Analisa Kuantitatif Residu Insektisida Profenofos Pada Cabai Merah Segar Dan Cabai Merah Giling Di Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2012
ANALISA KUANTITATIF RESIDU INSEKTISIDA PROFENOFOS PADA CABAI MERAH SEGAR DAN CABAI MERAH GILING DI BEBERAPA
PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN TAHUN 2012
SKRIPSI Oleh :
NIM. 081000194
KHODIJAH TUSSOLIHIN DALIMUNTHE
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
(2)
ANALISA KUANTITATIF RESIDU INSEKTISIDA PROFENOFOS PADA CABAI MERAH SEGAR DAN CABAI MERAH GILING DI BEBERAPA
PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NIM. 081000194
KHODIJAH TUSSOLIHIN DALIMUNTHE
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
(3)
(4)
ABSTRAK
Residu insektisida pada tanaman dapat berasal dari hasil penyemprotan pada tanaman. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khususnya pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Profenofos merupakan salah satu bahan aktif dari jenis insektisida golongan organofosfat yang digunakan untuk melindungi tanaman cabai dan tidak boleh melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu 5 mg/kg.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional Kota Medan.
Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu menggambarkan kuantitas residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional Kota Medan. Sampel diambil secara purposive sampling yaitu 5 (lima) pasar tradisional Kota Medan yang dari tiap pasar diambil 1(satu) penjual yang menjual cabai merah segar dan cabai merah giling. Penetapan kadar residu profenofos yang ditentukan dengan menggunakan Kromatografi Gas dilengkapi dengan detector spesifik.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dari 10 sampel yang diteliti terdapat 3 (tiga) sampel yang positif mengandung residu insektisda profenofos yaitu cabai merah segar dari Pasar Aksara dengan nilai 0,733 mg/kg, cabai merah segar dari Pasar Sukaramai dengan nilai 1, 205 mg/kg, dan cabai merah giling dari Pasar Petisah dengan nilai 0, 128 mg/kg dan masih berada dibawah batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapatnya 3 (tiga) sampel yang positif mengandung insektisida profenofos di beberapa pasar tradisional Kota Medan. Oleh karena itu, disarankan kepada konsumen agar lebih memperhatikan cara pencucian cabai sebelum digiling, sedangkan untuk petani lebih memperhatikan cara pemakaian pestisida.
(5)
ABSTRACT
Insecticide residue on plants maight be originate from the spraying result on them. Insecticide residue can be available on all parts of the plant such as bole, leaves, fruits and roots. Especially for the fruit, residue available either on its surface or in kernel. Profenofos is one of insecticide active materials of organophosphat type that used to protected the chili plant and it should not exceed the maximum residual limit (MRL) that have established by Indonesian National Standard (SNI) as 5 mg/kg.
The purpose of this research is to know the profenofos insecticide residual in the fresh red chili and milled red chili at several traditional markets in Medan.
This research was a descriptive survey research to describe the quantity of profenofos insecticide residual in the fresh red chili and milled red chili several traditional markets in Medan. The samples are taken by purposive sampling method from five traditional markets in Medan which a mount of fresh red chili and milled red chili is taken from one of sellers at each five market. Gas chromatographic with specific detector is used to determine the propenofos residual rate.
The result of this research shown that three of ten analyzed samples positively contained profenofos insecticide residual which was fresh red chili that got from Pasar Aksara contained a value as 0.733 mg/kg, fresh red chili from that got from Pasar Sukaramai contained a value as 1.205 mg/kg, and milled red chili from Pasar Petisah with value as 0.128 mg/kg and these lied below the maximum residual limit (BMR) that have established by Indonesian National Standard (SNI).
Base of this research, it concluded that there are three of samples contained profenofos insecticide in several markets in Medan. Thus, it is suggested for the consumer to care how to wash the chili before milling, than for the chili farmer to care how to use the pesticide and it is important to counsel the seller about insecticide residual hazard.
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Khodijah Tussolihin Dalimunthe
Tempat/Tanggal Lahir : Pasar lama/27 Desember 1990
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Anak ke : 3 (tiga) dari (enam) bersaudara
Alamat Rumah : Jl. Mandailing Pasar Lama/Sigalangan Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan.
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 1995-1996 : TK Hutatonga
2. Tahun1996-2002 : SD Negeri 2 Sigalangan
3. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 1 Batang Angkola 4. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 2 Padangsidimpuan
(7)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat di Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ANALISA KUANTITATIF RESIDU INSEKTISIDA PROFENOFOS PADA CABAI MERAH SEGAR DAN CABAI MERAH GILING DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN TAHUN 2012’’.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam memperkaya isi skripsi ini.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang dalam penulisan skripsi ini telah banyak meluangkan waktu serta penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, dr. Devi Nuraini Santi, Mkes, Dr. Surya Dharma, MPH dan Ir. Indra ChahayaS, MSi selaku Dosen Penguji
(8)
yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, MKes, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis. 4. Seluruh Dosen pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Eli Martona, S, Si, selaku Kepala Laboratorium dan staf pegawai di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan yang telah membantu dalam proses penelitian.
6. Seluruh teman-teman terkhususnya Eva, Mala, Suryati, Lili, Iyus, Harifah, Ema, Rudi, Rizky, Putra, Kak Diah, Kak Ime, Kak Yeni, Kak Maya, Kak Airin, Kak Ayu, Kak Siti, Bang Erwin, Bang Hengki, Bang Beda dan Bang Pahotor, Bang Lukman, Bang Andre dan teman-teman dipeminatan Kesehatan Lingkungan terima kasih atas dukungan dan motivasi yang tiada hentinya kepada penulis.
7. Teman-teman PBL dan teman-teman LKP yang telah melewati pengalaman baru bersama.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih.
(9)
Terimakasih yang tidak akan pernah habis-habisnya kepada :
1. Ayahanda H. Ali Mujur Dalimunthe dan Ibunda Hj. Mas Pani Harahap, S.Pd.I yang selalu mendo’akan anaknya.
2. Abang saya Erwin Syah Muda Dalimunthe dan Rahmat Hamonangan Dalimunthe, dan adik saya Dewi shara Dalimunthe, Ummi syariah Dalimunthe dan Daulat Abdurrahman Dalimunthe.
Demikian kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga ALLAH SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karuania-Nya bagi kita semua.
Medan, September 2012
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Abstrak ... iii
Riwayat Hidup Penulis ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... viii
Daftar Tabel ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 5
1.2.1. Tujuan Penelitian ... 5
1.2.2. Tujuan Umum ... 5
1.2.3. Tujuan Khusus ... 5
1.3.Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Sekilas Tentang Cabai (Capsicum Sp) ... 7
2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai ... 8
2.1.2. Jenis-Jenis Tanaman Cabai Merah (C. Annuum Var. Longum) ... 9
2.1.3. Kandungan Buah Cabai ... 11
2.1.4. Kegunaan Buah Cabai ... 11
2.1.5. Hama Pada Tanaman Cabai ... 12
2.1.6. Penyakit Pada Tanaman Cabai ... 13
2.1.7. Jenis-Jenis Insektisida Pada Cabai ... 14
2.2. Perlakuan Pascapanen ... 15
2.3. Cabai Merah Giling ... 18
2.3.1. Defenisi Cabai Merah Giling ... 18
2.3.2. Pembuatan Cabai Merah Giling ... 19
2.4. Pestisida ... 20
2.4.1. Pengertian Pestisida ... 20
2.5. Klasifikasi Pestisida ... 23
2.5.1. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Sasaran ... 23
(11)
2.5.3. Formulasi Atau Bentuk Pestisida ... 26
2.5.4. Dosis Pestisida ... 27
2.5.5. Konsentrasi Pestisida ... 28
2.5.6. Cara Aplikasi Pestisida ... 28
2.6. Insektisida ... 29
2.6.1. Pengertian Insektisida ... 29
2.6.2. Jenis Insektisida ... 29
2.6.3. Penggolongan Insektisida Berdasarkan Susunan Kimia ... 30
2.7. Insektisida Golongan Organofosfat... 34
2.8. BMR Insektisida Golongan Organofosfat ... 37
2.9. Dampak Pestisida ... 37
2.9.1. Dampak Pestisida Terhadap Konsumen... 37
2.9.2. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan ... 37
2.9.3. Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan ... 40
2.9.4. Dampak Pestisida Bagi Lingkungan Pertanian ... 41
2.10. Dampak Insektisida Golongan Organofosfat Terhadap Kesehatan ... 41
2.11. Kerangka Konsep ... 44
BAB III. METODE PENELITIAN ... 45
3.1. Jenis Penelitian ... 46
3.2. Lokasi Dan Waktu Peenlitian... 45
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 45
3.2.2. Waktu Penelitian ... 45
3.3. Objek Penelitian ... 45
3.4. Cara Pengambilan Sampel ... 46
3.5. Metode Pengumpulan Data ... 46
3.5.1. Data Primer ... 46
3.5.2. Data Sekunder ... 46
3.6. Defenisi Operasional ... 46
3.7. Cara Pemeriksaan Residu Pestisida Secara Kuantitatif pada Cabai Merah segar dan Cabai Merah giling ... 47
3.8. Analisa Data ... 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 50
4.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 50
4.2. Ganbaran Lokasi penelitian ... 51
4.3. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Residu Insektisida Profenofos pada Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling ... 52
(12)
BAB V. PEMBAHASAN ... 57
5.1. Residu Insektisida Profenofos Pada Cabai Merah Segar Dan Cabai Merah Giling ... 59
5.2. Data Responden Tentang Cabai Merah Segar Dan Cabai Merah Giling .. 62
5.2.1. Penjual Cabai Merah Segar ... 62
5.2.2. Penjual Cabai Merah Giling ... 62
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
6.1. Kesimpulan ... 64
6.2. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA
KUESIONER LAMPIRAN
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kandungan Zat Gizi Buah Cabai Segar dan Kering Setiap 100 gram Bahan ... 11
Table 2.2. Asumsi Kenaikan Produksi Cabai Dunia per Kapita per Tahun... 20
Table 2.3. Asumsi Kenaikan Kebutuhan Cabai Dunia per Kapita per Tahun… 20
Table 2.4. Kriteria Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Bentuk fisik, jalan Masuk Kedalam Tubuh dan Daya Racun ( Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 1350) ... 43
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Residu Insektisida Profenofos Pada Cabai Merah Segar Dan Cabai Merah Giling ... 52 Table 4.2. Data Hasil Penelitian Pada Penjual Cabai Merah Segar ... 54
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Kuesioner ... 68
Lampiran II. Perhitungan Residu Insektisida Profenofos ... 70
Lampiran III. Batas Maksimum Residu Pestisida Hasil Pertanian ... 72
Lampiran IV. Surat Izin Penelitian dari Dekan FKM USU ... 79
Lampiran V. Surat Keterangan Telah Melakukan penelitian dari Laboratori Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan ... 80
Lampiran VI. Laporan Hasil Analisis Residu Pestisida ... 81
(15)
ABSTRAK
Residu insektisida pada tanaman dapat berasal dari hasil penyemprotan pada tanaman. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khususnya pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Profenofos merupakan salah satu bahan aktif dari jenis insektisida golongan organofosfat yang digunakan untuk melindungi tanaman cabai dan tidak boleh melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu 5 mg/kg.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional Kota Medan.
Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu menggambarkan kuantitas residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional Kota Medan. Sampel diambil secara purposive sampling yaitu 5 (lima) pasar tradisional Kota Medan yang dari tiap pasar diambil 1(satu) penjual yang menjual cabai merah segar dan cabai merah giling. Penetapan kadar residu profenofos yang ditentukan dengan menggunakan Kromatografi Gas dilengkapi dengan detector spesifik.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dari 10 sampel yang diteliti terdapat 3 (tiga) sampel yang positif mengandung residu insektisda profenofos yaitu cabai merah segar dari Pasar Aksara dengan nilai 0,733 mg/kg, cabai merah segar dari Pasar Sukaramai dengan nilai 1, 205 mg/kg, dan cabai merah giling dari Pasar Petisah dengan nilai 0, 128 mg/kg dan masih berada dibawah batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapatnya 3 (tiga) sampel yang positif mengandung insektisida profenofos di beberapa pasar tradisional Kota Medan. Oleh karena itu, disarankan kepada konsumen agar lebih memperhatikan cara pencucian cabai sebelum digiling, sedangkan untuk petani lebih memperhatikan cara pemakaian pestisida.
(16)
ABSTRACT
Insecticide residue on plants maight be originate from the spraying result on them. Insecticide residue can be available on all parts of the plant such as bole, leaves, fruits and roots. Especially for the fruit, residue available either on its surface or in kernel. Profenofos is one of insecticide active materials of organophosphat type that used to protected the chili plant and it should not exceed the maximum residual limit (MRL) that have established by Indonesian National Standard (SNI) as 5 mg/kg.
The purpose of this research is to know the profenofos insecticide residual in the fresh red chili and milled red chili at several traditional markets in Medan.
This research was a descriptive survey research to describe the quantity of profenofos insecticide residual in the fresh red chili and milled red chili several traditional markets in Medan. The samples are taken by purposive sampling method from five traditional markets in Medan which a mount of fresh red chili and milled red chili is taken from one of sellers at each five market. Gas chromatographic with specific detector is used to determine the propenofos residual rate.
The result of this research shown that three of ten analyzed samples positively contained profenofos insecticide residual which was fresh red chili that got from Pasar Aksara contained a value as 0.733 mg/kg, fresh red chili from that got from Pasar Sukaramai contained a value as 1.205 mg/kg, and milled red chili from Pasar Petisah with value as 0.128 mg/kg and these lied below the maximum residual limit (BMR) that have established by Indonesian National Standard (SNI).
Base of this research, it concluded that there are three of samples contained profenofos insecticide in several markets in Medan. Thus, it is suggested for the consumer to care how to wash the chili before milling, than for the chili farmer to care how to use the pesticide and it is important to counsel the seller about insecticide residual hazard.
(17)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan kebutuhan pangan yang semakin besar. Dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan tersebut, Indonesia mencanangkan beberapa program di bidang pertanian. Salah satunya adalah program intensifikasi tanaman pangan. Dari program ini diharapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada. Program ini tentu ditunjang dengan perbaikan teknologi pertanian. Penggunaan varietas tahan, perbaikan teknik budidaya yang meliputi pengairan , pemupukan, dan pengendalian hama penyakit terus diaktifkan (Wudianto R, 2010).
Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah suatu health risk. Dimana masalah kesehatan yang dihadapai di bidang pertanian tidak terlepas dari penggunaan teknologi yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Ketika terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor resiko kesehatan. Teknologi mencangkul digantikan dengan traktor, pemberantasan hama dengan predator digantikan dengan pestisida, yang akan berdampak terhadap kesehatan (Ahmadi, 2008).
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultural penting di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari di dalam konsumsi rumah tangga tanpa memperhatikan tingkat sosial. Dimana kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Cabai
(18)
dimanfaatkan sebagai bumbu masak atau bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan minuman. Selain itu, juga digunakan untuk pembuatan obat-obatan dan kosmetik (Santika, 1999).
Cabai merah (C. annuum varlongum) yang masuk dalam kelompok cabai besar (Capsicum annuum L.) yang digunakan sebagai bumbu masakan yang diproses menjadi saus, cabai giling, cabai kering atau tanpa pengolahan (cabe merah segar). Produk olahan cabai tersebut mempunyai keuntungan, diantaranya penggunaan yang praktis, awet, serta mudah dalam mengangkut dan menyimpannya (Santika,1999).
Tanaman pertanian di Indonesia yang saat ini banyak menggunakan insektisida pada tanaman pangan adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi. Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan, keratin atau segmen tubuh, seperti kita lihat pada bagian tubuh serangga. Insektisida umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem saraf (Soemitar J, 2009). Menurut Ardiwinata (2002) yang dikutip dari Soemirat (2009) bahwa insektisida karbofuran, klorpirifos, dan linden didistribusikan ke daun, batang dan residu insektisida linden merupakan residu yang tertinggi. Dengan demikian bahan pangan yang masih mengandung residu insektisida ini akan termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek dan berbahaya terhadap kesehatan manusia.
Residu pada tanaman dapat berasal dari penyemprotan pada tanaman. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan (Soemirat, 2009).
(19)
Menurut Purnawati A. (2010) dan Postel (1988) yang dikutip dari Setiono (2010), data WHO di seluruh dunia diperkirakan per tahunnya terjadi 400,000 – 2 juta orang mengalami keracunan pestisida yang menyebabkan kematian antara 10.000 – 40.000 orang. Data WHO pada tahun 2009 memperkirakan bahwa minimal 300.000 orang meninggal setiap tahun karena keracunan pestisida.
Di Indonesia untuk mendapatkan gambaran jumlah korban keracunan pestisida secara akurat sangat sulit didapatkan. Karena belum adanya sistem pelaporan dan monitoring secara sistematik dan periodik. Penelitian di daerah lembang dan Pangalengan, Jawa barat, menemukan residu pestisida dalam air, tanah, sayuran, susu sapi, dan air susu ibu. (Sudibyaningsih, 1993). Tingginya residu dalam makanan, sangat dipengaruhi cara penggunaan pestisida beberapa petani hortikultura sering melakukan praktik cover blanket system, yakni penggunaan pestisida secara berlebihan (Achmadi, 2008).
Golongan organofosfat merupakan jumlah pestisida terbesar yang beredar di pasar dan banyak digunakan dalam bidang pertanian. karena tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai. Keracunan organofosfat dapat terjadi melalui mulut, inhalasi, dan kulit. Didalam tubuh organofosfat berikatan dengan enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang mengakibatkan penumpukan asetikolin pada syaraf (Achmadi, 2008 dan Sartono, 2002 ).
Profenofos merupakan salah satu jenis insektisida organofosfat dengan batas maksimum residu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yaitu 5 mg/kg pada cabai merah. Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 yang ditetapkan
(20)
oleh Depertemen Pertanian (Deptan), pestisida yang digunakan untuk cabai merah adalah karbendazim, profenofos, dan quinoxifen. Curacron salah satu produk pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama pada cabai yang mempunyai bahan aktif profenofos yang merupakan insektisida golongan organofosfat yang banyak dibeli (Djojosumarto, 2008).
Hasil penelitian Monarso dan Miskiyah (2008), menunjukkan persentase total cemaran residu pestisida pada cabai merah, selada, dan bawang merah yang diambil dari 2 lokasi yang berbeda, yaitu daerah Bandungan dan Brebes. Hasil menunjukkan bahwa cemaran organofosfat yang dominan mencemari kedua lokasi tersebut. Mutiatikum (2006) yang dikutip dari Rustia (2009), menunjukkan penelitian terhadap residu pestisida dalam komoditi cabai merah besar dan cabai merah keriting yang berasal dari pasar di Kota Cianjur, Semarang dan Surabaya terdeteksi residu pestisida golongan organofosfat.
