20 ini memerlukan kemampuan berkomunikasi tingkat tinggi karena bukan
saja harus menguasai substansi secara komprehensif namun juga harus memahami psikologi massa, teknik-teknik persuasi, kemampuan marketing,
dan lain-lain. Di samping itu, mahasiswa yang memiliki potensi kecerdasan linguistik, ajang show case ini merupakan pengalaman berharga untuk
mengasah bakat dan kemampuannya.
C. Landasan Teoretik
1. Paradok dalam kehidupan sebagai tantangan
Secara kasat mata kita menyaksikan betapa masih lebarnya kesenjangan antara konsep dan muatan nilai yang tercermin dalam sumber-
sumber normatif konstitusional dengan fenomena sosial, kultural, politik, ideologis, dan religiositas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara Indonesia sampai dengan saat ini. Dalam media massa baik cetak maupun elektronik, baik di koran, di televiisi, maupun di jaringan
internet setiap saat kita menyaksikan kondisi paradoksal antara nilai dan fakta, seperti tindak kekerasan, pelanggaran lalu lintas, kebohongan publik,
arogansi kekuasaan, korupsi kolektif, kolusi dengan baju profesionalisme, nepotisme lokal dan institusional, penyalahgunaan wewenang, konflik
antarpemeluk agama, konflik antaretnik, pemalsuan ijazah, konflik buruh dengan majikan, konflik antara rakyat dengan penguasa, demonstrasi yang
cenderung anarkis, koalisi antar partai secara kontekstual dan musiman, politik uang, kecurangan dalam pelaksanaan pemilu dan pemilukada,
otonomi daerah yang berdampak tumbuhnya etnosentrisme, dan banyak lagi yang lainnya. Bukankah semua pihak yang terlibat dalam situasi
paradoksal itu adalah orang-orang yang sebagian besar berpendidikan dan mengetahui bahkan mungkin mengerti bahwa dalam kehidupan ini nilai
merupakan unsur pemersatu secara sosiopsikologis dan sosiokultural? Terkait dengan hal tersebut, Alisyahbana 1976 mengatakan bahwa “Values
as integrating forces in personality, society and culture”--nilai merupakan kekuatan perekat-pemersatu dalam diri, masyarakat, dan kebudayaan.
Tampaknya sampai dengan saat ini kita sedang berada dalam salah satu dimensi krisis multidimensi, yakni krisis nilai-moral, atau ‘darurat nilai-moral’.
21 Jika kita menganalisis misi utama hidup bernegara-bangsa
Indonesia, kita dapat mengambil makna dari pernyataan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” dalam teks
Proklamasi ; dan “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … dan seterusnya, dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945; serta kata-kata
retoris “ Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya” dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, sungguh mencerminkan bahwa
kita sebagai bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan yang eksistensi dan perkembangannya harus selalu diupayakan dengan komitmen
nilai kebangsaan yang sangat tinggi. Namun demikian, lagi-lagi dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia
dalam usia setengah abad lebih ini, masih banyak kita jumpai fenomena yang justru potensial memperlemah komitmen nilai kebangsaan tersebut,
seperti konflik sosial-kultural di Maluku, Nanggroe Aceh Darusalam, dan Kalimantan Tengah; etnosentrisme yang mengemuka dalam pelaksanaan
desentralisasi; polarisasi kehidupan politik dengan sistem multipartai; rebutan tokoh organisasi massa besar dalam pencalonan presiden dan
wakil presiden; demonstrasi yang selalu cenderung brutal dan destruktif; tawuran antar kampunggeng dan antar sekolah kampus; dan lain-lain.
Pada konteks hal tersebut di atas muncul pertanyaan “Apa yang bisa kita lakukan secara sinergis antarkomponen bangsa untuk membangun
pendidikan karakter sebagai suatu wahana pedagogis dan sosial-kultural yang secara sistematis dan sistemik potensial untuk memberikan kontribusi
terhadap proses nation and character building Indonesia?”
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk antara lain untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Untuk mendapatkan kehidupan bangsa yang cerdas dalam arti yang luas tentu diperlukan warga negara yang cerdas juga
dalam arti yang luas. Upaya untuk mencerdaskan warga negara dapat
22 ditempuh melalui program pendidikan nasional. Hal ini sebagaimana
tersurat dalam pasal 31 UUD 45 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Secara sosial-
psikologis yang dimaksud dengan cerdas itu bukanlah hanya secara intelektual, tetapi juga cerdas spiritual, emosional, sosial, dan cerdas
kinestetik. Dengan kata lain, warga negara Indonesia yang seyogyanya dikembangkan itu adalah individu yang cerdas pikirannya, cerdas
perasaannya, dan cerdas perilakunya. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari proses kebudayaan yang pada akhirnya akan
mengantarkan manusia menjadi insan yang berbudaya dan berkeadaban.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kita perlu mengkaji apa yang tersurat dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional UU No. 20 Tahun 2003 yang dengan tegas menyatakan bahwa “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Secara umum yang dimaksud dengan pembudayaan
adalah proses pengembangan nilai, norma, dan moral dalam diri individu melalui proses pelibatan peserta didik dalam proses pendidikan yang
merupakan bagian integral dari proses kebudayaan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, dapat ditekankan pula bahwa proses pembudayaan harus menuju ke arah kemajuan dalam adab dan budaya persatuan Indonesia
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dengan tetap mengakomodasikan unsur- unsur yang dinilai baru, yang secara substantif bersumber dari kebudayaan
asing. Semua itu harus dilakukan dalam rangka mengembangkan atau memperkaya kebudayaan asli serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia. Dalam konteks itu pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3, berfungsi
“ … mengembangkan kemampuan dan membetuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Oleh karena itu maka proses pendidikan seyogyanya bukan hanya sebagai proses pendidikan berpikir tetapi juga pendidikan nilai dan watak serta
perilaku baca: pendidikan karakter.
23
2. Pendidikan Nilai sebagai Esensi