Pencernaan dan Penyerapan Pati

14 Perbedaan tingkat kekerasan dan kerenyahan berkaitan erat dengan perbedaan komposisi bahan dasarnya, terutama komposisi amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi dalam bahan akan mampu meningkatkan kerenyahan dari keripik yang dihasilkan karena amilosa dalam bahan akan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air dalam jumlah yang lebih banyak. Dengan demikian, saat penggorengan, air akan menguap dan meninggalkan ruang kosong dalam bahan dan membuat keripik lebih renyah Rahmanto, 1994.

2. Pencernaan dan Penyerapan Pati

Karbohidrat dari pati yang akan diserap tubuh harus diubah menjadi penyusun-penyusunnya, yaitu glukosa. Enzim yang dapat memecah karbohidrat yaitu enzim α-amilase yang terdapat dalam air liur yang dihasilkan oleh kelenjar saliva, dan enzim yang dihasilkan oleh pankreas. Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam mulut oleh enzim α-amilase dalam air liur. Enzim α-amilase ini stabil pada kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva menjadi inaktif oleh pH rendah dalam lambung. Enzim α-amilase yang berasal dari pankreas berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi unit-unit dimerik terutama maltosa. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glucoamylase dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida unit-unit heksosa oleh enzim-enzim disakaridase Sardesai, 2003. Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah. Proses penyerapan dibantu oleh carrier atau pembawa khusus yang bersifat ATP- dependent. Glukosa merupakan monosakarida yang paling cepat diserap oleh usus halus. Proses penyerapan fruktosa terjadi melalui proses difusi dan berlangsung lambat. Karbohidrat yang dikonsumsi makhluk hidup akan dicerna dan diserap pada laju yang berbeda-beda dan juga akan diubah menjadi fraksi pati yang berbeda-beda pada usus kecil. Daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati sehingga 15 menjadi unit-unit yang lebih kecil gula-gula sederhana seperti maltosa atau glukosa dan alfa limit dekstrin yang dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan pangan, dan serat pangan. Semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaannya semakin besar sehingga pati lebih cepat dicerna. Serat pangan dapat menyebabkan penurunan waktu transit pada usus halus sehingga waktu pencernaan lebih cepat. Menurut Tharanthan dan Mahadevam 2003, pencernaan terhadap pati dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang memperlambat pencernaan pati adalah bentuk makanan yang mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, dinding sel granula pati yang tidak lentur yang dapat menghalangi pembengkakan dan dispersi pati, dan kemampuan untuk membentuk kristal. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi hidrolisis pati adalah waktu transit, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Proses pengolahan juga dapat mempengaruhi daya cerna pati. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Faktor yang paling mendukung hidrolisis ini adalah enzim amilase yang bertindak sebagai biokatalisator. Pati dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi pati berdasarkan kecepatan pencernaannya, yaitu RDS Rapidly Digestible Starch, SDS Slowly Digestible Starch, RS Resistant Starch. RDS adalah pati yang dapat dicerna dengan cepat. Pati yang dapat dicerna dengan cepat akan meningkatkan persediaan glukosa dalam tubuh dengan cepat. SDS adalah pati yang lambat dicerna sehingga menyebabkan kenaikan glukosa dalam darah menjadi lambat. Resistant starch adalah fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus Haralampu, 2000. Resistant starch tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim amilolitik pada manusia yang sehat. Dengan demikian, pembentukan resistant starch dapat menurunkan daya cerna pati. 16 Pati yang lambat dicerna dan resistant starch bagus untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus dan obesitas karena kenaikan glukosa darah menjadi lambat. Pangan yang dikonsumsi sebaiknya memiliki SDI Starch Digestion Index yang rendah. F. PANGAN FUNGSIONAL Definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal sampai saat ini belum ditetapkan. Menurut Badan POM 2005, definisi pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen, tidak menimbulkan kontradiksi, dan tidak memberikan efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar yang terkandung dalam pangan bersangkutan, yaitu : 1 serat pangan dietary fiber; 2 oligosakarida; 3 gula alkohol; 4 asam lemak tidak jenuh jamak poly unsaturated fatty acid; 5 peptida dan protein tertentu; 6 glikosida dan isoprenoid; 7 polifenol dan isoflavon; 8 kolin dan lesitin; 9 bakteri asam laktat; 10 fitosterol; dan 11 vitamin dan mineral tertentu. Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine 1994 menyatakan bahwa yang tergolong pangan fungsional adalah pangan yang konsentrasi satu atau lebih bahan bakunya telah dimodifikasi atau dimanipulasi untuk meningkatkan kontribusinya sebagai pangan yang menyehatkan. Menurut konsensus pada The First International Conference on East- West Perspective on Functional Foods yang diorganisir dan disponsori oleh International Life Sciences Institute ILSI tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan 17 manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya Clydesdale, 1999. Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional bersifat membantu pencegahan suatu penyakit Badan POM, 2005. G. INDEKS GLIKEMIK Definisi indeks glikemik pangan IG, menurut Rimbawan dan Siagian 2004, adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. IG merupakan suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi suatu makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar. IG dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu proses pengolahan, kadar amilosa amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, kadar antigizi pangan, dan daya cerna pati. Proses pengolahan dapat mengubah karakteristik kimia ubi jalar. Menurut Astawan dan Widowati 2006, ubi jalar mentah yang digoreng memiliki IG yang paling rendah 47 dibandingkan ubi jalar mentah yang dikukus 62 dan dipanggang 80. Rendahnya IG ubi jalar yang digoreng kemungkinan disebabkan oleh pengaruh minyak pada proses penggorengan. Pangan berlemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga penyerapan di dalam usus halus juga lambat. Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel Ludwig, 2000. Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki IG lebih tinggi daripada karbohidrat kompleks. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki IG sangat kecil IG = 23, sedangkan sukrosa memiliki IG sedang IG = 65. Selain itu, kehadiran gula di dalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim 18 sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan IG pangan tersebut semakin tinggi Rimbawan dan Siagian, 2004. Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempunyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna Meyer, 1973. Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna Rimbawan dan Siagian, 2004. Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Serat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah juga rendah. Selain menurunkan IG pangan, serat juga dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit saluran pencernaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati 2006, total serat pangan ubi jalar klon unggul BB00105.10 yaitu sebesar 51.37 bk, dan kandungan serat larut sebesar 12.81 bk. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mampunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis, berlemak rendah. Menurut Ludwig 2000, laju penyerapan karbohidrat dan indeks glikemik akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan rendah lemak. Setiap jenis makanan memiliki IG yang berbeda-beda. Makanan yang memiliki IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula 19 darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG adalah sebagai berikut : 1 bahan pangan dengan IG rendah 55, 2 bahan pangan dengan IG sedang 55-69, dan 3 bahan pangan dengan IG tinggi 70 Foster-Powell et al., 2002. Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah plasma glucose. Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15 – 45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langherns pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pengubahan glukosa menjadi glikogen Wardlaw, 1999. Kadar glukosa darah normal menurut Sardesai 2003 berkisar antara 55 – 140 mgdl. Kadar glukosa darah minimum sebesar 40 – 60 mgdl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjar adrenal Wardlaw, 1999. Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones 2002, pangan yang memiliki IG tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes baik tipe I maupun tipe II dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung IG rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki IG rendah akan meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas Ragnhild et al., 2004 . 20