Peningkatan jumlah permintaan cabai di masyarakat mengakibatkan meningkatnya harga cabai di pasaran. Hal ini menyebabkan petani cabai berusaha untuk menghasilkan cabai yang berkualitas dan bisa bersaing di dunia pasar. Hal tersebut membuat petani cabai melakukan hal-hal yang bisa merugikan kesehatan masyarakat salah satunya dengan menggunakan insektisida untuk meningkatkan kualitas cabai dan paling utama untuk mencegah kerusakan akibat hama dan penyakit pada tanaman cabai. Dan beberapa petani menggunakan dosis yang tidak tepat atau berlebihan sehingga tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam pemakaian insektisida yang menyebabkan residu pada cabai tersebut. Dengan alasan ini penulis tertarik melakukan penelitian mengenai ” Analisa Kuantitatif Residu Insektisida
(21)
Profenofos pada Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling di Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2012”.
1.2. Perumusan Masalah
Banyaknya petani cabai yang menggunakan insektisida secara berlebihan sehingga meninggalkan residu pada batang, daun, buah dan juga akar. Dengan demikian bahan pangan yang masih mengandung residu insektisida ini akan masuk dalam tubuh manusia dan dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap kesehatan manusia. Maka perumusan masalah yang dapat dikembangkan adalah bagaimana Analisa kuantitatif residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional di Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui residu insektisida profenofos golongan organofosfat pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa pasar tradisional Kota Medan. 1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui unsur-unsur bahan tambahan yang dipakai pada cabai giling.
2. Untuk mengetahui kadar residu insektisida profenofos pada cabai segar di beberapa pasar tradisional di Kota Medan.
3. Untuk mengetahui kadar residu insektisida profenofos pada cabai merah giling di beberapa pasar tradisional di Kota Medan.
(22)
1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat melatih peneliti untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik serta menambah pengetahuan mengenai cabai dan pestisida organofosfat.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kesehatan masyarakat tentang penggunaan pestisida dan dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada masyarakat agar lebih teliti dalam memilih dan mengkonsumsi cabai.
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sekilas Tentang Cabai (Capsicum annuum L.)
Cabai (Capsicum annuum L. ) adalah tanaman yang termasuk ke dalam keluarga tanaman Solanaceae. Cabai mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide). Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin, yang dinamakan capsaicinoids. Sedangkan Buah cabai merupakan buah buni dengan bentuk garis lanset, merah cerah, dan rasanya pedas. Daging buahnya berupa keping-keping tidak berair. Bijinya berjumlah banyak serta terletak di dalam ruangan buah (Setiadi, 2008).
Tanaman cabai dapat tumbuh subur di berbagai ketinggian tempat mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi tergantung varietasnya. Sebagian besar sentra produsen cabai berada didataran tinggi dengan ketinggian antara 1.000-1250 meter dari permukaan laut. Walaupun di dataran rendah yang panas kadang-kadang dapat juga diperoleh hasil yang memuaskan, namun di daerah pegunungan buahnya dapat lebih besar dan manis. Rata-rata suhu yang baik adalah antara 210 -280C. suhu udara yang lebih tinggi menyebabkan buahnya sedikit (Tim Bina Karya Tani, 2009).
Tanaman yang berbuah pedas ini digunakan secara luas sebagai bumbu masakan di seluruh dunia. Tanaman cabai pada mulanya diketahui berasal dari Meksiko, dan menyebar di negara-negara sekitarnya di Amerika Selatan dan Amerika Tengah pada sekitar abad ke-8. Dari Benua Amerika kemudian menyebar ke benua Eropa diperkirakan pada sekitar abad ke-15. Kini tanaman cabai sudah menyebar ke
(24)
berbagai negara tropik terutama di benua Asia, dan Afrika (Tim Bina Karya Tani, 2009).
Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Karbohidrat, Kalsium, Vitamin A, B, dan Vitamin C. selain digunakan untuk keperluan rumah tangga, cabai juga dapat digunakan untuk keperluan industri diantaranya, Industri bumbu masakan, Industri makanan, Industri obat-obatan atau jamu (Setiadi, 2008).
Di Indonesia pengembangan budidaya tanaman cabai mendapat prioritas perhatian sejak tahun 1961. Tanaman cabai menempati urutan atas dalam skala prioritas penelitian pengembangan garapan Puslitbang Hortikurtura di Indonesia bersama 17 jenis sayuran komersial lainnya (Tim Bina Karya Tani, 2008). Dan daerah-daerah di Indonesia yang merupakan sentra produksi cabai mulai dari urutan yang paling besar adalah daerah-daerah di jawa timur, padang, Bengkulu dan lain-lain sebagainya. Menurut Pickersgill (1989) terdapat lima spesies cabai, yaitu Capsicum annuum, Capsicum frutescens, Capsicum chinense, Capsicum bacctum, dan Capsicum pubescens. Di antara kelima spesies tersebut yang memiliki potensi ekonomis ialah C. annuum dan C. frutescens (Santika,1999) .
2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai
Klasifikasi tanaman cabai sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Metachlamidae
(25)
Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuum L.
Ada dua spesies cabai yang terkenal yaitu cabai besar atau cabai merah dan cabai kecil atau cabai rawit. Cabai yang termasuk ke dalam cabai besar atau cabai merah adalah paprika, cabai manis, dan lain-lain. Dan cabai yang termasuk ke dalam golongan cabai kecil adalah cabai rawit, cabai kancing, cabai udel, dan cabai yang biasanya dipelihara sebagai tanaman hias. Pada umumnya cabai kecil ini lebih panjang umurnya, lebih tahan terhadap hujan, dan rasanya lebih pedas (Tim Bina Karya Tani, 2009).
2.1.2. Jenis-jenis Tanaman Cabai Merah (C. annuum var. Longum)
Tanaman cabai memiliki varietas yang jumlahnya sangat banyak. Berkat kemajuan teknologi di bidang pembibitan telah banyak dihasilkan berbagai varietas cabai unggul hibrida oleh berbagai negara atau perusahaan benih unggul di dunia (Setiadi, 2008) yaitu :
1. Cabai Kriting
Cabai ini berukuran kecil dari cabai merah biasanya, tetapi rasanya lebih pedas dan aromanya lebih tajam. Bentuk fisiknya memang agak berkelok-kelok dengan permukaan buah tidak rata sehingga memberikan kesan “keriting”. Buah mudanya ada yang berwarna hijau dan ada yang ungu. Bai Dibandingkan dengan cabai lainnya, cabai keriting lebih tahan terhadap serangan penyakit.
(26)
2. Cabai tit atau tit super
Tit super dikenal sebagai cabai lokal. Tinggi tanaman antara 30-70 cm. buahnya berwarna merah tua menyala dengan ukuran besar, panjang, dan mulus serta ujungnya mengecil runcing dan bengkok.
3. Cabai hot beauty
Dikalangan petani umumnya cabai ini sering disebut cabai Taiwan. Memang cabai ini merupakan hybrid yang diproduksi dari Taiwan. Ukuran buahnya besar, panjang dan lurus. Daging buahnya tipis dengan rasa kurang pedas dibandingkan cabai keriting.
4. Cabai merah lainnya
Selain jenis cabai merah yang sudah dijelaskan diatas, ada beberapa jenis cabai merah lain yang ada di Indonesia. Beberapa diantaranya ialah cabai semarang, cabai paris, cabai jatilaba, dan cabai long chili. Cabai semarang mirip cabai tit super. Perbedaannya hanya terletak pada buah yang lebih kecil, pangkalnya lurus, dan berujung bengkok. Cabai paris buahnya besar, lurus dan pangkal sampai ujung, berwarna merah kekuningan, dan berurat atau bergaris putih. Cabai jatilaba buahnya besar, lurus, berkerut-kerut, berujung runcing, dan berwarna merah kehitaman. Cabai long chili merupakan cabai produksi dari Taiwan. Buahnya ramping, panjang berkulit halus, dan berdaging agak tebal dibandingkan hot beauty.
(27)
2.1.3. Kandungan Buah Cabai
Table 2.1. Kandungan Zat Gizi Buah Cabai Segar dan Kering Setiap 100 Gram Bahan
Kandungan
Segar Kering
Cabe hijau besar
Cabe merah
besar
Cabe rawit abe hijau besar
Cabe merah besar
Cabe rawit
alori (kal) 23 31 103 - 311 -
rotein (g) 0,7 1 4,7 - 15,9 15
emak (g) 0,3 0,3 2,4 - 6,2 11
arbohidrat (g) 5,2 7,3 19,9 - 61,8 33
alsium (mg) 14 29 45 - 160 150
osfor (mg) 23 24 85 - 370 -
esi (mg) 0,4 0,5 2,5 - 370 -
it. A (SI) 260 470 11,050 - 576 1.00
0
it. B1 (mg) 0,05 0,05 0,05 - 50 10
It. C(mg) 84 18 70 - 50 10
ir (g) 93,4 90,9 71,2 - 10 8 ml
d.d (%) 82 85 85 - 85 -
Catatan :b.d.d=bagian yang dapat dimakan Sumber: Depertemen Kesehatan
2.1.4. Kegunaan Buah Cabai
Buah cabai dapat dimanfaatkan untuk banyak keperluan, baik yang berhubungan dengan kegiatan masak-memasak maupun untuk keperluan yang lain seperti untuk bahan ramuan obat tradisional. Cabai mengandung capsaicin yang memberi rasa pedas. Selain mengandung capsaicin, cabai juga mengandung semacam
(28)
minyak asiri, yaitu capsicol. Selain itu juga cabai memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh, yaitu:
a. Cabai dapat meningkatkan nafsu makan seseorang.
b. Menurunkan kadar kolesterol dan menstabilkan kadar insulin dalam darah. c. Mengurangi seseorang terkena stroke, penyumbatan pembuluh darah,
impotensi dan jantung koroner.
d. Mengurangi resiko seseorang terkena kanker.
e. Cabai dapat meringankan sakit kepala dan nyeri sendi. Salah satu manfaat cabai adalah mengurangi rasa sakit. Ini disebabkan timbulnya rasa pedas dari zat capsaicin mampu menghalangi aktifitas otak untuk menerima sinyal dari pusat sistem saraf.
f. Cabai dapat memperlambat penuaan, karena adanya zat antioksidan yaitu vitamin C dan betakaroten pada cabai.
