31 Konsepsi dan pendekatan tradisional pendidikan nilai ini dinilai
tidak memberi prinsip yang memandu untuk mendefinisikan kebajikan mana yang sungguh berharga untuk diikuti. Kenyataannya, para guru pada
akhirnya berujung pada proses penanaman nilai yang tergantung pada kepercayaan sosial, kultural dan personal. Untuk mengatasi hal tersebut
Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klarifikasi nilai value clarification approach. Pendekatan ini
bertolak dari asumsi bahwa tidak ada jawaban benar satu-satunya terhadap suatu dilema moral tetapi di situ ada nilai yang dipegang sebagai dasar
berpikir dan berbuat. Dengan kata lain, pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal
fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya dimana Piaget
menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah, sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada
pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan alternatif pemecahan terhadap suatu dilemma moral melalui proses klarifikasi bernalar.
Kedua teori perkembangan moral ini memiliki visi dan misi yang sama dan sampai dengan saat ini menjadi landasan dan kerangka berpikir
pendidikan nilai di dunia Barat yang dengan jelas menitikberatkan pada peranan pikiran manusia dalam mengendalikan perilaku moralnya. Tampak
jelas di situ bahwa pendidikan nilai atas dasar teori Piaget dan Kohlberg tersebut sangat kental dengan pendidikan nilai yang bersifat sekuler tidak
mempertimbangan bahwa di dunia ini ada nilai religius yang melandasi kehidupan individu dan masyarakat yang tidak bisa sepenuhnya didekati
secara rasional.
D. Deskripsi Model
1. Kerangka Psiko-pedagogik
Diperlukannya pendidikan yang menyentuh aspek pengembangan karakter tidak saja dirasakan bangsa Indonesia yang memang masih sedang
berbenah diri menuju masyarakat berkeadaban. Namun, negara maju sekalipun seperi Amerika Serikat merasakan hal yang sama. Kebutuhan
32 dimaksud lebih didorong oleh adanya kenyataan semakin menurunnya
moralitas warga negara terutama sejak memasuki era global satu dekade terakhir ini. Seperti yang dikemukan oleh Lickona 1992 di Amerika
dirasakan telah terjadinya penurunan kualitas moralitas di kalangan pemuda termasuk pada kaum terdidik. Berdasarkan hasil berbagai survey dilaporkan
sebagai berikut. Sekitar 41 mengendarai mobil dalam keadaan mabuk atau dalam pengaruh narkoba; 33 menipu teman baiknya mengenai hal
yang penting; 38 berbohong dalam melaporkan pajak pendapatan; 45 termasuk di dalamnya 49 suami dan 44 istri berselingkuh.
Data tersebut melukiskan bahwa dalam masyarakat Barat, yang secara ekonomi termasuk masyarakat modern berbasis industri, terdapat
berbagai persoalan moral yang dirasakan perlu mendapat perhatian pendidikan kewarganegaraan sebagai leading sector pendidikan karakter.
Secara lebih rinci masalah moralitas yang tampak dalam masyarakat Barat adalah sebagai berikut.
• Vandalime Vandalism.
• Kekerasan violence • Mencuri Stealing.
• Menyontek Cheating. • Tidak hormat pada pejabat publik Disrespect for authority.
• Kekejaman terhadap teman sebaya Peer cruelty. • Menyerang keyakinan orang lain yang berbeda Bigotry.
• Berbicara kasar tidak pantas tidak wajar Bad language. • Perkosaan dan pelecehan seksual Sexual precosity and abuse.
• Bertambahnya orientasi pada diri sendiri dan menurunnya tanggung jawab sebagai warganegara increasing sel-centeredness and declining
civic responsibility. • Perilaku merusak diri sendiri Self-destructive behavior.
Melihat keadaan seperti itu, maka dirasakan perlunya upaya pendidikan karakter yang dilakukan secara menyeluruh dengan
pertimbangan sebagai berikut. • Pendidikan karakter merupakan suatu kebutuhan sosiokultural yang jelas
dan mendesak bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadaban.
33 • Pewarisan nilai antargenerasi dan dalam satu generasi merupakan
wahana sosio-psikologis dan selalu menjadi tugas dari proses peradaban.
• Peranan sekolah sebagai wahana psiko-pedagogis dan sosio- pedagogis yang berfungsi sebagai kawasan pendidikan karakter
menjadi semakin penting, pada saat di mana hanya sebagian kecil anak yang mendapat pendidikan karakter dari orang tuanya di samping
peranan pranata sosial lainnya termasuk pranata keagamaan yang semakin kecil.
• Setiap masyarakat terdapat landasan etika umum, yang bersifat universal melintasi batas ruang dan waktu, sekalipun dalam masyarakat
pluralistik yang mengandung banyak potensi terjadinya konflik nilai. • Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan karakter
karena inti dari demokrasi adalah pemerintahan yang berakar dari rakyat, dilakukan oleh wakil pembawa amanah rakyat, dan mengusung
komitmen mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. • Persoalan yang selalu dihadapi baik individu maupun masyarakat yang
amat sulit dipecahkan adalah dilema nilai dan atau moral. • Terdapat dukungan yang mendasar dan luas bagi pendidikan karakter
di sekolah-sekolah. • Komitmen yang kuat terhadap pendidikan karakter sangatlah esensial
untuk menarik dan membina guru-guru yang berkeadaban dan profesional.
• Pendidikan karakter adalah pekerjaan yang dapat dan harus dilakukan sebagai suatu keniscayan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara disamping sebagai anggota masyarakat dunia. Dilihat dari substansi dan prosesnya, Lickona 1992
mengatakan bahwa yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan kewarganegaraan PKn adalah karakater yang baik good character yang
di dalamnya mengandung tiga dimensi nilai moral sebagai berikut. a. Wawasan
Moral Moral Knowing yang mencakup: 1 Kesadaran moral Moral awareness
2 Wawasan nilai moral Knowing moral values
34 3 Kemampuan mengambil pandangan orang lain Perspective taking
4 Penalaran moral Moral reasoning 5 Mengambil keputusan Decision-making
6 Pemahaman diri sendiri Self-knowledge
b. Perasaan Moral Moral Feeling yang mencakup:
1 Kata hati atau nurani Conscience 2 Harapan diri sendiri Self-esteem
3 Merasakan diri orang lain Empathy 4 Cinta kebaikan Loving the good
5 Kontrol diri Self-control 6 Merasakan diri sendiri Humility
c. Perilaku Moral Moral Action yang mencakup:
1 Kompetensi Competence 2 Kemauan Will
3 Kebiasaan Habit
Ketiga domain moralitas tersebut satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Artinya, wawasan, perasaan
atau sikap, dan perilaku moral merupakan tiga hal yang secara psikologis bersinergi. Contohnya, seseorang yang mengambil keputusan untuk
mengeluarkan zakat atau memberi infaq seyogyanya dilandasi oleh perasaan keikhlasan yang diwujudkan dalam kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Kerangka Operasional Metodologik