II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SIKLAMAT
Siklamat merupakan nama grup yang meliputi senyawa kimia cyclamic acid, sodium cyclamate, dan calcium cyclamate, dengan rumus molekul
C
6
H
12
NO
3
S. Siklamat merupakan bahan kimia sintetis yang dibuat dari cyclohexylamine melalui proses sulfonasi dari chlorosulfonic acid dan
sulfamic acid, yang diikuti dengan netralisasi dengan hidroksida Branen et al. 1990. Larutan siklamat stabil terhadap panas, cahaya dan udara dalam
rentang pH yang lebar. Sifat fisikokimia beberapa senyawa siklamat antara lain asam siklamat
mempunyai solubilitas cairan baik 1 g7.5 ml bersifat asam kuat dengan pH 10 larutan cair 0.8–1.6. Sodium dan kalsium siklamat bersifat elektrolit
kuat, terionisasi dengan kuat dalam larutan encer, serta mempunyai sedikit kapasitas bufer. Garam siklamat dalam bentuk kristal mudah larut air 1 g4–5
ml pada konsentrasi jauh melebihi normal, serta mempunyai kelarutan terbatas dalam minyak dan pelarut non polar Furia, 1980. Analisis siklamat
lebih jauh dengan KCKT dijelaskan pada subbab D. Siklamat stabil terhadap suhu tinggi dan suhu rendah serta mudah larut
dalam air sehingga banyak digunakan sebagai pemanis non kalori dalam produk-produk minuman, confectionery, dessert, makanan diet, serta produk
olahan buah sayur. Siklamat mempunyai intensitas kemanisan 30x sukrosa, tidak memberikan after taste, serta mempunyai efek sinergis pada penggunaan
dengan sakarin pada perbandingan 10:1 Branen et al. 1990. Kajian keamanan siklamat dapat dilihat pada subbab F.
B. EKSTRAKSI CAIR-CAIR SOLVENT EXTRACTION
Sebelum analisis siklamat menggunakan KCKT, perlu dilakukan preparasi untuk memisahkan siklamat dari matriks pangan. Tahap preparasi
dilakukan dengan metode solvent extraction ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan metode pemisahan komponen dalam 2
pelarut yang tak saling campur immiscible. Salah satu pelarut–biasanya air
yang merupakan pelarut umum–dikenal sebagai fase cairan, sedangkan pelarut lain umumnya pelarut organik bertindak sebagai fase organik. Pelarut
organik bisa menggunakan yang berdensitas lebih tinggi atau lebih rendah daripada air Schenk et al. 1990.
Mekanisme ekstraksi cair-cair dapat dijelaskan dengan pengandaian suatu pelarut organik ditambahkan kedalam cairan mengandung komponen O
larut pelarut organik dan W larut air Schenk et al. 1990. Diasumsikan pelarut organik berdensitas lebih kecil daripada air. Setelah proses
pengocokan dalam waktu tertentu untuk mencapai kesetimbangan, sebagian besar komponen O akan berpindah ke fase organik. Akan tetapi karena O juga
sedikit larut dalam air, sejumlah kecil komponen tetap berada di fase cairan. Sebaliknya dengan komponen W yang tidak larut pelarut organik, akan tetap
berada dalam pelarut awal. Jika setelah sekali ekstraksi komponen O tidak terekstrak sempurna 99, ekstraksi dapat diulangi dengan pelarut organik
yang baru. Hal ini disebut multiple-step extraction Schenk et al. 1990. Menurut Nur dan Adijuwana 1989, distribusi solut bahan terlarut di
antara dua fase akan mengikuti hukum Nernst, yaitu perbandingan konsentrasinya pada suhu tertentu merupakan suatu konstanta kesetimbangan
yang disebut koefisien distribusi K
D
:
K
D
= [S]
E
[S]
O
atau K
D
= [HS]
E
[HS]
O
..... 1
K
D
= koefisien distribusi [S]
E
, [HS]
E
= konsentrasi solut dalam fase pengekstrak [S]
O
, [HS]
O
= konsentrasi solut dalam fase awal Koefisien distribusi hanya mempertimbangkan salah satu spesies
molekul atau ion. Adapun dalam ekstraksi suatu asam lemah HS yang terdisosiasi dengan K
a
= [H
+
]
O
[S
-
]
O
[HS]
O
; yang ingin diketahui adalah distribusi solut, tanpa memandang bentuknya, yang tersebar pada kedua fase.