2.1.5. Hama pada Tanaman Cabai
Hama adalah hewan yang merusak tanaman atau hasil tanaman karena aktivitas hidupnya, terutama aktivitas untuk memperoleh makanan. Hama tanaman memiliki kemampuan merusak yang sangat hebat. Akibatnya, tanaman dapat rusak atau bahkan tidak dapat menghasilkan sama sekali. Hama tanaman berupa hewan mamalia, misalnya tikus, babi hutan, dan kera, berupa burung, misalnya burung gelatik dan burung pipit, berupa serangga, misalnya wereng, kutu daun, walang sangit, belalang, berbagai ulat, dan berbagai kumbang (Tim bina Karya tani, 2008).
Diantara hama tersebut yang paling menimbulkan kerugian besar pada tanaman adalah kelompok serangga. Untuk memberantas serangga hama, kita perlu
(29)
mengetahui siklus hidupnya. Dengan mengetahui siklus hidupnya, maka dapat ditentukan pada stadium apa serangga tersebut menyerang tanaman. Dengan demikian kita dapat melakukan pemberantasan yang tepat mengenain sasarannya. Tanaman cabai termasuk tanaman sayuran buah. Tanaman ini sering diserang oleh hama di antaranya gurem, cacing, ulat buah, ulat tanah, siput, dan kutu pucuk (Tim Bina Karya Tani, 2008).
2.1.6. Penyakit Pada Tanaman Cabai
Menurut Tim Bina Karya Tani (2009), ada beberapa penyakit pada tanaman cabai yaitu:
1. Penyakit Keriting Daun
Penyakit keriting daun menyerang tanaman sejak masih kecil hingga pertumbuhannya terhenti.
2. Penyakit Antraknosa
Penyakit yang menyerang buah cabai itu disebut penyakit busuk buah, yang dikenal dengan nama antraknosa.
3. Penyakit Layu
Penyakit layu pada tanaman sayuran cabai disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporium. Penyakit layu ini bisa menular melalui luka.
4. Penyaki Virus (Mozaik)
Penyakit mozaik pada tanaman sayuran cabai disebabkan oleh virus. Penyakit virus ini menyerang daun tanaman.
(30)
5. Penyakit Bakteri (Xanthomonas solanacearum)
Penyakit bakteri yang menyerang tanaman sayuran cabai adalah Xanthomonas Solanacearum.
6. Busuk Buah Cabai
Penyakit fisiologis akibat kekurangan unsur hara tertentu. Salah satu di antaranya yang sering ditemukan pada tanaman cabai adalah busuk ujung buah.
2.1.7. Jenis-Jenis Insektisida pada Cabai
Menurut Setiadi (2008) ada beberapa jenis insektisida yang digunakan pada cabai untuk mengendalikan hama tanaman yaitu :
1. Insektisida yang dapat dipakai dengan penyemprotan Tokuthion 500 EC yang mempunyai bahan aktif protiofos untuk membunuh hama seperti serangga yang merusak daun, pucuk, serta tunas baru. Dengan dosis 1-2 cc/l air, dilarutkan dalam air baru disemprotkan merata pada tanaman dengan selang waktu 7-10 hari sekali
2. Insektisida Tokuthion 500 EC yang mempunyai bahan aktif protiofos dengan dosis 1-2 cc/l air, Anthion 33 EC yang mempunyai bahan aktif dimetoat dengan dosis 1,5-2 l/ha tanaman, yang digunakan untuk membunuh kutu daun pada cabai.
3. Insektisida Curacron yang mempunyai bahan aktif profenofos untuk mengatasi ulat buah, perusak daun, dan kutu daun, takarannya sebanyak 2 cc/l air.
4. Insektisida Cymbush 5 EC yang mempunyai bahan aktif piretroid yang digunakan untuk memberantas ulat yang merusak tunas, daun dan buah.
(31)
2.2. Perlakuan Pascapanen
Menurut Setiadi (2008), banyak yang memasarkan cabai bukan dalam bentuk segar, melainkan bentuk kering, olahan atau awetan. Namun, bila ingin memasarkan dalam bentuk segar tentu harus diperhatikan cara pengemasan dan peSnyimpanannya. 1. Pengemasan
Yang sering terjadi, cabai yang berdatangan dari luar daerah tidak pernah dikemas dalam kemasan khusus. Cabai tersebut hanya dimasukkan dalam goni atau karung plastik. Secara umum, kekeliruhan terbesar dari pengepakan cabai selama ini adalah tidak memperhitungkan beberapa hal-hal seperti :
a. Wadah atau tempat buah cabai b. Penempatan buah cabai dalam wadah c. Cara penumpukan cabai
d. Jumlah tumpukan, dan
e. Jumlah buah dalam setiap wadah 2. Penyimpanan Cara Hipobarik
a. Keuntungan Penyimpanan
Hipobarik merupakan salah satu cara penyimpanan cabai dalam ruang dengan kondisi udara tertentu. Cara ini mulai berkembang sekitar tahun 1960_an di negara-negara maju yang diakui sebagai cara yang mahal. Daya tahan penyimpanan ruang dingin hanya berkisar 10-20 hari, sedangkan penyimpanan hipobarik dapat mencapai 50 hari.
(32)
b. Tempat Penyimpanan
Tempat penyimpanan hipobarik merupakan suatu ruangan tekanan, suhu, dan kelembapan udaranya dapat dikontrol. Untuk penyimpanan cabai, tekanan udara antara 4-400 mmHg, suhu udara antara 20-15 0C, dan kelembapan antara 90-95%. 3. Pengeringan
Cabai yang dikeringkan untuk keperluan ekspor merupakan cabai merah. Untuk jenis lainnya, pengeringan masih kurang umum dilakukan meskipun manfaatnya tidak kalah pentingnya dengan cabai merah.
1. Cara Pengeringan
Mengeringkan cabai ada dua cara, yaitu dengan bantuan sinar matahari atau dengan alat pengering.
a. Pengeringan Alamiah dengan Sinar Matahari
Cabai yang akan dikeringkan diseleksi lebih dulu, yaitu tingkat kemasakannya lebih dari 60 %. Setelah terpilih, tangkai-tangkainya dibuang dan buahnya dicuci sampai bersih. Cabai sudah dibela dimasukkan ke dalam air panas 900C (blancing) selama 6 menit. Air panas untuk merendam tersebut dicampur kalium metabisulfat 0.2% (setiap 2 gram bahan dicampurkan 1 liter air). Setelah direndam, cabai langsung dimasukkan ke dalam air dingin beberapa saat, lalu ditiriskan dalam rak-rak bambu. Rak-rak bambu dipanaskan di bawah sinar matahari. Lama pemanasan sekitar 7-10 hari.
(33)
b. Pengeringan Buatan dengan Alat Pengering Sederhana 1. Spesifikasi Alat
Pengeringan cabai dengan bantuan alat pengering, baik modern maupun sederhana, masih lebih baik dibandingkan dengan cara alamiah. Cara buatan ini, sebenarnya ada dua cara sesuai jenis alat yang digunakan, yaitu dengan alat modern dan dengan alat sederhana. Alat pengering ini bekerja seperti pemanas (oven) dalam pembuatan kue.
2. Penggunaan Alat
Rigen atau tampan dibersihkan dahulu. Sesudah cukup bersih cabai yang sebelumnya di blancing diletakkan diatas rigen secara teratur.
3. Perlakuan Setelah Pengeringan
Cabai yang sudah cukup kering dapat langsung dikemas. Kemasan dapat dipilih yang bagus, bersih, dan rapi.
4. Cara Pengawetan Lain 1. Digiling Langsung
Selain cara pengeringan, cabai (terutama cabai merah) dapat diawetkan dengan cara digiling langsung. Caranya ialah cabai yang baru dipanen dipilih yang bagus-bagus, lalu tangkainya dibuang, dan dicuci bersih. Setelah itu, cabai digiling hingga halus. Hancuran cabai ini dicampurkan merata dengan garam dan bahan pengawet seperti Natrium Benzoat. Namun, dengan cara ini tetap tidak bertahan lama karena tidak melalui proses pemanasan atau pasteurisasi.
(34)
2. Dibuat Saus
Cabai yang sudah dikumpulkan langsung dikukus hingga matang. Sesudah cukup matang, cabai tersebut didinginkan. Cabai yang sudah dingin itu langsung digiling. Dalam gilingan sekaligus dimasukkan bumbu-bumbu lain. Setelah halus, dipanaskan hingga selama 5 menit. Setelah itu diangkat dan didinginkan selam 20 jam. Setelah dingin dipanaskan kembali selama 3 menit.
2.3. Cabai Merah Giling
2.3.1. Defenisi Cabai Merah Giling
Cabai merah giling adalah hasil penggilingan cabai merah segar, dengan atau tanpa pengawet. Cabai giling banyak diperdagangkan di kota besar. Pengawetannya dilakukan dengan menambahkan garam 1% dan Natrium Benzoat 0,02% sebagai zat pengawet pada cabai yang digiling halus. Pada pembuatan cabai giling ini tidak lazim dilakukan pasteurisasi. Oleh karenanya, cabai giling tidak tahan disimpan lama (Santika, 1999).
Cabai merah termasuk dalam famili Solanaceae. Tanaman ini merupakan herba tegak yang memiliki akar tunggang dengan banyak akar samping yang dangkal. Bagian batang yang muda berambut halus, bercabang banyak, serta bisa mencapai tinggi 1 – 2.5 m. Daunnya tersebar dengan helaian daun bulat telur memanjang atau elips berbentuk lanset, serta pangkal dan ujung meruncing. Sedangkan bunga cabai merah mengangguk dengan ukuran tanggai 10 – 18 mm. Bentuknya seperti terompet kecil dan umumnya berwarna putih, walau ada juga yang berwarna ungu (setiadi, 2008).