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar, minyak goreng, tepung terigu, garam, gula, baking powder, pelembut adonan bakerine plus, bawang merah, daun seledri, kelapa parut, margarin, ragi, telur, air destilata, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4 , NaOH-Na 2 S 2 O 3 , H 3 BO 3 , indikator merah metil dan biru metil, HCl, pelarut dietilpetroleum eter, NaOH, alkohol 95, buffer Na-Fosfat 0.05 M, asam asetat 1 N, larutan iod, enzim α-amilase, pereaksi dinitrosalisilat, larutan maltosa standar, buffer Na-Fosfat 0.1 M, suspensi enzim termamil, suspensi enzim pankreatin, aseton, dan etanol 78. Alat-alat yang dibutuhkan antara lain alat penggorengan, termometer suhu tinggi, mortar, penggiling mie, slicer, oven, disc mill, gelas ukur, gelas piala, pipet ukur, mikro pipet, sentrifus, corong, buchner, kertas saring, pisau, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat destilasi, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas lemak, erlenmeyer, neraca analitik, hot plate, inkubator, spektrofotometer, tabung reaksi, kromameter, mesin amilograf, dan texture analyzer.

B. METODE PENELITIAN 1.

Persiapan Bahan Bahan baku utama dalam pembuatan produk olahan ubi jalar adalah tepung ubi jalar. Ubi jalar mentah terlebih dahulu diolah menjadi tepung ubi jalar. Diagram pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 3.