BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan kebutuhan pangan yang semakin besar. Dalam rangka mencukupi
kebutuhan pangan tersebut, Indonesia mencanangkan beberapa program di bidang pertanian. Salah satunya adalah program intensifikasi tanaman pangan. Dari program
ini diharapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada. Program ini tentu ditunjang dengan perbaikan teknologi pertanian. Penggunaan
varietas tahan, perbaikan teknik budidaya yang meliputi pengairan , pemupukan, dan pengendalian hama penyakit terus diaktifkan Wudianto R, 2010.
Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah suatu health risk. Dimana masalah kesehatan yang dihadapai di bidang pertanian tidak terlepas dari
penggunaan teknologi yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Ketika terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi
perubahan faktor resiko kesehatan. Teknologi mencangkul digantikan dengan traktor, pemberantasan hama dengan predator digantikan dengan pestisida, yang akan
berdampak terhadap kesehatan Ahmadi, 2008. Cabai Capsicum annuum L. merupakan salah satu komoditas hortikultural
penting di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari di dalam konsumsi rumah tangga tanpa memperhatikan tingkat sosial. Dimana kebutuhan akan
cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Cabai
Universitas Sumatera Utara
dimanfaatkan sebagai bumbu masak atau bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan minuman. Selain itu, juga digunakan untuk pembuatan
obat-obatan dan kosmetik Santika, 1999. Cabai merah C. annuum varlongum yang masuk dalam kelompok cabai
besar Capsicum annuum L. yang digunakan sebagai bumbu masakan yang diproses menjadi saus, cabai giling, cabai kering atau tanpa pengolahan cabe merah segar.
Produk olahan cabai tersebut mempunyai keuntungan, diantaranya penggunaan yang praktis, awet, serta mudah dalam mengangkut dan menyimpannya Santika,1999.
Tanaman pertanian di Indonesia yang saat ini banyak menggunakan insektisida pada tanaman pangan adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran
dataran tinggi. Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan, keratin atau segmen tubuh, seperti kita lihat pada bagian tubuh serangga.
Insektisida umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem saraf Soemitar J, 2009. Menurut Ardiwinata 2002 yang dikutip dari Soemirat 2009 bahwa
insektisida karbofuran, klorpirifos, dan linden didistribusikan ke daun, batang dan residu insektisida linden merupakan residu yang tertinggi. Dengan demikian bahan
pangan yang masih mengandung residu insektisida ini akan termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek dan berbahaya terhadap kesehatan manusia.
Residu pada tanaman dapat berasal dari penyemprotan pada tanaman. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah dan juga
akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat
pada bahan makanan Soemirat, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Purnawati A. 2010 dan Postel 1988 yang dikutip dari Setiono 2010, data WHO di seluruh dunia diperkirakan per tahunnya terjadi 400,000 – 2 juta
orang mengalami keracunan pestisida yang menyebabkan kematian antara 10.000 – 40.000 orang. Data WHO pada tahun 2009 memperkirakan bahwa minimal 300.000
orang meninggal setiap tahun karena keracunan pestisida. Di Indonesia untuk mendapatkan gambaran jumlah korban keracunan
pestisida secara akurat sangat sulit didapatkan. Karena belum adanya sistem pelaporan dan monitoring secara sistematik dan periodik. Penelitian di daerah
lembang dan Pangalengan, Jawa barat, menemukan residu pestisida dalam air, tanah, sayuran, susu sapi, dan air susu ibu. Sudibyaningsih, 1993. Tingginya residu dalam
makanan, sangat dipengaruhi cara penggunaan pestisida beberapa petani hortikultura sering melakukan praktik cover blanket system, yakni penggunaan pestisida secara
berlebihan Achmadi, 2008. Golongan organofosfat merupakan jumlah pestisida terbesar yang beredar di
pasar dan banyak digunakan dalam bidang pertanian. karena tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang
memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai. Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui mulut, inhalasi, dan kulit. Didalam tubuh organofosfat berikatan
dengan enzim Asetilkolinesterase AChE yang mengakibatkan penumpukan asetikolin pada syaraf Achmadi, 2008 dan Sartono, 2002 .
Profenofos merupakan salah satu jenis insektisida organofosfat dengan batas maksimum residu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yaitu 5 mgkg pada
cabai merah. Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 yang ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
oleh Depertemen Pertanian Deptan, pestisida yang digunakan untuk cabai merah adalah karbendazim, profenofos, dan quinoxifen. Curacron salah satu produk
pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama pada cabai yang mempunyai bahan aktif profenofos yang merupakan insektisida golongan organofosfat yang
banyak dibeli Djojosumarto, 2008. Hasil penelitian Monarso dan Miskiyah 2008, menunjukkan persentase total
cemaran residu pestisida pada cabai merah, selada, dan bawang merah yang diambil dari 2 lokasi yang berbeda, yaitu daerah Bandungan dan Brebes. Hasil menunjukkan
bahwa cemaran organofosfat yang dominan mencemari kedua lokasi tersebut. Mutiatikum 2006 yang dikutip dari Rustia 2009, menunjukkan penelitian terhadap
residu pestisida dalam komoditi cabai merah besar dan cabai merah keriting yang berasal dari pasar di Kota Cianjur, Semarang dan Surabaya terdeteksi residu pestisida
golongan organofosfat. Peningkatan jumlah permintaan cabai di masyarakat mengakibatkan
meningkatnya harga cabai di pasaran. Hal ini menyebabkan petani cabai berusaha untuk menghasilkan cabai yang berkualitas dan bisa bersaing di dunia pasar. Hal
tersebut membuat petani cabai melakukan hal-hal yang bisa merugikan kesehatan masyarakat salah satunya dengan menggunakan insektisida untuk meningkatkan
kualitas cabai dan paling utama untuk mencegah kerusakan akibat hama dan penyakit pada tanaman cabai. Dan beberapa petani menggunakan dosis yang tidak tepat atau
berlebihan sehingga tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam pemakaian insektisida yang menyebabkan residu pada cabai tersebut. Dengan alasan ini penulis
tertarik melakukan penelitian mengenai ” Analisa Kuantitatif Residu Insektisida
Universitas Sumatera Utara
Profenofos pada Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling di Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2012”.
1.2. Perumusan Masalah