(35)
2.3.2. Pembuatan Cabai Merah Giling a. Bahan dan Peralatan
1. Bahan
Dalam proses pembuatan cabai merah giling diperlukan bahan-bahan seperti cabai merah yang matang, garam dan air yang membantu proses penggilingan. 2. Peralatan
Selain bahan juga diperlukan peralatan yang membantu dalam proses penggilingan cabai merah seperti alat penggiling atau mesin penggiling, dimana alat ini digunakan untuk menggiling cabai merah sampai halus, selain mesin penggiling juga diperlukan ember, sendok dan sejenis kayu untuk mendorong cabai kedalam mesin.
b. Proses Pembuatan Cabai Merah Giling
Proses pengolahan cabai merah segar menjadi produk cabai merah giling meliputi langkah-langkah kerja sebagai berikut :
1. Siapkan buah cabai merah segar yang telah melalui tahap-tahap penanganan pascapanen
2. Cabai tersebut di cuci hingga bersih, setelah tangkai buah dibuang
3. Buah cabai yang sudah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam mesin penggiling, kemudian ditambahkan dengan garam dan air
(36)
Table 2.2. Asumsi Kenaikan Produksi Cabai Dunia per Kapita per Tahun
Sumber :FAO, diolah
Table 2.3. Asumsi Kenaikan Kebutuhan Cabai Dunia per Kapita per Tahun Komoditas
Kebutuhan Dunia (kg) 1984-1986 1986-1989
ayuran dan melon 68,3 68,6
abai 29 29
asio cabai terhadap sayuran dan melon
19,80 19,89
Sumber :FAO, diolah 2.4. Pestisida
2.4.1. Pengertian Pestisida
Pengertian pestisida luas sekali karena meliputi produk-produk yang digunakan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan/kesehatan hewan, perikanan , dan kesehatan masyarakat (Djojosumarto, 2008).
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang
Komoditas Produksi Dunia (.000 ton)
1985 1986 1987 1988 1989
ayuran dan melon
411.684 422.463 431.143 432.51
6 440.206
abai
- - 9.001 8.960 8.766
asio cabai terhadap
(37)
dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Djojosumarto, 2008).
Menurut Kepmenkes RI No. 1350 (2001) bahwa pestisida kesehatan masyarakat adalah pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vector penyakit menular (serangga, tikus) atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, pekarangan, tempat kerja, tempat umum lain, termasuk sarana angkutan dan tempat penyimpanan/pergudangan
( Depertemen Kesehatan RI, 2004).
Setiap pestisida atau poduk perlindungan tanaman yang diperdagangkan terdiri atas tiga bagian utama, yakni bahan aktif, bahan-bahan pembantu dan bahan pembawa. Bahan aktif adalah senyawa kimia atau bahan bioaktif lainnya (mikroorganisme, ekstrak tumbuhan) yang mempunyai efek pestisida (pesticidal effect) yakni meracuni organisme pengganggu tanaman atau efek biologi (biological effect) lainnya, misalnya mengusir serangga, menarik serangga dan sebagainya. Apabila suatu bahan aktif merupakan senyawa kimia, maka bahan aktif tersebut diberi nama kimia (chemical name) yang didasarkan atas struktur atau rumus kimia senyawa tersebut (Djojosumarto, 2008).
Bahan aktif juga sering diberi nama umum nama generik (commoname, generic name) yang lebih singkat, lebih mudah diingat dan dimengerti oleh semua orang yang berkecimbung dalam bidang pestisida di seluruh dunia. Misalnya Fungisida polyram 80 WP dan Brestan 60 WP mempunyai nama aktif maneb.
(38)
Herbisida karmex 80 mempunyai nama umum bahan aktif bernama diuron. Insektisida Curacron 500 EC mempunyai bahan aktif bernama profenofos (Djojosumarto, 2008).
Menurut Kepmenkes RI No. 1350 (2001) bahwa pestisida kesehatan masyarakat meliputi semua zat kimia dan bahan lain jasad renik dan virus yang dipergunakan masyarakat untuk (Depertemen Kesehatan RI, 2004) yaitu :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang Merusak tanaman, bagian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian. 2. Memberantas rerumputan.
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian Tanaman tidak termasuk pupuk.
4. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. 5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
piaraan dan ternak.
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air.
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan.
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu
(39)
2.5. Klasifikasi Pestisida
2.5.1. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Sasaran
Menurut Wudianto (2010) sasaran pengelompokan pestisida sebagai berikut : 1. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga.
2. Fungisida
Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunkan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan pada umumnya cendawan berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kumpulan benang ini disebut miselium. Miselium ini bisa tumbuh dia atas atau dalam tubuh inang.
3. Bakterisida
Bakterisida adalah senyawa yang mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteria.
4. Nematisida
Nematisida adalah racun yang mengendalikan nematoda. 5. Akarisida
Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba.
(40)
6. Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskida
Moluskida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpit, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak.
8 Herbisida
Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.
9. Pestisida lain
Selain jenis pestisida di atas masih banyak jenis pestisida lain. Namun, karena kegunaannya jarang maka produsen pestisida pun belum banyak yang menjual. Sehingga di pasaran bisa dikatakan sulit ditemukan.
Pestisida tersebut adalah sebagai berikut (wudianto R, 2004) yaitu:
a. Pestisida adalah bahan senyawa kimia beracun untuk mengendalikan ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam
b. Algisida merupakan pestisida pembunuh ganggang. c. Avisida merupakan pestisida pembunuh burung. d. Larvisia merupakan pestisida pembunuh ulat. e. Pedukulisida merupakan pestisida pembunuh kutu.
(41)
f. Silvisida merupakan pestisida pembunuh pohon hutan atau pembersih sisa-sisa pohon.
g. Ovisida merupakan pestisida perusak telur.
h. Piscisida merupakan pestisida pembunuh predator. i. Termisida merupakan pestisida pembunuh rayap.
j. Arborisida merupakan pestisida pembunuh pohon, semak, dan belukar. k. Predasida merupakan pestisida pembunuh hama vertebrata.
2.5.2. Sifat dan Cara Kerja Racun Pestisida
Menurut Djojosumarto (2008) sifat dan cara kerja racun pestisida sebagai berikut :
1. Racun Kontak
Pestisida jenis ini bekerja dengan masuk ke dalam tubuh serangga
sasaran lewat kulit (kutikula) dan di transportasikan ke bagian tubuh serangga tempat pestisida aktif bekerja.
2. Racun Pernafasan (Fumigan)
Pestisida jenis ini dapat membunuh serangga dengan bekerja lewat sistem pernapasan.
3. Racun Lambung
Jenis pestisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk ke dalam organ pencernaannya.
4. Racun Sistemik
Cara kerja seperti ini dapat memiliki oleh insektisida, fungisida dan herbisida. Racun sistemik setelah disemprotkan atau ditebarkan pada
(42)
bagian tanaman akan terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar atau daun, sehingga dapat membunuh hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti jamur dan bakteri. Pada insektisida sistemik, serangga akan mati setelah memakan atau menghisap cairan tanaman yang telah disemprot.
5. Racun Metabolisme
Pestisida ini membunuh serangga dengan mengintervensi proses metabolismenya.
6. Racun Protoplasma
Ini akan mengganggu fungsi sel karena protoplasma sel menjadi rusak. 2.5.3. Formulasi atau Bentuk Pestisida
Menurut Wudianto (2004) formulasi atau bentuk pestisida yang beredar di Indonesia sebagai berikut :
1. Tepung hembus, debu (dust=D)
Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan bahan aktifnya rendah sekitar 2-10%.
2. Butiran (granula=G)
Berbentuk butiran padat yang cara penggunaannya dapat langsung disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih dahulu.
3. Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wettable powder =WP)
4. Pestisida berbentuk tepung kering dan tidak bisa digunakan untuk memberantas jasad sasaran. Terlebih dahulu dilarutkan dalam air yang
(43)
penggunaannya disemprotkan dengan alat penyemprot atau untuk merendam benih. Kandungan bahan aktifnya 50-85%.
5. Tepung yang larut dalam air (water-soluble powder=SP)
Pestisida berbentuk SP ini sepintas mirip WP. Penggunaannya pun ditambahkan air. Perbedaannya terletak pad kelarutannya. Bila WP tidak bisa terlatut dalam air, SP bisa larut dalam air. Kandungan bahan aktifnya biasanya tinggi.
6. Cairan (emulsifiable concentrate=EC)
Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantaraan emulsi (emulsifier). Dalam penggunaanya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengenceran atau semprotnya disebut emulsi.
7. Berbentuk cairan yang pekat yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Cara penggunaannya disemprotkan dengan alat penyemprot atau di injeksikan pada bagian tanaman atau tanah. Contoh insektisida Agrimec 18 EC.
2.5.4. Dosis Pestisida
Dosis pestisida adalah jumlah pestisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman pada setiap satuan luas bidang sasaran, misalnya liter pestisida per hektar, kilogram pestisida per hektar, dan sebagainya. Sementara dosis bahan aktif adalah jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan
(44)
2.5.5. Konsentrasi Pestisida
Konsentrasi penyemprotan adalah jumlah pestisida yang dicampurkan dalam satu liter air untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Misalnya, penggunaan insektisida Zolone 350 EC dengan konsentrasi penggunaan 0,2%, maka setiap liter air harus mengandung 0,2%/100x1000 ml= 2 ml Zolone 350 EC (Djojosumarto, 2008).
