Metode Analisis Komponen SKBI 1987

commit to user 23 b. Non Destructive Test Tanpa merusak perkerasan, ada dua jenis yaitu pengukuran lendutan dengan alat Benkelman Beam dan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat Falling Weight Deflectometer FWD. Masing-masing metode survei tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Penggunaannya di daerah harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan struktur perkerasan antara lain: a. Metode CBR Bina Marga untuk Jalan Kabupaten 1986, metode ini khusus digunakan untuk mengevaluasi struktur perkerasan yang mempunyai lalu lintas rendah LHR 1.000; b. Metode Analisis Komponen SKBI 1987, dikembangkan di Indonesia sebagai modifikasi dari Metode AASHTO; c. Metode Bina Marga 01MNB1983 dengan menggunakan data lendutan beban statis yaitu hasil pengujian dengan alat Benkelman Beam; d. Metode AASTHO 1993 dengan menggunakan data lendutan dinamis berdasarkan hasil pengujian dengan Falling Weight Deflectometer FWD. Di bawah ini akan diuraikan secara terinci prosedur evaluasi kekuatan struktur perkerasan yang umum dilakukan di Indonesia, yaitu Metode Analisis Komponen SKBI 1987 Sulaksono, 2000.

2.2.10. Metode Analisis Komponen SKBI 1987

Metode Analisis Komponen merupakan metode perencanaan perkerasan, khususnya perkerasan lentur, baik untuk perencanaan tebal lapis tambah maupun perencanaan jalan baru yang digunakan di Indonesia. Metode perencanaan perkerasan ini merupakan modifikasi metode AASHTO setelah disesuaikan dengan kondisi alam dan karakteristik material di Indonesia. Metode ini berdasarkan Petunjuk Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisis Komponen, SKBI-2.3.26.1987; UDC:625.73 02 yang diperbaharui menjadi SNI No. 1732-1989-F, diterbitkan oleh Direktorat Yayasan Badan Penerbit PU, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1987 Sulaksono, 2000. Prinsip dasar desain tebal lapis tambah pada struktur perkerasan lentur menurut Metode Analisis Komponen adalah bahwa di akhir masa lanyannya struktur perkerasan perlu diperkuat dengan memperbesar nilai Indeks Tebal Perkerasan ITP commit to user 24 sehingga mampu memikul perkiraan beban lalu lintas tambahan yang diinginkan. Nilai ITP yang dimaksud diperoleh dari sisa nilai ITP struktur perkerasan lama ditambah dengan nilai ITP tambahan yang diberikan. Dengan kata lain tebal lapis tambah adalah selisih antara persyaratan tebal lapisan yang baru dengan tebal lapisan yang sudah ada. Jika nilai ITP yang dipersyaratkan untuk mendukung proyeksi volume lalu lintas sampai pada tahun tertentu lebih kecil dari nilai ITP perkerasan yang ada maka struktur perkerasan dianggap masih cukup kuat, sehingga penanganan pemeliharaan tidak memerlukan lapis tambah overlay. Oleh karena itu diperlukan metode penanganan kerusakan yang sesuai melalui pemeliharaan rutin. Ada dua tahapan dalam perhitungan menggunakan Metode Analisis Komponen, yaitu: a. Menentukan nilai kondisi struktur perkerasan lama untuk mendapatkan nilai ITP yang ada. b. Menghitung nilai ITP yang diperlukan berdasarkan perkiraan beban lalu lintas yang akan datang untuk menentukan perlunya lapis tambah atau tidak. Evaluasi kekuatan struktur perkerasan dengan Metode Analisis Komponen akan diuraikan secara terinci di bawah ini. 2.2.10.1. Lalu Lintas Rencana a. Persentase Kendaraan pada Lajur Rencana Jalur Rencana JR