Latar Belakang Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Heterogenitas bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi menjadi hal baru dalam perbincangan. Indonesia dengan kemajemukan budayanya menghasilkan perbedaan budaya nasional yang dimiliki. Walaupun dengan perbedaan itu, nilai-nilai yang terkandung didalam setiap kebudayaan tidak pernah luput. Budaya khas yang dimiliki oleh setiap negara seperti halnya Indonesia yang akan menjadi topik dalam review kali ini sangat identik dengan apa yang namanya identitas jati diri. Identitas jati diri itu kemudian menjadi tolak ukur penilaian kepribadian bangsa Indonesia. Kepribadian sebagai hasil buah dari nilai dan budaya khas yang dimiliki Indonesia kemudian berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang strategis demi mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia. Salah satu budaya khas Indonesia adalah gotong royong. Konsep gotong royong yang dinilai tinggi oleh bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kehidupan rakyat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani dalam masyarakat agraris. Aktivitas gotong royong merupakan pengerahan tenaga untuk suatu proyek pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Konsep gotong-royong telah menjadi kunci budaya kontemporer Indonesia yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan segala sesuatu kebijakan yang diambil harus berdasarkan konsep gotong-royong tersebut Bowen 1986, 545. Menurut Aburrahman Wahid yang mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu yang paling Indonesia, yaitu diantara semua nilai yang dianut warga negaranya. Sesuatu itu berwujud pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan ikatan masa lampau Abdurrahman 1981, 7. Konsep ini dapat 2 dijelaskan bahwa manusia-manusia Indonesia selalu bergerak dalam perubahan sosial menurut perkembangan zaman. Pencarian itu seakan membuat bangsa ini lupa akan jati dirinya, namun sebenarnya tanpa sadar mereka masih terikat dengan warisan sejarah masa lalu. Menurut pendapat Abdurrahman Wahid lainnya, bahwa bangsa ini selalu mencari suatu perubahan, tidak berarti bangsa tidak memiliki konsep mengenai nilai, budaya, dan identitas nasional. Abdurrahman Wahid juga memiliki pemikiran bahwa nilai budaya yang dimiliki Indonesia adalah nilai budaya yang tidak berkesudahan. Pendapat ini jelas berbeda menurut Mochtar Buchori, yang mengatakan bahwa nilai-nilai Indonesia itu ada Buchori dan Lubis 1981, 38. Dalam dialognya Mochtar Buchori dan Moctar Lubis 1981, ia mengatakan nilai-nilai Indonesia sedang dalam proses pembentukan, yakni yang diimplementasikan dalam keaktifan dan kesadaran yang diperlukan bangsa Indonesia agar tidak terseret ke arah yang tidak dikehendaki. Proses pembentukan tersebut diartikan sebagai strategi menuju bentuk yang bisa dinamakan Indonesia, dan dalam proses menuju pola kebudayaan yang terintegrasi tersebut, bangsa Indonesia harus menggali kembali nilai-nilai yang benihnya ada dalam kebudayaan etnis. Karena pada faktanya menurut Mochtar Lubis, dalam dua belas tahun terakhir ini, erosi nilai-nilai etnis bangsa Indonesia semakin tampak. Erosi tersebut muncul dalam bangsa Indonesia sebagai akibat masuknya modal asing, konsumerisme, maupun industrialisasi dan terutama penerusan budaya bangsa Indonesia dirasakan telah terputus. Ada budaya khas lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu negara dan ideologi agama yang mengakar di lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih sehingga sulit untuk dibedakan. Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan sifat pemerintahan yang demokratis, dan karena demokratisasi tersebut Abdurrahman Wahid 2001, 3 mengatakan bahwasannya Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian Islam ideologi agama dengan demokrasi. Walaupun rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi para founding fathers berdasarkan keputusan bulat dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat teokrasi. Mereka menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, tetapi hal tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Selain itu pula, pada era reformasi saat ini peluang berpartai politik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya politik Wahid 2001, 28. Nilai dan budaya khas Indonesia tersebut seharusnya menjadi pegangan bangsa Indonesia dalam tantangan selanjutnya yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa mendatang. Karena menurut pandapat Mochtar Lubis, jika bangsa ini tidak berhasil mengukuhkan kemanusiaan dan membangun kembali kontinuitas kebudayaan bangsa, maka bangsa ini hanya akan menjadi ‘kacung’ bangsa lain Lubis, 1981, 42. Sehingga yang paling utama yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yakni kekuatan bangsa dalam mempertahankan kebudayaannya. Dengan begitu identitas bangsa Indonesia tidak pernah pupus dan dapat diimplementasikan dalam penentuan kebiijakan strategis yang akan diambil demi mencapai kepentingan bersama. Gotong royong adalah merupakan salah satu sistem kegiatan yang dilakukan oleh manusia, gotong royong ini diketahui sebagai tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga dalam masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah, untuk itu seorang petani meminta dengan sopan santun 4 yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya. Semisalnya mempersiapkan sawah untuk masa penanaman yang baru, memperbaiki saluran air dan pematang sawah, mencangkul, membajak, menggaru dan sebagainya. Koentjaranigrat Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini, sebab di negara lain tidak ada ditemukan sikap seperti ini, dikarenakan di negara luar sikap saling acuh tak acuh sangatlah dominan terhadap lingkungan di sekitarnya. Ini merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Tidak hanya di pedesaan bisa kita jumpai sikap gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah. Karena secara budaya, memang sudah ditanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa. Ini merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, tetapi kita tetap menjadi kesatuan yang kokoh. Inilah adalah satu budaya bangsa yang menjadikan Indonesia dipuja dan dipuji oleh bangsa lain, karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama manusia. Pada masyarakat Karo, gotong royong dalam tradisi masyarakat dikenal dengan istilah aron. Menurut Teridah Bangun, aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong menolong pada masyarakat Karo, baik dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron saling bantu yang diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang Bangun T, 1986 b:149. 5 Aktivitas aron biasanya dimulai pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 WIB- 17.00 WIB. Di dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama peserta aron dengan tujuan agar tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran mena-tumbuk, sesuai dengan kebutuhan di dalam mengerjakan sawah maupun ladang peserta aron. Misalnya A akan menanam padi, maka anggota aron yang sebagian lagi wajib datang ke ladang si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikianlah seterusnya sampai selesai secara bergilir setiap peserta aron, Misalnya dalam membuka lahan ngerabi tenaga laki-laki yang lebih diutamakan perempuan cukup membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang. Mena adalah sebutan untuk awal aktivitas aron dilakukan, tumbuk adalah sebutan dari akhir aktivitas secara bergilir. Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan meninggalkan kebudayaan gotong royong aron, dikarenakan masyarakat lebih memilih membayar mengupahi orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Pada saat ini aron dikenal dengan orangatau sebuah komunitas yang bekerja areal pertanian yang mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari si pemilik lahan. Desa Lau Solu memiliki masyarakat mayoritas suku Karo yang memiliki mata pencaharian rata-rata adalah sebagai petani. Masyarakat Desa Lau Solu umumnya memiliki lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut masyarakat menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola pertanian mereka. 6 Untuk menambah tenaga dalam mengelola lahan pertanian masyarakat Desa Lau Solu mencari orang untuk dapat membantu dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain si pemilik lahan pertanian yang akan memakai tenaga aron sudah terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk tinggal sementara di Desa Lau Solu. Dengan melihat latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengungkapkan secara dekriptif tentang bagaimana perubahan konsep aron yang terjadi pada masyarakat Karo khususnya dalam masyarakat Desa Lau Solu dan mengapa para pekerja aron mayoritas adalah suku Alas yang berasal dari Aceh Tenggara.

1.2. Tinjauan Pustaka