2.5.6. Cara Aplikasi Petisida
Keberhasilan pestisida dalam mematikan jasad pengganggu tidak hanya ditentukan oleh jenis pestisida, dosis, dan konsentrasi saja. Namun juga ditentukan oleh bagaimana cara aplikasi pestisida tersebut (Wudianto, 2010) yaitu :
1. Cara Semprotan (high volume method)
Cara semprotan paling sering digunakan, sebelum disemprotkan formulasi ini dicampur dulu dengan air. Pengenceran disesuaikan dengan konsentrasi dan dosis yang disarankan dalam kemasan.
2. Cara Hembusan
Dilakukan pada pestisida yang berbentuk tepung hembus (dust=D). aplikasi formulasi ini hanya untuk dalam gudang
3. Pengabutan (low volume method)
Cara ini hampir sama dengan penyemprotan, hanya bedanya peengabutan menggunakan volume yang lebih rendah dibandingkan penyemprotan. Formulasi pestisida yang digunakan untuk pengabutan sama dengan penyemprotan.
(45)
4. Penaburan Granula
Pestisida yang diformulasikan dalam bentuk butiran dan granula bisa diaplikasikan dengan beberapa cara sesuai kondisinya, seperti disebarkan langsung, dilubang tanaman, di sekitar leher akar.
5. Penggocoran (drenching)
cara ini sangat tepat untuk aplikasi pestisida sistemik dan berformulasi cairan.
6. Penyuntikan
Alat penyuntikan tanah digunakan untuk menyebarkan nematisida ke dalam tanah.
8. Pengumpanan
Pengumpanan bisa diterapkan untuk mengendalikan tikus, ulat tanah, siput, dan bekicot.
2.6. Insektisida
2.6.1. Pengertian Insektisida
Kata Insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata Insekta = serangga dan kata lain cida yang berarti pembunuh.
Dan diantara golongan pestisida, insektisida merupakan kelompok yang terbanyak digunakan (Achmadi, 2008).
2.6.2. Jenis Insektisida
Menurut Djojosumarto P. (2008) ada tiga jenis insektisida berdasarkan cara kerja atau gerakan pada tanaman setelah diaplikasikan yaitu :
(46)
1. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ, baik lewat akar, batang atau daun. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan monokrotofos.
2. Insektisida Nonsistemik
Insektisida nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jarinagan tanaman,tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman). Bagian terbesar insektisida yang dijual di pasaran Indonesia dewasa ini adalah insektisida nonsistemik. Contohnya, dioksikarb, diazinon, diklorvos, profenofos, dan quinalfos.
3. Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun). Contohnya, dimetan, furatiokarb, pyrolan, dan profenofos.
2.6.3. Penggolongan Insektisida Berdasarkan Susunan Kimia
Menurut Untung (1996), insektisida dapat kita bagi menurut sifat dasar senyawa kimianya yaitu insektisida anorganik, insektisida organik dan insektisida sintetik.
a. Insektisida anorganik adalah insektisida yang yang tidak mengandung unsur karbon. Ada beberapa jenis insektisida anorganik sebagai berikut:
- Arsenikum - merkurium - boron
(47)
- tembaga
- sulfur dan lain-lain.
b. Insektisida organik adalah insektisida yang mengandung unsur karbon, insektisida organik yang terbuat dari tanaman dan bahan alam lainnya. c. Insektisida Sintetik
1. Insektisida organoklorin atau sering disebut Hidrokarbon, kelompok insektisida sintetik pertama yang dimulai dengan ditemukannya DDT oleh ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Insektisida organoklorin Insektisida organokhlor pada umumnya tidak mudah menguap, praktis tidak larut dalam air juga senyawa yang tidak reaktif, memiliki sifat yang sangat tahan atau persisten, baik di dalam tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan serangga oleh insektisida tersebut ditandai dengan terjadinya hiperktivitas, gemetaran, kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta kematian. Ada beberapa jenis insektisida organoklorin sebagai berikut :
- DDT
- Aldrin - Dieldrin - Endrin - Lindane - Heptaklor
(48)
- toksofin, dan lain-lain.
2. Insektisida organofosfat merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Kelompok insektisida yang sangat beracun bagi serangga. Berbeda dengan organoklorin, organofosfat di lingkungan kurang stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya racun organofosfat mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya dilingkungan sedang dan sampai saat ini insektisida golongan organofosfat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Ada beberapa jenis insektisida organofosfat seabagai berikut :
- Malathion - Monokrotofos - Parathion - Fosfamidon - Dimetoat - Diklorfos - Fenitrotion - Fention
- profenofos dan lain-lain.
2. Karbamat dikenal pada tahun 1951 oleh geology chemical company di Switzerland dan dipasarkan pada tahun 1965. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida organofosfat yaitu melalui penghambatan enzim kolinesterase. Insektisida ini cepat terurai dan
(49)
hilang daya racunnya dari jaringan sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti organoklorin. Ada beberapa jenis insektisida karbamat sebagai berikut :
- Karbaril, - Metal - Karbamat
- Dimetilkarbamat
- Oksikarboksin dan lain-lain.
3. Peretroid merupakan kelompok insektisida sintetik yang digunakan sejak tahun 1970-an dan saat ini berkembang sangat cepat. Keunggulannya karena memiliki pengaruh “knock down” atau menjatuhkan serangga dengan cepat, tingkat toksitas rendah bagi manusia.
- Alletrin - Bioalletrin - Sipermetrin
- Permetrin dan lain-lain.
4. Fumigan sangat mudah menguap kebanyakan mengandung satu atau lebih gas halogen yaitu, Cl, Br, F. sangat beracun bagi serangga. Ada beberapa jenis insektisida fumigan sebagai berikut :
- Metal bromide - Etilen dibromida
(50)
5. Minyak-minyak mineral adalah minyak paraffin yang dihaluskan dan dibuat emulsi yang diaplikasikan secara ringan pada tanaman untuk mengendalikan tungau, kutu-kutu tanaman. Seperti, dinitrokresol.
6. Insektisida lain
Masih banyak kelompok insektisida lain yang digunakan dalam mengendalikan hama tanaman. Jenis insektisida lainnya sebagai berikut:
- Formamidin - Tiosianat - Dinitrofenol - Organosulfur
- Organotin dan lain-lain.
2.7. Insektisida Golongan Organofosfat
Pestisida golongan organofosfat ini ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Meskipun golongan organofosfat pertama telah disentesis pada tahun 1994. Bekerja dengan racun kontak, racun perut dan racun pernapasan. Dan cara kerja golongan ini sangat selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resisitensi pada serangga. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuasakan (Djojosumarto, 2008).
Golongan organofosfat sering disebut oganic phosfhates, phosphorus insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoric acid este. Mereka adalah derivate dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan
(51)
organophosphates struktur kimianya dan cara kerjanya berhubungan erat dengan syaraf (Sudarmo, 1991).
Menutut Djojosumarto (2008) ada beberapa pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain :
a. Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk, pengisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), pengorok daun, dan wereng. LD50 (tikus) 1.030-1.147 mg/kg; LD50 dermal kelinci >10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kelinci; LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 15 mg/liter udara.
b. Azinfos-etil, diintroduksikan pada tahun 1955. Azinfos-eti mengendalikan berbagai serangga hama pengunyah, penusuk, pengisap, dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 12 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 500 mg/kg tidaki menyebabkan iritasi kulit dan mata; LC50 inhalasi (4 jam, tikus)0,15 mg/liter udara.
c. Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan dalam di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structur yang disarankan oleh G. Shrader. Paration berspektrum luas untuk mengendalikan serangga penusuk, pengisap, dan pengunyah dan tungau. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; Lmg/liter LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata. LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 0,03 mg/liter udara.
(52)
d. Klorpirifos, merupakan insektisida non sistemik, diintroduksikan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. Mengendalikan serangga hama baik di daun maupun ditanah. LD50 oral (tikus) sebesar 135-163 mg/kg;LD50 dermal (tikus)>2.000 mg/kg;LC50 inhalasi (4-6 jam, tikus)0,2 mg/liter udara.
e. Dimetoat, ditemukan pada tahun 1951. Dimetoat merupakan insektisida dan akarisida organofosfat sistemik pertama sebagai penghambat kolin esterase. Dimetot bekerja sebagai racun kontak dan racun perut serta memiliki spectrum luas untuk mengendalikan hama-hama dari kelas tungau (Acarinae), kumbang (coleopatra), kutu daun (aphids). LD50 (tikus) sekitar 387 mg/kg; LD dermal (tikus)> 2.000 mg/kg non iritan pada kulit; LC50 dermal (tikus)>2.000 mg/kg non iritan pada kulit; LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 1,6 mg/liter udara/
f. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida untuk mengendalikan berbagai serangga hama dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci); LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 3 mg/liter udara.
g. Protiofos, merupakan insektisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Insektisida ini digunakan untuk mengendalikan ulat pemakan daun, thrips, dan dompolan Pseudococcus spp. Protiofos memiliki LD50 (tikus)>5.000 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan mata (kelinci); LC50 inhalasi (4 jam, tikus) 2,7 mg/liter udara.
(53)
2.8. BMR Insektisida Golongan Organofosfat
Pada Standar Nasional Indonesia (SNI) merumuskan tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian yang diperbolehkan terkandung pada produk-produk hasil pertanian yaitu untuk jenis pestisida golongan organofosfat pada cabai seperti metamidofos 2 mg/kg, monokrotofos 0,2 mg/kg, profenofos 5 mg/kg.
Menurut Yulius (1995) yang dikutip oleh Soemirat (2009) bahwa residu insektisida golongan organofosfat ditemukan pada berbagai jenis sayuran seperti bawang merah 1,167-0,565 ppm, kentang 0,125-4,333 ppm, cabe dan wortel yang mengandung profenos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73 muron 2,89 g/kg, klorfiripos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg dan permetrin 1,80 mg/kg (Soemitar, 2007).
