2.2.3.6
Prasangka orang Jawa
Prasangka yang dimiliki penduduk Jawa tidak banyak dan tidak keras kepala, umumnya memperlihatkan perasaan terpuji dan ramah. Nasionalisme
mereka sangat kuat, meskipun sangat menyanjung cerita tradisional tentang hal- hal luar biasa yang terjadi pada masyarakat Jawa kuno.
2.2.3.7 Karakter moral orang Jawa
Masyarakat Jawa sebenarnya merupakan penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Dalam hubungan domestik, mereka baik,
lembut, kasih sayang dan penuh perhatian. Dalam hubungannya dengan masyarakat umum, mereka orang yang patuh, jujur dan beriman, memperlihatkan
sikap yang bijaksana, jujur, jelas dan berterus terang. Orang Jawa memiliki pembawaan yang tenang, pada umumnya bebas dan royal jika dilihat dari barang-
barang yang dimilikinya. Keramahan adalah sifat yang umum mereka miliki, orang Jawa juga sangat
sensitif dan pemalu meskipun sebenarnya ambisius untuk mendapatkan kekuasaan dan nama baik.
2.2.4. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Menurut Hildred Geertz dalam Magnis Suseno 2003: 38 bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu
sebagai berikut:
2.2.4.1 Prinsip kerukunan
2.2.4.1.1 Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan
tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan
dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan tetap.
Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan di dapat dengan sendirinya selama tidak diganggu,
seperti juga permukaan laut dengan sendirinya halus jika tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus.
2.2.4.1.2 Berlaku rukun Sebagai cara bertindak, kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk
menomorduakan bahkan kalau perlu melepaskan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kesepakatan bersama. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh
orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.
Suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik adalah tata krama Jawa yang mengatur semua bentuk interaksi lengsung di luar lingkungan keluarga
inti dan lingkungan teman-teman akrab. Tata krama itu menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan.
Praktek gotong royong merupakan wujud dari kerukunan, dengan gotong royong dapat menimbulkan sikap saling membantu dan melakukan pekerjaan
secara bersama demi kepentingan seluruh desa. Orang Jawa juga tidak jemu-jemu menunjuk pada keunggulan musyawarah kalau dibandingkan dengan cara Barat
dalam mengambil keputusan. Keterikatan pada kerukunan menuntut dari pihak- pihak yang berlawanan untuk melepaskan keinginan pribadi yang paling mungkin
akan menimbulkan keresahan sosial terbuka. 2.2.4.1.3 Rukun dan sikap hati
Prinsip kerukunan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam masyarakat Jawa. Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala
kelakuan yang bisa menimbulkan konflik terbuka. Mengusahakan kerukunan tidak dengan sendirinya menjamin sikap hati mau berdamai, mau mengerti, apalagi mau
mengembangkan rasa simpati, melainkan orang tersebut sanggup untuk membawa diri dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat.
Jadi prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial
untuk mengintegrasikan kepentingannya demi kesejahteraan kelompok. 2.2.4.2
Prinsip hormat Kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola
interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, dan
keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu setiap orang wajib mempertahankannya.
Rasa wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap
tuntutan-tuntutan prinsip hormat. 2.2.4.3
Etika keselarasan sosial Dalam pandangan Jawa prinsip-prinsip keselarasan memang harus
didahulukan terhadap hukum positif. Orang Jawa harus menerima masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dicitakan.
Secara moral dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip keselarasan hanya berlaku prima facie, artinya bahwa secara moral suatu tindakan yang mengganggu
keselarasan barangkali kadang dapat dibenarkan, bahkan secara moral dapat dituntut.
Ki Ageng Suryomentaram yang merupakan pemimpin atau guru dari Kebatinan Kawruh Begja, mendapat inspirasi dari aliran kebatinan Sumarah
mengenai susunan keorganisasiannya. Ajaran psikologinya disebut psikologi dan kepribadian Kramadangsa mengenai psikologi dan kepribadian dari orang-orang
timur, khususnya orang jawa. Dalam uraian-uraian Ki Ageng Suryomentaram mengemukakan mengenai struktur kejiwaan manusia, yaitu:
1. Keinginan : sebagai asal usul yang bersifat abadi. Dari keinginan ini,
tumbuhlah: 2.
Rasa hidup, yang menjadi pendorong semua tindakan manusia. Rasa hidup ini mendiferensiasi fungsional koordinatif dalam kemampuan-kemampuan
rasa, cipta, dan karsa, untuk melaksanakan tugas hidup dan meneruskan jenis manusia.
3. Dalam hidup di dunia ini manusia dengan Rasa Aku Kramadangsa
melakukan pengembangan akal budi dalam bidang-bidang : 1.
Rasa senang dan rasa susah 2.
Rasa sama 3.
Rasa damai 4.
Rasa tabah 5.
Rasa iri dan sombong 6.
Rasa sesal dan khawatir 7.
Rasa bebas
2.2.5. Kebudayaan Jawa