1 Dukungan sosial membantu individu untuk merasa lebih baik terhadap
dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain. 2
Ketika suatu kejadian dirasakan ambigu atau tidak dapat dipahami, orang lain dapat menawarkan informasi-informasi yang penting tentang
bagaimana cara memahami dan mengatasi kejadian itu. 3
Memberikan bantuan secara langsung yang berbentuk barang atau jasa untuk orang lain.
4 Membantu menghabiskan waktu dengan orang lain dalam suatu aktivitas
reaksi atau waktu luang, dan menolong individu mengatasi situasi yang sulit dengan menambahkan perasaan yang positif.
2.4. Subjective Well-Being
2.4.1 Pengertian Subjective Well-Being
Menurut Pavot dan Diener dalam Linley dan Joseph 2004: 680 subjective well-being mewakili penilaian seseorang terhadap diri mereka sendiri, dan
penilaian tersebut dapat berdasarkan kepada respon kognitif teori dan emosional. Penilaian seperti itu adalah informasi pokok dalam menentukan kualitas hidup dan
kepuasan well-being seseorang secara keseluruhan, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan kualitas hidup yang baik jika elemen dasar dari martabat dan
kebebasan manusia tidak ada. Menurut Diener 2009: 12 definisi dari subjective well-being dan
kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective well-being bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan
berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, subjective well-being merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang
merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari subjective well-being jika digunakan dalam percakapan sehari-hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar
daripada perasaan negatif. Merujuk pada pendapat Campbell dalam Diener, 2009: 13 bahwa subjective well-being terletak pada pengalaman setiap individu yang
merupakan pengukuran positif dan secara khas mencakup pada penilaian dari seluruh aspek kehidupan seseorang.
Veenhoven dalam Eid Larsen, 2007:45 mengatakan bahwa Diener mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian secara positif dan baik
terhadap kehidupan. Yang mana seseorang dikatakan memiliki subjective well- being yang tinggi apabila ia mengalami kepuasan hidup dan sering bersuka cita,
serta jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan Diener, 2009: 25.
Lebih lanjut, Veenhoven mendefinisikan kebahagiaan hampir sama dengan definisi subjective well-being yang diungkapkan oleh Diener, dkk. Dalam
pandangannya, makna kebahagiaan sama dengan kepuasan hidup dan subjective well-being Veenhoven dalam Eid Larsen, 2007: 45.
Diener, et.al dalam Eid dan Larsen 2008: 45, menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika mengalami kepuasan
hidup, sering merasakan kegembiraan, dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan
memiliki subjective well-being rendah jika tidak puas dengan kehidupannya,
mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa subjective well- being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari
evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis.
2.4.2 Aspek Subjective Well-Being