2.9. Dampak Pestisida
2.9.1. Dampak Pestisida Terhadap Konsumen
Adapun dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan. Namun, dalam waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal mengonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar (Djojosumarto , 2008).
2.9.2. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan
Umumnya keracunan pestisida terjadi dengan adanya kontak dengan pestisida selama beberapa minggu. Orang tidak akan sakit langsung setelah terpapar pestisida, tetapi membutuhkan waktu sampai beberapa waktu kemudian. Pestisida masuk dalam tubuh manusia dengan cara sedikit demi sedikit dan mengakibatkan keracunan kronis.
(54)
Bisa pula berakibat racun akut bila jumlah yang masuk dalam tubuh manusia dalam jumlah yang cukup (Wudianto, 2010).
a. Keracunan Akut
Keracunan akut biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja menggunakan pestisida atau terjadi pada saat aplikasi pestisida. Cara pestisida masuk kedalam tubuh :
1. Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)
2. Terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation), serta 3. Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral). b. Keracunan Kronis
Keracunan kronis terjdi apabila penderita terkena racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis rendah. Gejala keracunan ini baru kelihatan setelah beberapa waktu (bulan atau tahun kemudian). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Dan beberapa dampak akibat keracuan kronis akibat pestisida (Romeo,dkk., 1990).
a. Pada syaraf
Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat terpapar pestisida selama bertahun-tahun adalah masalah pada ingatan, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma.
(55)
Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida apabila terpapar selama bertahun-tahun. Hal ini dapat menyebabkan Hepatitis.
c. Pada Perut
Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari keracunan pestisida. Banyak orang-orang yang dalam pekerjaannya berhubungan langsung dengan pestisida selama bertahun-tahun, mengalami masalah sulit makan. Orang yang menelan pestisida ( baik sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut.
d. Pada Sistem Kekebalan
Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi, atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk disembuhkan.
e. Pada Sistem Hormon.
Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan
(56)
produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pelebaran tyroid yang akhirnya dapat berlanjut menjadi kanker tyroid.
2.9.3. Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan
Menurut Soemirat (2007) Insektisida dapat berpengaruh terhadap lingkungan sebagai berikut :
1. Residu Insektisida dalam Tanah
Penyemprotan pestisida akan berada di udara yang lama kelamaan akan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap akan berada di dalam di dalam tanah terutama dari golongan organoklorin karena sifatnya yang persisten.
2. Residu Insektisida dalam Air
Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada didalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air, berupa sungai dan sumur.
3. Residu Insektisida di Udara
Pestisida dapat berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air (droplet) atau partikel yang terformulasi jatuh pada tujuannya.
4. Residu Pestisida pada Tanaman
Insektisida yang dismprotkan pada tanaman tentu akan meninggalkan residu. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat
(57)
pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walaupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan.
5. Residu Pestisida di Lingkungan Kerja
Pestisida kebanyakan digunakan di pertanian, sehingga perlu sedikit diketahui bahwa insektisida ini dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja di pertanian atau petani termasuk juga pencampuran pestisida. Kebanyakan petani di Indonesia mengetahui bahaya pestisida, namun mereka tidak peduli dengan akibatnya.
2.9.4. Dampak Pestisida Bagi Lingkungan Pertanian (Agro-Ekosistem)
Menurut Djojosumarto (2008), bahwa dampak pestisida bagi lingkungan pertanian yaitu :
1. Organisme pengganggu tanaman menjadi kebal terhadap suatu pestisida. (timbul resistensi organisme pengganggu tanaman terhadap pestisida)..
2. Meningkatkan populasi hama setelah penggunaan pestisida (resurjensi hama) 3. Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak penting
maupun hama yang sama sekali baru. 4. Fitotoksik (meracuni tanaman).
2.10. Dampak Insektisida Golongan Organofosfat Terhadap Kesehatan
Pestisida masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit, mulut, saluran pencernaan, pernafasan. Di dalam darah manusia pestisida ini akan berikatan dengan enzim cholirenesterase yang berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Dan karena adanya pestisida dalam darah maka Acetilcholirenesterse (AChE) akan di ikat oleh pestisida, sehingga enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama
(58)
meneruskan untuk mengirim perintah kepada otot-otot. Akibatnya otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Sudarmo, 1991).
Pada masyarakat yang terkena racun insektisida organofosfat, tanda dan gejala keracunan adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan (Wudianto, 2010).
Menurut Mukono (2011) akibat inhibisi Acetilcholinesterasae (AChE) didalam sistem syaraf mengakibatkan gangguan keracunan seperti :
a. Keracuanan Akut 1. Manifestasi muscarinik :
1. Gejala pencernaan makanan seperti mual, muntah 2. Aktifitas kelenjar keringat meningkat
3. Aktifitas kelenjar ludah meningkat 4. Aktivitas kelenjar air mata meningkat 5. Ketajaman mata berkurang
3. Manifestasi nikotinik seperti sesak napas, kram pada otot tertentu dan cyanosis.
4. Manifestasi susunan saraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala, kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernapasan dan peredaran darah. b. Keracunan Kronis
Ada beberapa jenis keracunan kronis yang disebabkan oleh pestisida organofosfat, yaitu :
(59)
1. Carsinogenik (pembentukan jaringan kanker).
2. Teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida). 3. Myopathi (penyakit otot).
Tabel 2.4. Kriteria Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Bentuk Fisik, Jalan Masuk kedalam Tubuh dan Daya Racun (Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1350).
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1350 Tahun 2001. KLASIFIKASI
LD50 untuk Tikus (mg/kg)
ORAL DERMAL
PADAT CAIR PADAT CAIR
I. a. SANGAT BERBAHAYA SEKALI
b. SANGAT BERBAHAYA <5
5-50
>20 20-200
<10 10-100
<40 40-400 . BERBAHAYA 50-500 200-2000 100-1000 400-4000 I. CUKUP BERBAHAYA >500 >2000 >1000 >4000
(60)
2.11. Kerangka Konsep
Pemeriksaan Laboratorium Residu Insektisida
Profenofos pada :
- Cabai Merah Segar
Cabai Merah Giling
Uji Kuantitatif (KADAR)
SNI No. 7313:2008
Tentang BMR pada Hasil Pertanian
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
(61)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif yaitu menggambarkan kuantitas residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di beberapa Pasar Tradisional di Kota Medan Tahun 2012.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan sampel dilakukan di beberapa Pasar Tradisional di Kota Medan yaitu pasar Padang Bulan, pasar Petisah, Pusat Pasar, pasar Sukaramai, dan pasar Aksara. Dengan alasan bahwa kelima pasar tersebut merupakan pasar yang cukup besar, dikelola pemerintah, banyak dijumpai pedagang dan pembeli cabai merah segar maupun cabai merah giling, dan terletak dipinggir jalan sehingga mudah dijangkau oleh mayarakat.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2012. 3.3. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah cabai merah segar dan cabai merah giling yang dijual sendiri oleh pedagang cabai di lima pasar tradisional Kota Medan. Objek yang ingin diteliti sebanyak 10 sampel yaitu lima cabai merah segar dan lima cabai merah giling.
(62)
3.4. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan alasan bahwa cabai merah segar dan cabai merah giling berasal dari lima (5) pasar tradisional di Kota Medan. Setiap pasar diambil satu produsen cabai yang menjual cabai merah segar dan cabai merah giling. Dari cabai merah segar diambil sampel sebanyak 500 gram dan cabai merah giling sebanyak 250 gram. Kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, sampel dibawa untuk diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan.
3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari pemeriksaan sampel cabai merah segar dan cabai merah giling yang dijual di beberapa Pasar Tradisional di Kota Medan yang dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan.
3.5.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, Badan Pusat Statistik, dan UPT BTPH I Medan.
3.6. Defenisi Operasional
1. Cabai merah segar adalah buah yang diperoleh dari hasil panen dan digunakan untuk kebutuhan bumbu masak.
2. Cabai merah giling adalah cabai yang diperoleh dari hasil penggilingan cabai, yang terlebih dahulu tangkainya dibuang, dan dicuci, kemudian digiling.
(63)
3. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan residu insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH propinsi Sumatera Utara dengan metode Kromatografi gas.
4. Uji Kuantitatif adalah suatu metode pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui kadar insektisida profenofos pada cabai merah segar dan cabai merah giling.
5. Kadar insektisida adalah banyaknya insektisida profenofos yang tinggal atau yang terdapat pada sayuran, buah-buahan, dan bahan-bahan lainnya.
6. Memenuhi syarat adalah residu insektisida profenofos berada di bawah nilai ambang batas sesuai dengan ketetapan SNI.
7. Tidak memenuhi syarat adalah residu insektisida profenofos berada diatas nilai ambang batas sesusi dengan ketetapan SNI.
8. BMR adalah nilai batas maksimum residu yang diizinkan ada pada buah cabai.
3.7. Cara Pemeriksaan Residu Pestisida secara Kuantitatif pada Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling.
1. Alat dan Bahan a. Peralatan
1. Pencincang untuk cabai merah segar 2. Blender atau ultra turaks
(64)
b. Pereaksi 1.Aseton 2.Diklorometan 3.Petroleum Benzine 4.Iso oktana
5.Toluena. c. Bahan
1.Cabai Merah Segar. 2.Cabai Merah Giling 2. Prosedur Kerja
a. Pencucian
Untuk cabai merah segar, Bahan dicuci dibawah air mengalir sambil digosok-gosok selama 2 menit.
a. Ekstraksi
1. Contoh analitik yang telah dicincang, ditimbang seberat 15 gram
2. Lumatkan dengan ultra turaks (blender) dengan tambahan 30 ml aseton, 30 ml diklormetan dan 30 ml petroleum Benzine .
3. Campuran dilumatkan selama 30 detik 4. Saring dengan kertas saring
5. Pipet 25 ml fase organik kedalam labu bulat
6. Pekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas air 400C, sampai hampir kering, kemudian dengan mengalirkan gas nitrogen sampai kering.