merupakan jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang terdiri dari satu lajur atau lebih. Jumlah lajur berdasarkan lebar jalan dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan Anonim, 1987 Lebar Perkerasan L Jumlah Lajur n L 5,5 m 1 Lajur 5,5 m ≤ L 8,25 2 Lajur 8,25 m ≤ L 11,25 3 Lajur 11,25 m ≤ L 15,00 4 Lajur 15,00 m ≤ L 18,75 5Lajur 18,75 m ≤ L 22,00 6 Lajur Koefisien distribusi kendaraan pada lajur rencana dengan tipe kendaraan berdasarkan beratnya dapat dilihat pada Tabel 2.6. commit to user 25 Tabel 2.6. Koefisien Distribusi Kendaraan C Anonim, 1987 Jumlah Lajur Kendaraan Ringan Kendaraan Berat 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 1,00 1,00 1,00 1,00 2 0,60 0,50 0,70 0,50 3 0,40 0,40 0,50 0,475 4 - 0,30 - 0,45 5 - 0,25 - 0,425 6 - 0,20 - 0,40 Berat total 5 ton, misalnya: mobil penumpang, pick up Berat total ≥ 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer b. Angka Ekivalen E Beban Sumbu Kendaraan Angka ekivalen beban sumbu kendaraan adalah nilai yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton 18.000 lb. Rumus untuk menentukan angka ekivalen beban sumbu kendaraan dalah sebagai berikut: E sumbu tunggal = ƒuƒan ƒD nggal :g . ǎ2 2.1 E sumbu ganda = ƒuƒan ƒD nggal :g . ǎ2 x 0,086 2.2 Setiap kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan merupakan sumbu tunggal sedangkan sumbu belakang merupakan sumbu tunggal atau ganda. Dengan demikian angka ekivalen merupakan penjumlahan antara angka ekivalen sumbu depan dengan angka ekivalen sumbu belakang. Selain menggunakan rumus di atas, penentuan angka ekivalen dapat dilakukan menggunakan tabel yang dikeluarkan oleh Departeman Pekerjaan Umum seperti terlihat pada Tabel 2.7. commit to user 26 Tabel 2.7. Angka Ekivalen E Beban Sumbu Kendaraan Anonim, 1987 Beban Sumbu Angka Ekivalen Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda 1000 2205 0,0002 - 2000 4409 0,0036 0,0003 3000 6617 0,0183 0,0016 4000 8818 0,0577 0,0050 5000 11023 0,1410 0,0121 6000 13228 0,2923 0,0251 7000 15432 0,5415 0,0466 8000 17367 0,9238 0,0794 8160 18000 1,0000 0,0860 9000 19841 1,4798 0,1273 10000 22046 2,2555 0,1940 c. Perhitungan Lalu Lintas 1 Lintas Ekivalen Permulaan LEP å = = n j j j j xE C x LHR LEP 1 2.3 dengan: LEP = Lintas Ekuivalen permulaan J – n = Jenis kendaraan C = Koefisien distribusi kendaraan E = Angka ekivalen LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata 2 Lintas Ekivalen Akhir LEA j j UR n j j xE xC i LHR LEA 1 . 1 + = å = 2.4 dengan: LEA = Lintas ekivalen akhir umur rencana i = Perkembangan lalu-lintas UR = Umur rencana 3 Lintas Ekivalen Tengah LET 2 LEA LEP LET + = 2.5 dengan: LET = Lintas ekivalen tengah LEP = Lintas ekivalen permulaan LEA = Lintas ekivalen akhir commit to user 27 4 Lintas Ekivalen Rencana LER FP x LET LER = 2.6 dengan: LER = Lintas ekivalen rencana FP = Faktor penyesuaian FP = UR10 UR = Umur rencana tahun 2.2.10.2. Daya Dukung Tanah Dasar Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau Plate Bearing Test DCP. Nilai CBR tanah dasar dapat bervariasi antara nilai yang baik dan jelek. Jika terdapat perbedaan nilai CBR antara beberapa titik pengamatan, panjang jalan dibagi atas segmen-segmen jalan, dimana setiap segmen jalan memiliki nilai daya dukung yang hampir sama. Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili daya dukung tanah dasar dan dipergunakan untuk perencanaan lapisan perkerasan dari segmen tersebut. Secara analitis perhitungan nilai CBR segmen jalan Sukirman, 1999 dilakukan dengan menggunakan rumus: CBR segmen = CBR rata-rata – CBR maks – CBR min R 2.7 Nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen. Besarnya nilai R dapat dilihat pada Tabel 2.8 di bawah ini. Tabel 2.8. Nilai R Perhitungan CBR Segmen Sukirman, 1999 Jumlah Titik Pengamatan Nilai R 2 1,41 3 1,91 4 2,24 5 2,48 6 2,67 7 2,83 8 2,96 9 3,08 10 3,18 Daya dukung tanah dasar DDT ditetapkan berdasarkan grafik korelasi seperti pada Gambar 2.2. commit to user 28 Gambar 2.2. Grafik Korelasi DDT dengan CBR Anonim, 1987 2.2.10.3. Faktor Regional Faktor regional FR adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya perbedaan kondisi dengan kondisi percobaan AASHTO Road Test dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. FR dipengaruhi oleh bentuk elemen, persentase kendaraan berat yang berhenti, serta iklim. Penentuan FR menggunakan Tabel 2.9. Tabel 2.9. Faktor Regional FR Anonim, 1987 Kategori Iklim Kelandaian I 6 Kelandaian II 6 - 10 Kelandaian III 10 kendaraan berat kendaraan berat kendaraan berat ≤ 30 30 ≤ 30 30 ≤ 30 30 Iklim I 900 mmth 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2 1,5 2,0 – 2,5 Iklim II 900 mmth 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5 commit to user 29 2.2.10.4. Indeks Permukaan Indeks permukaan IP adalah nilai kerataankehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut: IP = 1,0 : permukaan jalan rusak berat sehingga mengganggu lalu lintas. IP = 1,5 : tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin jalan tidak terputus. IP = 2 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IP = 2,5 : permukaan jalan masih cukup baik dan stabil. Penentuan IP pada akhir umur rencana, perlu mempertimbangkan faktor- faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah ekivalen rencana LER seperti ditunjukkan pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana Anonim, 1987 LER Klasifikasi Jalan Lokal Kolektor Arteri Tol 10 10 – 100 100 – 1000 1000 1,0 –1,5 1,5 1,5 – 2,0 - 1,5 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 2,5 - - - 2,5 Dalam menentukan Indeks Permukaan IP pada awal umur rencana IPo perlu diperhatikan jenis lapisan permukaan jalan kerataankehalusan serta kekokohan pada awal umur rencana seperti yang tercantum pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana IPo Anonim, 1987 Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness mmkm Laston Lasbutag HRA Burda Burtu Lapen Latasbum Buras Latasir Jalan Tanah Jalan Kerikil ≥ 4 3,9 – 3,5 3,9 – 3,5 3,4 – 3,0 3,9 – 3,5 3,4 – 3,0 3,9 – 3,5 3,4 – 3,0 3,4 – 3,0 2,9 – 2,5 2,9 – 2,5 2,9 – 2,5 2,9 – 2,5 ≤ 2,4 ≤ 2,4 ≤ 1000 1000 ≤ 2000 2000 ≤ 2000 2000 2000 2000 ≤ 3000 3000 commit to user 30 2.2.10.5. Kondisi Struktur Perkerasan jalan Survei mengenai kondisi struktural perkerasan jalan dimaksudkan untuk mengetahui tebal lapisan perkerasan jalan, jenis struktur dan kondisi jalan meliputi: lapis permukaan D 1 , lapis pondasi atas D 2 , dan lapis pondasi bawah D 3 . Berdasarkan keadaan di lapangan dapat dinilai kondisi perkerasan sesuai Tabel 2.12. Tabel 2.12. Nilai Kondisi Perkerasan Jalan Anonim, 1987 1. Lapis Permukaan Umunya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda 90 - 100 Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun masih tetap stabil 70 - 90 Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan 50 - 70 Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, menunjukkan gejala ketidakstabilan 30 - 50 2. Lapis Pondasi Atas a. Pondasi aspal beton atau penetrasi macadam Umunya tidak retak 90 - 100 Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil 70 - 90 Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan 50 - 70 Retak banyak, menunjukkan gejala ketidak stabilan 30 - 50 b. Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur Indeks Plastisitas ≤ 10 70 - 100 c. Pondasi macadam atau batu pecah Indeks Plastisitas ≤ 6 80 - 100 3. Lapis Pondasi Bawah Indeks Plastisitas ≤ 6 90 - 100 Indeks Plastisitas 6 70 - 90 Batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan dapat dilihat pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Anonim, 1987 ITP Tebal minimum cm Bahan 1. Lapis Permukaan 3,00 5,0 Lapis pelindung: burasburtuburda 3,00 – 6,70 5,0 Lapenaspal macadam, HRA, lasbutag, laston 6,71 – 7,49 7,5 Lapenaspal macadam, HRA, lasbutag, laston 7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, laston ≥ 10,00 10 Laston 2. Lapis Pondasi Atas 3,00 15 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur 3,00 – 7,49 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur commit to user 31 Tabel 2.13. Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Anonim, 1987 Lanjutan ITP Tebal minimum cm Bahan 3,00 – 7,49 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur 7,50 – 9,99 10 Laston atas 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam 10 – 12,14 15 Laston Atas 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas ≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material berbutir kasar. 3. Lapis Pondasi Bawah Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. 2.2.10.6. Indeks Tebal Perkerasan ITP Perhitungan Indeks Tebal Perkerasan dinyatakan dengan persamaan: 3 3 2 2 1 1 . . . D a D a D a ITP + + = 2.8 dengan: a 1 , a 2 , a 3 = Koefisien kekuatan relatif a bahan perkerasan D 1 , D 2 , D 3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan cm Koefisien relatif bahan a yang akan digunakan pada Persamaan 2.8 dapat dilihat pada Tabel 2.14 berdasarkan jenis bahan yang digunakan. Tabel 2.14. Koefisien Kekuatan Relatif a Anonim, 1987 Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan a 1 a 2 a 3 MS kg Kt kgcm CBR 0,40 - - 744 - - Laston 0,35 - - 590 - - 0,32 - - 454 - - 0,30 - - 340 - - 0,35 - - 744 - - Lasbutag 0,31 - - 590 - - 0,28 - - 454 - - 0,26 - - 340 - - 0,30 - - 340 - - HRA 0,26 - - 340 - - Aspal Macadam commit to user 32 Tabel 2.14. Koefisien Kekuatan Relatif a Anonim, 1987 Lanjutan Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan a 1 a 2 a 3 MS kg Kt kgcm CBR 0,25 - - - - - Lapen mekanis 0,20 - - - - - Lapen manual - 0,28 - 590 - - Laston atas - 0,26 - 454 - - - 0,24 - 340 - - - 0,23 - - - - Lapen mekanis - 0,19 - - - - Lapen manual - 0,15 - - 22 - Stabilisasi dengan semen - 0,13 - - 18 - - 0,15 - - 22 - Stabilisasi dengan kapur - 0,13 - - 18 - - 0,14 - - - 100 Batu pecah kelas A - 0,13 - - - 80 Batu pecah kelas B - 0,12 - - - 60 Batu pecah kelas C - - 0,13 - - 70 Sirtupitrun kelas A - - 0,12 - - 50 Sirtupitrun kelas B - - 0,11 - - 30 Sirtupitrun kelas C - - 0,10 - - 20 Tanahlempung kepasiran

2.2.11. Teknik Analisis Data Kuesioner