kerja Sama Penanaman Modal”,

“Masalah Nasionalisasi Dalam Penanaman Modal Asing”,

“Metode Penelitian Normatif dengan Penelitian Empiris”,

“Nasionalisasi”,

“Negara Ketiga dalam Perjanjian Internasional Berdasarkan Konvensi Wina 1969”

“Penanaman Modal Asing”,

“Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal”,


(3)

“Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata”

“Perjanjian Internasional Sebagai Hukum Internasional”,

“Perjanjian Internasional”,

“Perjanjian Peningkatan dan Penanaman Modal”,

“Persamaan dan Perbedaan Defenisi Perjanjian Internasional”,

Arinto Tri Wibowo & Anda Nurlaila, ”Bapepam Fokuskan Perlindungan Investor”

Birkah Latif, “Kedudukan Bilateral Investment Treaties (BITs) dalam Perkembangan Hukum Investasi di Indonesia”,

Budiman Ginting, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia: Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi di Indonesia”

Dimas Julianto, “Development of Investment Law In Indonesia”,

Erman Rajagukguk, “Hukum Investasi dan Pasar Modal”,


(4)

Erna Febru S, “Penelitian Deskriptif”,

Herni Widarnati, “Penyelesaian Sengketa dalam Penanaman Modal Asing Melalui Badan Arbitrase Internasional”,

Ivan A Hadar, ”Perlu Menimbang Manfaat Investasi Langsung”,

Lies Sulistianingsih, “Perjanjian Internasional Dalam Sistem Perundang-undangan Nasional”,

Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia”, www.usu.ac.id.

Pan Mohamad Faiz, “Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Menjadi Undang-Undang Di Indonesia”

Pither Ponda Barany, “Aspek Yuridis Penanaman Modal”,

Putra “Defenisi Investasi dan Faktor Penentu Investasi”

Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah”,

Rosmi Hasibuan, “Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional”,


(5)

Suci Wulansari, “Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Terhadap Negara Ketiga”,

Syarief Oesman Ahimsa, ”Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Praktik

Insider Trading Dalam Perdagangan Saham”,

Taqwaddin, ”Aspek Hukum Pertambangan di Aceh”,

Udi Usodo, ”Sumber-Sumber Hukum Ekonomi Internasional”,

Yakub Adi Krisanto, “Asas dan Tujuan Penanaman Modal Menurut UU No. 25 Tahun 2007”


(6)

III. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Peraturan Presiden Nomor 84 tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peningkatan dan Perlindungan Atas Penanaman Modal

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Hong Kong Special Administrative Region Di Bidang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

0 48 150

Analisis Yuridis Mengenai Bilateral Investment Treaties (Bits) Antara Indonesia Dengan Qatar (Studi Terhadap Peraturan Presiden No. 84 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Negara Qatar Mengenai Peni

7 136 114

Analisis Yuridis Tentang Problematika Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Dan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006

4 120 116

Kasus Nirmala Bonat dan Implikasinya Terhadap Pembentukan MoU Mengenai Penempatan TKI antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia

8 60 45

Persepsi Pejabat Daerah Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah (Analisa Birokrasi di Kabupaten Sumenep)

0 6 2

Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Mengenai Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Pasca di Berlakukan Moratorium TKI Sektor Informal Tahun 2011

1 20 139

Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Mengenai Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Pasca di Berlakukan Moratorium TKI Sektor Informal Tahun 2011

1 48 139

View of Aspek Yuridis Renegosiasi Kontrak Karya di Indonesia (Studi Mengenai Kontrak Karya Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan PT. Freeport Indonesia)

1 0 19

7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 1991 Tentang Latihan Kerja 20171025020652

1 2 22

2OO4 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia" Tahun

0 0 7