(65)
b. Penetapan
Suntikan 1-2 μl ekstra dan larutan standar ke dalam kromatograf gas. c. Perhitungan
Bandingkan waktu lambat dan tinggi atau luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan cuplikan dan larutan baku pembanding (Dinas Pertanian, 2004).
3.8. Analisa Data
Data diperoleh dari hasil pemeriksaan di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan sesuai dengan syarat kesehatan atau tidak, maka dibandingkan dengan hasil yang didapat di Laboratorim yang mengacu pada standar SNI No.7313 Tahun 2008 tentang BMR pada Hasil Pertanian.
Data yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah dengan bantuan perangkat komputer secara manual dengan langkah-langkah berupa pemeriksaan kembali data yang dikumpulkan, coding dan entry data dan data tersebut disajikan dalam bentuk tabel.
(66)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kota Medan
Letak dan posisi Kota Medan memang stategis, kota ini dilalui Sungai Deli dan Sungai Babura, keduanya merupakan jalur lintas perdagangan yang cukup ramai. Kota Medan yang merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah timur dari propinsi Sumatera Utara dengan ketinggian berada di 2,5-37,5 meter di permukaan laut dengan tofografi cenderung miring ke Utara.
Secara gegrafis, Medan terletak pada 2,270-2,470 Lintang Utara dan 98,350 -98,440 Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Sebelah Utara Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka, sebelah Selatan, Timur, Barat berbatasan dengan Deli Serdang.
Kota Medan memiliki 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan yang saat ini terdapat 56 pasar yang berada di Kota Medan. Pasar yang banyak menjual berbagai macam keperluan dari sayuran, buah juga keperluan lainnya. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Kota Medan terus meningkat. Walaupun belum pulihnya perekonomian nasional, para pelaku ekonomi sudah mulai melakukan perbaikan dan antisipasi di bidang ekonomi. Sehingga kegiatan ekonomi mulai bergerak menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi di Kota Medan mengalami kenaikan positif.
(67)
4.2. Gambaran Lokasi Penelitian 4.2.1. Pasar Padang Bulan
Pasar Padang Bulan yang lebih dikenal dengan Pajak Sore merupakan salah satu pasar tradisional dari 56 pasar tradisional yang ada di Kota Medan. Pajak Sore yang berada di Jamin Ginting Kecamatan Medan Baru dengan luas wilayah ± 5,41 km2. Pasar Padang Bulan dikelola oleh pemerintah dan saat ini terdapat 9 pedagang cabai merah segar dan 5 pedagang cabai merah giling.
4.2.2. Pasar Petisah
Pasar Petisah merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup terkenal Kota Medan. Pasar Petisah terletak di Kecamatan Medan Petisah dengan luas wilayah ± 4,93 km2. Pasar Petisah dikelola oleh pemerintah dan saat ini terdapat 10 penjual cabai merah segar dan 7 penjual cabai giling.
4.2.3. Pusat Pasar
Pusat Pasar juga dikenal dengan nama Pajak Central. Gedung Pusat Pasar pada masa kini terhubung dengan gedung Medan Mall, sebuah pusat perbelanjaan modern yang terletak di Kecamatan Medan Kota. Pusat Pasar merupakan pasar yang pertama berdiri di Kota Medan dengan luas wilayah ± 7,78 km2. Pusat Pasar dikelola pemerintah dan saat ini terdapat 17 penjual cabai merah segar dan 13 penjual cabai merah giling.
4.2.4. Pasar Sukaramai
Pasar Sukaramai juga merupakan pasar tradisional yang cukup terkenal Kota Medan. Pasar Sukaramai terletak di Kecamatan Medan Area dengan luas wilayah
(68)
7,75 km2. Pasar Sukaramai dikelola pemerintah dan saat ini terdapat 23 penjual cabai merah segar dan 14 penjual cabai merah giling.
4.2.5. Pasar Aksara
Pasar Aksara yang berdiri pada tahun 1987 yang juga merupakan pasar yang dikelola pemerintah dan terletak di Kecamatan Medan Perjuangan dengan luas wilayah 4,09 km2 . Saat ini terdapat 20 penjual cabai merah segar dan 16 penjual cabai merah giling.
4.2. Hasil Pemeriksaan Residu Insektisida Profenofos Pada Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling
Pemeriksaan yang diperoleh dari Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida UPT BPTH I Medan dengan 10 sampel cabai yaitu 5 (lima) cabai merah segar dan 5 (lima) cabai merah giling dengan menggunakan alat Kromatografi Gas terlihat pada Table 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Residu Insektisida Profenofos Pada Cabai Merah Segar Dan Cabai Merah Giling
No Sampel Residu Profenofos BMR
1 Cabai Merah Segar A 0,733 mg/kg
5 mg/kg
2 Cabai Merah Segar B -
3 Cabai Merah Segar C -
4 Cabai Merah Segar D -
5 Cabai Merah Segar E 1,205 mg/kg
6 Cabai Merah Giling A -
7 Cabai Merah Giling B -
8 Cabai Merah Giling C 0,128 mg/kg
9 Cabai Merah Giling D -
(69)
Keterangan :
A : Pasar Aksara B : Pasar Padang Bulan C : Pasar Petisah D : Pusat Pasar E : Pasar Sukaramai
BMR : Batas Maksimum Residu
Berdasarkan Tabel 4.1. di atas dapat dilihat dari 10 sampel yang diperiksa ada 3 sampel yang positif mengandung residu insektisida profenofos. Cabai merah segar dari Pasar Aksara dengan nilai 0,733 mg/kg, cabai merah segar dari Pasar Sukaramai dengan nilai 1,205 mg/kg, sedangkan cabai merah segar dari Pasar Padang Bulan, Pasar Petisah dan Pusat Pasar tidak mengandung residu profenofos.
Cabai merah giling dari Pasar Petisah 0, 128 mg/kg, sedangkan Pasar petisah, Pasar Padang Bulan, Pasar Petisah, Pusat Pasar dan Pasar Sukararamai tidak mengandung residu profenofos.
4.3. Data Responden Tentang Cabai Merah Segar dan Cabai Merah Giling
Data kuesioner diperoleh dari hasil wawancara terhadap 5 (lima) responden dari 5 (lima) pasar tradisional Kota Medan yang menjual cabai merah segar dan cabai merah giling terlihat pada Tabel 4.2. dan 4.3.
(70)
Tabel 4.2. Data Hasil Penelitian Pada Penjual Cabai Merah Segar Responden Lokasi
Responden Tempat Memper- oleh Cabai Asal Cabai Dari Daerah Mana
Yang Dilakukan Jika Cabai Tidak Habis
Terjual
1 Padang
Bulan
Pusat Pasar/Sentral
Berastagi Selalu Habis
2 Petisah Pusat
Pasar/Sentral
Berastagi Selalu Habis
3 Pusat Pasar/ Sentral
Pusat Pasar/Sentral
Berastagi Selalu Habis
4 Sukaramai Pusat Pasar/Sentral
Berastagi Selalu Habis
5 Aksara Pusat
Pasar/Sentral
Berastagi Selalu Habis
Dari Tabel 4.2. dapat dilihat 5 (lima) responden yang diwawancarai dari 5 (lima) pasar yaitu responden dari Pasar Padang Bulan yang memperoleh cabai dari Pusat Pasar/Sentralyang berasal dari daerah Berastagi dan selalu habis terjual setiap hari.
Responden dari Pasar Petisah yang memperoleh cabai dari Pusat Pasar/Sentral berasal dari daerah Berastagi dan selalu habis terjual setiap hari.
Responden dari Pusat Pasar yang memperoleh cabai dari Pusat Pasar/Sentral berasal dari daerah Berastagi dan selalu habis terjual setiap hari.
Responden dari Pasar Sukaramai yang memperoleh cabai dari Pusat Pasar/Sentral berasal dari daerah Berastagi dan selalu habis terjual setiap hari.
Responden dari Pasar Aksara yang memperoleh cabai dari Pusat Pasar/Sentral berasal dari daerah Berastagi dan selalu habis terjual setiap hari.
(1)
Perhitungan
�������
�������×����.������������� ×
���.��ℎ�����
���.�����������.�������� ��
= Berat
251407
191702× 0,7931 ��/��× 5000��
1�� × 1��× 87 25
= 15,018 g
= 1205,08 ng/g = 1,205 mg/kg
3. Kode contoh : 08.M.07.012
Nama contoh : Cabe giling C
Rata-rata Area Standar : 191702
Rata-rata Area Sampel : 26682
Perhitungan
�������
�������×����.������������� ×
���.��ℎ�����
���.�����������.�������� ��
= Berat
26682
191702× 0,7931 ��/��× 5000��
1�� × 1��× 87 25
= 15,048 g
= 127,64 ng/g = 0,128 mg/kg
(2)
Lampiran VII
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar Lampiran 1. Acetone
(3)
Gambar Lampiran 3. Petroleum Benzine
(4)
Gambar Lampiran 5. Penyaringan setelah di Ultra Turaks
(5)
Gambar Lampiran 7. Pencampuran Iso Oktana Dengan Toluene Ke Dalam Labu Bulat
Gambar Lampiran 8. Larutan Sebanyak 5 ml Dimasukkan Kedalam Tabung Reaksi AA
(6)
Gambar Lampiran 9. Di Injek dengan Kromatografi Gas