EKSTRAKSI CAIR-CAIR SOLVENT EXTRACTION

yang merupakan pelarut umum–dikenal sebagai fase cairan, sedangkan pelarut lain umumnya pelarut organik bertindak sebagai fase organik. Pelarut organik bisa menggunakan yang berdensitas lebih tinggi atau lebih rendah daripada air Schenk et al. 1990. Mekanisme ekstraksi cair-cair dapat dijelaskan dengan pengandaian suatu pelarut organik ditambahkan kedalam cairan mengandung komponen O larut pelarut organik dan W larut air Schenk et al. 1990. Diasumsikan pelarut organik berdensitas lebih kecil daripada air. Setelah proses pengocokan dalam waktu tertentu untuk mencapai kesetimbangan, sebagian besar komponen O akan berpindah ke fase organik. Akan tetapi karena O juga sedikit larut dalam air, sejumlah kecil komponen tetap berada di fase cairan. Sebaliknya dengan komponen W yang tidak larut pelarut organik, akan tetap berada dalam pelarut awal. Jika setelah sekali ekstraksi komponen O tidak terekstrak sempurna 99, ekstraksi dapat diulangi dengan pelarut organik yang baru. Hal ini disebut multiple-step extraction Schenk et al. 1990. Menurut Nur dan Adijuwana 1989, distribusi solut bahan terlarut di antara dua fase akan mengikuti hukum Nernst, yaitu perbandingan konsentrasinya pada suhu tertentu merupakan suatu konstanta kesetimbangan yang disebut koefisien distribusi K D : K D = [S] E [S] O atau K D = [HS] E [HS] O ..... 1 K D = koefisien distribusi [S] E , [HS] E = konsentrasi solut dalam fase pengekstrak [S] O , [HS] O = konsentrasi solut dalam fase awal Koefisien distribusi hanya mempertimbangkan salah satu spesies molekul atau ion. Adapun dalam ekstraksi suatu asam lemah HS yang terdisosiasi dengan K a = [H + ] O [S - ] O [HS] O ; yang ingin diketahui adalah distribusi solut, tanpa memandang bentuknya, yang tersebar pada kedua fase. Untuk itu perlu didefinisikan suatu besaran baru yaitu rasio distribusi D: Konsentrasi total solut dalam fase organik [HS] E D = ---------------------------------------------------- -------------------- .....2 Konsentrasi total solut dalam fase air [HS] O + [S - ] O Dengan sedikit modifikasi dan substitusi K D dan K a ke persamaan D, diperoleh hubungan antara K D dan D sebagai berikut : D = K D {1 + K a [H + ] o } .....3 Persamaan 3 menunjukkan bahwa pada pH rendah [H + ] tinggi, nilai D semakin besar dan mendekati K D , yang berarti sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan organik. Adapun pada pH tinggi [H + ] rendah, nilai D cenderung kecil sehingga sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan air Nur Adijuwana, 1989; Handley, 1991. Jika dilihat sistem solven pelarut dan solut terlarut-nya, di dalam fase organik asam HS diduga mengalami polimerisasi sebagai berikut: HS HS HS 2 fase cair fase organik Peters et al. 1974 dalam salah satu pengamatannya mengemukakan, pada proses ekstraksi asam karboksilat dengan pelarut benzen, asam dalam fase cair tidak terdisosiasi jika pH kurang dari 2. Dalam pemilihan pelarut organik diperlukan beberapa pertimbangan yaitu: kesesuaian pelarut dengan substansi yang diekstrak, kecepatan pembentukan emulsi dengan air; serta secara jelas berbeda densitasnya dengan air densitas 1.00 gml sehingga dapat membentuk lapisan terpisah. Beberapa pelarut organik dengan nilai densitasnya antara lain : kloroform 1.40 gml, diklorometan 1.31 gml, tributil fosfat 0.98 gml, benzene 0.88 gml, metil isobutil keton 0.80 gml, dan eter 0.71 gml Schenk et al. 1990. Tingkat ekstraksi dapat ditentukan dari beberapa faktor: polaritas solven, pH campuran, volume solven dan sampel, serta metode kontak Snyder Kirkland, 1999. Umumnya, ekstraksi maksimum dicapai dengan solven yang mempunyai polaritas P’ serupa dengan nilai P’ komponen yang dikehendaki. Jadi untuk ekstraksi komponen nonpolar digunakan heksan P’=0.1, toluen P’=2.4 dan etil eter P’=2.8. Sebaliknya untuk komponen lebih polar digunakan aseton P’=5.1, asetonitril P’=5.8, atau metanol P’=5.1. Nilai pH dapat diatur baik untuk komponen yang tidak terionisasi pH rendah untuk asam, pH tinggi untuk basa atau senyawa yang mengion. Pada komponen yang tidak mengion, ekstraksi dengan solven nonpolar umum digunakan; sedangkan untuk komponen ion dapat digunakan solven pengekstrak air atau alkoholair-ditambah asam atau basa. Pada analisis dengan kromatografi cair, proses ekstraksi termasuk dalam prosedur sample cleanup pemurnian sampel Snyder Kirkland, 1999. Sampel yang akan dianalisis dengan kromatografi harus diubah dalam bentuk terlarut, sehingga komponen yang tak larut polimer sintetis ikatan silang, cattinta, material inorganik taklarut air, jaringan tanaman atau hewan harus dipisahkan terlebih dahulu. Alasan utama dilakukannya ekstraksi dalam analisis kimia adalah untuk mengisolasimengkonsentratkan analit yang diinginkan, atau memisahkan dari spesies pengganggu interferensi Harris, 1999. Aplikasi ekstraksi cair-cair secara simultan dengan KCKT diteliti oleh Breithaupt 2004 pada penentuan karotenoid sebagai pewarna aditif pangan. Karotenoid diekstrak dari matriks pangan dengan campuran pelarut organik metanoletil asetatpetroleum encer, menggunakan instrumen ASE accelerated solvent extraction. Selanjutnya residu dilarutkan dalam MTBEmetanol, dan langsung diinjeksikan ke KCKT. Analisis recovery penemuan kembali menghasilkan konsentrasi karotenoid berkisar 94–100. Kesimpulan menunjukkan kesesuaian ASE untuk dapat mengekstrak karotenoid dari berbagai macam matriks pangan sehingga dapat digunakan pada analisis rutin. Roch et al. 1995 melakukan penelitian metode ekstraksi cair-cair yang digabungkan dengan solid phase clean-up SPC dan KCKT pada analisis aflatoksin kacang tanah. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut aseton-air 85+15, dilanjutkan tahap SPC memakai eluen kloroform. Residu yang dihasilkan setelah penguapan kloroform dilarutkan dalam pelarut air– asetonitril dan diinjeksikan ke kolom KCKT. Analisis penemuan kembali menghasilkan kisaran 74.1–82.1 dan koefisien variasi 4.4–4.7. Dinyatakan bahwa keberadaan matriks sampel tidak memberikan efek signifikan terhadap presisi metode, yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi yang linier.

C. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI KCKT

Kromatografi didefinisikan sebagai suatu teknik pemisahan komponen dalam campuran melalui proses kesetimbangan ekuilibrium yang dihasilkan dari partisi atau penyerapan adsorpsi diantara dua fase yang berlainan, yaitu fase diam stationary phase yang mempunyai luas permukaan dan fase bergerak mobile phase yang selalu kontak dengan fase pertama Johnson Stevenson, 1991. Campuran komponen dipisahkan dengan cara melewatkan sampel–yang dibawa oleh fase gerak–pada fase diam. Derajat pemisahan ditunjukkan oleh laju pergerakan tiap komponen dengan kecepatan yang berbeda. Pada saat tercapai kesetimbangan, komponen akan terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak. Prinsip dasar untuk mengoptimalkan kromatografi dalam proses pemisahan ialah mencari kondisi yang menyebabkan perbedaan laju perpindahan paling besar. Pemisahan paling baik diperoleh pada keadaaan fase diam mempunyai luas kontak maksimal dan fase gerak berpindah dengan cepat untuk meminimalkan efek difusi Gritter et al. 1991. Untuk memperoleh permukaan fase diam yang luas digunakan adsorben penjerap berupa serbuk halus; sedangkan untuk memacu pergerakan fase gerak digunakan tekanan tinggi. Kondisi ini menghasilkan teknik kromatografi cair yang disebut kromatografi cair tekanan tinggi KCTT = HPLCHigh Performance Liquid Chromatography; yang kemudian diubah menjadi kromatografi cair kinerja tinggi, disingkat KCKT tetap HPLC. Beberapa kelebihan KCKT dibandingkan metode kromatografi cair lain, yaitu: Johnson Stevenson, 1991 a. cepat, waktu analisa lazim kurang dari 1 jam. Banyak analisis dapat dilakukan dalam 15-30 menit, b. daya pisah baik, c. peka, detektor unik. Detektor serapan UV dapat mendeteksi berbagai senyawa dalam jumlah nanogram 10 -9 g; d. kolom dapat dipakai kembali, e. ideal untuk molekul besar dan ion, f. mudah memperoleh kembali cuplikan. g. pelarut mudah dihilangkan dengan penguapan Dalam KCKT, sebagai fase diam umum digunakan suatu partikel silika berpori mikro yaitu C 18 ODS=octadecylsilane Harris, 1999. Adapun untuk fase gerak dilihat dari kemampuan relatifnya mengelusi solut. Kemampuan elusi relatif fase gerak dinyatakan dengan eluent strength Tabel 1, yang merupakan ukuran penyerapan energi. Semakin besar eluent strength, semakin cepat solut terelusi dari kolom Harris, 1999. Tabel 1 Eluotropik dan UV cutoff beberapa eluen pada KCKT Eluen Eluent strength UV cutoff Heksan 0.01 195 Toluen 0.22 284 Kloroform 0.26 245 Dietil eter 0.43 215 Asetonitril 0.52 190 Tetrahidrofuran 0.53 212 Metanol 0.70 205 Sumber : Harris 1999 Di antara dua fase yang berperan, salah satu selalu harus lebih polar daripada yang lain. Jika yang lebih polar fase diam disebut kromatografi normal normal-phase chromatography, sedangkan jika fase diam kepolarannya lebih rendah dikenal sebagai kromatografi fase balik reversed- phase chromatography Gritter et al. 1991. Pada tipe normal-phase chromatography, semakin polar fase gerak semakin tinggi eluent strength; sedangkan untuk tipe reversed-phase chromatography, semakin lemah kepolaran eluen semakin besar eluent strength Harris, 1999. Urutan elusi pada kromatografi fase balik juga bisa dikaitkan dengan sifat kehidrofobikan solut yang meningkat. Semakin mudah solut larut dalam air, makin cepat komponen tersebut terelusi Johnson Stevenson 1991. Kromatografi fase balik mempunyai keuntungan dapat mengeliminasi adanya peak tailing karena fase diam mempunyai sedikit sisi aktif yang memiliki daya absorpsi kuat terhadap solut penyebab tailing. Kromatografi