Untuk itu perlu didefinisikan suatu besaran baru yaitu rasio distribusi D: Konsentrasi total solut dalam fase organik
[HS]
E
D = ---------------------------------------------------- -------------------- .....2 Konsentrasi total solut dalam fase air
[HS]
O
+ [S
-
]
O
Dengan sedikit modifikasi dan substitusi K
D
dan K
a
ke persamaan D, diperoleh hubungan antara K
D
dan D sebagai berikut :
D = K
D
{1 + K
a
[H
+
]
o
} .....3
Persamaan 3 menunjukkan bahwa pada pH rendah [H
+
] tinggi, nilai D semakin besar dan mendekati K
D
, yang berarti sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan organik. Adapun pada pH tinggi [H
+
] rendah, nilai D cenderung kecil sehingga sebagian besar asam HS terdapat dalam lapisan air
Nur Adijuwana, 1989; Handley, 1991. Jika dilihat sistem solven pelarut dan solut terlarut-nya, di dalam fase organik asam HS diduga mengalami
polimerisasi sebagai berikut: HS
HS HS
2
fase cair fase organik
Peters et al. 1974 dalam salah satu pengamatannya mengemukakan, pada proses ekstraksi asam karboksilat dengan pelarut benzen, asam dalam
fase cair tidak terdisosiasi jika pH kurang dari 2. Dalam pemilihan pelarut organik diperlukan beberapa pertimbangan
yaitu: kesesuaian pelarut dengan substansi yang diekstrak, kecepatan pembentukan emulsi dengan air; serta secara jelas berbeda densitasnya dengan
air densitas 1.00 gml sehingga dapat membentuk lapisan terpisah. Beberapa pelarut organik dengan nilai densitasnya antara lain : kloroform 1.40 gml,
diklorometan 1.31 gml, tributil fosfat 0.98 gml, benzene 0.88 gml, metil isobutil keton 0.80 gml, dan eter 0.71 gml Schenk et al. 1990.
Tingkat ekstraksi dapat ditentukan dari beberapa faktor: polaritas solven, pH campuran, volume solven dan sampel, serta metode kontak
Snyder Kirkland, 1999. Umumnya, ekstraksi maksimum dicapai dengan solven yang mempunyai polaritas P’ serupa dengan nilai P’ komponen yang
dikehendaki. Jadi untuk ekstraksi komponen nonpolar digunakan heksan P’=0.1, toluen P’=2.4 dan etil eter P’=2.8. Sebaliknya untuk komponen
lebih polar digunakan aseton P’=5.1, asetonitril P’=5.8, atau metanol P’=5.1. Nilai pH dapat diatur baik untuk komponen yang tidak terionisasi
pH rendah untuk asam, pH tinggi untuk basa atau senyawa yang mengion. Pada komponen yang tidak mengion, ekstraksi dengan solven nonpolar umum
digunakan; sedangkan untuk komponen ion dapat digunakan solven pengekstrak air atau alkoholair-ditambah asam atau basa.
Pada analisis dengan kromatografi cair, proses ekstraksi termasuk dalam prosedur sample cleanup pemurnian sampel Snyder Kirkland,
1999. Sampel yang akan dianalisis dengan kromatografi harus diubah dalam bentuk terlarut, sehingga komponen yang tak larut polimer sintetis ikatan
silang, cattinta, material inorganik taklarut air, jaringan tanaman atau hewan harus dipisahkan terlebih dahulu. Alasan utama dilakukannya ekstraksi dalam
analisis kimia adalah untuk mengisolasimengkonsentratkan analit yang diinginkan, atau memisahkan dari spesies pengganggu interferensi Harris,
1999. Aplikasi ekstraksi cair-cair secara simultan dengan KCKT diteliti oleh
Breithaupt 2004 pada penentuan karotenoid sebagai pewarna aditif pangan. Karotenoid diekstrak dari matriks pangan dengan campuran pelarut organik
metanoletil asetatpetroleum encer, menggunakan instrumen ASE accelerated solvent extraction. Selanjutnya residu dilarutkan dalam
MTBEmetanol, dan langsung diinjeksikan ke KCKT. Analisis recovery penemuan kembali menghasilkan konsentrasi karotenoid berkisar 94–100.
Kesimpulan menunjukkan kesesuaian ASE untuk dapat mengekstrak karotenoid dari berbagai macam matriks pangan sehingga dapat digunakan
pada analisis rutin. Roch et al. 1995 melakukan penelitian metode ekstraksi cair-cair
yang digabungkan dengan solid phase clean-up SPC dan KCKT pada analisis aflatoksin kacang tanah. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut aseton-air
85+15, dilanjutkan tahap SPC memakai eluen kloroform. Residu yang dihasilkan setelah penguapan kloroform dilarutkan dalam pelarut air–
asetonitril dan diinjeksikan ke kolom KCKT. Analisis penemuan kembali menghasilkan kisaran 74.1–82.1 dan koefisien variasi 4.4–4.7. Dinyatakan
bahwa keberadaan matriks sampel tidak memberikan efek signifikan terhadap presisi metode, yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi yang linier.
C. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI KCKT